Jumat, 20 Mei 2011

TERUS BERBUAT BAIK WALAU MENDERITA


“Ada seribu satu alasan untuk menolak berbuat baik terhadap seseorang, ketika di hati Anda tidak ada cinta. Namun, seribu satu hambatan dapat Anda atasi jika ada cinta di hati Anda.”
(Nanang)

Kalimat tema di atas terdengar indah dan ideal, namun sulit dan cenderung  mustahil untuk dilakukan. Mengapa? Kalau mau jujur, kebiasaan kita berbuat baik adalah sebagai respon atau reaksi dari pihak lain yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Alm.Pdt. Eka Darmaputera, menyebutnya “mengasihi kalau…”. Ya, kita berbuat baik pada orang lain, kalau orang lain itu mengasihi saya. Atau karena orang yang kita kasihi itu mempunyai hubungan emosional dengan kita. Kasih yang seperti ini adalah kasih “kasih reaktif-transaksional”. Bisa juga kita mengasihi dengan konsep “kasih supaya”. Saya mengasihi supaya orang lain juga mengasihi saya. Kasih seperti ini pusatnya adalah ego, ukurannya adalah saya. Apakah menyenagkan saya atau tidak. Dapatkah tipe “kasih kalau” atau “kasih supaya” ini terus mengasihi sampai menderita? Saya meragukan orang dengan tipe kasih seperti ini dapat terus berbuat baik dengan tulus. Batu ujinya sederhana. Coba kita perhatikan diri sendiri dalam hal berbuat baik. Anda selama ini terus berbuat baik pada seseorang. Namun, suatu ketika Anda mendengar orang tersebut menceritakan hal yang tidak menyenangkan dari diri Anda. Dia memfitnah Anda. Apakah perbuatan baik Anda akan seperti yang sudah-sudah? Ataukah Anda akan mengurangi berbuat baik terhadapnya, atau sama sekali berhenti berbuat baik karena Anda merasa terhina dan dikhianati?

Dalam renungan terdahulu saya sempat meminjam ungkapan Mahatma Gandhi. Menurutnya, ada dua hal yang memotivasi manusia dalam melakukan sebuah tindakan. Pertama, karena takut. Seseorang berbuat baik bisa saja karena takut. Takut dihukum, takut tidak di terima oleh kelompoknya, takut tidak dihargai, dan sederet takut-takut yang lainnya. Kedua, karena cinta. Motivasi melakukan perbuatan baik karena cinta, dampaknya luar biasa. Baik bagi yang melakukan maupun yang menerima cinta itu. Orang dengan motivasi cinta: Ia akan melakukan tindakan apa pun demi orang yang dicintainya. Seorang pemuda yang sedang jatuh cinta, ia akan melakukan tindakan apa pun untuk kekasihnya. Bahkan maut pun ia rela pertaruhkan. Kata orang cinta itu butuh pengorbanan! Namun, perhatikanlah dan dengarkanlah kata hati seorang yang dengan tulus sedang jatuh cinta. Apakah ia merasa sedang berkorban dan menderita? Saya kira tidak! Justeru ia akan merasa gembira ketika orang yang dicintainya itu tersenyum bahagia. Segala pengorbanan dan penderitaannya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan senyum kebahagiaan sang kekasih.

Hal yang sama terjadi ketika Anda jatuh cinta kepada Tuhan. Anda akan berusaha agar Tuhan itu tersenyum dengan perbuatan yang Anda lakukan. Tuhan akan tersenyum manakalah kehendakNya dilakukan dengan tulus karena kecintaan Anda kepadaNya. Ebiet G Ade, dalam syair lagunya “Untuk Kita Renungkan”,  mengatakan: “Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini. Berusahalah agar Dia tersenyum,..oh berubahlah agar Dia tersenyum.” Ya, Tuhan ada di sini, di dalam jiwa ini. Keyakinan Kristiani mengatakan itu bahwa Tuhan diam di dalam diri setiap orang percaya melalui Rohnya yang Kudus. Roh Kudus yang dijanjikan Yesus akan menyertai mereka (Yohanes 14:15-21).

Ketika Anda “jatuh cinta” pada Tuhan, Anda akan terus berbuat baik walaupun dengan itu Anda bisa saja menderita. Bahkan Petrus mengatakan itu sebagai sebuah kebahagiaan (I Petrus 3:14). Koq bisa, orang menderita tapi bahagia? Dalam kehidupan nyata banyak orang mengalami kebahagiaan meskipun orang lain melihatnya sangat menderita. Contoh, seorang isteri merawat suaminya yang stroke, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Ia harus menyuapi jika suaminya ingin makan, membersihkan kotorannya, kurang tidur karena menjaga sang suami, dan sederet lagi kesulitan yang lain. Ia benar-benar isteri yang mencintai suaminya. Ia melakukan itu dengan kasih sayang yang tulus. Manakala sang suami menatapnya sambil tersenyum, maka pupus sudah jerih lelahnya. Ia bahagia! Nah, apalagi kalau Tuhan yang tersenyum! Tidak ada artinya semua penderitaan dan kesulitan yang dialami.

Seseorang tidak akan lagi memikirkan apa imbalannya ketika melakukan perbuatan baik, kalau motivasinya adalah cinta kepada Tuhan. Ada sebuah kisah menarik. Seorang malaikat berjalan melintasi sebuah perkampungan dengan membawa api di tangan kanannya dan air di tangan kirinya. Orang-orang kampung itu heran dan bertanya kepada malaikat itu, katanya, “Hai, Malaikat hendak ke mana engkau dan apa yang engkau bawa? Si Malaikat menjawab, “Aku akan menuju ke sorga dan ke neraka. Dengan api yang kubawa ini aku akan membakar semua taman-taman yang indah di sorga, sehingga sorga akan lenyap. Dan dengan air ini aku akan menyiram nyala api neraka, sehingga neraka pun tidak akan ada lagi! Lalu sesudah itu aku akan tahu siapa manusia yang sungguh-sungguh mencintai Tuhanku!”

Bagaimana, jika sorga dan neraka itu tidak ada? Akankah Anda tetap berbuat baik? Apakah Anda tetap mencintai Tuhan? Banyak orang melakukan perbuatan baik karena ibalan sorga atau takut hukuman neraka. Bukan sungguh-sungguh mengasihi Tuhan. Yesus berkata kepada murid-muridNya, “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu.”(Yoh.14:15). Kalimat ini jangan disalahmengerti. Seolah-olah Yesus menuntut/mengharuskan murid-murid membuktikan cinta mereka kepadaNya. Kalau itu yang dibayangkan, sama halnya seorang pemuda yang menuntut kepada kekasihnya agar membuktikan cintanya dengan tidur bersamanya. Cinta di sini bukanlah cinta paksaan, namun cinta kasih tulus. Seorang suami yang baik akan mengasihi isterinya dengan sepenuh hati. Maka kemana pun ia pergi, meskipun punya kesempatan untuk selingkuh seperti teman-temannya. Ia tidak akan melakukan hal itu, mengapa? Karena ia mencintai isterinya yang ada di hatinya cuma isterinya. Kasih Yesus itu akan membuat orang dengan sadar, suka rela bahkan sampai menderita tetap mengasihi. Karena Yesus pun lebih dahulu mencintai kita. Yesus telah meninggalkan teladan kasih. Ia telah mati untuk dosa-dosa kita (I Petrus 3:18).

Ketika Anda mencintai Yesus, di hati Anda ada Yesus, maka apa pun yang diperbuat akan selalu berpikir bagaimana aku dapat membuat Dia tersenyum. Bermodalkan cinta kasih pada Yesus inilah yang memampukan setiap orang dapat mengasihi dengan berbuat baik bagi sesamanya. Meskipun dengan itu ia difitnah, menderita, dianiaya! GBU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar