Rabu, 09 Oktober 2024

KELUARGA YANG MENOLAK EGOSENTRISME

Apa itu egosentrisme dan mengapa pula harus ditolak? Egosentrisme, menurut kebanyakan pakar teori perkembangan adalah keadaan yang membuat seseorang menjadi egosentris, yakni perhatian yang berlebih pada diri sendiri dan fokus untuk mendapatkan kenyamanan, kenikmatan, kesejahteraan dan keuntungan diri sendiri. Sekalipun untuk itu ia harus mengorbankan kepentingan orang lain. Sebagian lagi berpendapat, egosentrisme adalah bentuk ketidakmauan seseorang untuk melihat dari sudut pandang orang lain. Akibatnya, ia tidak bisa menarik kesimpulan dari apa yang dipikirkan, dirasakan, dialami dan dilihat oleh orang lain. Jadi, wajarlah bila kita menolak egosentrisme!

 

Jean Piaget, psikolog perkembangan Swiss membagi tahap-tahap perkembangan kognitif yang berhubungan dengan egosentris manusia. Piaget mengatakan bahwa intelegensi akan berubah seiring dengan perkembangan usia anak. Perkembangan kognitif anak-anak tidak hanya tentang memperoleh dan mengolah pengetahuan tetapi juga pengembangan dan pembentukan mental. Menurutnya ada empat tahap perkembangan kognitif, yaitu tahap sensorimotor (dari bayi lahir sampai 18-28 bulan), tahap pra operasional(2-7 tahun), tahap operasional konkret ( 7-11 tahun) dan tahap operasional formal (usia 12 tahun ke atas).

 

Berkaitan dengan egosentris, ada tahap yang menarik dari teori Jean Piaget. Tahap kedua, yakni pra operasional (usia 2-7 tahun). Tanda yang menonjol pada tahap ini adalah munculnya bahasa. Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir pada tingkat simbolik dengan menggunakan kata-kata dan gambar untuk mewakili obyek. Namun, ia belum bisa menggunakan logika, mengubah, menggabungkan, memisahkan ide atau pikiran. Pada usia ini, kebanyakan anak-anak cenderung bersifat egosentris, dalam arti ia melihat dunia dalam kehendaknya sendiri dan belum mampu menggunakan perspektif lain. Maka tidak heran, jika pada tahap ini, segala yang diingininya adalah miliknya sendiri. Benda-benda yang menarik perhatiannya seperti mainan, kursi, tempat tidur, dan yang lainnya adalah miliknya.

 

Egosentris pada tahap pra oprasional adalah wajar, tidak selamanya buruk. Ini merupakan proses pendewasaan bagi anak usia dini. Lebih lanjut, Piaget mengatakan ciri-ciri khusus egosentris pada tahap ini adalah seperti berpikir imajinatif (berbicara dengan boneka seperti dengan teman-temannya, menjadikan benda di sekitarnya sebagai teman main). Ia berbahasa egosentris: ia akan berhenti berteman atau bermain saat sesuatu tidak sesuai keinginannya. Pokoknya, ia harus mendapatkan sesuatu yang dimauinya. Ia memiliki ego yang tinggi: menangis dan marah jika kalah dalam permainan, ia ingin selalu didengar. Piaget menegaskan bahwa egosentrisme pada anak kecil bukan bersikap egois sebagaimana orang dewasa. Egosentrisme bisa saja turut berperan dalam munculnya perilaku negatif pada anak, tetapi bukan satu-satunya faktor penyebab.

 

Banyak orang gagal bertumbuh secara mental kognitif. Tubuhnya makin tinggi, besar, usianya bertambah namun sifatnya masih tetap kekanak-kanakan. Cirinya jelas seperti apa yang disampaikan Piaget. Segala sesuatu berpusat pada dirinya. Ia berbicara secara imajinatif, ia yang mengendalikan “boneka-boneka” itu. Kalau kalah dalam permainan, ia akan menyalahkan pihak lain. Wasitnya tidak adil, kondisi lapangannya buruk, diteror penonton. Ia hanya ingin menang, ingin didengar dan tidak mau tahu sudut pandang orang lain. Kalau masih kanak-kanak, wajar. Menjadi tidak wajar ketika tubuhnya menjadi dewasa dan usianya semakin bertambah namun mental spiritualnya mandeg. Kekanak-kanakan!

 

Ketika Yesus meneruskan perjalanan bersama para murid-Nya, datanglah seseorang tergopoh-gopoh menghampiri-Nya seraya berkata, “Guru yang baik, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Yesus tampaknya enggan menerima sanjungan dari orang ini. Lalu Ia menjawab pertanyaan orang itu. Yesus mengutip beberapa perintah dari Taurat Musa. Dengan percaya diri, orang itu menyatakan bahwa seluruh perintah itu telah ia lakukan sejak masa mudanya. Dengan begitu, ia yakin bahwa dirinya akan memperoleh hidup yang kekal. Sayang, Yesus belum tuntas berbicara, “Hanya satu kekuranganmu: Pergilah, juallah apa yang kau miliki dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan memiliki harta di surga, kemudian datanglah kemari dan ikutlah Aku!” Mendengar ini, orang itu menjadi muram dan ia pergi dengan sedih.

 

Mengapa ia sedih? Karena hartanya banyak dan ia tidak mau melepasnya. Orang Yahudi berpandangan bahwa kekayaan, keturunan, dan umur panjang merupakan ganjaran yang diberikan Allah kepada orang-orang yang hidup berkenan kepada-Nya. Kesejahteraan hidup di dunia adalah tanda awal dari kesejahteraan abadi yang akan mereka terima sesudah kehidupan di dunia ini. Tetapi Yesus justru meminta orang itu menjual seluruh harta miliknya. Baginya perintah Yesus ini sama dengan perintah untuk membuang ganjaran Allah, yang menjadi bukti bahwa dia adalah orang baik dan bahwa hidupnya berkenan kepada Allah. Bagi orang tersebut, harta kekayaan memiliki ciri religius, tetapi Yesus mencabutnya! Orang itu pergi karena tidak menerima pandangan Yesus mengenai kekayaan. Perhatikan, apa yang diinginkan orang kaya ini bukanlah ajaran dari Yesus, melainkan pembenaran dari sikapnya. Egosentrisme muncul ketika ia hanya mau mendengar apa yang sejalan dengan pikiran dan ambisinya!

 

Apa yang menjadi titik krusial ajaran Yesus pada orang itu sebenarnya tidak terletak pada milik yang harus dijual karena menghalangi keselamatan memperoleh hidup yang kekal, melainkan sikap, penilaian dan kemelekatan dia terhadap harta kekayaan. Yesus mengingatkan bahwa kekayaan – juga sebaliknya : kemiskinan – dengan sendirinya tidak memiliki ciri religius. Kekayaan itu bukanlah “upah” yang diterima karena orang sudah berbuat baik dan, sama halnya dengan kemiskinan yang tidak dapat disimpulkan sebagai kutuk dari Allah. Kalau kekayaan dianggap sebagai ganjaran awal dari perbuatan baik, kehidupan kekal punakan dipandang sebagai upah yang diberikan kepada orang yang bekerja keras untuk berbuat baik. Padahal, bagi Yesus posisi sosial, tinggi atau rendah, bukan jaminan keselamatan. Keselamatan atau kehidupan kekal bukanlah hasil kerja keras manusia, melainkan anugerah: kemurahan Allah di dalam diri Kristus!

 

Seakan pedang bermata dua yang digambarkan dalam Ibrani 4:12, perkataan Yesus tajam menusuk jiwa dan roh dan mengoyak sendi-sendi sumsum orang kaya itu. Ia menjernihkan pikiran dan niat hati dari seorang yang dengan mulutnya meminta ditunjukkan jalan keselamatan: hidup yang kekal. Namun tampaknya, orang itu terlalu melekat dengan keyakinannya bahwa dia adalah orang kaya yang telah diberkati karena kebaikannya. Ia memilih suara egonya dengan melekatkan diri pada harta kekayaannya dan menutup rapat hatinya untuk kebenaran yang disampaikan Yesus yang semula dia sanjung sebagai Guru yang baik!

Bisa jadi, mental spiritual kita juga tidak mengalami pertumbuhan. Kita menjadi manusia yang hanya mau mendengar apa yang menyenangkan kita. Kita begitu melekat dengan pola pikir pandangan sendiri, menutup hati untuk teguran yang memberi peringatan. Bahkan, kita membenci orang yang menunjukkan jalan yang benar. Sama seperti Yerobeam anak Yoas raja Israel dan Uzia raja Yehuda yang membenci teguran. Mereka memilih hidup munafik dengan kekayaan dan kuasanya ketimbang mendistribusikan keadilan dan kasih sayang dari Allah kepada rakyatnya.

 

Menolak egosentrisme bukan sekedar tema dan wacana indah yang dibicarakan. Namun, ia harus menembus hati dan jiwa. Ia harus seperti pedang yang bermata dua, memisahkan pikiran dan niat hati kita. Sehingga, segala kemelekatan itu akan terkikis habis. Menyakitkan! Namun, dampaknya luar biasa. Kita akan terbebas dari pelbagai candu pemikiran sendiri yang membuai dan meninabobokan kita dalam kenyamanan semu!

 

Keluarga yang menolak egosentrisme akan berjuang, saling menolong dalam melewati fase-fase pertumbuhan ego. Setiap anggota keluarga berfungsi sebagai penyambung lidah bibir Allah yang menopang, mengingatkan, dan menyuarakan kebenaran. Sehingga pada akhirnya seluruh anggota keluarga – meminjam teori perkembangan ego menurut Jane Loevinger (1918-2008) – mencapai tahap akhir yang dinamakannya “Integrated” : Tahap ini mirip dengan konsep “aktualisasi diri” milik Maslow. Ego kita menunjukkan kebijaksanaan batin, kita akan bisa berempati mendalam terhadap orang lain, dan tingkat penerimaan diri yang sangat tinggi. Kita menjadi orang yang menerima diri sendiri dengan sukacita. Kita akan dapat menghargai orang lain seperti kita menghargai diri sendiri. Ah, betapa indahnya jika kita memiliki keluarga yang terdiri dari anggota-anggotanya yang mencapai tahap ini. Anda bisa bayangkan bagaimana gereja Anda ketika terdiri dari keluarga-keluarga seperti ini? Kerajaan surga dinyatakan di bumi!

 

Jakarta, 9 Oktober 2024, Minggu Biasa Tahun B

Kamis, 03 Oktober 2024

KELUARGA YANG MEMPERJUANGKAN KESATUAN

Cerita ini semula disampaikan oleh Socrates yang kemudian diceritakan dalam tulisan Xenophon berjudul Memorabilia dan saya menikmati kisah ini berkat tulisan Henry Manampiring dalam The Compass.

 

Suatu hari saat Hercules masih muda, jauh sebelum ia dikenal dengan kisah-kisah kepahlawanannya yang agung, ia berjalan sambil merenungi hidupnya yang terasa hambar, ketika ia menemukan dirinya di persimpangan jalan. Jalan yang sedang ditapakinya bercabang dua: ke kiri dan ke kanan.

 

Hercules mencermatinya. Ia menimbang jalan mana yang harus diambilnya. Ia menoleh ke kanan, jalur ini tampak sulit, sempit, berkelok, dengan permukaan kasar bergelombang, sangat buruk, melintasi bukit berbatu dan gersang, walau di kejauhan jalan tersebut tampak menuju ke pegunungan biru. Berbeda, jalur sebelah kiri sangat lebar dan mulus, rindang dan teduh dengan pohon-pohon besar di sisi kiri dan kanannya. Jalur tersebut melewati padang berumput hijau yang meriah dengan bunga-bunga bermekaran warna-warni, tetapi kemudian memasuki kawasan berkabut tebal yang misterius sebelum akhirnya berujung di pegunungan biru yang sama juga.

 

Ketika Hercules masih termenung berdiri di persimpangan jalan itu, datanglah dua orang perempuan menghampirinya masing-masing dari jalur yang berbeda. Perempuan yang datang dari jalur yang mulus sampai kepada Hercules terlebih dahulu. Ia seorang perempuan yang cantik jelita, dengan pipi merah merona, bibir diwarnai gincu, dan matanya berkilat-kilat. Ia memakai baju yang mewah dengan warna yang mencolok mata. Emas permata menghiasi lehernya yang putih nan jenjang, juga pergelangan tangannya yang mulus bagai putri raja. Suaranya hangat, sedikit menggoda, ketika ia berkata: “Oh, anak muda yang mulia, cukuplah sudah susah payah hidupmu. Ikutlah aku, akan kubawa engkau melalui  jalan yang menyenangkan, di mana tidak ada mendung badai dan kesusahan yang akan mengusikmu. Kamu akan hidup dengan nyaman, diiringi musik indah dan wangi dupa nan harum; kamu tidak akan pernah kekurangan apa pun. Minuman anggur, sofa empuk kulit rusa, atau jubah sutra, dan perempuan-perempuan pelayan jelita – semuanya nanti bagianmu. Ikutlah aku dan hidupmu akan serasa mimpi indah penuh kesenangan saja!”

 

Pada saat itu, perempuan kedua juga tiba di hadapan Hercules. Ia berkata: “Saya tidak bisa menjanjikan apa-apa kepadamu, kecuali bahwa kamu akan menang dengan kekuatanmu sendiri. Jalan yang kutawarkan kepadamu sesungguhnya tidak rata, keras, banyak bukit terjal, dan turunan ke lembah curam berlumpur. Pemandangan dari puncak bukit memang indah memukau, tetapi jurangnya gelap dan sulit untuk dipanjat. Tetapi kamu bisa melihat sendiri, jalan ini akan menuju pada pegunungan indah di ufuk. Pegunungan tersebut tidak bisa dicapai tanpa jerih payah. Bukankah semua hal yang sungguh-sungguh bernilai harus dicapai dengan cara itu? Jika kamu ingin buah mangga, kamu harus menanam dan merawatnya. Jika kamu ingin dicintai sesama, kamu pun harus mengasihi mereka dan menderita untuk mereka. Jika kamu ingin dipilih Kahyangan, kamu harus membuktikan bahwa kamu layak untuk itu. Jika kamu menginginkan kejayaan kekal, jangan menganggap rendah jalan sulit yang membawamu ke sana.”

 

“Siapa namamu?” tanya Hercules pada perempuan kedua.

“Sebagian menyebutku Jerih Payah,” jawabnya, “tapi orang lain menyebutku sebagai Keutamaan.”

 

Kemudian Hercules berpaling kepada perempuan pertama yang menghampirinya, “Dan siapa namamu?”

 

“Sebagian menyebutku Kenikmatan.” Jawabnya dengan senyum genit, “Tetapi aku lebih suka menyebut diriku Si Senang dan Gembira.”

 

“Keutamaan,” kata Hercules, “Kamulah yang akan menjadi panduku. Jalan jerih payah dan kerja jujur akan menjadi milikku, dan hatiku tidak akan lagi mengizinkan kepahitan dan kekecewaan.” Selanjutnya, Keutamaan menggandeng tangan Hercules memasuki jalan terjal, berbatu, dan keras itu. Dan benar, kehidupan Hercules kemudian akan diisi dengan penuh penderitaan, perjuangan, air mata, keringat dan darah. Namun, sesudah ia melalui itu semua, Hercules bergabung dengan para dewa-dewi di Kahyangan dengan segala kemuliaannya.

 

Mitos ini menggambarkan dengan tepat bahwa tidak ada kebahagiaan tanpa perjuangan. Tidak ada kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga yang diraih tanpa perjuangan. Peneguhan dan pemberkatan nikah sehebat dan semahal apa pun tidak akan mewujudkan kebahagiaan jika tidak diperjuangkan oleh masing-masing pihak yang telah dipersatukan Tuhan. Bisa jadi, perjuangan itu melalui jalan terjal, keras, berbatu, penuh dengan onak duri dan air mata. Namun, percayalah bahwa hasilnya itu tidak akan menghianatiperjuangan!

 

Ketika Yesus melanjutkan perjalanan-Nya ke Yudea dan daerah seberang Sungai Yordan. Banyak orang datang berkerumun mengikuti-Nya. Sebagaimana biasanya, Yesus memakai kesempatan ini untuk mengajar mereka. Di antara orang banyak itu ada beberapa orang Farisi. Mereka datang bukan untuk menyimak apa yang diajarkan Yesus tetapi mencari celah untuk menjatuhkan-Nya di hadapan umum. Rancangan pertanyaan biasanya dijadikan umpan untuk menjerat Yesus. Kali ini mereka bertanya tentang boleh tidaknya seorang suami menceraikan istrinya. Mendengar soal ujian ini, Yesus balik bertanya, “Apa perintah Musa sehubungan dengan pertanyaan kalian?”

 

Satu-satunya perikop dalam Taurat yang berbicara tentang perceraian adalah Ulangan 24:1-4. Kutipan ini menyatakan bahwa menurut Hukum Musa, seorang suami boleh menceraikan istrinya dengan syarat memberikan surat cerai.

 

Di luar dugaan kaum Farisi, Yesus memberi penafsiran baru tentang aturan main perceraian itu, “Karena kekerasan hatimulah, Musa mengizinkan perceraian!” Bagi Yesus, pemberian izin melalui surat perceraian itu diberikan karena tuntutan dan desakan manusia, bukan karena mengikuti kehendak Allah. Sebab, menurut Yesus, sejak semula Allah tidak menghendaki adanya perceraian. Allah menciptakan manusia; laki-laki dan perempuan dan menyatukan mereka dalam perkawinan sehingga keduanya menjadi satu daging. Mereka tidak lagi menjadi dua, melainkan satu. Jika manusia mempercayai bahwa Allah yang menyatukan, mustahil Ia merestui perceraian. Maka dengan sangat logis Yesus mengingatkan kepada mereka bahwa apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia!

 

Allah mempersatukan manusia; laki-laki dan perempuan dalam ikatan perkawinan, dan manusia tidak mempunyai hak untuk menceraikan apa yang telah disatukan Allah itu. Tegasnya, tidak dibenarkan seorang suami menceraikan istrinya karena tindakan itu bertentangan dengan kehendak Allah yang dinyatakan sejak awal mula penciptaan semesta ini.

 

Tampaknya apa yang dijelaskan Yesus sulit diterima tidak hanya oleh kaum Farisi tetapi juga para murid. Para murid yang hidup dalam tradisi Yudaisme jelas hidup dalam tarikan nafas yang sama dengan para pengajar Taurat itu. Ini terbukti ketika sampai di rumah, mereka bertanya lagi dan meminta penjelasan lebih lanjut dari Yesus (Markus 10:10). Sebagai laki-laki Yahudi mereka merasa memiliki hak untuk menceraikan istrinya karena Hukum Musa memang mengizinkannya. Dalam hukum agama Yahudi, istri dianggap sebagai milik suami (lihat Keluaran 20:17). Seorang istri yang berhubungan dengan laki-laki yang bukan suaminya dianggap berzina terhadap suaminya. Namun, seorang suami yang berhubungan dengan perempuan lain yang bukan istrinya, tidak dianggap berzina terhadap istrinya. Ini terbukti, mereka yang selalu diadili karena kasus perzinaan adalah kaum perempuan!

 

Yesus tidak menerima anggapan bahwa Istri adalah milik suami. Yesus menolak bahwa istri disamakan seperti benda yang ditentukan kepemilikannya. Ia memandang keduanya; laki-laki dan perempuan setara karena diciptakan oleh Allah dan disatukan menjadi satu daging. Siapa pun, suami atau istri yang merusak hubungan mereka jelas keliru. Karena itulah Yesus menegaskan bahwa orang yang menceraikan istrinya lalu kawin dengan perempuan lain berbuat zina terhadap istrinya dan istri yang menceraikan suaminya lalu kawin dengan laki-laki lain, ia berzina terhadap suaminya.

 

Memperjuangkan kesatuan dalam keluarga jelas tidak mudah. Pilihan mudah, jalan pintas selalu menggoda kita: cerai! Kisah Hercules mengingatkan kita, ia tidak memilih jalan mudah. Mungkin keluarga Anda saat ini sedang berada dalam jalan terjal, ujung tebing kehancuran atau lembah kekelaman penuh air mata. Bulatkan tekad, katakan pada hati Anda seperti Hercules mengatakannya, “aku tidak mengizinkan kepahitan dan kekecewaan memenuhi hatiku! Aku akan menatap ke depan, bersama anak-anak dan semua kenangan indah bahwa di sana Tuhan akan menibakan aku pada pegunungan biru yang indah!”

 

Perjuangan itu pertama-tama ada dalam ranah iman, yang menyebar pada pemikiran kita. Kendalikanlah ambisi dan  ketakutan kita untuk tidak dihargai dan diabaikan. Selanjutnya, jadilah seperti Hercules yang mau menempuh jalan penderitaan. Rasanya kisah heroik Hercules yang berujung pada kemuliaan itu sepadan dengan perjuangan berat yang dihadapinya. Percayalah bahwa perjuangan berat Anda yang disertai peluh dan air mata, jika dilakukan dalam Tuhan, akan melampaui kebahagiaan Hercules! Wujudkanlah perjuangan itu dengan hal-hal sederhana: senyum, pelukan sama seperti Yesus melakukannya terhadap anak kecil. Ucapan terima kasih dan maaf adalah hal-hal yang mungkin sepele tapi percayalah hal itu pasti keluar dari jiwa yang besar. Ingatlah, jangan terus merawat luka yang bersarang dalam hatimu. Lebih baik, rawatlah cinta walaupun kecil, ia akan bertumbuh dan nanti semaraknya bak bunga warna-warni di kebun rumah tangga kita!

 

Jakarta, 3 Oktober 2024, Minggu Biasa Tahun B (Perjamuan Kudus sedunia dan Pembukaan Bulan Keluarga)