Apa yang akan Anda lakukan, jika Anda seorang isteri yang bersuamikan seorang yang bengis, pemarah, sering memukuli Anda tanpa sebab yang jelas? Sangat mungkin Anda akan berusaha mencari pembenaran untuk menjauhinya atau bahkan mencari cara untuk secepatnya cerai! Namun, tidak dengan seorang wanita yang dikisahkan oleh Ajahn Brahm dalam bukunya Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Kisahnya seperti ini:
Wanita ini mempunyai suami yang kasar. Dia adalah korban kekerasan rumah tangga yang menakutkan. Pada saat itu dukungan dari lembaga-lembaga untuk menolong korban kekrasan seperti itu belum ada. Dalam sebuah luapan emosi, dia tidak bisa berpikir jernih untuk minggat selamanya dari rumah. Jadi dia datang ke wihara, dengan gagasan bahwa dengan 2 jam berada di wihara, berarti 2 jam dia terbebas dari kekerasan. Apa yang didengar di wihara itu mengubah hidupnya. Dia mendengar dari biksu-biksu mengenai pemberi maaf yang benar –pemaafan positif. Dia memutuskan untuk mencoba mempraktekan nasihat-nasihat terhadap suaminya.
Dia bercerita bahwa setiap kali suaminya memukul, dia memaafkannya, dan membiarkannya berlalu. Bagaimana dia bisa melakukan itu, hanya dia sendiri yang tahu. Lalu setiap kali sang suami melakukan atau mengatakan yang baik, betapa pun sepelenya, saat itu juga ia akan memeluknya atau mencium ataupun memberi tanda untuk mengisyaratkan kepada sang suami bahwa betapa berarti kebaikan tersebut baginya. Dia sungguh-sungguh bersyukur atas kebaikan itu. Dia melakukan itu selama 7 tahun! “Selama 7 tahun,” katanya, “dan sekarang Anda tidak akan dapat mengenali pria itu lagi. Dia telah berubah 180 derajat. Sekarang, kami punya hubungan kasih yang luar biasa beserta dua anak yang hebat.” Wajahnya memancarkan cahaya laksana orang suci.
Kisah wanita ini menggambarkan kesabaran. Sabar bukan berati menunggu, diam pasif. Sabar adalah sikap tenang, tidak terburu nafsu, dan tekun dalam menghadapi segala macam situasi. Kesabaran juga merupakan sikap untuk tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa Tuhan sebagai penolong, “gunung batu” pasti memberi kekuatan dan pertolongan.
Ada banyak orang mengalami kasus seperti yang diceritakan Ajahn Brahm tidak bisa bertahan. Ada banyak pasangan mengakhiri pernikahannya lantaran kurang tepat mengartikan “sabar”. Betapa banyaknya wanita atau suami yang mengeluh, “Saya sudah berusaha untuk sabar!” dan di akhir pergumulannya ia berkata, “Mungkin ini jalan yang terbaik, sudah kehendak Tuhan kita harus berpisah!” Apakah itu kehendak Tuhan? Ataukah hanya sebagai pembenaran?
Sabar, jelaslah bukan pasif, tetapi terus berjuang memertahankan kebenaran di tengah kondisi yang tidak menyenangkan. Sama seperti kisah perumpamaan tentang gandum dan ilalang yang diucapkan Yesus (Matius 13:24-30, 36-43). Pada awal pertumbuhannya, ilalang dan gandum sangat sulit dibedakan. Ilalang dan gandum dapat dibedakan pada saat keduanya berbulir. Tetapi pada saat yang sama akar-akar ilalang dan gandum sudah saling berkaitan erat. Mencabut ilalang, gandum pun akan terangkat. Mati bersama-sama! Gandum dan ilalang tidak dapat dipisahkan pada saat keduanya sedang tumbuh. Tetapi pada panen akhir keduanya mesti dipisahkan, karena biji ilalang tidak berguna tetapi biji gandum bermanfaat untuk kehidupan.
Dari kisah perumpamaan itu, Yesus ingin menyampaikan bahwa bila Ia menebarkan benih yang baik, si jahat juga menaburkan benih yang tidak baik (ilalang). Maka tidaklah mengherankan jika ada orang yang benar-benar ingin setia melakukan firman Tuhan akan selalu saja menghadapi banyak tantangan. Orang benar, dalam hal ini yang ingin setia kepada Tuhan, ibarat benih gandum yang harus terus tumbuh di tengah lilitan akar-akar ilalang. Gandum jika ingin berbuah, maka ia harus tidak mudah menyerah. Ia harus berjuang untuk menghisap sari-sari makanan melalui akarnya. Menyuplai makanan itu ke seluruh tubuhnya dan akhirnya menghasilkan buah.
Jika Anda menyakini bahwa diri Anda adalah “benih gandum” yang berasal dari Tuhan. Maka Anda akan berjuang terus untuk tumbuh di tengah-tengah situasi yang akan selalu menghimpit bahkan mematikan Anda. Dalam perjalanannya bisa saja Anda tergoncang. Melihat “kiri-kanan” ternyata orang-orang yang tidak setia kepada Tuhan mereka terlihat lebih makmur. Sedangkan orang yang setia kepada Tuhan nampaknya semakin terpuruk. Bukankah hal ini juga yang sering dilihat oleh orang Israel, bahwa bangsa-bangsa di skelilingnya mempunyai allah-allah yang kelihtan. Mereka memujanya dan seolah-olah dewa-dewa itu memberkati mereka!
Di tengah menghadapi pasangan yang jauh dari harapan semula. Di tengah dunia bisnis yang menghalalkan segala cara. Di tengah pergolakan politik bangsa kita. Di tengah situasi yang tidak menentu, Allah menaburkan benih gandum. Itulah di mana Allah menempatkan Anda dan saya. Apakah benih itu akan berbuah atau kalah oleh himpitan akar-akar ilalang?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar