Apa yang ada dalam benak Anda ketika mendengar nama atau kisah Yunus? Tentu, yang dimaksud adalah Yunus seorang nabi dalam Perjanjian Lama (Diperkirakan bernubuat pada zaman Raja Yerobeam II sekitar tahun 783-743 SM). Banyak orang, termasuk saya pada awalnya, menaruh syakwasangka buruk terhadap sosok nabi yang satu ini. Ya, buruk karena dia sering digambarkan sebagai sosok nabi yang tidak taat alias pembangkang. Ditugasi untuk pergi ke Niniwe, eh malah membelot pergi pesiar ke Tarsis.
Oop! Tentu ada alasan yang lebih mendasar mengapa sang nabi yang sedang kita bicarakan ini berulah begitu. Dilihat dari sosoknya, sebenarnya Yunus adalah patriotik Israel sejati. Sebagai seorang nabi yang hidup dalam era perebutan kekuasaan antar bangsa ini pastilah memahami dengan cermat bahwa kota Niniwe yang didirikan oleh Nimrod yang juga pendiri kerajaan Babel (Kejadian 10:8-11), jika dibiarkan menjadi besar tentu sangat potensial mencaplok wilayah sekitarnya termasuk Israel. Dan memang benar Niniwe setelah mengalami pertobatan menjadi kota yang indah dan disukai oleh Sanherib, raja Asyur pada sekitar tahun 705-681 SM, Maka Niniwe dijadikannya tempat kediamannya (2Raja 19:36). Hanya berselang satu generasi dari zaman Yunus. Sanheriblah yang kelak merepotkan raja Hizkia untuk menghadapinya.
Sebagai seorang patriotik dan nasionalis, maka wajarlah Yunus, seperti kebanyakan orang akan gembira bila bangsa asing yang potensial menjadi musuh dan memang benar akhirnya seperti itu kejadiaannya, lebih baik dimusnahkan sejak dari awal. Kabar yang menyatakan bahwa Niniwe adalah kota yang teramat jahat dan akan segera dibumihanguskan seperti Sodom dan Gomorah, bukankah merupakan kabar gembira! Yunus berpikir, lebih baik aku membangkang tidak memenuhi perintah Allah. Toh, kalau pun Allah marah, hanya dirinyalah yang dihukum sedangkan bangsanya akan terhindar dari ancaman Asyur kelak. Yunus jelas bukan pengecut dan penakut. Ia pemberani, berani mati agar bangsanya tetap aman! Keberaniaannya teruji ketika ia menawarkan diri untuk dicampakan ke dalam laut agar gelora laut menjadi reda (Yunus 1:12).
Yunus tahu siapa Allahnya, Dia adalah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkanNya (Yun 4:2b) sehingga kalau Yunus menjalankan misi itu dan Niniwe bertobat, pastilah Allah tidak jadi menghukum kota itu. Ini yang memberatkan Yunus! Yunus kecewa kenapa Allah merubah rencana penghukuman itu menjadi pengampunan! Yunus kecewa marah mengapa Allah baik hati kepada orang-orang jahat yang memang pantas dihukum!
Tidak selamanya manusia bersyukur atas kasih dan kebaikan Tuhan. Manusia sering tidak rela kalau Tuhan berbelaskasih kepada orang yang menurut pendapatnya jahat. Manusia berpikir bahwa kalau dirinya selalu berbuat baik itu berarti ia pantas mendapat imbalan atas perbuatannya itu. Kemudian memandang orang lain yang tidak sebaik dirinya mestinya berkatnyapun lebih kecil. Ternyata Tuhan tidak seperti manusia. Dia bermurah kati kepada semua orang bahkan terhadap orang yang memberotak dan berdosa sekali pun. Itulah yang diceritakan Yesus melalu kisah perumpamaan penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 20:1-16). Sang empunya kebun itu merekrut orang-orang untuk bekerja di kebun anggurnya. Mereka membuat kesepakatan upah sedinar sehari. Sang tuan merekrut orang-orang yang mau bekerja di kebun anggur itu dalam beberapa gelombang. Ada yang bekerja dari pagi-pagi benar, ada yang mulai dari pukul 9, 12 dan pukul 3 petang serta yang terakhir pukul 5 sore. Dalam pembayaran upah kerja, mereka semua sama rata dibayar 1 dinar. Sontak, yang merasa bekerja lebih lama protes. Ini tidak adil!
Tampaknya tidak adil. Namun, bukankah si tuan diawal sudah membuat kesepakatan bahwa upah bekerja di kebun anggurnya adalah 1 dinar sehari, dan memang upah standar pada masa itu adalah satu dinar sehari. Jadi mengapa mereka merasa diperlakukan tidak adil? Jawabannya sangat sederhana, karena si tuan itu bermurah hati! Manusia seringkali tidak rela manakala Tuhan bermurah hati terhadap kelompok di luar dirinya. Apalagi jika dirinya merasa paling benar dan paling getol melakukan perintahNya.
Merasa diri paling benar dan paling getol dalam mengemban tugas panggilan lama-kelamaan akan merasa diri layak dan pantas untuk diberi ganjaran atau imbalan lebih dari yang lain. Pemahaman seperti ini lambat-laun akan mengubah cara pandang terhadap Allah. Kini Allah dipandang sebagai pihak yang harus memberi imbalan dari jerih lelahnya. Manusia merasa “berhak” menagih imbalan itu. Manusia sulit melihat Allah yang penuh anugerah. Bahkan manusia menjadi marah manakala Allah berbaik hati pada semua orang.
Hal ini sangat berbeda dengan orang yang menghayati bahwa dirinya penuh dengan kelemahan dan dosa dan Allah berkenan meraih dan mengampuni maka yang terjadi adalah ia akan bersyukur atas kasih karunia itu. Paulus adalah sosok orang yang yang berhasil melihat Tuhan yang penuh kasih itu. Perjumpaan dengan Tuhan itu membuahkan pertobatan. Dulu, dengan penuh semangat, Paulus menganiaya pengikut Tuhan namun kini setelah ia dijamah kasih itu, hidupnya berubah. Ia merasakan jamahan kasih itu dan itulah yang membuat dia mampu bersyukur dalam segala kondisi. Sehingga komitmennya untuk melayani tidak diragukan lagi. Bahkan di dalam penjara, ia mampu berujar, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” (Filipi 1:21). Bagaimana dengan kita? Masih adakah ungkapan syukur karena anugerahNya dan membuat kita terus mempunyai komitmen untuk melayani?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar