Rabu, 23 Februari 2011

BOLEH KUATIR TAPI TETAP PERCAYA


Nasruddin mempunyai dua orang isteri. Pada suatu hari, mereka menemuinya pada saat yang bersamaan. Isteri tuanya bertanya kepada Nasruddin, “Siapakah yang lebih engkau cintai, aku atau dia?”
Nasruddin bingung, setelah berdiam sejenak dia menjawab, “Kalian berdua tidak ada bedanya, kalian sama-sama cantik dan membanggakan. Aku mencintai kalian berdua tanpa membeda-bedakannya.” Kedua isterinya tidak puas mendengar jawaban Nasruddin. Si isteri muda tak sabar bertanya kepada Nasruddin,” Andaikan kami berdua berperahu di tengah danau, tiba-tiba perahunya tenggelam, siapakah di antara kami yang lebih dahulu kau tolong?”
Tampaknya Nasruddin kena batunya, ia benar-benar terpojok oleh pertanyaan itu. Dia tidak tahu harus menjawab bagaimana. Tetapi kemudian ia menoleh kepada isteri tuanya dan berkata, “Aku kira kamu bisa berenang sedikit. Bukankah begitu, Sayangku?”
Kebingungan Nasruddin saya kira menjadi kebingungan banyak orang dalam menentukan sikap terhadap dua pilihan yang sedang disukai. Manusia setiap saat dihadapkan dengan banyak pilihan. Ada pilihan-pilihan yang ringan namun ada juga yang serius dan menentukan hidup matinya seseorang. Memilih siapa yang diandalkan dalam hidup tentu bukanlah tebak-tebakan atau asal-asalan seperti memilih masak apa hari ini.. Ini serius, menuntut ketegasan! Yesus menuntut ketegasan dalam bersikap, “Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” Yesus menuntut pendengarnya menentukan sikap kepada siapa mereka mengabdi. Allah atau Mamon.  Mamon adalah kata bahasa Ibrani yang berarti harta milik bendawi. Pada mulanya kata itu tidak mengandung konotasi jelek. Mammon adalah kekayaan yang oleh pemiliknya diserahkan atau dipercayakan kepada pihak lain supaya tetap aman. Tetapi dalam perjalanannya arti Mamon mengalami perubahan, bukan lagi sebagai sesuatu yang dipercayakan, melainkan menjadi sesuatu yang dipercayai, diyakini menjadi sandaran hidup manusia. Padahal peranan yang seperti ini hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri.
Banyak orang seperti Nasruddin: “mencintai istri muda tapi masih membutuhkan isteri tua”. Maunya dikatakan orang yang menyembah, mempercayai dan mengandalkan Tuhan namun kenyataanya harta benda lebih diandalakan sebagai jaminan hidupnya. contohnya banyak: mulai dari mengurus ijin usaha bahkan sampai ijin gereja, dari mengurus tilang sampai ujian sekolah anak, dan sebagainya, kita merasa lebih “PD” jika ada banyak uang. Tentu Yesus tidak anti dengan harta benda atau kekayaan. Harta benda pada dirinya adalah netral. Akan tetapi seseorang tidak dapat menjadi murid Yesus pada saat yang sama diperbudak oleh kekayaan. Oleh karena itu jangan letakkan harta kekayaan dalam kedudukan yang setara bahkan saat-saat tertentu melebihi Allah. Ketika Allah yang menjadi andalan utama manusia maka seharusnya manusia dapat mengatasi kekuatirannya. Namun sebaliknya ketika uang dan kekayaan yang lain menjadi andalan hidup manusia, di situlah sebenarnya kekuatiran itu dimulai. Bukankah kekuatiran di dalam hidup ini sangat terkait dengan siapa yang menjadi “tuan” dalam hidup manusia: siapa/apa yang mem-backing-nya.
Apakah betul manusia sama sekali tidak boleh kuatir? Bukankah Tuhan sendiri yang menciptakan manusia dengan berbagai perasaan termasuk “kuatir” itu? Kalau begitu sepertinya tidak adil. Kata “kuatir” yang dipakai dalam Matius 6:25,31,34  adalah merimnan yang artinya “sangat kuatir”, be pre-occupied, be absorbed, over-anxious: ‘kuatir yang berlebih-lebihan’. Contoh kecil dari konteks kata ini: seseoran punya makanan lalu masih bertanya,”Apa yang akan aku makan besok?” dari sudut pandang Allah cara kuatir seperti ini adalah lebay. Mungkin kita akan tertawa dengan contoh kecil ini, namun bukankah dalam banyak hal kita juga sering seperti itu. Ada banyak berkat yang Tuhan sudah berikan dalam hidup kita: masih bisa makan, masih bisa kerja, masih bisa berpikir, masih banyak teman, masih banyak pakaian, dll. namun doa-doa kita selalu minta dan minta lagi berkat. Dalam sikap kritis sebenarnya kita dapat bertanya, “benarkah Tuhan yang saya andalkan?” atau berkat-berkat itu, yang biasanya diartikan kemakmuran, kekayaan, kesuksesan dan lainnya yang membuat diri menjadi tenang?.
Sebenarnya menurut Yesus sangat sederhana sekali manusia dapat mengatasi kekuatirannya, yakni dengan menentukan siapa yang menjadi ‘tuan’ di dalam hidupnya. Ketika manusia menjadikan Tuhan sebagai andalan hidupnya, mestinya ia akan mempunyai keyakinan bahwa setiap mahluk citaan-Nya (contoh yang dipakai Yesus: burung dan bunga bakung) terpelihara dengan baik demikian pula dengan dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar