Kamis, 06 November 2025

PERCAYA KEPADA ALLAH YANG HIDUP

Kondisi ideal, mapan, terpandang dan dihormati tentu menjadi impian setiap orang. Pada titik ini tidak terlalu sulit untuk mengimani bahwa Allah adalah sumber berkat! Sayang, hanya segelintir orang yang bisa menikmati posisi ini. Dari segelintir orang ini di antaranya adalah kelompok Saduki.

 

Saduki adalah kaum aristokrat sekaligus imam yang memegang kekuasaan di Yerusalem setidaknya sampai simbol kehadiran Sang Mahakudus di Yerusalem itu dihancurkan pada tahun 70 M. Saduki adalah kelompok orang kaya, tuan tanah, cukong yang menyediakan ternak dan uang penukar untuk keperluan ritual dan persembahan di Bait Suci. Atas nama kestabilan politik dan mempertahankan kultus Bait Suci, kelompok ini cenderung pragmatis dan kompromi terhadap kekuasaan Romawi. Mereka dikenal sebagai orang-orang rasional, menolak tradisi lisan leluhurnya, oleh karena itu mereka hanya menerima pentateukh (Lima Kita Musa; Taurat). Mereka menolak cerita-cerita takhyul, tidak percaya kepada kebangkitan dan ganjaran hidup kekal. Cukup dunia sekarang membuktikannya: kalau kamu diberkati hidupmu berlimpah harta dan kemakmuran. Sebaliknya, hidupmu sengsara tandanya kamu dihukum Tuhan. Dunia roh, apalagi arwah gentayangan tidak ada dalam benak mereka. Buat mereka, kalau dibilang percaya kepada Allah yang hidup, itulah yang menjadi keyakinan mereka. Bagi mereka, Allah itu hidup dan memberkati dapat dilihat dari kesuksesan, kemakmuran dan status sosial!

 

Tabiat pragmatis yang tampaknuya rasional muncul dalam adu argumentasi dengan Yesus tentang kebangkitan. Pertanyaan mereka, bagaimana jika ada istri yang menikah dengan tujuh saudara yang meninggal tanpa anak. Dengan suami yang manakah dia hidup bersama di alam yang kekal itu? Pertanyaan ini dipakai mereka untuk menunjukkan bahwa kebangkitan itu tidak logis! Yesus menanggapi argumen yang terasa rasional itu dengan membalikkan keyakinan mereka terhadap Taurat. Yesus menyatakan bahwa dalam kebangkitan itu orang tidak lagi punya status pernikahan duniawi yang di dalamnya unsur-unsur seperti kepemilikan dan hasrat seksual dominan. Kelompok Saduki menafsirkan bahwa kebangkitan itu tidak lebih dari kelanjutan hidup fisik di dunia ini. Jadi, bagaimana mungkin istri itu berbagi diri dengan tujuh suaminya di alam baka? Bagi Yesus cara pikir ini keblinger! Dalam kebangkitan orang-orang yang percaya kepada Allah, mereka akan hidup seperti malaikat. Artinya, mereka dibebaskan dari ikatan-ikatan duniawi, apalagi nafsu kedagingan. Sebaliknya, mereka akan menjadi penurut-penurut yang memuliakan Allah.

 

Allah yang hidup dalam pandangan Saduki selalu dikaitkan dengan kehidupan ideal, mapan dan terhormat. Ini sangat berbeda dengan pernyataan Yesus tentang “Allah orang hidup”. Yesus menunjukkan bahwa Allah bukanlah Tuhan atas orang mati, melainkan Tuhan atas orang hidup. Yesus mengutip pernyataan Allah kepada Musa di semak duri, yang menyebut diri-Nya sebagai Allah Abraham, Ishak, dan Yakub – bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup. Dengan mengatakan ini, Yesus menegaskan bahwa orang-orang yang secara fisik telah mati, sebenarnya mereka hidup di hadapan Allah. Oleh karena itu Allah tidak hanya Tuhan atas kehidupan sekarang, tetapi juga sumber kehidupan kekal dan penguasa atas kebangkitan orang mati. 

 

Kematian bukan akhir dari eksistensi manusia. Kebangkitan dan hidup kekal bersama dengan Allah adalah janji yang dinubuatkan oleh para nabi. “Allah yang hidup” juga menyiratkan hubungan dinamis dan pribadi antara diri-Nya dengan umat-Nya, di mana Allah berperan aktif dalam sejarah keselamatan dan akan membangkitkan umat-Nya pada waktu yang ditentukan-Nya sendiri. Pemahaman ini dipakai Yesus untuk menunjukkan kebenaran tentang kebangkitan dan hidup yang kekal. Yesus menolak pandangan skeptis kelompok Saduki yang meragukan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan mengatakan Allah adalah Allah orang hidup, Yesus menuntun para pendengar-Nya pada pengakuan bahwa hubungan Allah dengan umat-Nya adalah hidup dan berkelanjutan, bukan berhenti pada kematian fisik.

 

Apa yang terjadi ketika orang mempunyai pemahaman bahwa hidup ini tidak berhenti hanya pada kematian fisik? Dampaknya, tidak menggunakan hidup sekarang ini semaunya. Mereka yang meyakini bahwa kematian bukan akhir dari segalanya akan belajar taat dan setia pada kehendak Tuhan. Mengapa? Jelas, dengan mengutip pernyataan Yesus bahwa dalam kebangkitan dan hidup yang kekal itu manusia akan seperti malaikat. Bagaimana mungkin kita akan seperti malaikat kalau di dunia ini saja membangkang perintah-Nya? Konsekuensi lainnya adalah tetap berpengharapan walaupun dalam menurut pandangan umum tidak ada pengharapan. 

 

Bisa saja dalam ketaatan kepada Allah seseorang diperhadapkan pada pergumulan pelik, sakit penyakit berat, penderitaan akibat penganiayaan dan semacamnya. Dalam situasi seperti ini iman kepada Allah yang hidup akan menolongnya untuk terus berpengharapan. Ini bukan pengalihan bahwa tidak mengapa hidup susah di dunia ini, toh nanti di surga mendapatkan segala kesenangan dan kemuliaan. Bukan demikian! Namun, tetap berjuang bahkan sampai tarikan nafas terakhir untuk keadaan yang lebih baik di sertai keyakinan bahwa “Aku tahu penebusku hidup!”

 

“Aku tahu penebusku hidup” adalah kalimat terkenal yang dikatakan Ayub bukan pada saat ia hidup ideal, makmur, kaya raya dan terpandang. Namun, justru ketika ia bangkrut, kehilangan segalanya, bukan hanya harta benda tetapi anak-anak, istri yang memintanya menghujat Allah bahkan para sahabat yang menghakiminya. Titik nadir kehidupan!

 

Menariknya, Ayub tidak kehilangan pengharapan! Ayub 19:25, “…aku tahu penebusku hidup, dan akhirnya Ia akan bangkit membelaku di atas debu.” Kata “penebus” bukan menunjuk pada saudara laki-laki, paman, saudara sepupu, atau kerabat dekat yang menolongnya dengan cara menyantuni atau membayar utang-utangnya (Imamat 25:25-34). Bukan pula ditujukan kepada orang yang mampu membebaskannya dari perbudakan (Imamat 25:47-54). Kata “penebus” ditujukan kepada Allah sendiri. Allah yang berkuasa dan akan membangkitkannya bahkan dari debu sekalipun!

 

Percaya kepada Allah yang hidup mestinya menolong kita bahwa Dia adalah penguasa dan pemilik kehidupan. Hidup ini tidak berhenti ketika kematian menjemput kita. Untuk itu jangan jadikan “aji mumpung” dalam kehidupan ini. Mumpung sehat, mumpung kaya, mumpung berkuasa, lalu melakukan semaunya karena kita berpikir toh segalanya akan berakhir dalam kematian. Pergunakan hidup ini sebagai kesempatan untuk belajar taat dan setia kepada Tuhan dan bermanfaat sebesar-besarnya bagi orang banyak.

 

Percaya kepada Allah yang hidup mestinya membuat kita menjadi orang-orang optimis yang berpengharapan sekalipun dunia ini mengatakan hidupmu sudah menjadi “debu”. Ini bukan pengharapan utopia yang diletakkan di ujung keputusasaan. Tetapi, benar-benar yakin bahwa Allah tetap menyertai. Seperti keyakinan Daud ketika terpojok oleh para musuhnya. Daud yakin Tuhan memelihara dirinya seperti biji mata!

 

 

Jakarta, 06 November 2025 Minggu Biasa XXXII, Tahun C

 

Jumat, 31 Oktober 2025

APAKAH AKU LAYAK?

Pemimpin korup, nirmoralitas, ambigu, dan oportunis melahirkan ketidakpercayaan rakyat dan berujung pada kehancuran. Keputusan-keputusan pragmatis penguasa menambah rapuhnya daya tahan negara menghadapi tantangan. Kerapuhan itu nyata saat Pekah bin Remalya, raja Israel yang didukung Aram dalam sehari dapat menewaskan seratus dua puluh ribu orang dan dua ratus ribu orang lagi menjadi tawanan perang!

 

Kegamangan raja Ahas terlihat jelas ketika ia menyuruh utusan kepada raja negeri Asyur untuk mengemis bantuan. Tilgat-Pilneser, raja Asyur datang memenuhi permohonan Ahas. Upahnya? Ahas menyita semua barang berharga dari Bait Suci dan diserahkan kepada raja Asyur itu. Tidak hanya berhenti di sini, dalam keadaan terdesak Ahas malah semakin berubah setia kepada Tuhan. Ia mempersembahkan korban kepada para ilah orang Damsyik yang telah mengalahkan dia. Pikirnya, yang membantu orang-orang Aram adalah para ilah mereka; kepada merekalah aku akan mempersembahkan korban, supaya para ilah itu membantu aku. Konyol!

 

Cukup sampai di sini tindakan konyol Ahas? Tidak! Atas perintahnya, imam Uria menggantikan semua peribadahan dan korban-korban persembahan. Kini, bukan lagi untuk TUHAN tetapi untuk para dewa Asyur. Ahas tidak segan mengorbankan anaknya sendiri, dibakar sebagai persembahan untuk dewa Asyur! (Anda dapat membaca kisah Ahas dalam 2 Raja-raja 16 dan 2 Tawarikh 28).

 

Kesedihan dan kemarahan yang membuncah terungkap, Aku membesarkan anak-anak dan mengasuhnya, tetapi mereka memberontak terhadap Aku… Mereka meninggalkan TUHAN, menista Yang Mahakudus, Allah Israel, dan berpaling membelakangi Dia.” (Yesaya 1:2,4b). Tidak berlebihan kalau Allah menyebut para pemimpin mereka sejajar dengan manusia Sodom dan rakyatnya sebagai manusia Gomorah! (Yesaya 1:10). Mudah dimengerti juga kalau ritual ibadah, pengorbanan dan pencurahan darah hewan bercampur darah manusia di Bait Allah itu sangat memuakan dan menjijikan. Ini bagaikan Anda menyaksikan perzinahan pasangan di depan mata Anda sendiri! Sejauh itu Ahas dan para penguasa Yehuda telah membawa rakyatnya dalam kehidupan dosa yang sangat kelam. 

 

“Marilah, baiklah kita berperkara!” Sang Mahakudus tidak mendiamkan atau melumat habis mereka. Ia masih membuka kesempatan, “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba akan menjadi putih seperti bulu domba!” Anda bisa membayangkan, betapa menjijikan rezim Ahas yang tidak hanya menodai kekudusan Allah dan Bait, dan segala ritual untuk mengagungkan nama-Nya tetapi juga yang menindas orang-orang miskin, membiarkan orang kelaparan dan tidak peduli terhadap janda dan anak yatim, apalagi orang asing. Kontras dengan tangan yang terbuka menerima kembali, menyucikan dan menguduskan mereka!

 

Hanya satu syarat yang harus mereka penuhi, yakni: bertobat! Melalui Yesaya, Allah menghendaki umat itu sungguh-sungguh bertobat yang dibuktikan dengan meninggalkan kejahatan, menyingkirkan berhala, menegakkan keadilan sosial dan melindungi kaum tertindas. Mereka harus kembali kepada ibadah yang sejati dan bukan ibadah yang munafik dengan menampilkan kesalehan palsu. Pada dasarnya, ibadah kepada Allah itu tidak bisa dilepaskan dengan kepedulian terhadap sesama, apalagi mereka yang menderita.

 

Jelas, Allah tidak menghendaki kebinasaan. Kasih-Nya terus mencari, bahkan merangkul orang yang sama sekali tidak layak untuk diampuni dan dicintai. Zakheus adalah contoh orang yang tidak layak untuk dicintai dalam komunitasnya. Pemungut cukai! Ia adalah pendosa, pemeras dan penjual bangsanya kepada penjajah asing. Sudah sepantasnya disingkirkan! Yesus berbeda dari komunitas Yahudi itu. Ia meminta Zakheus turun dan menyiapkan hidangan di rumahnya. Sebab, Ia akan singgah dan makan bersama dengannya!

 

Apakah Yesus tidak tahu perbuatan dan pekerjaan Zakheus? Apakah Ia tidak peduli dengan sakit hatinya orang-orang yang diperas Zakheus? Apakah Yesus tidak mengerti tentang konsep dosa dan hukuman menurut Taurat? Jelas, Yesus tahu! Lalu, apakah Dia mengabaikan semuanya itu dengan mengajak si pendosa itu menjamu-Nya?

 

“Marilah, baiklah kita berperkara!” Apa yang dilakukan Yesus sejajar dengan apa yang ditawarkan Allah. Allah tahu percis seberapa dalam dosa dan kekejian yang menjijikan umat itu. Namun, tangan-Nya terbuka untuk memeluk insan-insan yang berlumuran dosa itu. Kekudusannya siap terkena noda dosa itu, asalkan mereka tidak berakhir dengan kebinasaan. Yesus siap dicela dan dihina bahwa Ia berkawan, bersekutu dengan si pendosa. Untuk apa? Tidak ada orang yang binasa!

 

Ahas tidak menggunakan sisa hidupnya untuk mewujudkan hidup dalam pertobatan. Hizkia, anaknya yang kelak akan mereformasi kehidupan umat Tuhan itu. Berbeda dari Ahas, Zakheus menyambut tawaran Yesus. Ia segera turun, tidak peduli dengan ucapan dan cibiran orang-orang yang menyertai perjalanan Yesus. Bersama Yesus, ia bergegas menuju ke rumahnya. Diperintahkannya para pegawainya untuk menyiapkan pesta jamuan makan!

 

Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat.” (Lukas 19:8). Inilah pertobatan. Hidup dan perjuangannya berubah kontras! Dari seorang yang mengumpulan untuk dirinya sendiri sekarang menjadi orang yang berbagi untuk sesama, khususnya mereka yang miskin dan diperlakukan tidak adil. Pertobatan bukan soal berhenti dari perbuatan jahat tetapi lebih jauh dari itu: mengupayakan kebaikan bagi sesama!

 

Ritual ibadah bukan tentang kepuasan aku mendapatkan apa. Tetapi, memperjumpakan umat dengan cinta kasih Allah. Membebaskannya dari kemunafikan dan egoisme. Ibadah sejati bukan hanya bicara tentang pujian untuk Tuhan, tetapi juga membawa berkat bagi kehidupan masyarakat dan sesama. Gereja harus terus mengemban suara kenabian dengan mengintegrasikan ritual, pengajaran, doa, nyanyian, liturgi dan tindakan sosial untuk menjadi agen pembaruan yang nyata.

 

Kita tidak lebih dari Ahas dan Zakheus, manusia-manusia berdosa yang tidak layak di hadapan Tuhan. Namun, karena kasih-Nya yang besar Ia membuka lebar-lebar pintu pengampunan dosa dan rakhmat-Nya. Apakah, kita membiarkannya berlalu begitu saja? Atau, seperti Zakheus, kita menerima undangan Tuhan. Merasakan cinta kasih-Nya sehingga dengan sendirinya, aliran-aliran air kehidupan itu memenuhi seluruh relung hati, jiwa, pikiran, nalar dan akhirnya seluruh organ tubuh kita untuk berbuat seperti yang diperbuat Yesus. Untuk memperjuangkan apa yang diperjuangkan Yesus dan untuk menjadi berkat bagi banyak orang. 

 

Ketidaklayakan kita bukan alasan untuk mengatakan, “terlanjur basah, jadi mandi sekalian!” Terlanjur hidup dalam dosa, tidak perlu bertobat. Bukan itu yang Tuhan mau. Di hadapan kasih karunia-Nya tidak ada dosa yang terlalu berat untuk diampuni. Seperti kirmizi dan kain kesumba yang dapat menjadi putih seperti salju dan bulu domba, demikian darah Yesus membasuh bersih dosa-dosa kita. Ingat, ketika Anda bertanya, “Apakah aku layak?” Tuhan menjawab, “Ya, datanglah dan Aku akan mengampunimu, hidupmu menjadi baru!”

 

 

Jakarta, 31 Oktober 2025, Minggu Biasa XXXI Tahun C