Kamis, 08 September 2011

PENGAMPUNAN : JALAN KEPADA PEMBEBASAN


Hari minggu ini, 11 September tidak mudah untuk dilupakan. Sepuluh tahun yang lalu, menara kembar WTC di Amerika hancur luluh akibat ditabrak  dua pesawat terbang komersil yang terlebih dulu dibajak kaum teroris. Tidak hanya menara WTC yang merupakan salah satu ikon ekonomi Amerika yang menjadi sasaran serangan itu, tetapi juga Pentagon, lambang pertahanan Amerika menjadi sasaran serangan itu. Peristiwa ini menewaskan lebih dari 3000 orang. Sepuluh tahun adalah waktu yang terlalu singkat untuk melupakan kenangan buruk serangan itu, apalagi bagi keluarga yang ditinggalkan oleh orang-orang yang dikasihinya. Mereka masih menyimpan geram. Geram itu sedikit terobati ketika pada tanggal 1 Mei 2011 Presiden Barack Obama mengumumkan bahwa pasukannya telah berhasil menewaskan Osama bin Laden yang dianggap sebagai dalang terorisme itu. Pada umumnya manusia ingin menuntut balas atas perlakuan yang menyebabkan diri dan keluarganya menderita. Lihat saja beberapa kasus tindak pidana, pembunuhan misalnya, keluarga tidak pernah akan puas kalau si pelakunya hanya dihukum belasan tahun, maunya hukuman yang setimpal bahkan lebih dari itu. Apakah dengan pembalasan atau menghukum orang yang bersalah itu masalah menjadi selesai? Apakah dengan terbunuhnya Osama bin Laden terorisme berakhir? Ternyata tidak! Alih-alih dunia menjadi tentram, semangat radikalisme dan balas dendam kian merebak di mana-mana.

Lalu apa yang dapat menghentikan teror, kebencian, permusuhan dan sakit hati? Jawabnya: pengampunan! Hanya kasih dan pengampunan yang dapat membebaskan orang dari ketakutan, dendam dan sakit hati. Namun, kebanyakan orang berpikir, mengampuni berarti ada sesuatu dalam dirinya yang akan dikorbankan. Itulah sebabnya, tidak banyak orang yang bersedia mengampuni. Apalagi orang yang telah menyakiti kita itu adalah orang yang “dekat” dengan kita atau bahkan orang yang kita kasihi (saudara/sahabat/ pasangan hidup).
Yusuf adalah sosok yang dapat membuktikan bahwa kasih dan pengampunan dapat membebaskan dirinya dari sakit hati dan keingingan untuk balas dendam. Ketika ia dihianati oleh kakak-kakaknya sendiri, ia dibenci dimusuhi dan dijual sebagai budak dengan harga yang sangat rendah, ia dipisahkan dari kedua orangtuanya. Bagaimana perasaan Yusuf saat ia mengalami semua peristiwa tersbut, apakah dia bersukacita dan bergembira? Tentunya ia merasa sangat sedih dan sakit, tetapi ia tidak membiarkan kesedihan, kesakitan dan kemarahan itu menguasai hatinya. Di saat Yusuf mampu membalas dendam atas penderitaan yang ia alami terhadap kakak-kakaknya, Yusuf ‘malahan’ memaafkan dan mengampuni kakak-kakaknya. Dengan jalan itulah pengampunan membebaskan tidak hanya saudara-saudara Yusuf dari pembalasannya, tetapi sekaligus membebaskan Yusuf dari nafsu kedagingan membalas. Pernahkah kita berpikir bahwa dengan memberikan pengampunan kepada orang yang bersalah, di sana jugalah sebenarnya kita sedang menolong diri sendiri agar terbebas dari dosa. Ya, karena pembalasan adalah hak Tuhan sendiri (Roma 12:19, khotbah minggu lalu) jika kita mengambil alih maka kita menjadi berdosa.

Dalam buku yang berwujud Rumors of Another World atau Kabar Burung Tentang Dunia Lain, Philip Yancey menceritakan kisah yang mengilustrasikan sebuah pengampunan yang sangat luar biasa. Ketika Nelson Mandela memegang jabatan sebagai presiden Afrika Selatan, ia menunjuk sebuah komisi untuk menghukum orang-orang yang telah melakukan tindak kekejaman selama berlangsungnya politik apartheid. Setiap orang yang tertangkap akan dibawa ke dalam pengadilan dan akan dipertemukan dengan keluarga yang telah kehilangan anggota keluarganya untuk mendapatkan penghukuman dan pembalasan. Oleh karena itu, sang hakim akan mengabulkan apapun yang menjadi permintaan pihak keluarga sebagai sebuah penghukuman terhadap sang terdakwa.

Suatu hari seorang wanita dipertemukan secara langsung dengan orang yang telah secara brutal membunuh dan membakar anak laki-laki satu-satunya dan suami yang sangat dikasihi. Ketika ditanya apa yang ingin ia lakukan terhadap pejabat itu, ia menjawab, “Saya mempunyai tiga hal yang harus ia lakukan: pertama, tunjukkan kepada saya tempat di mana ia telah membakar dan membunuh suami dan putera saya, saya ingin mereka dikuburkan dengan layak. Kedua, saya sudah tidak mempunyai keluarga lagi maka jadikanlah dia sebagai anak lelaki saya karena meskipun saya tidak memiliki keluarga, saya masih memiliki banyak cinta untuk diberikan. Ketiga, ia harus datang menemui saya setiap hari sehingga saya bisa menyalurkan dan melimpahkan kasih saya yang melimpah.  Saya ingin memeluknya supaya ia tahu bahwa pengampunan saya itu nyata.” Semua orang yang hadir dalam pengadilan itu terpana mendengar permintaan sang wanita, mereka segera berdiri dan menyanyikan lagu “Amazing Grace”.

Yancey menulis bahwa ketika wanita itu menuju tempat saksi, pejabat itu merasa sangat malu dan menyesal sampai ia pingsan. Kepedihan yang ditusukkan wanita itu bukanlah balas dendam yang penuh dosa, melainkan api pemurnian cinta, yang dikaruniakan Allah yang dapat memunculkan penyesalan dan rekonsiliasi. Itulah pengampunan yang membebaskan.

Yesus mengajarkan kepada para muridNya tentang pengampunan (Matius 8:21-35) bukan seberapa banyak orang mengampuni saudaranya yang bersalah, melainkan sejauh mana pengampunan itu mempunyai dampak yang membebaskan baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar