Rabu, 08 Mei 2024

SEBUAH PERPISAHAN

Dua puluh tahun telah berlalu. Namun, peristiwa itu tidak pernah luntur dari ingatannya. Sang Ayah yang menjadi tumpuan hidup keluarga harus berpulang karena sakit kanker yang dideritanya. Kenangan kecil selalu melintas di benaknya ketika Sang ayah mengantarnya pergi ke sekolah. Ada saja yang menjadi bahan pembicaraan. “Ya, harus diakui Ayah sangat pandai menyisipkan filosofi kehidupan dalam setiap percakapan.

 

Sebut saja namanya Syukur. Sejak kepergian Sang Ayah, Syukur tidak bisa melewatkan masa kecilnya seperti teman-temannya. Sepulang sekolah ia harus membantu ibunya mengais rejeki agar bertahan hidup di kota yang tampaknya kejam. Ya, perpisahan dengan Sang Ayah sangat menyakitkan. Sebuah perpisahan yang terlalu dini buat Syukur!

 

Sambil menengadah ke langit-langit, wajah Sang ayah tampak jelas. Ucapannya sewaktu ngobrol dalam setiap perjalanan dari dan ke sekolah itu seakan terdengar kembali. “Seorang laki-laki, layak disebut lelaki kalau ia tidak menggunakan tangannya untuk memukul! Seorang anak Tuhan akan terbukti kualitasnya bukan karena ucapannya, tetapi karena seluruh perilaku dan apa yang dikerjakannya dengan baik. Kejujuran, bisa jadi membuatmu tidak nyaman dan dimusuhi. Namun, kalau kamu bisa membayarnya, nilaimu sangat tinggi. Kamu tidak terbeli oleh uang dan materi! Kelak kalau kamu sudah bekerja, bekerjalah sebaik-baiknya, bukan hanya untuk mencari makan tetapi membuktikan dirimu seorang yang berkualitas, seorang anak Tuhan, maka kamu akan mengerjakannya dengan sangat baik, teliti dan bertanggung jawab!” Itulah sebagian kata-kata yang diingatnya.

 

Ternyata, nilai-nilai dari percakapan itu tertanam begitu kuat dalam diri Syukur. Meskipun masa-masa sekolah dijalaninya dengan tertatih-tatih, akhirnya ia lulus juga. Nilai-nilai kehidupan itu benar-benar ia terapkan dalam pekerjaan. Kini, dalam keberhasilannya ia mengenang kembali sebuah perpisahan yang menyakitkan dari kepergian Sang Ayah. Kali ini berbeda, dua puluh tahun setelah berlalu, apa yang menyakitkan itu dilihatnya dari perspektif baru. Syukur tidak perlu lagi meratapinya, alih-alih ia bersyukur. Kepergian Sang Ayah membuatnya tumbuh menjadi seorang anak yang beranjak dewasa bukan saja dari segi usia tetapi juga dari sisi mental spiritual. Syukur bangga mempunyai ayah yang walau sudah tiada tetapi nilai-nilai ajarannya terus hidup di dalam dirinya!

 

Ya, perpisahan sering kali punya bobot kesedihan yang lebih berat ketimbang kegembiraan. Bagaimana tidak, ada kenyamanan yang terpaksa harus dilepas. Ada situasi baru yang masih misteri di depan yang harus dijalani tanpa orang yang selama ini bisa diandalkan. Dalam peristiwa Yesus naik ke surga, saya mencoba berada di tengah-tengah para murid. Perpisahan karena kematian yang telah merenggut Yesus beberapa minggu lalu, kini sudah pulih dengan kebangkitan-Nya. Yesus kembali lagi, Ia memberikan pemulihan baru kepada para murid yang kadung kecewa dan frustasi. Harapan itu mekar kembali, maka tidaklah heran kalau para murid meminta-Nya, “Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kembali kerajaan bagi Israel?”Ini kesempatan, dan Yesus pasti bisa. Ia yang telah mengalahkan mau, maka untuk mengalahkan imperialis itu bukanlah perkara yang sulit. Sayangnya Yesus tidak menanggapi, alih-alih Ia menyiapkan agar para murid kelak menjadi saksi-Nya mulai dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi!

 

Yesus yang tampil di depan mereka tidak memenuhi apa yang mereka inginkan. Kali ini perpisahan secara fisik sungguh-sungguh terjadi. Selesai memberkati mereka, Yesus terangkat ke surga. Awan putih menutupi-Nya, tinggallah mereka menatap langit dengan tatapan kosong. Beruntung, malaikat Tuhan mengingatkan mereka untuk tidak terus menatap langit. Yesus kelak akan datang kembali! Saya kira perpisahan yang kedua ini tidak kala menyakitkan buat para murid. Bagaimana tidak? Harapan untuk memulihkan keemasan kerajaan Israel sama sekali pudar dan Yesus yang banyak melakukan mukjizat dan mengajar dengan penuh kuasa itu sekarang tidak lagi ada bersama-sama dengan mereka!

 

Dalam kesedihan itu, mereka mengingat pesan Tuhan. Mereka kembali ke Yerusalem untuk tekun sehati sepikir di dalam doa. Persiapan seperti inilah yang kemudian memungkinkan untuk mereka bersiap menyambut Roh Kudus yang dijanjikan itu turun ke atas mereka.

 

Dalam persekutuan kecil yang sehati-sepikir itu sangat mungkin mereka mengingat kembali setiap ajaran dan teladan yang diberikan oleh Yesus Sang guru dan Tuhan mereka. Bagai Si Syukur yang mengingat kembali nilai-nilai kehidupan yang sering diceritakan oleh bapaknya. Para murid dalam perenungan mereka dipertajam untuk melihat Yesus secara baru. Yesus yang tidak ada secara fisik namun hadir dalam ingatan dan spiritual mereka. Kehadiran batiniah inilah yang membuat mereka perlahan-lahan memaknai apa artinya sebuah perpisahan.

 

Ya, perpisahan tidak melulu dimaknai negatif dan menyedihkan. Di sini para murid mulai menyadari; memang tepat dan benar apa yang pernah dikatakan oleh Sang Guru, bahwa: “Adalah lebih berguna bagi kamu, jika Aku pergi. Sebab jikalau Aku tidak pergi, Penghibur itu tidak akan datang kepadamu, tetapi jika Aku pergi, Aku akan mengutus Dia kepadamu.” (Yohanes 16:7). Perpisahan itu menjadi lebih berguna untuk para murid agar Roh penghibur itu datang dan menguatkan mereka untuk menjadi saksi Kristus. Menjadi saksi tentu bukan dengan perkataan saja, melainkan seperti apa yang dilakukan Yesus.

 

Jadi, kepergian Yesus membuka peluang agar para murid meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Yesus. Dengan demikian sekarang, para murid bukan hanya sebagai saksi-saksi yang melihat, mendengar, dan mengalami segala tindakan dan perkataan Yesus. Para murid juga bukan sekedar orang yang menerima pelayanan Yesus. Kini, dengan kepergian Yesus kembali ke surga menaikkan derajat mereka. Mereka menjadi pelaku, bukan lagi saksi atau penerima pelayanan Yesus. Mereka adalah pelaku yang meneruskan karya Yesus. Artinya, mereka adalah orang-orang yang dipercaya untuk menyebarkan Injil Kerajaan Allah!

 

Para murid, sama seperti Si Syukur itu akan berani menghadapi pelbagai tantangan. Jika Si Syukur mengingat akan nilai-nilai kehidupan dari bapaknya, para murid akan mengingat dan termotivasi oleh ajaran dan pelayanan Yesus yang telah mereka saksikan sendiri. Mereka akan menjadi manusia-manusia yang berguna untuk mengalirkan cinta kasih Allah dari Yerusalem sampai ujung-ujung bumi. Dalam tataran inilah perpisahan menjadi lebih bermakna. Lebih dari sekedar kesedihan melankolis. Namun, kini menjadi sukacita oleh karena Yesus Kristus menaruh kepercayaan besar kepada setiap murid-Nya untuk menjalankan kesaksian yang benar!

 

Hari ini, Yesus secara fisik tidak lagi bersama dengan kita. Namun, Ia hidup dalam batin setiap orang yang percaya kepada-Nya. Dalam batin kita Ia berbicara dan menunjukkan kebenaran, Ia juga mempercayakan kepada kita semua untuk terus melanjutkan apa yang dulu dikerjakan-Nya: Memberitakan Injil Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya sampai ujung-ujung bumi!

 

Jakarta, 6 Mei 2024 Hari Kenaikan Yesus Kristus Ke Surga, tahun B

Kamis, 02 Mei 2024

APIK : ANTI PILIH KASIH

Ketika dipandang rumit, Albert Einstein menerangkan teori relativitas begini, “Seorang lelaki meletakkan tangannya di atas kompor panas selama satu menit, rasanya seperti satu jam. Sementara, lelaki yang sama duduk dengan seorang gadis cantik selama satu jam, rasanya seperti satu menit!”

 

Kasih sering terperangkap dalam relativitas. Derajat atau mutu sebuah tindakan kasih tergantung kepada siapa hal itu diberikan. Sebuah tindakan kasih nyaris tidak mungkin dilakukan kepada orang yang pernah melukai dan menyebalkan kita. Sebaliknya, akan terasa berlebihan ketika ditujukan untuk orang-orang yang punya hubungan spesial dengan kita. Celakanya, walau ini terasa manusiawi dan sejalan dengan teori Einstein namun tidak sejalan dengan ajaran Yesus: “Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosa pun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.” (Lukas 6:32).

 

Buat Yesus, kasih bukan relativitas yang ditentukan oleh mood. Kasih bukan juga transaksi: kamu memberi apa, maka saya akan membalas sebanding dengan pemberianmu itu. Kalau begini berarti impas, benar kata Yesus: “Apa jasamu?” di mana yang disebut kasih? Tidak ada!

 

Kata yang mudah diucapkan tetapi sulit untuk dilakukan adalah “kasih”. Jangankan mengasihi musuh atau orang yang membuat sulit hidup kita, mengasihi orang-orang terdekat pun terasa begitu sulit ketika apa yang menjadi keinginan dan harapan diri tidak didapatkan dari orang-orang tersebut. Begitu banyak relasi keluarga; suami-istri berantakan padahal mereka sebelumnya mengucapkan janji suci di hadapan Allah dan manusia, di belakang itu entah berapa banyak janji-janji gombal telah terucap!

 

Terhadap orang-orang yang menurut logika relativitas dan sangat manusiawi kita dapat mengasihi dengan optimal saja sulit untuk diwujudkan, apalagi terhadap orang-orang di luar ring satu dan mereka yang memusuhi kita. Nyaris mustahil! Mengasihi tanpa pandang bulu hanya ada dalam wacana atau ajaran yang pamornya sangat tinggi!

 

Apakah benar kalau Yesus meletakkan dasar ajaran tentang kasih hanya demi pamor dan agar terlihat beda kualitas dari ajaran-ajaran kasih yang lain? Melihat dari rol model – yakni diri-Nya sendiri – dan konsistensi tindakan kasih sampai akhir hidup-Nya yang tragis itu, kita harus jujur mengatakan: “Tidak!” Yesus mengajarkan cinta kasih bukan untuk pamer kepada dunia bahwa ajaran-Nya lebih berkualitas. Namun, inilah kasih yang sesungguhnya itu! 

 

Bukan perkara mustahil para murid akan melakukan tindakan kasih yang sama dengan Yesus, asalkan kita tinggal di dalam-Nya. Inilah yang minggu kemarin kita dengar dalam perumpamaan ranting anggur yang berbuah. Jika kita tinggal di dalam Dia, maka kita akan menghasilkan buah. Lalu, apa artinya tinggal di dalam Yesus?

 

Ketika calon murid-murid pertama bertanya kepada Yesus, “Rabi, di manakah Engkau tinggal?” Yesus menjawab mereka: “Marilah dan kamu akan melihatnya.” Mereka pun datang dan melihat di mana Ia tinggal, dan hari itu mereka tinggal bersama-sama dengan Dia.” (Yohanes 13:38,39). Ini adalah gambaran fisik, sejak awal murid-murid tinggal bersama dengan Yesus. Tinggal bersama dengan Yesus berarti berada satu rumah, kita merasa kerasan tinggal bersama-Nya. Rumah itu adalah tempat yang memberikan rasa damai satu terhadap yang lain. Rumah itu adalah tempat untuk saling berbagi, peduli satu dengan yang lain. Rumah persahabatan!

 

Dengan tinggal di dalam Yesus, kita menghasilkan buah. Buah itu bukan terjadi dengan sendirinya. Buah itu adalah karena relasi kita dengan Yesus. Tinggal bersama-Nya akan membuat kita menyadari bahwa bukan saja kita yang membutuhkan-Nya, ternyata Dia juga memerlukan kita. Ya, seperti ranting itu. Ia keluar dari pokoknya, ranting diperlukan agar buah itu keluar!

 

Tinggal di dalam Yesus dan menghasilkan buah, ini mengandaikan bahwa kasih dalam relasi persahabatan dengan Yesus akan mengalir melalui kita kepada semua orang yang Allah izinkan berjumpa dengan kita. Kepada mereka cinta kasih itu mengalir. Kita akan mampu mengasihi orang lain seperti Yesus mengasihi mereka. Kita akan dapat melayani bahkan “membasuh” kaki mereka sama seperti Yesus melayani mereka. Kita mampu melakukan semua itu bukan dari diri kita sendiri, tetapi ada aliran kasih sejati yang mengalir dalam darah kita, yakni: kasih Yesus! Itulah sebabnya, untuk dapat mengalirkan kasih yang demikian kita harus tinggal, melekat pada “pokok anggur yang benar”! 

 

Ketika darah persahabatan dengan Yesus itu mengalir dalam tubuh kita, maka menuruti perintah-Nya bukanlah sebuah tindakan sulit atau mustahil. Lagi pula, perintah itu tidak dimaknai seperti perintah komando militer; jendral terhadap anak buahnya atau seperti instruksi manager terhadap bawahannya. Tidak! Dalam persahabatan dengan Yesus yang diwarnai oleh cinta kasih, perintah untuk mengasihi akan dimengerti sebagai sebuah “sharing sukacita”. Artinya, saya akan sangat bersukacita ketika mendapat bagian untuk mengantarkan cinta-Nya. Ini akan membuat Yesus tersenyum dan orang yang menerimanya juga bersukacita. Bukankah kalau kita mengasihi seseorang, tanpa diminta pun kita ingin menyenangkannya?

 

Dalam persekutuan dengan Yesus kita akan mengerti bahwa mengasihi tidak diartikan sebagai tindakan transaksional, melainkan relasi. Jika mengasihi Yesus berarti hidup dalam persekutuan dengan-Nya, maka mengasihi sesama adalah kesediaan kita membangun relasi dan persekutuan dengan orang lain. Di sana kita meneruskan kasih Yesus itu, menyatakan bahwa mereka dikasihi oleYesus. Dengan demikian kita menjadi sahabat mereka karena kita adalah sahabat Yesus.

 

Kita mampu menjadi sahabat bagi semua orang tanpa membeda-bedakan dari kalangan mana mereka berasal karena Yesus pun demikian; Ia tidak pernah membeda-bedakan orang. Dalam persahabatan dengan Yesus, tembok yang memisahkan yang terbatas (manusia) dengan yang tidak terbatas (Allah), yang sementara dan yang abadi, telah diruntuhkan. Maka seharusnya, tembok-tembok pemisah yang dibangun manusia tidak lagi menjadi penghalang untuk ditembus oleh kasih Kristus ini.

 

Demikianlah selanjutnya kita dapat memahami apa yang dipesankan Yesus bahwa para murid-Nya itu akan menjadi saksi dari Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ujung-ujung bumi dengan membuka persahabatan, persekutuan yang diwarnai dengan relasi kasih yang berkualitas. Tembok-tembok primordial itu mulai ditembus oleh Petrus dan teman-temannya. Pertama-tama Kornelius dan keluarganya, selanjutnya persekutuan kasih itu menembus batas teritori yang dibangun oleh manusia sampai ke ujung-ujung bumi.

 

Kasih adalah bahasa yang dapat diterima semua orang. Dalam sejarah manusia banyak sekat telah dibangun untuk membatasi diri dalam ruang nyaman mereka. Kasih adalah tindakan yang dapat menembus sekat-sekat itu. Ketika kasih mulai memilih, maka sejatinya sekat-sekat itu kembali dibangun. Tetaplah melekat dan tinggal di dalam Yesus agar kita dapat melakukan tindakan kasih yang benar!

 

Jakarta, 2 Mei 2024 Minggu Paskah VI tahun B