Senin, 25 Maret 2024

MENGUKIR CINTA DALAM KENANGAN

Di sekitar kita banyak ditemui karya seni termasuk ukiran. Konon, seni ukir sudah ada sejak 1500 SM. Mengukir adalah kegiatan yang dilakukan oleh manusia dalam mengolah permukaan sebuah benda dengan membuat perbedaan permukaan sehingga di dapat fungsi atau keindahan dari benda tersebut. Sulit atau mudahnya mengukir sangat tergantung pada materi atau benda yang diukir, alat-alat yang tersedia, dan yang tidak kalah pentingnya adalah keahlian sang juru ukir. Kualitas nilai ukiran sangat tergantung pada rumitnya pola, keras dan sulitnya materi yang diukir dan tentu saja nilai seni, kehalusan atau fungsi yang ditampilkan sesudah ukiran itu selesai.

 

Michaelangelo Buonarroti tidak hanya dikenal sebagai seorang pelukis, tetapi juga seorang pemahat ternama pada masa Renesan. Yang memuatnya berbeda dari seniman-seniman pada zamannya adalah karena karya-karyanya yang menantang dan dikerjakan dengan rumit, yang tidak semua orang dapat mengerjakannya. Contoh, salah satu maha karyanya adalah pahatan patung Raja Daud. Pada tahun 1510, Michaelangelo diminta oleh Operta del Duomo untuk membuat patung King David. Patung ini nantinya akan ditempatkan di tribun Katedral Florence. Anda bayangkan, Michaelangelo diminta bukan sejak dari awal tetapi ia harus menyelesaikan pekerjaan yang tidak sanggup diselesaikan oleh Agostino di Duccio pada tahun 1464, bahkan setelah itu Antonio Rosselino mencobanya pada 1475 dan ia menyerah. Kedua pemahat itu menolak menyelesaikan pahatan balok marmer besar yang tingginya lebih dari lima meter itu lantaran banyak ketidaksempurnaan yang dianggap mengancam kestabilan patung ketika sudah selesai.

 

Michaelangelo menerima tantangan itu dan ia berhasil menyelesaikan patung King David itu pada 1504. Para pemahat dan pelukis biasanya lebih suka menggambarkan Raja Daud ketika menghadapi Goliat dengan katapelnya. Ini untuk menggambarkan, kepahlawanan dan kecerdasan dalam menghadapi sang raksasa itu. Namun, apa yang dibuat oleh Michaelangelo? Daud telanjang, kontroversi! Michaelangelo memerlihatkan sisi lain, Daud yang telanjang, Daud yang apa adanya! Semua orang setuju bahwa itu adalah patung yang sangat bagus tetapi tempatnya bukan di katederal, melainkan di Piazza della Signora, Florence!

 

Yesus tidak biasa! Ya, Ia bukan Michaelangelo. Yang biasa adalah seorang bawahan melayani majikannya, seorang murid membasuh kaki guru-Nya. Ibarat Sang Maestro, Yesus mengukir cinta-Nya dengan jalan terjal. Ia diperhadapkan kepada “materi” sulit dari sesi gelap manusia. Jika pahat, atau dalam zaman modern, laser dapat dengan mudah membentuk benda-benda keras menjadi karya seni indah. Yesus menerima tantangan itu, membentuk hati manusia yang walaupun secara fisik lembek tidak lebih dari keras dari susunan daging yang lain namun nyatanya hati manusia mempunyai sifat lebih keras dari pada cadas!

 

Yesus telah membaca tanda-tanda bahwa saatnya telah tiba. Inilah hari-hari terakhir Ia ada bersama-sama para murid-Nya. Apa yang biasa dilakukan orang ketika ia menyadari hidupnya tidak lama lagi? Ya, mungkin membuat surat wasiat atau berpesan setelah meninggal mau dikremasi atau dimakamkan. Atau mengatur warisan supaya keturunannya kelak tidak bertikai berebut harta warisan. 

 

Berbeda dari kebanyakan orang, Yesus mewariskan bukan takhta kekuasaan duniawi atau harta dan mukjizat yang biasa Ia lakukan. Di malam terakhir bersama dengan para murid-Nya, setelah perjamuan itu, Ia menanggalkan jubah-Nya sebagai pernyataan menanggalkan segala kehormatan-Nya. Ia mengikat pinggang-Nya dengan kain lenan, Ia berlutut di hadapan para murid-Nya. Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya!

 

Dalam budaya Yahudi bahkan maknanya dalam semua budaya di dunia ini, membasuh kaki orang lain adalah pekerjaan budak. Orang yang lebih rendah kedudukannya akan membasuh kaki orang yang martabatnya lebih tinggi. Murid akan membasuh kaki gurunya, rakyat jelata membasuh kaki raja. Tidak pernah ada seorang raja berlutut di hadapan kaki rakyatnya atau seorang guru berlutut di bawah kaki murid-muridnya!

 

Bayangkan Yesus, Sang Guru dan Tuhan pasti tahu kedalaman hati murid-murid-Nya, Ia sangat paham bahwa ada di antara mereka yang dibasuh-Nya sebentar lagi akan menghianati dan menyangkal diri-Nya. Lalu, apakah Ia melewatkan mereka dari pembasuhan itu? Tidak! Bagai mata pahat yang menusuk tajam sampai pada kedalaman hati dan sumsum, cinta-Nya terus mengusik qalbu. Namun, ternyata benar bahwa hati itu sekeras cadas. Yudas bergeming dan Petrus tergoncang! Apakah Yesus berhenti mengasihi? Tidak! Ia bagai Michaelangelo yang membereskan ketidaksempurnaan. Yesus menyempurnakan, menggenapkan kasih Bapa yang dulu pernah dirintis oleh nabi-nabi yang selalu mengumandangkan dan menyatakan kasih dan belarasa Allah.

 

Yesus mengukir cintanya di jalan terjal. Ia tidak gentar! Kepada para murid diminta-Nya untuk melakukan hal yang sama. Ini bukan sekedar simbol! Tetapi melalui itu mereka diajarkan untuk saling membasuh, saling melayani seorang dengan yang lain, betapa pun orang yang dilayani itu adalah mereka yang tetap berpotensi ngeyel, berpotensi menyakiti dan berkhianat. Justru di sinilah Yesus mengajak para pengikut-Nya, termasuk Anda dan saya untuk mengukir maha karya yang tidak biasa. Sudah biasa dan lumrah kalau orang mengasihi mereka yang pernah mengasihinya, melayani dan menghormati orang yang pernah menolongnya. Mengenai ini, Yesus pernah mengatakannya bahwa setiap orang melakukan itu bahkan orang berdosa pun berbuat demikian.

 

Yesus mengajak kita mengukir cinta di jalan terjal. Tidak biasa dan itu bisa dilakukan ketika kita merasakan jamahan tangan-Nya yang menggenggam dan membasuh kaki kita. Rasakan, setiap jari-Nya yang diselimuti kain lenan basah itu menyentuh kaki kita. Lihat wajah-Nya yang menatap tembus mata kita! Lalu Ia mengatakan, “Sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi!”

 

Jakarta, 25 Maret 2024, Renungan untuk Kamis Putih Tahun B

Kamis, 21 Maret 2024

RAJA DAMAI YANG MENDERITA

“Si vis pacem, para bellum”, entah siapa yang pertama mengatakan quote berbahasa Latin ini. “Jika kamu mendambakan perdamaian, bersiaplah untuk perang!” Peribahasa keren ini telah dikutip oleh banyak orang dan tentu saja pembenaran bagi penguasa yang punya nafsu untuk berperang seperti yang diungkapkan oleh penulis militer Romawi yang mengutif quote ini, Flavius Vegetius Renatus.

 

Perang baik tradisional maupun modern telah memerlihatkan kepada kita bahwa pihak yang berhasil memenangkan perang akan berkuasa mengendalikan, mengontrol bahkan memaksa musuh yang ditaklukkan bungkam. Kontrol militer sebagai alat kekuasaan terbukti ampuh untuk menciptakan “perdamaian”. Sebaliknya, jika ada yang mencoba mengusik dan melawan, segera dicap sebagai pemberontak yang mengusik keamanan dan perdamaian. Percis seperti Kaisar Romawi, Agustus memulai dengan tata pemerintahan principatus yang terkenal dengan semboyan Pax Romana (Damai Romawi) di mana selama dua abad, kekaisaran Roma berhasil mengendalikan situasi politik dan keamanan di semua wilayah jajahan mereka.

 

Perdamaian yang berada di bawah tekanan penguasa ternyata tidak hanya milik Kaisar Agustus dan penerusnya selama dua abad, melainkan telah menjadi semacam budaya dunia. Yang berkuasa berhak menentukan dan membungkam orang-orang yang berada di bawah kekuasaannya. Lalu, apakah ini yang disebut damai? Rasanya bukan! Ini adalah perdamaian semu. Perdamaian yang bukan berasal dari hati dan niat yang murni.

 

Tidaklah mengherankan ketika Yesus memasuki Yerusalem dengan menunggang keledai dan dielu-elukan oleh orang banyak, dicurigai sebagai kelompok yang merongrong kekuasaan, baik otoritas Yahudi maupun Kaisar Roma. Yesus, dengan ajaran dan mukjizat yang dilakukan-Nya telah menarik banyak orang, hal ini menjadi ancaman tersendiri khususnya bagi otoritas Yahudi. Sejak lama para pemimpin Yahudi ingin melenyapkan Yesus, dalam catatan Injil Markus, upaya melenyapkan Yesus dimulai ketika Ia menyembuhkan orang yang mati sebelah tangannya, sejak saat itu orang-orang Farisi bersekongkol dengan orang-orang Herodian untuk membunuh-Nya (Markus 3:8). Sekarang, setelah Yesus memasuki Yerusalem dan banyak orang dengan antusias menyambutnya, ini merupakan kesempatan untuk mereka punya alasan bahwa Yesus sedang mengusik Pax Romana!

 

Sekarang mereka semakin bersungguh-sungguh untuk mencari jalan, menangkap dan membunuh Yesus. Mereka sadar bahwa pengaruh Yesus jika didiamkan akan berbahaya bagi elit Yahudi. Mereka tidak dapat menangkap dan membunuh Yesus terang-terangan karena takut terhadap orang banyak. Menangkap Yesus di hadapan orang-orang yang menyambut-Nya jelas akan menimbulkan huru-hara.

 

Mereka mendapat kesempatan emas setelah ada “orang dalam” yang bersedia bersekongkol. Yudas, yang sebelumnya telah diperingatkan Yesus dalam perjamuan malam itu, memilih gelapnya malam. Ia menelusuri kegelapan itu dan bersekongkol dengan orang-orang “gelap”. Singkat kata, Yesus berhasil ditangkap dan diperhadapkan pada pengadilan rekayasa, yang ujungnya adalah Yesus harus mati seperti yang diungkapkan oleh Imam Besar Kayafas.

 

Kayafas berperan besar dalam persekongkolan untuk menyingkirkan Yesus (lihat Matius 26:3, Yohanes 11:49; 18:14). Menurut pendapat Kayafas, lebih baik Yesus dikorbankan untuk menyelamatkan bangsa Yahudi dari bahaya politik yang ditimbulkan oleh sepak terjang Yesus (Yohanes 11:51). Mungkin benar situasi yang sedang dihadapi oleh orang Yahudi pada masa Pax Romana ini. Bagaimana pun juga Yesus adalah orang Yahudi, dan ketika Ia bersama pengikut-Nya sudah semakin besar, maka akan membahayakan seluruh komunitas Yahudi. Rezim yang berkuasa akan segera menumpas habis mereka! Namun, perkiraan Kayafas berbeda dari rancangan Allah, Yesus harus mati bukan karena korban politik, tetapi demi mendamaikan manusia dengan Allah. Yesus mati untuk keselamatan manusia. Dia adalah Raja Damai yang sesungguhnya!

 

Pagi-pagi buta para imam kepala, tua-tua, ahli-ahli Taurat serta anggota Mahkamah Agama lainnya mengadakan pertemuan. Menurut hukum Yahudi yang mereka pahami, Yesus harus dijatuhi hukuman mati karena Ia telah menghujat Allah. Namun, Mahkamah Yahudi tidak punya kewenangan untuk mengeksekusinya. Untuk itu mereka sepakat membawa Yesus kepada Pilatus selaku Gubernur Wilayah Yudea (tahun 26-36 M). Sayang, hukum Romawi tidak mengurusi hukum domestik, dalam hal ini kepercayaan atau keyakinan umat Yahudi. Bahwa Yesus dituduh menghujat Allah itu bukan urusan Romawi!

 

Untuk itu mereka memutar otak. Mereka menyampaikan tuduhan yang dapat diterima oleh Romawi. Tuduhan kali ini beraroma politis. Di hadapan Pilatus mereka menuduh Yesus telah menyatakan diri-Nya sebagai Mesias yang punya makna Raja Orang Yahudi. Jelas, ini ancaman terhadap Pax Romana, ancaman terhadap kedaulatan Kaisar karena ada orang yang menyatakan diri sebagai raja di wilayah kekuasaan Roma. Untuk mendukung gugatan, mereka membawa Yesus dengan membelenggu-Nya.

 

Ketika Pilatus bertanya kepada Yesus, apakah Dia adalah Raja orang Yahudi, Yesus bungkam. Meskipun demikian, Yesus menyatakan bahwa Pilatus sendiri telah mengatakannya. Memang Yesus adalah Raja orang Yahudi, tetapi bukan dalam pengertian politis seperti yang dipahami oleh Pilatus. Selanjutnya para imam kepala mengajukan banyak tuduhan terhadap Yesus. Bagaimana reaksi Yesus? Kali ini juga Yesus bungkam dan membiarkan diri-Nya ditindas seperti yang dulu dinubuatkan oleh Nabi Yesaya. Hal ini mengherankan bagi Pilatus. Bagaimana mungkin ada orang yang kepadanya dituduhkan banyak perkara tetapi tidak mengajukan pembelaan diri!

 

Bungkamnya Yesus dapat menjadi pertanda bahwa Ia tidak tergoda untuk menunjukkan kekuasaan-Nya sebagai Raja. Ia bukan raja seperti Kaisar yang menciptakan perdamaian di bawah tekanan dan penindasan. Ia adalah Raja Damai yang menempuhnya bukan dengan cara perang dan penaklukkan. Bungkamnya Yesus sedang menunjukkan bahwa ada cara lain untuk berdamai. Bukan dengan cara penaklukkan tetapi dengan cinta! Cinta yang rela berkorban bahkan demi cinta itu pengorbanan tidak lagi dimengerti sebagai penderitaan, melainkan jalan kemuliaan. Inilah perdamaian yang sesungguhnya karena manusia akan menyambutnya bukan dengan terpaksa karena tekanan dan intimidasi itu. Cinta hanya dapat disambut melalui hati yang bersih. Yesus sedang memperagakan itu!

 

Hari ini kita merayakan Minggu Palmarum, Yesus yang disambut gembira ketika memasuki Yerusalem untuk menuntaskan karya-Nya sebagai Raja Damai. Hari ini, pada saat yang sama juga kita diingatkan kembali akan kesengsaraan Yesus. Minggu Sengsara! Lalu, apa buahnya buat kita? Apakah kita telah menyambut Sang Raja Damai itu dengan membuka hati dan merasakan kedamaian cinta-Nya? Cinta-Nya yang memulihkan kita sehingga dengan kekuatan cinta itu kita dapat membagikannya kepada orang lain khususnya mereka yang sedang dalam tekanan, intimidasi dan beban berat! Ketika kita menyambut Sang Raja Damai, kita pun akan bersedia menjadi alat ditangan-Nya untuk pendamaian, pemulihan dan kehidupan yang lebih baik meski untuk itu kita harus menderita sama seperti Tuhan kita dalam penderitaan-Nya!

 

Jakarta, 21 Maret 2024, Minggu Palmarum/Minggu Sengsara Tahun B