Konteks Pluralitas
Di dunia ini tidak hanya ada satu agama/iman. Kemajemukan merupakan realita. Tidak satupun di antara kita yang dapat menolaknya. Bagaimana dengan konteks Indonesia? Memang benar, tidak dapat disangkali dari permulaan sejarah Indonesia, mulai abad ke-4 didominasi Agama Hindu yang ditandai oleh kerajaan-kerajaan besar, seperti Majapahit. Belakangan berurutan datanglah Agama Buddha, yang ditandai dengan kebesaran Kerajaan Sriwijaya. Agama Islam yang merupakan komunitas Muslim terbesar di dunia ada di Indonesia, serta Khatolik dan Kristen yang mendominasi bagian Timur dan Barat Indonesia. Pluralitas ini masih harus ditambah dengan penganut kepercayaan yang jenisnya bisa jadi lebih besar dari jumlah denominasi gereja-gereja yang ada di Indonesia.
Banyak orang sering semberono menilai dengan negatif agama-agama/kepercayaan lain yang mereka sendiri tidak hayati. Hal paling minimal sebenarnya yang diperlukan untuk memahami keyakinan agama lain adalah dengan membaca/mempelajari kitab sucinya. Jujur harus kita katakan banyak penilaian kita lakukan yang sebenarnya kita sendiri tidak mempunyai dasar yang cukup, yaitu membaca kita sucinya.
Mengapa seringkali kita bersikap seperti itu? Ini sebenarnya sebuah konsekwensi dari pembelajaran Kekristenan memandang agama atau kepercayaan orang lain. Dulu orang-orang Kristen mempelajari agama lain: misalnya Islam (Islamologi) dari kacamata kepercayaan Kristiani. Output pembelajaran itu tidak bisa tidak, agama lain selalu salah, tidak ada yang benar. Demikian juga agama-agama lain menilai atau mempelajari agama Kristen. Kita harus menyadari sebenarnya output itu adalah sebuah distorsi penghakiman. Mana ada agama lain bisa benar dalam ukuran agama Kristen, dan juga sebaliknya. Ini sama halnya seperti laki-laki menyesalkan dan menyalahkan mengapa perempuan tidak seperti laki-laki?
Dalam kacamata penilaian seperti itu, apa pun yang dikerjakan selalu dinilai negatif. Pada kenyataanya begitu banyak orang Hindu, Buddha, Muslim dan yang lain yang baik, tulus dan taat dalam kepercayaan mereka. Tak kalah banyaknya di antara mereka yang menerapkan keadilan, kebajikan, ketulusan dan kesetaraan dalam interaksi dengan sesamanya. Tanpa banyak kita sadari, maka kita hanya mau melihat faktor-faktor kekurangan mereka, yang dapat membenarkan kurangnya minat kita akan penghayatan pluralitas religius.
Kini teologi religionum mempelajari agama-agama lain sesuai dengan apa yang dipercaya oleh masing-masing penganut agama itu (methode elentik). Outpun pembelajaran ini ialah agama-agama lain dipahami menurut kepercayaan mereka dan output ini bersifat proporsional penilaian objektif. Banyak pakar Islamologi Kristen juga diundang untuk mengajar di UIN-UIN dan sebaliknya perguruan tinggi teologi banyak yang mengundang pakar-pakar Islam untuk mengajar dan berbicara tentang pokok-pokok pikiran Islam.
Nampaknya selain mesti mencelekkan mata terhadap kenyataan pluralitas religius, kita juga mesti mencelikkan mata terhadap berita utuh dari Alkitab sendiri. Mungkin selama ini tanpa sadar kita juga memilih mana berita yang mau kita baca dan mana yang kita mau dengar dari Alkitab.
Mazmur 8 : Kisah Penciptaan
Matius 5:45: keadilan Tuhan untuk semua manusia.
Markus 16:15, Roma 8:20-21: Allah menghendaki bukan hanya manusia yang terpelihara dan terselamatkan, melainkan seluruh mahluk ciptaan terpelihara dan terselmatkan.
Kisah Rasul 10 :34-35: Allah tidak membedakan orang.
Matius 7 : 12 berbicara tentang golden rule
Sikap Yang Perlu Dikembangkan
Alm.Pdt.Em.Eka Darmaputera pernah menuliskan, bahwa yang paling utama dalam kehidupan beragama termasuk Kristen adalah komitmen para penganutnya. Komitmen yang sangat pribadi dan sangat total. Sesuatu yang sangat pribadi tak mungkin diadu untuk dicari mana yang benar dan mana yang salah. Mengapa saya mencintai isteri saya? Tentu saja ada alasan-alasan yang dapat dijelaskan secara rasional. Namun pada akhirnya, alasan yang paling dalam akan lebih menyangkut “rasa” ketimbang “rasio”. Dan ini tidak dapat kita nilai benar atau salahnya.
Bila saya mengatakan, bahwa saya mencintai isteri saya oleh karena ia adalah orang baik, murah senyum, enak diajak diskusi dan sebagainya, alasan itu benar belaka. Namun akhirnya toh bukan itu yang melahirkan komitmen untuk saya mencintai isteri saya. Mengapa? Karena kalau itu saja sebabnya, secara obyektif dan rasional, ada wanita lain yang lebih baik, yang lebih murah senyum, yang lebih enak untuk diajak berdiskusi, dan sebagainya. Tapi mengapa saya memilih dia dan bukan yang lain? Jawabannya, adalah karena bukan itu alasan utamannya. Ada alasan yang sangat pribadi dan sangat subyektif. Yang berada di luar kategori benar atau salah.
Mengapa saya memilih agama Kristen. Secara doktrinal, kita akan katakan Tuhan yang memanggil dan memilih saya. Tetapi apakah betul tidak ada unsur manusiawi dari diri kita untuk menentukan pilihan? Banyak alasan yang dapat dijelaskan secara rasional mengapa saya Kristen. Oleh karena ajaran-ajarannya dapat saya terima. Oleh karena ritual-ritualnya sederhana, tidak terlalu merepotkan, oleh karena syarat-syaratnya tidak terlampau berat, dan seterusnya. Benar! Tetapi juga tidak benar! Sebab bila itu alasannya, banyak agama lain yang ajarannya lebih menarik dan masuk akal, yang ritual-ritualnya lebih sederhana, dan sebagainya. Sebgian terbesar orang memilih agama Kristen tanpa terlebih dahulu membuat perbandingan untuk mencari mana yang paling unggul. Tetapi seperti seseorang mencari isteri atau suami. Pokoknya ketemu, cocok, ya sudah. Kalau Anda menunggu sampai menemukan calon isteri/suami yang paling unggul, kemungkinan besar Anda tidak akan dapat menemukannya.
Ada orang yang memilih agama lain, justeru karena ritualnya yang lebih rumit karena syarat-syaratnya yang lebih sulit. Lebih puas, kata mereka. Salahkah mereka? Tidak, bukan? Tidak salah oleh karena yang kita bicarakan ini bukanlah soal benar atau salah.
Dapatkah diperdebatkan atau dipertandingkan mana yang lebih benar atau yang lebih unggul antara orang yang lebih menyukai warna biru dan orang lain yang lebih menyukai warna merah, atau orang yang lebih menyukai masakan Minang dan orang yang lebih hobi menikmati masakan Sunda? Dapatkah Anda mengatakan mana yang lebih benar di antara mereka? Tentu mungkin kita akan berkata perkara agama bukan hanya perkara selera! Ya, benar. Tetapi mempertentangkan keyakinan lalu menganggap diri paling benar, itu juga bukan sikap yang arif dalam beragama.
Bagaimana menjelaskan ini secara ilmiah. Mungkin kita bisa meminjam analisis Linguistik untuk menolong. Untuk menemukan makna yang tepat dari sebuah pernyataan, kita harus melakukan analisis linguistik. Maksudnya, kita harus menentukan termasuk jenis apa pernyataan tersebut.
Sebab pernyataan itu ada dua jenis. Yang pertama adalah pernyataan yang menyangkut kebenaran. Misalnya, “Matahari terbit dari sebelah Timur” atau 2 + 2 = 4 atau “Pak Nanang bertambah gemuk”. Pernyataan ini dapat kita usut kebenaran maupun kesalahannya. Kita dapat mengatakan, bahwa karena “2 + 2 = 4” adalah benar, maka “2 + 2 = 6” adalah salah.
Bandingkan dengan pernyataa-pernyataan ini, “Hari ini aku sangat bersukacita” atau “Hitam itu cantik” atau “Gudeg itu enak”. Kalimat-kalimat ini juga pernyataan, artinya dapat kita tangkap maknanya. Tapi jelas bukan pernyataan yang dapat kita teliti atau buktikan kebenarannya. Bagaimana meneliti pernyataan “Hari ini aku sangat bersukacita” Untuk apa memperdebatkan “hitam itu cantik” atau “sawo matang yang manis”? Bila orang Yogya mengatakan “Gudeg itu enak”, ini tak usah kita pertentangkan dengan orang Minang yang mengatakan “rendang jauh lebih enak”.
Yang ingin saya katakan adalah, bahwa kebenaran agama itu termasuk kategori pernyataan yang untuk dipercayai atau untuk tidak dipercayai. Bukan termasuk kategori pernyataan yang dapat dan harus terlebih dahulu diverivikasikan kebenarannya. Bahwa “Yesus mati disalib di Golgota”, ini dapat Anda teliti kebenaran faktual dan historisnya. Namun pernyataan “Kematian Yesus di atas kayu salib di Golgota itu membawa keampunan dosa dan keselamatan”, bagaimana membuktikan kebenaran atau kesalahannya? (Sesuatu yang metahistoris) Anda hanya bisa percaya atau tidak percaya.
Mungkin ada yang mengatakan, “Pernyataan itu benar, oleh karena Alkitab mengatakan begitu”. Tentu saja saya sangat menghargai pendapat itu. Tetapi pernyataan itu ‘kan hanya ada artinya bagi orang-orang yang mempercayai kesaksian Alkitab. Bagi orang-orang yang kitab sucinya adalah Vedha, apa pun yang dikatakan oleh Alkitab, tentu tidak terlalu mempunyai arti. Sama seperti bagi orang-orang Kristen apa pun juga yang dikatakan di dalam Vedha juga tidak mempunyai makna dan pengaruh apa-apa.
Kristianitas adalah agama naratif, berakar pada sejarah mengenai Allah Pencipta yang aktif bekerja di dalam sejarah manusia. Alkitab menceritakan Allah yang mencipta, menjadikan manusia menurut gambarNya, mencari manusia ketika mereka jatuh di dalam dosa dan memberontak terhadapNya, meluaskan anugerahNya dengan memilih Abraham dan keturunannya menjadi berkat bagi bangsa-bangsa, menjadikan orang-orang tertindas menjadi umatNya, menetapkan imam-imam dan mengutus nabi-nabi, mencintai manusia begitu rupa sehingga Allah mengirim AnakNya yang Tunggal untuk menjadi Juruselamat dunia ini.(Yoh.4:42)
Narasi historis Allah yang bekerja ini tidak pernah usang. Ia menyentuh hati dan menegaskan tentang Kerajaan Allah yang datang ke dalam kehidupan manusia. Cerita Allah yang bekerja dalam sejarah memampukan orang percaya melihat pekerjaan Allah dan RohNya di luar batas-batas komunitasnya sendiri dan luar bata-batas zamannya sendiri. Kita jarang mau mendengar sungguh-sungguh bahwa Tuhan bekerja di Iran (Ez.1:1) atas raja Koresh, yang mendeklarasikan pulangnya Israel dari pembuangan; dan atas raja Arthasasta yang memodali rekonstruksi bait Allah dan Yerusalem (Neh.2) Atas Nebukadnesar dan Babilonia untuk membuang Israel (I Taw.6:15).
Penyempitan-penyempitan teologi yang berlangsung tanpa disadari selama berabad-abad telah menjebak kita ke dalam pemikiran yang agaknya makin egosentris mengenai Kristianitas. Beberapa topik telah menjadi pegangan begitu kuat dalam diri orang Kristen, bahwa Allah hanyalah Allah milik orang Kristen, bukan Allah penganut agama lain. Bukankah Allah adalah Allah yang Esa (Ulangan 6 :4), bukankah Allah adalah Allah bangsa-bangsa ( Rm.3:29). Lalu juga keyakinan bahwa Kristus adalah Juruselamat orang Kristen, bukan lagi Juruselamat dunia ini, kepercayaan bahwa kebenaran hanya ada pada agama Kristen, sehingga non Kristen tidak boleh memiliki kebenaran Allah, begitu pula dengan keselamatan. Atas semua penyempitan yang tidak kita sadari, kita mesti memperluas lagi wawasan teologi kita, tanpa kehilangan perspektif kepercayaan esensial kita. Misalnya mengenai perdebatan tentang keselamatan, Sidang Raya DGD (WCC) Februari 2006 di Porto Alegre Brazilia, membahas dan menerima Dokumen Studi Konferensi Misi seDunia yang intinya berbunyi:
“Kami tidak dapat menunjukkan jalan keselamatan lain kecuali Yesus Kristus; pada saat yang sama kami tidak dapat mendirikan batas bagi kuasa penyelamatan Allah.”
Membangun Sinergi
Sinergi akan terjadi manakala semua anggota GKI menyelenggarakan hidup dengan menjalankan paggilan kenabiannya di tengah-tengah kegiatan, pekerjaan, karir, profesi sehari-hari.
Sinergi akan terjadi manakala dalam konteks kepelbagaian masyarakat di mana kita hidup, bergiat, bekerja, berkarir dan berprofesi, kita menghayati dan mengakui perbedaan dalam kesetaraan. Yakni tidak mengisolasi, mensterilkan, menstigmatisasi dan mendominasi, sekaligus tidak terisolasi, tidak tersterilisasi, tidak terstigmatisasi dan tidak mendominasi. Pendekatan multikultural mendorong kesetaraan, saling menghargai perbedaan dan kepelbagaian.
Sinergi akan terjadi manakala dalam konteks pluralitas religius kita mengasihi Allah dan sesama dalam semangat persaudaraan untuk menciptakan perdamaian, keadilan dan keutuhan ciptaan. Pluralitas religius tidak bermaksud menisbikan kepercayaan kita atau siapapun, melainkan mengembangkan sikap bahwa semua manusia sebagai ciptaan Allah adalah terhormat dan bermartabat; bahwa damai sejahtera di bumi adalah kehendak Allah bagi semua manusia yang diperkenanNya.
Kepustakaan:
Penuntun vo.2.No.6, Januari-Maret 1996
Pandangan Umum BPMSW untuk PMSW ke 64, 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar