Rabu, 16 Februari 2011

Sisi Lain Al-Qaedah: Akar Radikalisme yang Tidak Selalu Bersumber dari Ajaran Agama


Jika kita menyimak sejarah hubungan Kristen-Islman pada masa-masa awal kelahiran Islam bisa dikatakan sangat harmonis, sebut saja peristiwa ketika para pengikut Muhammad terdesak dan benar-benar harus meninggalkan Mekkah untuk mencari perlindungan, negeri yang mereka tuju adalah Abessinia, sebuah negeri Kristen pada zaman itu yang diperintah oleh Raja Negus. Di negeri ini mereka mendapat jaminan keamanan dan perlindungan. Mereka memperoleh pelayanan yang sangat baik dari penguasa negeri itu. Bahkan saat delegasi kafir Mekkah itu datang meminta dilakukan ekstradisi, Raja Negus dengan tegas menolaknya setelah melakukan dialog intensif dengan pengikut Nabi Muhammad itu.

Setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, orang Kristen hidup dalam suasana yang bebas dan leluasa untuk menjalankan kehidupan agama mereka di bawah konstitusi Madinah. Bahkan diriwayatkan, ketika delegasi Kristen Najran berkunjung ke Madinah, Nabi Muhammad mempersilahkan mereka untuk beribadah di Mesjid Nabawi karena memang tempat ibadah Kristen tidak ada di Madinah. Demikian pula kawin campur antara Islam dan Kriten tidak menjadi persoalan tanpa masing-masing pasangan harus berpindah agama. Namun, sejarah mencatat hubungan yang seperti ini tidak berlangsung lama. Mulai abad kedelapan Masehi hubungan tadi merosot menjadi ”permusuhan” yang diwarnai dengan kecurigaan dan konflik. Tentu banyak sebab yang memengaruhi hubungan itu yang tidak selalu karena alasan teologis.

Warisan hubungan yang tidak sedap inilah yang terus berkembang. Akibatnya ketika ada hubungan yang baik bahkan mesra selalu dipertanyakan dan dicurigai. Apakah alasan-alasan teologis yang menjadikan hubungan itu tidak baik atau ada faktor-faktor lain? Kita akan melihatnya dalam fenomena munculnya gerakan Islam radikal yang seringkali dihubungkan dengan teroris yakni gerakan ”Al-Qaidah”

Seputar kelahiran Al-Qaidah[1]

Tak dapat disangkal bahwa kelahiran Al-Qa’idah adalah bermula dari penyelasian konflik invasi Uni Soviet ke Afghanistan. Tahun 1986 petinggi CIA, Jendral William Casey menata sebuah rencana besar yang bersifat highly screet . Ada tiga langkah strategis yang diusulkan oleh Casey. Pertama, sebagai petinggi CAI, Casey akan meyakinkan Kongres Amerika untuk menjadi provider senjata bagi para Mujahiddin untuk merontokkan pesawat-pesawat tempur Soviet dan juga melobi agar Konggres Amerika menyediakan instruktur-instruktur handal yang akan melatih gerilyawan dalam melawan Soviet.

Kedua, CIA(AS), M16 (Inggris) dan ISI (Inter Service Intelligent, Pakistan) menyetujui master plan Casey untuk mengerahkan gerilyawan dengan tujuan memberikan balasan menghabisi Soviet. Pilihan target difokuskan pada kawasan Tajikistan dan Uzbekistan yang merupakan kawasan lemah dan menjadi mata rantai pasokan senjata ke Afganistan. Rencana ini di kemudian hari berhasil karena kawasan Tajikistan dan Uzbekistan merupakan wilayah yang lemah.

Ketiga, Casey memerintahkan CIA untuk memberikan support dan memberikan nasehat pada proyek ISI ini, yaitu dengan cara merekrut para Muslim militan dan radikal dari semua kawasan negara-negara Muslim untuk bergabung dengan para Mujahiddin Afghanistan dengan doktrin menghadapi musuh bersama komunis/atheis: Soviet. Washington sendiri juga menginginkan untuk mendemonstrasikan bahwa semua Muslim di dunia ini mampu melawan Soviet bersama-sama dengan orang Afghanistan dan tentunya dengan ”American Benefactor”. Di pihak lain Kerajaan Saudi juga melihat ada dua keuntungan, yaitu: pertama, untuk mempromosikan pengaruh Wahabisme yang fundamentalis sebagai asas tunggal politiknya. Kedua, memberikan lahan garapan bagi para radikalis Saudi yang kecewa terhadap pemerintahan Kerajaan Saudi.

Pada waktu itu tidak ada satupun aktor intelektual (CIA, M16, dan ISI) memikirkan dampak dari sebuah mega proyek ini. Mereka tidak pernah memperhitungkan relawan yang datang ke Afghanistan, kemudian dikenal dengan sebutan Arab-Afghans atau veteran Afghan tersebut juga mempunyai hidden agenda.

Di kawasan Timur Tengah, Liga Muslim Sedunia yang berkantor di Saudi, Al-Ikhwan Al-Muslimun di Mesir dan sel-selnya, dan juga gerakan-gerekan Islam radikal Palestina mulai mempersiapkan rekruitmen besar-besaran untuk di kirim ke Pakistan. Antara tahun 1982 sampai 1992 telah direkrut sekitar 35.000 muslim militan dan radikal dari 43 negara muslim di seluruh dunia termasuk Indonesia. Hingga pada akhirnya 100.000 Muslim militan dan radikal mempunyai kontak langsung dengan Pakistan dan Afghanistan dan mereka sudah dipenuhi dengan semangat jihad yang tinggi melawan Atheism State di mata para Mujahiddin dan Communism Peril di mata Amerika.

Di sebuah camp dekat Peshawar dan juga camp di Afghanistan, para Mujahiddin ”Arab-Afghan” saling bertemu untuk pertama kalinya, belajar bersama, berlatih bersama dan juga mereka saling menceritakan kondisi negara mereka masing-masing yang umumnya negara ketiga, mayoritas yang menderita akibat tekanan negara maju. Di sanalah muncul perasaan senasib dan sepenanggungan dan kerinduan bersama untuk menegakkan syari’at Islam secara kaffah[2]. Camp ini telah menjadi layaknya ”Virtual Universities For Futuru Islamic Radicalism”

Para “Arab-Afghan” yang datang dari kawasan Asia Tenggara berdasarkan informasi dari mantan Qa’id Mantiqi III Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, Nasir bin Abbas yang masih saudara ipar Mukhlas pelaku bom Bali menuturkan bahwa kepergian para Mujahiddin ke Afghanistan hampir semuanya lewat rekomendasi dan disposisi Abdullah Sungkar yang mempunyai hubungan khusus dengan Abdurrasul Sayyaf di Pakistan.

Para Mujahidddin yang datang ke Pakistan memerlukan penanganan, Abdullah Azzam[3] membentuk Maktab al-Khidmat. Setelah Abdullah Azzam terbunuh, kendali selanjutnya dipegang penuh oleh Usamah bin Ladin lalu mendisainnya menjadi sebuah Military Base sehingga kemudian menjadi “Al-Qaidah” atau “The Base”. Usamah melihat gerakan para Mujahiddin Afghan, bergabung ke dalam front termasuk juga banyaknya yang terluka dan gugur sebagai sayyid, semakin meningkat dan sementara pada waktu itu belum ada dokumen yang lengkap. Kurangnya data ini sering menyulitkan Usamah. Dari sinilah Usamah memutuskan untuk menertibkan daftar Mujahiddin Arab-Afghan.

Ide tentang data ini semakin meluas, sehingga mencakup rincian-rincian yang sempurna, kemudian meliputi data tiap orang yang sampai ke Afghanistan. Data ini menjadi semacam administrasi sendiri, maka perlu dinamai agar mudah dikenal oleh kalangan internal. Usamah pun sepakat dengan para pembantunya untuk menyebut daftar para pejuang tersebut dengan sebutan “Sijjil Al-Qaidah”  atau Al-Qaidah Al-Bayanat (data utama, database). Ladin mempuai data lengkap berkaitan dengan curricullum vitae para veteran Afghan.

Perkembangan selanjutnya pada tanggal 23 Februari 1998 dibentuk sebuah front dengan nama Al-Jabhah Al-Islamiyyah Al-alamiyyah Li Jihad Al-Yahud wa Al-Salibbiyyin (The Islamic World Front for The Sturggle Against The Jews and The Crussaders) dalam kesempatan itu pula dikeluarkan sebuah fatwa dan segera disosialisasikan kepada seluruh kaum muslimin. Fatwa spektakuler ini ditandatangani oleh Usamah bin Ladin, Dr. Ayman Al-Zawahiri selaku pimpinan Jama’ah al-Jihad Mesir, Abu Yasir Rifa’I Ahmad Thaha pimpinan al-Jama’ah al-Islamiyyah Mesir, Syaikh Mir Hamzah sekretaris The Jama’at-ul ulema-e Pakistan, Fazlur Rahman pimpinan gerakan jihad Bangladesh, Pimpinan gerakan Islam Kashmir dan juga seorang komandan dari Pakistan.

Dalam keterangan Dr. Muhammad Abbas penulis buku dengan nuansa apologetik La Bal Harbun Ala-Al-Islam (“Bukan, Mereka memerangi Islam) yang diberi pengantar oleh Abubakar Ba’asyir (Amir MM) dan Ismail Yusanto (HT) menuturkan bahwa fatwa ini bermula ketika para pemimpin gerakan di Afghanistan menemui Usamah bin Ladin dan mendiskusikan hal-hal aktual yang sedang mereka hadapi.

Historisitas fatwa ini bertepatan dengan berkumpulnya beberapa pimpinan gerakan Islam, khususnya Jama’ah Al-Jihad Mesir di Afghanistan. Berduyun-duyun juga datang utusan dari Pakistan dan Kashmir untuk bertemu Usamah. Salah seorang pimpinan itu berhasil meyakinkah Usamah bahwa pengertian perang melawan Amerika perlu diperluas, dari sebelumnya hanya merupakan peperangan melawan Amerika perlu diperluas dengan memeranginya di semua tempat. Keyakinan itu semakin meluas, dari sebelumnya hanya merupakan perang melawan Amerika, menjadi pembunuhan kepada setiap orang Amerika yang sudah mencapai usia perang, di mana pun dan kapan pun, begitu pula orang-orang Yahudi. Pembenarannya adalah bahwa Amerika menduduki negeri Haramain, karena itu setiap orang Amerika dianggap sebagai pendukung bagi pendudukan di Jazirah Arab. Dan karena Amerika memerangi umat Islam di setiap tempat dan waktu, serta menumpahkan darah rakyat sipil yang Muslim, maka membunuh orang Amerika dan Yahudi dibenarkan oleh syariat, kapan dan di mana saja.

Fatwa intinya adalah bagi seluruh umat Islam hukumnya fardlu ‘ain untuk memerangi dan membunuh orang-orang Amerika dan sekutu-sekutunya baik sipil maupun militer di mana pun dan kapan pun di samping juga merampas kekayaan mereka di mana pun berada. Fatwa anti Amerika ini didasarkan tiga asumsi/pembenaran:

  1. Amerika dan sekutunya telah lebih dari tujuh tahun menzolimi : memangkas dan merampas negeri-negeri Islam termasuk juga tempat suci umat Islam yaitu Masjid Al-Aqsa dan Mesjid Al-Haram di Mekkah Al-Mukarramah. Amerika juga telah merampok kekayaan-kekayaan dan menebar ketakutan berkepanjangan di seluruh kawasan Jazirah Arab.

  1. Dengan tanpa perasaan bersalah Amerika telah merampas bumi Irak bersama-sama dengan mitranya, Yahudi dan Kristen, lebih dari satu juta rakyat Muslim terbunuh.


  1. Motiv Amerika dalam peperangan ini adalah masalah “agama” dan juga memberikan dukungan penuh kepada Israel .

Penutup

Kemunculan Al-Qaidah sebenarnya tidak bisa dipisahkan begitu saja dari gerakan-gerakan radikalis yang memang sudah ada sebelumnya. Pengalaman bangsa-bangsa terjajah membuat dan mendorong mereka untuk bangkit. Ketika sebuah bangsa terjebak dan tersungkur dalam sebuah arus deras, maka sekecil apa pun meski seutas akar akan dia cari. Akar yang mereka temukan ternyata sebuah akar yang sangat kuat yang bernama akar “agama” yang sangat efektif untuk menjadikannya sebagai “alat” perjuangan dalm mendaratkan ide atau tujuan. Gerakan radikalisme Mesir seperti Al-Ikhwan Al-Muslimun, meski ada sisi moderatnya dan juga sempalan-sempalannya yang ekstrim seperti Jama’ah Al-Jihad, Al-Jama’ah Al-Islamiyyah, Jama’ah Al-Muslimin  adalah sederetan realitas gerakan yang mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam menghantar terbentuknya Al-Qaidah. Semua gerakan itu bila diamati bermuara pada tujuan untuk menyelesaikan permasalahan konflik Arab-Israel yang kemudian dipaksakan dibawa ke arah konflik Islam-Barat. Pemaksaan dan pemerkosaan serta distorsi wilayah suci agama telah terjadi untuk masuk lebih dalam lagi dalam permasalahan “perdata” yaitu kasus sengketa tanah dan perebutan lahan bisnis yang menjajakan minyak sebagai andalannya.

Keberadaan Amerika sebagai negeri arogan dengan mengatasnamakan demokrasi dan ”liberating persecuted communities”  adalah kenyataan yang sulit dibantah. Sebagai sebuah  negara adidaya dengan tanpa adanya rival pesaing yang seimbang, AS sangatlah leluasa dalam mendefinisikan berbagai kebijakan termasuk mengukur “perkawanan” dengan parameter “ada dan tidak adanya teroris” di sebuah negara, termasuk definisi teroris harus menguikuti mazhad Amerika.

Sebenarnya Al-Qaidah, yang tokoh-tokohnya pernah “satu atap” dengan Amerika tersebut adalah mantan teman yang sangat kecewa dan galau atas ketidakjujuran dan ketidaktulusan AS dalam membayar konsensi koalisi/perkawanan setelah runtuhnya rival berat yang bernama Uni Soviet. Di antara sekian banyak rekanan yang kecewa adalah Usamah bin Ladin yang mempunyai latar belakang “penjual jasa” konstruksi infrastruktur yang sudah sangat biasa dengan tender tunggal dalam semua proyek kolusinya dengan Kerajaan Arab Saudi[4]. Gaya seorang pedagang yang masih menempel lekat di kepala Usamah bin Ladin yang dipakai dalam lobi proyek pembangunan “Oil Pipelines”, sebuah jaringan transportasi minyak yang berhulu di laut Kaspia dan hilirnya ada di Amerika, telah membuat Usamah sangat kecewa dan sakit hati ketika sub tender tersebut ternyata tidak melibatkan perusahaan konstruksinya. Amerika telah melupakan nilai-nilai perkawanan yang telah dibangun di Peshawar dan mengangkangi mega proyek tersebut dengan tanpa melibatkan mitra lamanya.

Sakit hati seorang kontraktor inilah merupakan salah satu –namun bukan satu-satunya – kenapa dia sangat memusuhi Amerika sampai klimaknya mengeluarkan fatwa atas nama membela “Kepentingan Tuhan” yang berisi tentang pembinasaan etnis Amerika dan sekutunya dari muka bumi. Dampak luas fatwa yang dikeluarkan oleh Al-Qaidah yang mengatasnamakan “Agama” sebagai legitimatornya untuk proyek “killing Americans anywhere and anytime” telah menyebabkan bangsa-bangsa Muslim di dunia memikul beban badai negatifnya. Pemaksaan oleh Al-Qaidah dalam membawa kasus “Arabist” ke wilayah “Islamist” ini merupakan keteledoran dan aksi gegabah yang berdampak pada ketidak harmonisan antara Barat dan bangsa Muslim. Pada sisi lain, Amerika memang layak untuk membayar mahal dari keteledoran dan kenekatannya dalam memobilisasi Muslim radikal dan militan di sebuah area yang dikenal dengan “Virtual Universities for Future Islamic Radicalism”  di Peshawar untuk mengakhiri riwayat Uni Soviet. Sekarang Amerika telah menuai badai yang merupakan akumulasi dari angin yang telah mereka tabur.

Sudah saatnya dan sudah seharusnya ada garis demarkasi yang membedakan mana Islam dan mana yang Arab karena Islam tidak identik dengan Arab dan sementara keduannya ada dalam komponen incomparrable. Pemaksaan kebijakan-kebijakan yang berwarna “Arab” harus difahami sebagai sebuah kebijakan yang lepas dari warna “Islam”. Hal ini juga berlaku dalam ranah nilai-nilai keagamaan antara yang “murni Islam” dan mana yang “bias Arab” termasuk dalam kultur yang membedakan masing-masing bangsa[5]. Dalam kaitan inilah kita bisa memandang selalu ada pertentangan dan ketegangan antara Islam yang moderat, dalam hal ini yang saya kenal Islam NU dengan Islam gaya FPI dan teman-temannya. Islam moderat selalu mengedepankan nilai-nilai otentik Islam yang seharusnya dapat berkontekstualisasi dengan berbagai macam budaya tanpa harus memaksakan budaya Arab. Namun sebaliknya teman-teman yang berhaluan fundamentalis Arabist akan terus memperjuangkan Islam yang berjubah Arab.

Siapa paling jelek ??!
Ada suatu kisah seorang santri yg menuntut ilmu pada seorang Kyai. Bertahun-tahun telah ia lewati hingga sampai pada suatu ujian terakhir. Ia menghadap Kyai untuk ujian tersebut. "Hai Fulan, kau telah menempuh semua tahapan belajar dan tinggal satu ujian, kalau kamu bisa menjawab berarti kamu lulus ", kata Kyai. "Baik pak Kyai, apa pertanyaannya ?" "Kamu cari orang atau makhluk yang lebih jelek dari kamu, kamu aku beri waktu tiga hari ". Akhirnya santri tersebut meninggalkan pondok untuk melaksanakan tugas dan mencari jawaban atas pertanyaan Kyai-nya.
Hari pertama, sang santri bertemu dengan si Polan pemabuk berat yg dapat di katakan hampir tiap hari mabuk-mabukan. Santri berkata dalam hati, " Inilah orang yang lebih jelek dari saya. Aku telah beribadah puluhan tahun sedang dia mabuk-mabukan terus ". Tetapi sesampai ia di rumah, timbul pikirannya. "Belum tentu, sekarang Polan mabuk-mabukan siapa tahu pada akhir hayatnya Alloh memberi Hidayah (petunjuk) dan dia Khusnul Khotimah dan aku sekarang baik banyak ibadah tetapi pada akhir hayat di kehendaki Suul Khotimah,bagaimana ? Dia belum tentu lebih jelek dari saya.
Hari kedua, santri jalan keluar rumah dan ketemu dengan seekor anjing yg menjijikan rupanya, sudah bulunya kusut, kudisan dsb. Santri bergumam, " Ketemu sekarang yg lebih jelek dari aku. Anjing ini sudah haram dimakan, kudisan, jelek lagi " . Santri gembira karena telah dapat jawaban atas pertanyaan   gurunya. Waktu akan tidur sehabis 'Isya, dia merenung, "Anjing itu kalau mati, habis perkara dia. Dia tidak dimintai tanggung jawab atas perbuatannya oleh Alloh, sedangkan aku akan dimintai pertanggung jawaban yg sangat berat yg kalau aku berbuat banyak dosa akan masuk neraka aku. "Aku tidak lebih baik dari anjing itu.
Hari ketiga akhirnya santri menghadap Kyai. Kyai bertanya, "Sudah dapat jawabannya muridku?" "Sudah guru", santri menjawab. " Ternyata orang yang paling jelek adalah saya guru". Sang Kyai tersenyum, "Kamu aku nyatakan lulus".


[1] Bagian ini disarikan dari buku, “Negara Tuhan, The Thematic Encyclopaedia”,A.Maftuh Abegebriel.2004.
[2] Islam secara kaffah adalah Islam yang diterapkan menyeluruh baik sebagai agama maupun sistem pemerintahan dan undang-undang dasarnya. Doktrin sentral Islam fundamentalisme adalah Islam kaffah dalam doktrin ini Islam diajarkan tidak saja sebagai sistem agama, tapi sebagai sistem yang secara total mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik pribadi maupun sosial. Karena itu dalam konteks dunia modern sangat ditekankan bahwa agama tidak dapat dipisahkan dari negara. Hasan Al-Bana mendefinisikan Islam sebagai agama dan negara (ad-din wa ad-daulah). Dalam hubungannya dengan doktrin ini, Islam dikembangkan sebagai ideologi negara yang dirumuskan antara lain oleh Dr. Mukhotim El Moekry sebagai berikut: Islam sebagai ideologi memiliki makna bahwa Islam adalah satu-satunya jalan hidup (tata aturan kehidupan) bagi manusia dalam rangka mengharapkan kesejahteraan dunia dan bahagia di akherat. Doktrin Islam seperti ini didasarkan pada S. Al-Baqarah, 2:208, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam seluruhnya dan janganlah mengikuti langkah-langkah syetan. Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu.” Sayyid Quthb menjadikan kata kaffah (keseluruhan) dalam ayat ini. Karena itu setiap Muslim wajib dalam kehidupan pribadinya harus menganut sistem kepercayaan dan peribadatan Islam. Begitu pula dalam kehidupan sosial, mereka harus mengikuti sistem-sistem Islam pergaulan, ekonomi, politik dan lain-lain.(Sayyid Quthb, FiDhilal al_Qur’an. Beirut: Dar al-Arabiyah)

[3] Abdullah Azzam merupakan tokoh yang sangat dihormati oleh Usamah bin Laden, berlatarbelakang wahabisme, fundamentalis fanatik. Kemungkinan besar fundamentalis Usamah sangat dipengaruhi Azzam ketika mereka berjumpa Universitas King Abdul Aziz di Jeddah. Usamah sendiri sebenarnya tidak belajar teologi. Ia menyelesaikan studi master di universitas tersebut dalam bidang Bussiness Administration.
[4] Ayah Usamah bin Ladin adalah Muhammad bin Ladin seorang pengusaha kontraktor yang sangat dekat dengan penguasa Arab. Ketika perekonomian Arab mengalami krisis, Muhammad bin Ladin meminjamkan uang untuk membayar semua pegawai pemerintahan. Hubungan karib antar ayah dengan penguasa ini diteruskan oleh Usamah dengan pangeran Arab.
[5] Pada bagian ini A. Maftuh Abegeriel mengatakan: “Saya yakin bahwa Tuhan saya sangat mempunyai kemampuan untuk memaksa hambaNya, namun jika kemudian ada pemaksaan nilai-nilai kultur suatu bangsa misalnya mengharuskan suatu bangsa memakai pakaian khas Arab yang bernama “jubah dan sorban” untuk menggantikan ‘Sorjan dan Blankon’ Jogja atas nama ‘Tuhan’, maka saya akan mengadakan ‘kudeta teologis’ dan menggantinya dengan Tuhan yang baru. Saya sangat yakin bahwa Tuhan yang saya kenal dengan sebutan ‘Allah’ lewat kitab ‘Aqidatul  Awam’ sampai dengan ‘Al-Ibanah ‘An Usul Al-Diyanah’ dan juga ‘Al-Usul Al-Khamsah’, tidak mengharuskan menghapus sebuah kultur kreatifitas hambaNya atas nama ‘hegemoni Tuhan’.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar