Rabu, 28 Juni 2023

KEBENARAN TERKADANG MENGGELISAHKAN

Suatu saat engkau akan menyadari bahwa pertarungan terbesar dalam hidup ini bukan orang lain, bukan gunung yang harus ditaklukkan, bukan samudera luas yang membentang seolah tidak ada ujungnya, bukan binatang buas atau orang-orang yang membencimu. Bukan! Pada akhirnya pertarungan terbesar yang harus engkau hadapi adalah dirimu sendiri! Bukankah semua pikiran negatif, pelbagai alasan-alasan yang bermuara pada kenyamanan, keragu-raguan, kekhawatiran dan ketakutan, semua itu ada dalam dirimu? Anda dan saya tidak pernah tahu, mengapa semuanya itu bersarang di dalam diri kita, tersembunyi di balik kesombongan dan harga diri.

Yesus memberi peringatan kepada para murid-Nya bahwa mereka akan menghadapi banyak orang yang tidak menyukai Injil Kerajaan Surga diberitakan. Para utusan Yesus yang membawa kabar baik di tengah keluarga dan masyarakat akan akan mendapat penolakan. Nilai-nilai Injil Kerajaan Allah itu dipandang sebagai kebodohan. Bukan hanya Injil yang ditolak tetapi mereka yang memberitakannya juga akan mengalami penolakan, penganiayaan dan penderitaan. Mereka yang memberitakan Injil  akan mengalami konflik dengan orang-orang terdekat. Keluarga! Bahkan, lebih dahsyat dari itu, mereka akan mengalami konflik dengan musuh terbesar, yakni: diri mereka sendiri!

Kalau para pembenci Yesus yang menjadi musuh dan mengganggu pemberitaan Injil, ini bukan perkara aneh. Lumrah! Jika anggota keluarga tidak setuju dan menolak Injil, kemudian berseteru, meski berat kita dapat mengatakan: "Ya, dapat dimengerti karena mereka belum mengerti nilai-nilai kebenaran Injil Kerajaan Allah itu." Tetapi, bagaimana kalau diri sendiri yang menjadi musuh utama? Jelas, ini bukan perkara yang mudah! Ini serius sehingga Yesus pernah mengingatkan, "barang siapa mempertahankan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya...!" (Matius 10:39). Dari perkataan Yesus ini kita dapat menengarai: bukan para pembenci yang menghambat Injil diberitakan, bukan sanak saudara atau anggota keluarga terdekat yang menjadi penghalang, melainkan diri kita sendiri sangat berpotensi menjadi sumber penghalang utama bagi pemberitaan Kabar Baik!

Bukankah setiap hari, setiap saat nilai-nilai Injil Kerajaan Allah itu berdengung begitu kuat di dalam diri kita? Bagaimana kita harus bertindak terhadap para pembenci kita, sudah jelas: mengampuni, mendoakan dan meminta Tuhan memberkati! Namun, bagaimana dengan sikap kita? Sebagian besar memilih membalas kebencian itu, atau paling tidak menyimpannya di dalam hati. Deposito kebencian! Bagaimana ketika orang lain meminta sehelai baju, atau berjalan dengannya sejauh satu mil? Sudah jamblang juga: berikan jubahmu dan berjalanlah dengan dia sejauh dua mil! Bagaimana ketika orang lain menamparmu? Sangat terang-benderang: berilah pipi yang lain! Kenyataannya apa yang kita lakukan? Kita, memilih "mempertahankan nyawa" kita! Meski kebenaran itu terus berdengung dan menggelisahkan hati kita, kita bergeming dengan alasan demi keadilan dan martabat diri!

Pada saat perlawanan dan konflik loyalitas terhadap Sang Guru, murid sejati akan mendahulukan apa yang dipesankan dan diajarkan oleh-Nya. Ia akan mengutamakan kepentingan Injil Kerajaan Surga, dan menomorduakan tuntutan-tuntutan lainnya termasuk kepentingan dan kenyamanan diri sendiri walaupun konsekuwensinya akan merasa kehilangan kenyamanan hidupnya pada saat sekarang ini. Seorang murid sejati akan berpegang pada janji hidup sejati yang tidak dapat diambil darinya oleh siapa pun juga, bahkan oleh ancaman maut sekalipun!

Tentu saja pada kenyataannya ladang pemberitaan Injil tidak melulu berkisah tentang duka nestapa penuh kemelut, penolakan, derita dan aniaya. Nyatanya, selalu saja ada orang-orang yang akan menyambut dan memfasilitasi pemberitaan mereka. Sebagaimana Yesus sendiri, meski jumlahnya tidak banyak, ada orang-orang yang menyambut dan menerima berita Kabar Baik itu. Pada pesan terakhir Yesus kepada para utusan-Nya (Matius 10:40-42), Yesus membesarkan hati para murid setelah mereka diberi peringatan tentang banyaknya penolakan, ancaman, penganiayaan, dan pelbagai tantangan. Mereka dihibur dan dikuatkan bukan secara langsung dengan janji upah bagi mereka sendiri, tetapi juga secara tidak langsung dengan janji-janji bagi siapa saja yang  menyambut pemberitaan mereka dan memenuhi kebutuhan mereka. Kalau sebelumnya Yesus menjamin penyertaan, perlindungan dan kehidupan kekal untuk para utusan-Nya. Kini, Ia menyampaikan upah kepada siapa pun yang menyambut mereka yang diutus-Nya.

"Siapa saja yang menyambut kamu, ia menyambut Aku,..."

Pernahkah Anda menyaksikan film silat kolosal Mandarin tentang kerajaan atau kekaisaran? Lihat, ketika ada seorang utusan kaisar atau raja ke sebuah wilayah kekuasaan kerajaan tersebut, ketika meterai kerajaan diperlihatkan maka semua orang akan sujud menyembah seraya berkata, "Hidup tuanku raja, semoga panjang umur, beribu-ribu tahun!" Dan, apa pun juga pesan yang disampaikan oleh sang utusan itu harus dilaksanakan, tepat seperti apa yang tertulis. Di dunia kuno tanpa alat komunikasi yang cepat, seorang utusan sangat penting. "Utusan seseorang (apalagi pembesar) adalah seperti orang itu sendiri" (Mishna, Barakot 3:5)

Menyambut dan memperlakukan seorang utusan di sini tidak pertama-tama menyediakan makanan, atau pemberian akomodasi: penginapan, tetapi yang paling penting adalah menerima berita Injil yang dibawa oleh sang utusan. Adalah baik, jika jemaat Tuhan menyambut seorang pengkhotbah yang memberitakan Injil dengan pelbagai fasilitas, jamuan dan keramahan. Namun, itu semua tidak ada artinya bila Injil yang diberitakannya hanya enak untuk didengar dan tidak untuk dilakukan. Banyak sekali pesan inilai-nilai Injil Kerajaan Surga hanya berhenti di gedung gereja yang megah, namun tidak mengalir dalam kehidupan sehari-hari meskipun nilai-nilai kebenaran Injil itu terus menggelitik dan menggelisahkan jiwa kita!

Sebaliknya, bagi pemberita Injil pun jangan lekas puas dan terbuai dengan fasilitas mewah hingga pesan utama Injil itu tereduksi. Tidak bebas menyampaikan kebenaran. Ingatlah pesan Yesus yang tidak perlu mengutamakan fasilitas dan akomodasi!

Benar, Yesus berjanji bahwa siapa saja yang memberi pelayanan terhadap murid-Nya tidak akan kehilangan upahnya, "Dan barang siapa memberi air sejuk secangkir saja pun kepada salah seorang yang kecil ini, karena ia murid-Ku, Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya ia tidak akan kehilangan upahnya." (Matius 10:42). Bantuan sekecil apa pun kepada murid dan utusan Yesus, tidak akan dilupakan di hari pengadilan (Matius 25:35-40). Kita dapat membayangkan dukungan yang "kecil" di tengah-tengah derasnya penolakan tentunya menggambarkan kedalaman hati yang bersedia menyambut dan mendukung pemberitaan Injil tersebut.

Bagaimana dengan kita? Apakah cukup menyediakan secangkir air minum? Mestinya lebih dari itu. Nilai-nilai Injil Kerajaan Allah akan terus didengungkan dan akan terus menggelisahkan hati kita karena di dalam diri kita Roh Kudus terus-menerus menyatakan dan memperlihatkan kebenaran yang diajarkan oleh Yesus Kristus. Ia mengusik nurani kita! Ingatlah musuh terbesar dalam kehidupan kita bukan para pembenci dan orang-orang yang menolak Injil itu. Lawan terbesar adalah diri kita sendiri!

Ketika hatimu gelisah oleh kebenaran nilai-nilai Injil Kerajaan Surga, berdoalah. Mintalah kuat kuasa Roh Kudus agar Ia menolongmu untuk melakukan setiap kebenaran itu. Jangan pernah menunda untuk melakukannya, sebab bisa saja esok atau lusa sudah tidak ada lagi kesempatan.

 

Jakarta, 28 Juni 2023 Minggu Biasa Tahun A

Minggu, 25 Juni 2023

GEREJA BUKAN ORGANISME ALGORITMA

Mulai dari kasus kelaparan yang menelan jutaan jiwa di pelbagai negara, disusul wabah penyakit menular; epidemi-epidemi dahsyat yang melanda dunia dengan korban ratusan juta jiwa sampai teknologi mutakhir yang melahirkan kecerdasan buatan ( artificial intelligence : AI), Yuval Noah Harari dalam bukunya : Homo Deus menguraikan pergulatan manusia dalam peradabannya. Lalu apa dan bagaimana masa depan manusia?

Krisis, kelaparan, wabah penyakit, pergulatan pemikiran dan dinamika ekonomi, politik serta kebudayaan menjadi panggung peradaban yang menentukan sejarah planet kita. Meski di awal dengan gamblang, Harari memberi sub judul bukunya : Masa Depan Umat Manusia, namun nyatanya dalam kesimpulan uraian yang panjang lebar itu ia mengatakan bahwa manusia bukan lagi pusat ciptaan, manusia hanyalah sebuah riak dalam aliran data kosmis. “Kita benar-benar tidak bisa memprediksi masa depan karena teknologi bukan deterministik. Teknologi yang sama bisa menciptakan jenis masyarakat yang sangat berbeda. Misalnya, teknologi dari Revolusi Industri – kereta api, listrik, radio, telepon – bisa digunakan untuk mendirikan kediktatoran komunis, rezim fasis, atau demokrasi liberal. Perhatikan Korea Selatan dan Korea Utara : mereka memiliki akses yang benar-benar sama pada teknologi, tetapi mereka telah menggunakannya dengan cara yang sangat berbeda.” (Harari hlm. 455)

Sejalan dengan itu Harari menyentil AI dan bioteknologi. Meski setiap individu mempunyai peluang sama mengaksesnya namun sekali lagi tidak akan bermuara pada hasil tunggal yang deterministik. Ini sangat bergantung dari bagaimana orang menggunakannya. Harari mengingatkan kepada kita tentang permasalahan kehidupan besar:

  1. Sains sedang memusatkan diri pada satu dogma yang mencakup keseluruhan, yang menyatakan bahwa organisme adalah algoritma dan kehidupan dalam pemrosesan data.
  2. Kecerdasan sedang berpisah dari kesadaran.
  3. Algoritma non-kesadaran tetapi sangat pintar mungkin segera mengenal kita lebih baik ketimbang diri kita sendiri.

Dari tiga kesimpulan besar tantangan manusia saat ini, Harari mengajukan tiga pertanyaan:

  1. Apakah organisme memang benar-benar algoritma, dan kehidupan hanya benar-benar          pemerosesan data?
  2. Apa yang lebih berharga – kecerdasan atau kesadaran?
  3. Apa yang akan terjadi pada masyarakat, politik, dan kehidupan sehari-hari ketika algoritma-  algoritma non kesadaran tetapi sangat pintar mengenal kita ketimbang diri kita sendiri.

Apa yang menjadi pertanyaan atau tepatnya kekhawatiran Harari merupakan konteks kita sekarang, atau setidaknya kita – mau tidak mau – sedang menuju ke arah itu. Bukankah media-media sosial, dan e-commerce menegaskan hal itu? Anda membuka dan berminat pada produk tertentu, maka segeralah akan muncul produk-produk yang Anda cari itu, ada varian, harga, lokasi dan pelbagai review, mudahkan? Anda tinggal menentukan pilihan! Anda berteman dengan kelompok pendukung calon presiden “X”, segera algoritma akan mengelompokkan Anda dengan orang-orang yang punya minat sama! Begitu juga ketika Anda punya minat terhadap aliran dan kelompok Kristen tertentu, segera algoritma akan menyajikan apa yang Anda mau. Ia mengenal lebih baik dari diri Anda sendiri!

Digitalisasi yang terus berkembang denga AI-nya tidak mungkin terbendung masuk dalam ranah pelayanan gerejawi. Menolaknya, akan membuat gereja menjadi “kuno” bak museum. Lalu, menerimanya mentah-mentah akan menjadi organisme yang benar-benar algoritma. Algoritma dan AI memudahkan kita untuk segera mengenali berapa kali seorang anggota jemaat menghadiri acara-acara pelayanan gerejawi dalam seminggu, sebulan atau setahun. Kita akan tahu juga minat dan tema-tema pelayanan yang disukai oleh anggota-anggota jemaat kita.

Algoritma juga memudahkan kita memproyeksikan setiap kebutuhan jemaat. Bagi para pengkhotbah tidak perlu repot mencari dan menafsirkan materi-materi khotbah. AI dengan aplikasi chat GPT- nya menyediakan apa yang diperlukan. Tinggal sentuhan dan editorial sedikit saja. Perkembangan lebih mutakhir: kalau ke depan pekerjaan-pekerjaan tertentu sudah bisa diambil alih oleh robot dengan AI-nya yang mumpuni, tidak mustahil pekerjaan pengkhotbah atau pengkhotbah juga dapat digantikan dengan robot-robot cerdas. Umat tinggal pilih menu tema apa dan tafsiran yang bagaimana, serta aplikasinya dalam hidup sehari-hari!

Chatbot AI karya Open AI dapat memimpin jemaat di gereja St. Paul wilayah Kota Fuerth Bavaria, Jerman. Arstechnica mengabarkan bahwa ibadah tersebut meliputi doa dan musik ini merupakan gagasan dari Jonas Simmerlein, seorang teolog sekaligus filsuf dari Universitas Wina. Dalam laman berita Associated Press, dimuat berita kalau sosok buatan ChatGPT itu dihadirkan berbentuk empat avatar dengan persona yang berbeda; dua lelaki dan dua perempuan. Tidak hanya sampai di sini AI telah mampu menghadirkan Yesus virtual yang siap untuk diajak ngobrol, dimintai nasihat, pastoral dan sejenisnya. Yesus virtual selalu siap 24 jam sehari dan 7 hari seminggu! Apakah ini pertanda profesi pendeta dan sejenisnya akan segera tergantikan dengan teknologi cerdas yang dapat mengenali kita lebih baik dari diri kita sendiri?

Apakah organisme gereja memang benar-benar algoritma, dan kehidupan hanya benar-benar pemrosesan data? Jelas kita akan mengatakan, “tidak, tidak seperti itu!” Gereja adalah organisme yang dinamis, bukan sekedar algoritma atau bicara tentang pemrosesan data. Jemaat mula-mula dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 adalah contoh kehidupan organisme yang saling terkait, berelasi satu dengan yang lain. Kepedulian, rasa saling memiliki, sentuhan-sentuhan kasih lewat tutur kata dan tindakan-tindakan kebajikan adalah hal mustahil dilakukan dengan cara-cara algoritma. Sentuhan, kesadaran, kehadiran, adalah jauh lebih penting dari kecerdasan. Meski tentu saja kita tidak boleh menolak kecerdasan. Namun, apalah artinya kecerdasan tanpa sentuhan nilai-nilai otentik manusiawi.

Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus, sejak awal penciptaan tidak menjadikan manusia seperti “robot dengan kecerdasan buatan” tetapi diberi ruang untuk kehendak bebas, berekspresi dan berelasi. Benar, gereja tidak boleh anti teknologi dan perkembangan zaman. Namun, gereja juga harus tetap setia merawat jati dirinya. Jati diri yang merangkul semua orang, terbuka ramah dan menyejukkan di mana setiap orang yang terlibat di dalamnya bukan diperlakukan seperti robot. Di sinilah kita perlu mengembangkan wawasan yang dapat menggunakan teknologi bukan dengan maksud menggantikan kehadiran dalam kesadaran otentik setiap pelayannya melainkan sebagai alat bantu. Ingat apa yang dikatakan Harari, teknologi itu tergantung siapa yang memakainya. Siapa yang memakainya menentukan akan dibawa ke mana sebuah komunitas itu.  

 

Jakarta, 25 Mei 2023

1S