Rabu, 02 Maret 2011

KENTUT NASRUDDIN


Pada waktu Nasruddi masih muda. Dia masih tinggal di desa tempat ia dilahirkan, desa itu bernama Hortu. Sebagai warga yang taat beribadah, Nasruddin bersama dengan kebanyakan pria di kampungnya menunaikan Salat Jumat. Sewaktu Salat Jumat, Nasruddin tidak dapat menahan kentut. Suara kentutnya terdengar keras di tengah keheningan ibadah. Orang-orang di Mesjin pura-pura tidak mendengar, mereka terlihat qusuk tetap melanjutkan ritual ibadah. Mereka berlaku seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Bagi Nasruddin pengalaman ini adalah hal yang memalukan dan menjadi kenangan yang menyakitkan. Nasruddin tak kuasa kalau melihat kerumunan orang beribadah di Mesjid, ingatannya kembali pada peristiwa memalukan itu. Akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan desa kelahirannya yang penuh kenangan itu. Tengah malam Nasruddin mengemasi barang-barangnya dan menunggangi keledainya saat tengah malam tanpa mengucapkan selamat tinggal pada keluarga maupun teman-temannya. Nasruddin pergi menuju Ak Shehir.
Dua belas tahun tanpa kabar berita Nasruddin mengembara. Dua belas tahun rasanya sudah cukup orang kampungnya melupakan peristiwa memalukan itu, piker Nasruddin. Kini ia memutuskan untuk kembali ke kampong halamannya itu.
Di Tengah jalan menuju desanya, Nasruddin bertemu dengan seorang anak yang berasal dari kampungnya. Nasruddin tersenyum pada anak itu dan mengajaknya ngobrol. Pikirnya, ini adalah kesempatan yang baik untuk mengorek, mencari tahu apakah orang-orang di desanya masih mengingat kejadian di Mesjidyang memalukan itu atau tidak.
“Berapa umurmu Nak?” Tanya Nasruddin memulai percakapan.
“Aku tak tahu pasti,” Jawab anak itu. “Tapi yang aku tahu, orangtuaku mengatakan bahwa aku dilahirkan pada tahun yang sama ketika Nasruddin Hoja kentut di dalam Mesjid itu.”
Aib seseorang sering kali tidak mudah untuk dilupakan. Tanpaknya memori manusia lebih mudah diisi hal yang buruk atau negative daripada hal yang baik. Sebenarnya ada banyak kerugian ketika manusia “mengoleksi” hal-hal yang buruk. Kerugian itu:
1.       Kita tidak pernah belajar untuk menjadi lebih baik. Tidak termotivasi atau terangsang untuk melakukan hal-hal yang baik.
2.       Dengan melihat sisi buruk dari orang lain, pada saat yang sama kita cenderung merendahkannya dan pada saat yang sama juga kita sedang meninggikan diri.
3.       Membuat orang itu sulit untuk memulai yang baru. Bayangkan Anda jadi Nasruddin. Pasti Anda mengalami kesulitan untuk masuk ke desa itu.
Marilah kita lebih sering melihat dan memberitakan hal-hal yang positif dari orang lain daripada hal yang negatif, karena itu lebih sehat.
Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka…” (Matt.7:12)

Salam,
Nanang 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar