Tatto merupakan bagian dari budaya manusia primitif. Seperti kelompok masyarakat Amunet di Mesir maupun suku-suku kuno seperti Maya, Inca, Ainu, Polynesians Maori, Artec, dll. Pada kisaran tahun 4000-2000 SM, tato merupakan bagian dari ritual yang memiliki nilai dan fungsionalitas yang cukup tinggi, dan juga digunakan sebagai lambang tingkatan religiositas seseorang. Bangsa Maori di kepulauan Selandia Baru ternyata memiliki sejarah tatto atau rajah yang unik. Tatto Maori biasanya dimulai ketika seorang anak memasuki usia akil baliq. Tatto pertama inilah merupakan inisiasi seorang anak diakui sebagai orang dewasa. Wajah merupakan bagian utama dari tubuh yang ditatt.
Tidak seperti di dunia modern, tatto dikerjakan dengan peralatan canggih, anti biotik dan pengurang rasa nyeri. Peralatan tatto Maori sangat sederhana atau primitif, yakni pahat (uhi) yang terbuat dari tulang albatros. Wajah sedikit demi sedikit disayat atau lebih tepatnya dipahat. Darah akan mengucur, lalu bagian yang ditatto itu akan mengalami pembengkakan selama beberapa hari karena infeksi. Mereka akan menderita sakit yang luar biasa. Namun, semua itu tidak berarti dibandingkan dengan penghargaan masyarakat terhadap mereka.
Hidup tidak selalu mudah! Hal ini berlaku juga untuk orang Kristen. Jangan bermimpi ketika menjadi pengikut Kristus maka semua kesulitan hidup akan sirna. Alkitab menolong kita untuk melihat hal positif di balik kesulitan hidup:
1.Bagai seorang ayah yang mendidik anaknya
Seperti seorang anak Maori yang menjalani tatto. Kesulitan, penderitaan, pergumulan, atau apa pun juga namanya, ibarat tulang albatros yang dipahatkan pada wajah anak Maori, melukai, mencucurkan darah dan menyakitka. Tuhan digambarkan seperti orangtua yang mendidik anaknya agar tumbuh menjadi manusia dewasa. Kita ini adalah anak-anak-Nya, bukan anak-anak gampang pastilah akan mengalami “hajaran” yang mungkin menyakitkan. (Ibrani 12:7,8)
2. Bagai seorang ayah melatih anaknya
Seorang atlet ketika ditempa dengan pelbagai latihan yang berat mungkin akan mengeluh, memaki dan mengumpat sang pelatih. Namun, ketika mendali dikalungkan di lehernya ia dapat mengerti dan bersyukur atas kesabaran sang pelatih dalam menggemleng dirinya. Gemlengan yang diberikan Tuhan kepada anak-anaknya adalah agar anak-anaknya menghasilkan buah kebenaran yang mendatangkan kedamaian. (Ibrani 12:11)
3. Sang Bapa tahu seberapa kemampuan kita
Tatto yang dibubuhkan di wajah anak-anak Amori itu menyakitkan dan membahayakan. Namun, seorang ayah Amori tahu kemampuan anaknya dalam menahan nyeri itu. Mereka tahu juga bagaimana anaknya dapat mengatasi penderitaan itu. I Korintus 10:13 mengingatkan kepada kita bahwa penderitaan yang kita alami tidak melebihi kekuatan kita.
4. Jangan tanya “mengapa?”
Umumnya seseorang ketika mengalami kesulitan hidup merasa dirinya paling malang. Kemudian menyalahkan orang lain termasuk Tuhan. Dalam keluh-kesahnya selalu bertanya “Mengapa ini semua terjadi padaku?” Andaikan ada pertanyaan, bertanyalah, “Untuk apa ini semua Tuhan izinkan terjadi?” Maka Anda akan menemukan jawabannya: Allah mengasihi Anda!
5. Sarana perjumpaan dengan Tuhan
Siapa tidak kenal kisah Ayub? Ayub identik dengan penderitaan. Namun, setelah semuanya berlalu, Ayub kini berkata,”Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.”Ayub 42:5. Bisa jadi selama ini kita percaya Tuhan hanya melalui perkataan orang lain. Bagaiman kita mengenal Tuhan sebagai penyembuh kalau kita tidak pernah sakit? Bagaimana kita tahu bahwa Allah adalah pembebas, sementara kita tidak pernah merasakan kesulitan. Jadi semua yang kita alami itu adalah sarana agar kita berjumpa dengan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar