Pecah kongsi antara perkataan/pernyataan dan kenyataan/tindakan seolah tak ada hentinya di republik ini. Setelah isu kerukunan umat beragama terkoyak, presiden, saat menghadiri Hari Pers Nasional di Kupang, NTT menyatakan: "Kepada kelompok-kelompok yang terbukti melanggar hukum, melakukan kekerasan, dan meresahkan masyarakat, kepada para penegak hukum agar dicarikan jalan yang sah dan legal, untuk jika perlu melakukan pembubaran,". Bagaimana tindakan setelah pernyataan orang nomor satu di negeri ini? Para pejabat disibukan menafsirkan perintah presiden itu. Menko Polhukam menegaskan bahwa pembekuan dan pembubaran ormas itu harus sesuai dengan UU, persisnya UU. No.8 tahun 1985, tidak mudah dan melalui proses panjang. Hal senada diungkapkan oleh kementrian dalam negeri dan kepolisian.
Di pihak lain, kelompok-kelompok massa yang merasa dituding melakukan tindakan anarki ini tidak tinggal diam. Mereka menyerukan untuk me- Mesir- kan pemerintahaan SBY (baca: tulisan Muladi di Kompas, Standar Pembubaran Ormas Anarkis, 17 Februari 2011). Artinya mereka menyerukan perlawanan bahkan jika perlu revolusi. Entah karena begitu banyak ancaman, tekanan atau karena para pembantu presiden tidak cakap melakukan tugasnya sehingga yang terjadi adalah pernyataan retoris ini tidak sejalan dengan kenyataan. Sikap dan tindakan jauh panggang dari api. Hal yang sama terjadi ketika pemerintah mencanangkan perang terhadap korupsi. Ruang public sudah bosan dengan jargon ini, toh kenyataannya kasus Century berputar di situ-situ juga. Kita mudah menunjuk pemerintah atau orang lain tidak konsisten namun pernahkah kita bertanya pada diri sendiri? Apakah kita selalu konsisten? Atau sama seperti pejabat yang sibuk mencari pembenaran manakala tutur tak sejalan dengan perbuatan?
Dalam diri manusia, ada yang disebut “sikap” dan “tindakan”. Sikap adalah pendirian, keadaan bathin di dalam diri seseorang, yang memengaruhi, mengawali, memotivasi tindakan seseorang. Sedangkan tindakan adalah buah, atau perbuatan seseorang yang menjadi sikapnya. Sikap sedemikian rupa memengaruhi seseorang, sehingga kalau seseorang, Anda misalnya membenci si “A” (Anda mengambil sikap benci), maka kecenderungannya tindakan Anda itu adalah menghindar maka ada istilah “membuang muka”. Anda akan mengatakan apa yang dilakukan si “A” itu tidak ada yang baik, semuanya jelek, menyakiti, bahkan bisa sampai membunuh. Sebaliknya ketika Anda mengasih si “B” (Anda mengambil sikap kasih), maka Anda cenderung akan menyukai, menolong, menilai semua yang dilakukan “B” adalah baik, bahkan Anda bisa bertindak ekstrim, yaitu memberikan segala yang Anda punya demi menyenangkan si “B”.
Namun, ada juga sikap dan tindakan yang tidak saling mendukung, tidak sinkron seperti pernyataan pemerintah di atas. Ada orang yang membenci sesamanya, tetapi agar dirinya tidak kelihatan membenci sesamanya itu, mungkin agar tidak dipandang sebagai orang jahat, ia bisa memanifulasi dirinya dengan berlagak manis budi di depan sesamanya, tetapi di belakang ada segudang amunisi kebusukan, maka ada ungkapan “menikam dari belakang”. Sebaliknya, ada orang yang bersikap mengasihi sesamanya namun dalam kenyataannya, tindakannya itu selalu disalahmengerti dan terkesan menyakiti. Bagaimana seharusnya terjadi? Yang ideal adalah sikap dan tindakan itu sejalan. Kata dan perbuatan itu menyatu! Bagaimana caranya? Belajarlah pada Kristus. Ketika Kristus mengajarkan atau menyatakan “kasih” maka seluruh hidup dan tindakan-Nya itu adalah perwujudan kasih itu! Cerita Injil banyak mengisahkan ini, Ia begitu peduli dan mengasihi orang berdosa, sekalipuntindakannya itu tidak popular di kalangan pemuka agama. Ketika Kristus mengajarkan “pengampunan” hidup-Nya memperagakan pengampunan. Di kayu salib Dia tidak meminta Bapa-Nya membalaskan kebencian orang yang menyakiti dan menyalibkan-Nya. Malahan Ia berkata, “Ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” Sama sekali tidak ada kebencian! Sikap dan tindakan Yesus sama sekali tidak tergantung pada keadaan atau kondisi orang lain.
Yesus mengajak kita untuk mengikuti jejak-Nya, siapa yang mau dialah yang layak disebut Kristen! Bacaan Injil Minggu ini (Matius 5:38-48) mengajarkan agar apa yang menjadi sikap kita itu juga yang dilakukan. Yesus mengajarkan:
1. Kalau ada orang yang senang kepadamu, lalu kamu juga senang kepada mereka, itu adalah hal yang lumrah. Orang yang jahat dan/atau arang yang tidak mengenal Allah pun seperti itu.
2. Kalau ada orang yang membenci kamu, lalu kamu juga balas membencinya, ini juga biasa. Orang jahat dan/atau orang yang tidak beragama pun melakukan tindakan seperti ini.
3. Kalau ada orang yang menolong kamu, lalu kamu berpikir: esok-lusa aku pun akan membalas kebaikannya, hal ini pun sangat manusiawi, semua orang pun melakukan ini!
Lalu apa yang Yesus inginkan? Yesus menginginkan sikap dan tindakan kita tidak tergantung oleh sikap orang lain kepada kita. Sebab jika tidak demikian hakikatnya kita tidak merdeka. Kita depend terhadap orang lain. Kita tidak independent, padahal Kristus telah membebaskan kita! Jadi harusnya bagaimana? Inilah kuncinya Matius 5:44-45,”Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikian kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di Sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” Artinya, bersikaplah lebih dahulu pada diri sendiri bahwa saya adalah anak Bapa di Sorga dan Bapa itu berlaku baik pada semua orang tanpa kecuali. Jika Bapa yang aku kenal seperti itu adanya, maka akupun harus seperti itu!
Jika kita mempunyai sikap seperti itu, maka yakinlah semua tindakan kita juga akan benar, sebaliknya jika keyakinan atau sikap kita hanya sebatas konsumsi kognitif, untuk perbendaharaan pengetahuan maka kita akan menyandang sebutan munafik! Pecah kongsi antara sikap dan perbuatan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar