Kamis, 30 Mei 2024

SABAT YANG SEJATI

Otoritas selalu menimbulkan pro dan kontra; diperlukan atau tidak. Tentu saja bagi pemegang otoritas, ini perlu dilanggengkan. Otoritas menginginkan pengakuan dan terus menerus mencari cara untuk menegaskan status mereka. Dokter dan peneliti mengenakan jas putih, Direktur bank menggunakan jas dan dasi. Raja memakai mahkota. Pendeta dan hakim memakai toga. Anggota militer menyandang pangkat. Kaum Farisi menggunakan Taurat sebagai sandaran otoritas mereka! Bagaimana dengan Anda? 

 

Stanley Milgram, seorang psikolog mendemonstrasikan bias otoritas (authority bias) dengan jelas dalam percobaan tahun 1961. Subyek penelitian dimintanya untuk mengatur peningkatan sengatan listrik terhadap orang yang berada di sisi lain satu panel kaca. Mereka diminta untuk memulai dengan kekuatan 15 volt, lalu 30 volt, 45 volt, dan seterusnya, sampai mencapai kekuatan maksimum – dosis maut, 450 volt! Sebenarnya ini tidak sungguh-sungguh ada aliran listrik. Milgram bekerja sama dengan seorang aktor yang berperan sebagai korban, tetapi orang yang bertugas mengatur sengatan listrik tidak mengetahuinya. Hasilnya mengejutkan! Ketika orang yang berada di seberang ruangan meratap dan merintih kesakitan dan subyek penelitian yang mengatur sengatan listrik ingin berhenti, profesor akan berkata, “Teruskan demi percobaan ini!” Sebagian besar subyek peneliti melanjutkan memberikan “hukuman” listrik. Lebih dari separuh peserta melanjutkan sampai akhir ke voltase maut, semata-mata karena ketaatan pada otoritas!

 

Bayangkan, demi ketaatan kepada otoritas, nurani harus dibungkam, penderitaan sekarat orang yang ada di depan mata, jangankan diberi pertolongan alih-alih sengaja dibuat menderita. Hari ini, berapa banyak orang dibuat menderita oleh kekerasan atas nama agama, radikalisasi karena ketaatan membabi buta terhadap otoritas yang mengharuskan melakukan tindakan itu. Bagaimana dengan nalar? Ah, jauhkan dulu itu! Apakah nuraninya baik-baik saja? Jangan bicara hati nurani, lebih baik di parkir dulu di tempat paling belakang!

 

Authority bias, sindrom ini menjangkiti sekelompok Farisi yang melihat Taurat dengan penafsiran hurufiah. Akibatnya, orang yang melanggar hukum itu harus diberi sangsi! Suatu hari Sabat, Yesus bersama dengan para murid-Nya melakukan perjalanan. Mereka melintasi sepetak kebun gandum. Bisa jadi pada saat itu mereka kehabisan bekal dan perut mereka tidak bisa diajak kompromi. Lapar! Terpaksa mereka memetik bulir-bulir gandum itu dan langsung dimakan. Sampai di sini kelompok Farisi itu tidak mempermasalahkan bahwa mereka memetik gandum milik orang lain tanpa permisi. Sebab, menurut hukum Taurat (Ulangan 23:25), orang yang lapar ketika melewati ladang orang boleh memetik bulir gandum dengan tangannya, tanpa memakai sabit. Itu pun harus langsung dimakan. Jelas, otoritas hukum yang baik; demi menyelamatkan kehidupan – kematian akibat kelaparan – manusia diperbolehkan mengambil milik orang lain.

 

Otoritas ini tidak berlaku ketika dikaitkan dengan Sabat! Memetik gandum, meki hanya sebutir dan untuk memertahankan kehidupan jika itu dilakukan pada hari Sabat merupakan sebuah pekerjaan dan itu dilarang. Bagi pelanggarnya harus dihukum dengan pelemparan batu (Misnah, Sanhendrin 7:4).

 

Yesus menanggapi keberatan orang Farisi itu dengan mengingatkan mereka pada peristiwa Daud dan para pengikutnya yang melarikan diri dari kejaran Saul. Dalam pelarian itu, Daud dan para pengikutnya sampai di Nob, tempat Abyatar menjabat sebagai imam. Mereka sedang kelaparan dan memerlukan makanan supaya dapat bertahan hidup. Daud pun mendatangi sang imam di rumah Allah untuk meminta makanan bagi dirinya sendiri dan para pengikutnya. Ternyata tidak ada makanan di tempat itu, selain roti sajian yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Daud tahu aturan itu dan ia sadar bahwa dirinya bukanlah seorang imam. Namun, demi keselamatan diri dan para pengikutnya, Daud memakan roti sajian itu dan memberikannya kepada para pengikutnya (1 Samuel 21:1-6).

 

Yesus mengingatkan peristiwa Daud itu agar orang Farisi itu memahami apa yang dilakukan oleh murid-murid-Nya. Daud dan Abyatar lebih memperhatikan pertimbangan kemanusiaan daripada peraturan. Bagi mereka keselamatan manusia lebih penting ketimbang ketaatan pada otoritas hukum dan penafsirannya. Sejalan dengan itu, Yesus tidak melarang para murid-Nya memetik gandum sekalipun hal itu dilakukan pada hari Sabat!

 

Berangkat dari perdebatan ini, Yesus mempunyai kesempatan untuk mengembalikan ketaatan manusia – dalam hal ini diwakili oleh kaum Farisi – dari otoritas hukum harafiah kepada otoritas yang sesungguhnya, yakni pada Sang Pembuat hukum itu sendiri yang memahami kerapuhan manusia. “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Hari Sabat!” kata-Nya dengan tegas. Yesus mengingatkan mereka akan tujuan awal penganugerahan Hari Sabat kepada orang Israel yang baru saja lepas dari perbudakan di Mesir. Di Mesir, mereka menjadi budak, mereka tidak pernah mengenal Hari Sabat, mereka tidak mengenal istirahat. Bayangkan, sepanjang hari, sepanjang minggu, bulan, dan tahun mereka bekerja tanpa henti! Tetapi, setelah mereka dibebaskan dari Mesir, Allah – melalui sepuluh hukum-Nya – memberikan Hari Sabat, yaitu hari ketujuh dalam setiap minggu, untuk beristirahat. Dengan demikian Allah menganugerahkan Sabat supaya kehidupan mereka lebih baik, bukan lebih sulit!

 

Tindakan Yesus yang membiarkan para murid memetik gandum pada Hari Sabat dan penjelasannya tentang Hari Sabat itu dengan jelas menunjukkan bahwa Ia adalah Tuhan atas Hari Sabat. Ia menyatakan bagaimana Hukum Sabat itu harus dijalankan dan bagaimana manusia harus menempatkan otoritas yang sebenarnya dari Hari Sabat.

 

Bantahan Yesus terhadap argumen Farisi mendatangkan simpati dari orang banyak, khususnya mereka yang miskin dan tidak dapat memelihara Sabat. Mereka harus mengais rejeki! Jelas, hal ini membuat kelompok Farisi itu semakin gerah. Mereka ingin membalas tindakan Yesus. Karena itu mereka terus mengikuti dan mencari-cari kesalahan yang mungkin dilakukan oleh Yesus. Sepertinya Yesus tahu dan membiarkan mereka mengikuti-Nya bahkan seolah-olah Yesus memberi panggung kepada mereka.

 

Kesempatan itu terjadi ketika Yesus berada di sinagoga. Hari Sabat itu, datanglah seorang yang sakit: sebelah tangannya mati. Yesus menyuruh orang yang sakit itu berdiri di tengah ruang ibadah. Dengan demikian semua orang yang hadir dalam rumah ibadat itu tahu apa yang dilakukan Yesus. Di sini Yesus mengajukan pertanyaan retoris: “Manakah yang diperbolehkan pada Hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan orang atau membunuhnya?” Jawabannya jelas: Yang diperbolehkan pada Hari Sabat adalah berbuat baik! Hukum Sabat bukan hanya perkara mana yang boleh atau tidak untuk dilakukan, melainkan soal berbuat baik atau berbuat jahat. Kaum Farisi ini tentu saja tahu jawabannya tetapi mereka memilih bungkam. Bisa saja mereka tidak menduga akan apa yang dilakukan Yesus. Mereka bermaksud menjebak Yesus, apa daya ilmunya kurang tinggi! 

 

Tentu saja Yesus tidak bermaksud melecehkan mereka, tetapi Ia sangat sedih dan marah ketika melihat kekerasan hati mereka. Selanjutnya, Yesus menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya itu.

 

Yesus telah mengajarkan untuk kita memaknai Hari Sabat dengan benar. Sabat yang sejati bukan hanya bicara mana yang boleh atau tidak untuk dikerjakan. Melainkan, sejauh mana aturan Sabat itu menolong kehidupan manusia untuk lebih baik dan menolong manusia untuk lebih leluasa berbuat kebajikan bagi sesamanya. Yesus hendak mengembalikan otoritas yang sesungguhnya itu bukan melekat pada peraturan hukum dan penafsirannya tetapi pada otoritas yang sesungguhnya, yakni Allah sendiri yang mengerti dan peduli pada kerapuhan manusia. 

 

Gereja dan kita dapat terjebak pada bias otoritas, memahami peraturan-peraturan agama hanya pada layer permukaan saja, sementara jiwa dan otoritas yang sesungguhnya, yakni Allah yang mengasihi orang berdosa tidak terangkat ke permukaan, akibatnya kita seperti Farisi yang gemar menuduh orang dan tidak awas terhadap diri sendiri!

 

Jakarta, 30 Mei 2024, Minggu biasa Tahun B  

Kamis, 23 Mei 2024

ALLAH YANG MENYATAKAN DIRI

Generasi strawberry! Apa itu? Istilah ini muncul pertama kalinya di Taiwan untuk menunjuk pada generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi rapuh: mudah menyerah dan gampang baperan. Generasi yang tidak tahan banting; tidak seperti orang tuanya yang ditempa pelbagai pengalaman keras untuk menjadi sukses. Mungkin juga akibat pengalaman pahit getirnya kehidupan untuk mencapai sukses, para orang tua tidak menginginkan anak-anak mereka hidup galam kegetiran. Strawberry kelihatan eksotis tetapi mudah hancur saat terpapar tekanan atau tantangan. Kenyamanan dan keamanan yang terlalu besar justru melahirkan generasi strawberry. Sebaliknya, ancaman dan bahaya yang terelalu besar membuat manusia tersandera. Tidak bisa bergerak!

 

Lalu, bagaimana caranya agar kita dapat menata masa depan dengan bergerak keluar dari zona nyaman dan menyambut hal-hal yang tidak dapat diperhitungkan?

 

Nikodemus jelas bukan termasuk generasi strawberry. Namun, status dan latar belakang membuat dirinya berada dalam zona nyaman yang mumpuni. Ia seorang pemimpin agama Yahudi, anggota dewan Sanhedrin dari poros Farisi, jagoannya Taurat! Kegelisahannya tidak dapat disembunyikan. Malam itu bisa jadi ia tidak bisa tidur atau gelapnya malam menolongnya agar tidak terlihat oleh kelompoknya bahwa ia ingin ngobroldengan orang yang mulai populer saat itu. Yesus!

 

Nikodemous membuka percakapan. Ia mulai berbicara dengan rasa hormat, tetapi jelas tutur katanya memerlihatkan seorang yang sangat percaya diri dengan latar belakangnya itu. “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah…” (Yohanes 3:2) sebuah pernyataan sanjungan! Berhadapan dengan kepastian dan kepercayaan diri yang tinggi itu, Yesus mulai membimbing Nikodemus untuk melihat dimensi lain dari kehidupan. Samar tetapi ada, tidak kasat mata namun terasa!

 

Yesus menjawab pertanyaan Nikodemus tentang hidup yang kekal, kata-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Dalam kebingungan dan dengan gaya Semit, Nikodemus menjawab dengan mengajukan pertanyaan, “Bagaimana mungkin seorang dilahirkan, kalau ia sudah tua? Dapatkah ia masuk kembali ke dalam rahim ibunya dan dilahirkan lagi? Lalu Yesus mengulang kembali ucapan-Nya.

 

Nikodemus yang terbiasa dengan logika nalar dan kepastian yang selalu terukur kini masuk dalam narasi Yesus yang membuka jalan baru, yakni: jalan ketidaktahuan, dengan lahir dari atas; lahir bukan dari darah dan daging tetapi dari Roh. Itu berarti menjadi seperti anak lagi, anak Allah, pribadi yang sungguh-sungguh baru dengan mendengarkan Roh Allah dan membiarkan diri untuk dipimpin oleh Roh itu.

 

Ini jalan baru, jalan yang tidak kasat mata tetapi ada! Bukankah kerinduan setiap insan selalu ingin lagi memulai yang baru apabila yang telah dikerjakannya hancur berantakan? Saya lupa tahunnya, yang selalu ingat ketika beberapa kali berkunjung ke lembaga pemasyarakatan di Nusakambangan, mayoritas terpidana seumur hidup atau hukuman mati selalu mengatakan, “Andai kata waktu dapat diulang, andai kata saya dapat dilahirkan lagi, saya tidak mau hidup seperti ini!”

 

Yesus menuntun Nikodemus keluar dari zona nyaman, dari penguasaan logika dan hukum menuju jalan baru yang mengandung risiko, ketidakpastian dan rapuh. Ini mengandaikan intuisi dan kepercayaan lebih dari sekedar nalar dan akal budi. Ini samar tetapi nyata: ada saatnya dalam hidup kita, ketika tidak menggunakan akal budi kita; kita begitu saja tahu dalam hati bahwa ini atau itu penting dan harus dikerjakan atau, suara batin itu mencegah kita untuk tidak melakukan ini dan itu. Ajaib, di situlah tempat Roh bekerja!

 

Paulus yang telah merasakan pengalaman itu, mencatat: “Roh, yang memberi hidup telah memerdekakan kamu dalam Kristus dari hukum dosa dan hukum maut … Semua orang yang dipimpin Roh Allah adalah anak-anak Allah” (Roma 8:2;14). Roh itu mengundang kita untuk mengikuti Yesus secara utuh. Roh itu menolong kita untuk menjadi seperti Yesus. Roh itu tahu bahwa kita tidak akan mampu berjuang sendiri untuk mengikuti Yesus. Maka seperti yang dikatakan Paulus dalam Roma 8:26, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita…”.

 

Kita tidak selalu tahu ke mana Roh Allah memimpin kita. Kita tidak dapat mengontrol Roh itu, namun mestinya kitalah yang membiarkan diri dikontrol dan dipimpin oleh-Nya. Allah campur tangan dalam hidup kita percis ketika kita membuka diri lalu membiarkan Roh Allah itu menunjukkan jalan-Nya kepada kita. Ke tempat kita merasa miskin dan tidak aman, ke tempat kita berada dalam persimpangan jalan di situlah Ia memimpin kita. Pada waktu kita tidak tahu apa yang harus kita perbuat dan memohon terang kepada Allah itulah, Allah memberikan terang-Nya yang ajaib kepada kita!

 

Latar belakang Nikodemus membuatnya mempunyai keyakinan yang pasti. Ia mengetahui hukum. Ia sangat rasional! Jelas, kepastian teologis dan hukum penting dan perlu. Kita perlu pengetahuan yang memadai tentang Kitab Suci. Kita juga dituntut melalui akal budi dan logika kita menjelaskan apa dan siapa yang kita percaya. Namun, disadari atau tidak keyakinan, nalar, teologi dan hukum dapat membuat kita tertutup pada diri sendiri; khususnya ruang yang begitu suci dan mulia dalam diri kita, yakni: nurani dan ruang batin di mana Roh itu berkarya. Ini tidak tampak, namun ada!

 

Kepada Nikodemus dan tentunya juga kepada kita, Yesus menyatakan bahwa Dialah yang telah datang untuk menggenapkan janji Allah yang telah dinyatakan oleh para nabi. Dialah yang akan memberikan kehidupan baru dalam Roh kepada kita. Melalui kiasan baptisan air yang pada hakikatnya membuka pintu batin kita untuk Roh berkarya, dengan jalan itulah kita masuk dalam Kerajaan Allah, kita dilahirkan kembali dan menjadi anak-anak Allah untuk menikmati hidup yang kekal!

 

Dalam percakapan dengan Nikodemus, Yesus menyebut diri-Nya sebagai Dia yang turun dari surga: Anak Manusia. Ia menjamin bahwa kita akan hidup kalau kita memandang Dia dan percaya kepada-Nya ketika Ia ditinggikan pada salib, seperti halnya Musa yang meninggikan ular tembaga di padang gurun. Kita menerima hidup kekal dan dilahirkan kembali dari atas dalam Roh melalui iman dan kepercayaan kita kepada Yesus.

 

Melalui percakapan Yesus dan Nikodemus kita melihat peran Allah Bapa yang mengutus Yesus, Anak-Nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan memperoleh kehidupan yang kekal. Yesus Kristus sendiri yang menerjemahkan kasih itu menjadi hidup. Ya, hidup di dalam diri-Nya. Kasih menjadi jelas dan nyata! Lalu Roh Kudus yang membuat hati manusia berbalik dan percaya kepada-Nya, mengikuti apa yang diajarkan dan diteladankan oleh Yesus. Bapa, Anak, dan Roh Kudus telah berbagi ruang, saling mengisi dan memberi. Perikoresis! Ya, tarian itu begitu indah sehingga persekutuan kekal itu ingin mengajak kita masuk dalam tarian itu. Semoga!

 

 

Jakarta, 23 Mei 2024. Minggu Trinitas tahun B