Belakangan ini kita sebagai bangsa dikejutkan oleh serentetan kekerasan bernuansa agama, baik internal agama (kekerasan dalam satu agama), contohnya kekerasan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) maupun antar umat beragama, misalnya kekerasan di Temanggung dan berbagai peristiwa penutupan gereja oleh ormas tertetu. Masing-masing punya alasan sendiri mengapa mereka melakukan tindakan kekerasan, sebagian besar mengatakan untuk menegakkan ajaran agamanya dengan murni. Mereka melakukan itu demi ketaatan terhadap apa yang diyakininya sebagai kebenaran sehingga mereka terpanggil memurnikan mereka yang tidak seajaran dengan jalan apa pun termasuk kekerasan. Nah, bagaimana dengan yang teraniaya? Mereka pun rela mengalami berbagai bentuk penganiayaan dengan alasan yang sama, yakni ketaatan kepada yang dipercayainya. Mengapa sama-sama taat namun yang terjadi adalah pertikaian dan kekerasan? Inilah yang kita namakan beda persepsi, berbeda pandangan tentang kebenaran.
Beda persepsi atau pandangan terjadi juga dalam perjumpaan Yesus dengan ahli Taurat tentang ajaran dalam Kitab Suci. Bagi kebanyakan ahli Taurat yang berpegang pada hukum agama, yang disebut kebenaran adalah ketaatan harafiah terhadap kitab suci. orang dianggap berdosa apabila tidak dapat memenuhi tuntutan Taurat secara harafiah. Misalnya orang dicap berdosa apabila membunuh dalam arti menghilangkan nyawa seseorang (Matius 5:21), tetapi bagi Yesus, marah terhadap seseorang sudah merupakan sebuah perbuatan dosa (ayat 22). Mengapa? Amarah sering kali dipicu oleh kebencian dan dendam yang menyala-nyala terhadap orang lain. Di dalam kebencian yang telah mencapai puncaknya, pikiran dan hati seseorang penuh dengan segala prasangka buruk, termasuk menginginkan malapetaka bahkan kematian. Bukankah, begitu banyak contoh: Pengrusakan rumah ibadah, penganiayan JAI dan banyak lagi yang lain, mulanya karena amarah yang tak terkontrol? Contoh yang lain: berzinah adalah dosa (lihat ayat 27), tapi bagi Yesus, jika hati dan pikiran manusia sudah dikuasai nafsu untuk berfantasi atau memperkosa, maka meskipun belum terwujud dalam tindakan nyata, hal itu sudah merupakan dosa!
Lalu, kalau begitu, apa artinya ketaatan dalam menjalankan hukum agama? Yesus menyampaikan standar baru berkaitan dengan hukum-hukum agama yang berlaku saat itu. Bagi Yesus, yang dapat menilai dan menghakimi seseorang dengan sebenar-benarnya hanyalah Tuhan sendiri dan yang dapat mengetahui motivasi seseorang dalam melakukan suatu tindakan adalah Tuhan dan manusia yang bersangkutan itu. Standar baru Yesus ini menegaskan bahwa ketaatan bukan hanya diukur dari kepatuhan terhadap hukum yang berlaku secara harafiah, tetapi diukur juga dari intensi atau apa yang ada dalam hati atau niat seseorang. Benar atau tidaknya kita, baik atau buruknya kita, taat atau tidaknya kita di hadapan Tuhan, ditentukan bukan hanya dari apa yang telah kita katakan maupun lakukan, tetapi juga (bahkan yang terutama) dari niat hati di belakang setiap perkataan dan perbuatan kita.
Orang yang dikatakan taat sejati adalah orang yang dalam kondisi apa pun juga akan menaati hukum atau peraturan yang berlaku bahkan sekalipun dengan sikap taatnya itu akan merugikan dirinya. Orang yang taat adalah orang yang mengerjakan segala sesuatu bukan karena sekedar kewajiban, karena ada peraturan, atau karena ada yang mengawasinya. Para pengguna jalan, misalnya, menaati rambu-rambu lalu-lintas, menggunakan seat belt atau memakai helm kalau ada polisi yang mengawasi (apakah kita juga seperti ini?). Para murid di kelas akan tertib dan duduk manis manakala guru yang mereka segani ada di dalam kelas, ketika sang guru keluar maka segeralah kegaduhan kembali merebak. Seorang karyawan akan bekerja dengan sungguh-sungguh ketika diawasi oleh bossnya, namun ketika boss ke luar kota maka kembalilah bersantai ber-BBM, chatting, atau ngegames. Jelas perilaku yang seperti ini tidak tepat dinamakan ketaatan. Ketaatan yang sejati adalah ada atau tidaknya orang yang kita segani maka kita akan melakukan pekerjaan dengan baik. Mengapa ada orang yang mau taat dan ada yang tidak? Persoalannya adalah penghayatan akan tugas panggilan itu di dalam hati.
Tuhan mau Anda dan saya taat kepada-Nya dengan kesadaran penuh dan dengan kesungguhan hati. Bukan ketaatan yang semu. Pemazmur seringkali mengungkapkan mengapa ia mengajak umat untuk taat dan setia kepada Tuhan? Karena di sanalah sumber kebahagiaan sejati! Kitab Ulangan 30:15-20 yang hari ini kita baca mengingatkan juga bahwa kalau kita taat maka berkat Tuhan akan mengalir dan sebaliknya jika tidak maka kutuk telah tersedia. Bagaimana dengan Anda? Mau kutuk atau berkat? Kalau mau berkat ya tidak ada jalan lain kecuali taat dan setia dengan sepenuh hati!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar