Kamis, 05 Desember 2024

PERSIAPKANLAH JALAN BAGI TUHAN

Seorang pasien datang kepada dokter dengan keluhan sering merasa nyeri di dada kiri, mudah kelelahan, dan mengalami sesak nafas. Dokter menyarankan untuk rekam jantung, check darah lengkap dan tread mild. Dari serangkaian pemeriksaan itu, dokter menyatakan dugaan sementara bahwa pasien tersebut dicurigai ada gangguan sumbatan pembuluh darah. Tindakan lanjut pasien disarankan untuk melakukan tindakan kateterisasi untuk memastikan di mana dan berapa persen sumbatan itu terjadi.

 

Sumbatan pembuluh darah telah berhasil diatasi dengan memasang stem atau ring. Kini, pasien itu telah bebas dari pelbagai keluhannya. Dokter meresepkan obat dan meminta pasiennya itu untuk memulai gaya hidup sehat. Makan dengan gizi seimbang, hindari makanan yang dapat memicu kelebihan kolesterol, olah raga, kurangi stres dan begadang. Dan, yang lebih penting stop alkohol dan rokok!

 

Mengingat sakit yang menyiksa, dan biaya rumah sakit yang mahal serta kekhawatirannya terhadap kematian akibat jantung koroner itu, si pasien ini bertekat untuk menjalani kehidupan yang lebih baik. Satu dua bulan ia merasakan kesehatannya mulai pulih. Kondisi tubuhnya terasa ringan dan rileks. Bulan berganti tahun, ia merasa yakin sudah sehat. Perlahan, ia mulai mengendurkan saran dokter. Sedikit demi sedikit ia mulai lagi jajan. Bertemu dengan kawan lama. “Ayolah, bukankah kamu sudah sehat. Jangan ketat-ketat amat, hidup ini cuma sekali. Mari, kita nikmati!” Ia mulai lupa dan kembali pada pola hidup sebelum sakit!

 

Setidaknya, inilah gambaran yang terjadi pada umat Tuhan zaman Nabi Maleakhi. Kitab yang ditulis pada masa setelah masa pembuangan (diperkirakan tahun 450 - 400 SM). Sebagaimana kita mengetahuinya, Umat Allah mengalami pembuangan oleh karena pelbagai kejahatan yang dilakukan mereka. Para nabi diutus untuk mengingatkan, namun tidak digubris. Penjajahan dan pembuangan yang dilakukan Babel merupakan konsekuensi dan hukuman yang harus mereka tanggung. Tujuh puluh tahun bukan waktu sebentar setelah kemudian TUHAN mengembalikan bangsa itu di bawah kepemimpinan Ezra dan Nehemia.

 

Bayangkan, ketika mereka kembali dari pembuangan. Tidak kurang dari 50.000 tawanan yang kembali itu tertegun dan bertahan dari pagi sampai siang mendengar Ezra membacakan Kitab Suci (Nehemia 8:1-8). Mereka bertekad kembali kepada Tuhan! Namun, benarkah mereka sungguh-sungguh mau kembali kepada Tuhan dan bertobat? Ya, pada zaman itu. Namun, lihatlah ketika keadaan semakin membaik, mereka kembali kepada kehidupan normal dan mendapat sedikit kemakmuran. Apa yang terjadi kemudian

 

Puluhan tahun setelah peristiwa itu, Maleakhi mencatat bahwa para imam kembali tidak memberikan contoh yang baik. Mereka kembali berbuat apa yang jahat di hadapan Tuhan. Umat itu kembali melakukan kejahatan, ketidakadilan, bergaul dan menolerir penyembahan berhala dan umat itu menolak memberi persembahan kepada Tuhan. Dalam keadaan seperti inilah Maleakhi, sesuai dengan arti namanya: “malaikat, utusanku(utusan TUHAN) ” menyampaikan peringatan kepada umat Tuhan itu.  

 

Salah satu peringatan Maleakhi adalah tentang kedatangan Sang Mesias. Sang Mesias itu datang untuk menguji dan memurnikan umat, “Sebab, Ia seperti api pemurni logam dan seperti sabun penatu. Ia duduk seperti orang yang memurnikan dan menahirkan perak…” (Maleakhi 3:2-3). Bayangkan, jika kedatangan-Nya seperti itu, siapa yang dapat tahan kalau kehidupannya tidak sungguh-sungguh baik? Ngeri!

 

Meskipun demikian, kedatangan-Nya itu akan didahului oleh seorang utusan yang berperan untuk menyiapkan jalan. Sang utusan itu kini tampil dalam diri Yohanes Pembaptis. Ia tampil di sekitar dataran rendah Yordan. Lukas mengemas kisahnya dengan apik. Ia begitu rinci mencatat para penguasa dari hulu sampai hilir dengan lengkap. Seruan yang sama seperti Maleakhi didengungkan di padang gurun dan dataran rendah Yordan itu. Bertobat!

 

Lukas memperkenalkan Yohanes Pembaptis sebagai seorang nabi terakhir yang berseru tentang penghakiman dahsyat dan hari kedatangan Tuhan. Seperti nabi-nabi sebelumnya dalam tradisi Perjanjian Lama, Yohanes menyerukan agar umat meninggalkan yang jahat dan melakukan keadilan dalam interaksi mereka satu dengan yang lainnya. Meski nubuatnya sama seperti yang dicatat Maleakhi, tampaknya Lukas lebih suka merujuk pada Yesaya 40:3-5 tentang seorang yang diutus menyiapkan jalan bagi Sang Mesias.

 

Jelas, pertobatan seruan pertobatan yang dimaksudkan oleh Yohanes Pembaptis bukanlah pertobatan sesaat atau “tobat sambal”. Orang bisa mengatakan tobat untuk makan sambal karena kepedesan dan perut yang panas. Namun, segera akan lupa setelah gejala sakit itu hilang. Kemudian ia akan kembali makan sambal itu. Pertobatan yang dimaksud adalah pertobatan yang menyeluruh. Pertobatan tidak sama seperti “kapok”. Tobat, adalah jalan balik kepada Tuhan. Meninggalkan segala sesuatu yang jahat, yang tidak berkenan kepada Allah, lalu membereskan kembali kehidupan yang berantakan itu dengan mata hati tertuju kepada Allah: Metanoia!

 

Pertobatan tidak seperti si pasien penderita jantung koroner di awal cerita. Pertobatan juga bukan seperti apa yang terjadi dalam kehidupan umat Israel. Ketika menderita karena konsekuensi dosa dan pelanggaran, mereka berseru. Sesudah kondisi aman, perlahan tabiat kepicikan mereka mulai tampak lagi. Bukan itu! Bertobat adalah bagaimana memelihara kekudusan sampai menyongsong kedatangan Tuhan.

 

Pertobatan adalah seperti apa yang didoakan Paulus, “… semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian, sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus, penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.” (Filipi 1:9-11). 

 

Setiap hari kita diajak untuk terus belajar memahami dan mengerti tentang kasih Allah di dalam Kristus, sehingga dengan pengertian yang benar kita dapat memilih mana yang baik, benar dan dikehendaki Allah. Tentu tidak hanya sekedar memilih, melainkan menerjemahkan pilihan kita itu dalam tindakan nyata, yakni mempraktikkannya. Inilah yang dinamakan buah pertobatan! Dengan demikian kita dapat menjaga kekudusan hidup di tengah dunia yang cemar ini. Maka menjadi sosok yang tidak bercacat dalam menyongsong kedatangan Kristus itu bukanlah perkara mustahil. Mengapa? Kesediaan dan pilihan kita untuk hidup kudus adalah kondisi terbaik di mana Yesus Kristus sendiri yang mengerjakannya di dalam kita. Dengan demikian, bukan saja kita siap sedia menyongsong hari Tuhan, melainkan juga hidup kita dapat memuji dan memuliakan Tuhan!

 

Mumpung saatnya belum terlambat, marilah kita berbenah diri. Bertobat bukan dengan tekanan dan terpaksa karena diancam oleh hukuman mengerikan. Tetapi alangkah baiknya bahwa pertobatan kita didasari oleh karena rasa syukur kepada Allah yang telah mengaruniakan kesempatan buat kita di dalam Kristus Yesus yang adalah jalan pembebasan dari dosa. Bertobat bukan seperti orang yang kapok kambuhan, tetapi benar-benar memahami bahwa cara itu adalah yang terbaik bagi kedamaian hidup kita. Seperti gaya hidup sehat, bukan karena ancaman sakit penyakit, tetapi karena ingin hidup lebih berkualitas. Dan yang terakhir, yang tidak kalah penting adalah: bertobat sebagai jalan pengucapan syukur dan memuliakan nama-Nya. Bukankah pertobatan yang demikian lebih indah ketimbang harus diancam dahulu dengan ketakutan hukuman akhir zaman?

 

 

Jakarta, 5 Desember 2024. Minggu Adven ke-2 Tahun C 

Kamis, 28 November 2024

MEMAKNAI HARI TUHAN

Adven datang kembali! Itu artinya kita diajak mempersiapkan dan menyambut kedatangan Tuhan Yesus. Sebagai orang yang menyambut keselamatan di dalam Kristus, kita berada dalam “dua adven”, menyambut lahirnya Kristus di hati kita dan menyiapkan diri untuk menyambut Dia yang akan datang kembali. Ya, kedatangan-Nya kembali selalu dikaitkan dengan Hari Tuhan atau akhir zaman. Padahal, kita diajar oleh nyanyian Sekolah Minggu bahwa setiap hari adalah harinya Tuhan: Hari ini… hari ini, harinya Tuhan! Alih-alih mengkhawatirkan dan mencemaskan, kita diajak bersukacita!

 

Hari Tuhan atau akhir zaman sudah kadung dipersepsikan dengan bencana, guncangnya keadaan kosmik, peperangan, kelaparan, pendek kata keadaan yang menakutkan. Tidak salah, Injil juga berkisah tentang itu. Namun, ada yang khas dalam bacaan Injil tahun C ini, Lukas berbeda. Lukas tidak menggunakan pengantar kronologis yang menghubungkan hari Tuhan itu dengan kehancuran Yerusalem. Tampaknya, Lukas lebih tertarik pada reaksi atau tanggapan manusia terhadap gejala alam yang dahsyat itu.

 

Reaksi apa yang terjadi ketika manusia diperhadapkan pada malapetaka dahsyat? “Orang akan mati ketakutan dalam menghadapi segala yang akan menimpa bumi ini,…” (Lukas 21:26). Perhatikan kalimat ini. Kematian besar yang dialami oleh umat manusia bukan karena bencana itu sendiri, melainkan karena ketakutan. Ketakutan adalah suatu tanggapan emosi yang berlebihan terhadap ancaman. Takut adalah suatu mekanisme tubuh manusia dalam menghadapi pelbagai ancaman. Ketika manusia tidak mampu mengendalikan ketakutan yang ada di dalam dirinya ia dapat bertindak di luar akal sehat dan justru akan membahayakan dirinya sendiri.

 

Bukankah apa yang dicatat Lukas terus terjadi sampai hari ini. Reaksi manusia terhadap persoalan, apalagi menyangkut ancaman akan menentukan apakah ia akan melewatinya dengan baik atau binasa karena ketakutan itu sendiri. Cerita-cerita di ruang medis banyak sekali mengungkapkan kisah ini. Ada orang yang sangat terpukul setelah dokter menyatakan bahwa penyakitnya tidak akan sembuh. Orang tersebut hidup dengan ketakutan dan akhirnya benar bahwa ia sama sekali tidak sembuh. Sebaliknya, ada orang yang dengan tegar menjalaninya bersama-sama dengan Tuhan. Benar, bisa jadi dia juga berakhir dengan kematian. Namun, setidaknya ia dapat menjalaninya dengan hidup lebih berkualitas dan lebih bermakna.

 

Seperti Injil-Injil yang lain, Lukas juga menceritakan tentang dahsyatnya malapetaka menjelang hari Tuhan. Namun, jika Injil lain merinci kedatangan Anak Manusia sebagai puncak dari Hari Tuhan itu. Ia datang diiringi bala tentara malaikat dan takhta kebesaran-Nya. Namun, Lukas hanya menyebut bahwa Anak Manusia itu datang dalam awan dengan kuasa dan kemuliaan-Nya yang besar (Lukas 21:27). Tampaknya, Lukas lebih tertarik mengajak pada pembaca Injilnya untuk menyiapkan diri dalam menyambut kedatangan Anak Manusia. Seolah Lukas hendak mengajak kita: Ketimbang kalian tercengang dan menjadi takut dengan tanda-tanda malapetaka dahsyat, yang dengan itu bisa membunuhmu, adalah lebih baik: “Apabila semuanya itu mulai terjadi, bangkitlah dan angkatlah kepalamu, sebab pembebasanmu sudah dekat.” (Lukas 21:28).

 

Dalam pemahaman Injil Lukas, orang-orang Kristen tidak akan luput dari malapetaka mengerikan yang disebutkan sebelumnya. Sama seperti orang-orang lain, mereka pun mungkin akan panik. Namun, di tengah-tengah malapetaka dan kepanikan universal itu, justru seharusnya orang-orang Kristen bersikap lain. Dalam hal ini, mereka harus dapat mengendalikan diri dengan kesadaran bahwa setiap malapetaka yang terjadi itu merupakan tanda-tanda datangnya Sang Pembebas. Pada saat orang-orang lain gelisah, cemas, dan ketakutan lalu mati, orang-orang Kristen akan bersukacita. 

 

Bersukacita dalam menyambut malapetaka? Ya, bagian ini harus dicermati dengan hati-hati. Tentu saja tidak satu pun manusia menghendaki terjadinya malapetaka, apalagi malapetaka yang sangat dahsyat! Lalu apa artinya? Kalau kita bandingkan dengan ayat-ayat sebelumnya (Lukas 21:12-19), di situ Lukas berbicara tentang penderitaan akibat penganiayaan. Ini tidak jauh berbeda. Lewat ayat-ayat tentang akhir zaman, Lukas tidak mau menakut-nakuti pembacanya, melainkan ia memberi semangat dan pengharapan.

 

Dalam Lukas 21:19, “Dalam ketabahanmu, kamu akan memperoleh hidupmu.” Orang yang tabah dan bertahan dalam penderitaan yang tidak dapat terelakkan akan memperoleh hidup. Dalam kesulitan yang bertubi-tubi, manusia tidak hanya mengeluh tetapi juga ia sangat mungkin meninggalkan imannya. Dalam hal inilah anak-anak Tuhan harus berdiri tegak dan mengangkat kepala. Bukan sombong, melainkan tabah berserah untuk menyambut Sang Pembebas!

 

Lalu, apakah Lukas hanya mengarahkan tulisan ini untuk orang-orang Kristen yang sedang teraniaya pada zamannya? Tentu saja tidak! Sebab, sikap bertahan dalam sengsara dan malapetaka harus menjadi sikap iman sehari-hari dari semua anak-anak Tuhan. Sikap itu lahir karena pengharapan. Dan sikap itulah yang hendak ditanamkan oleh Lukas dalam setiap hati anak-anak Tuhan ketika ia menegaskan ucapan Yesus, “Namun, tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang.” (Lukas 21;18). Lukas memang tidak mau berbicara tentang kapan sejarah dunia ini akan berakhir. Tetapi ia dengan penuh keyakinan berbicara tentang pemeliharaan dan perlindungan dari Allah terhadap umat-Nya. Dan, ia yakin bahwa suatu saat Kerajaan Allah pasti datang. Dalam konteks ini, Injil Tuhan mau mengajar kita untuk mampu bertahan dalam segala bagai kehidupan dan selalu mempunyai pengharapan betapa pun pengharapan itu tidak dilihat orang.

 

Hanya ada satu cara dalam menghadapi tantangan dan tanda-tanda akhir zaman. Cara itu seperti yang dikatakan dalam peringatan Yesus untuk: “Berjaga-jagalah senantiasa sambil berdoa, supaya kamu memperoleh kekuatan…” (Lukas 21:36). Berjaga dan berdoa akan menghasilkan dua hal. Pertama, kemampuan untuk luput dari semua yang bakal terjadi. Orang Kristen tidak mungkin disterilkan dari semua bencana dan malapetaka yang menimpa bumi. Tetapi dengan cara itu, kita akan mampu menguasai rasa panik dan “tidak akan mati ketakutan”. Kedua, kemampuan untuk berdiri di hadapan Anak Manusia. Semua bencana dan malapetaka harus dapat diartikan oleh anak-anak Tuhan sebagai undangan untuk “mengangkat kepala”, yaitu mengisi diri dengan kekuatan baru. Kekuatan itu adalah pengharapan bahwa Anak Manusia datang bukan untuk menghukum melainkan Dia yang akan membebaskanMereka yang dapat berdiri di hadapan Anak Manusia, tidak usah takut. Jelas, Lukas mengajak kita semua untuk melucuti rasa takut dengan cara terus berjaga dan berdoa!

 

Akhirnya, sama seperti apa yang dihayati oleh anak-anak Sekolah Minggu: Hari ini…Hari ini, Harinya Tuhan. Mari kita bersukaria! Jadi, maknailah setiap hari adalah Harinya Tuhan dengan cara kita waspada, tidak tergoda oleh kenikmatan dunia yang akhirnya membuat kita lupa kepada Tuhan. Lalu, nantinya kita tidak mampu berhadapan muka dengan-Nya. Dan, andai kata Tuhan mengijinkan kita lewat lembah air mata dan kesulitan bahkan malapetaka besar, ingat dan teguhkanlah hatimu. Jangan gusar dan dikuasai ketakutan. Namun, pandanglah Yesus, Sang Anak Manusia sebagai pembebasmu!

 

 

Jakarta, 28 November 2024, MInggu Adven 1, Tahun C