Selasa, 14 November 2023

BIJAK BERSELANCAR DALAM WAKTU

"Berdiam dirilah di hadapan Tuhan ALLAH! Sebab hari TUHAN sudah dekat.... Dengar, hari TUHAN pahit pahlawan pun akan menangis..." (Zefanya 1:7, 14).

Hari TUHAN sering ditafsirkan sebagai hari akhir atau akhir zaman. Kiamat! Tidak seorang pun dapat meramal kapan peristiwa dahsyat itu akan terjadi. Tidak mengherankan banyak spekulasi disertai dengan argumen-argumen yang mencomot ayat-ayat tertentu dengan maksud meyakinkan sebuah teori atau pandangan. Ingat, tidak ada seorang pun dapat memprediksi Hari TUHAN! 

Semua sepakat Hari TUHAN atau akhir zaman terjadi di masa depan. Eskatologis! Sementara kita menantikannya, waktu terus berjalan tanpa kompromi. Sebaik apa pun Anda, dan sejahat apa pun Anda, waktu terus bergulir. Ia tidak akan berhenti lebih lama lantaran mendukung Anda yang sedang melakukan perbuatan baik. Atau sebaliknya, waktu akan mempersingkat diri supaya kejahatan yang Anda lakukan tidak berdampak parah. Tidak, waktu tidak akan memperlambat atau mempercepat dirinya, kecuali psikologis kita yang sedang menjalaninya. 

Herakleitos melihat waktu seperti aliran sungai, yang membawa kita melalui perubahan-perubahan yang tidak pernah berakhir. Aliran yang bisa menenggelamkan tetapi juga yang dapat menghantar kita pada sebuah akhir yang menggembirakan. Dalam pandangan Heraklietos, masa depan akan berbeda sama sekali dari masa lalu dan sukar diketahui. Misteri! Di sinilah kita ada dan terus mengalaminya dalam kehidupan sehari-hari. Jenis waktu seperti ini memandang dunia bergejolak naik turun, senang dan sedih, lahir dan mati. Dapatkah kita berselancar dalam aliran yang deras ini? Jawabannya tergantung banyak hal!

Pada pihak lain, ada argumen bahwa waktu sebagai aliran dan terus berubah, itu hanya ilusi. "Waktu nyata", waktu itu tidak mengalir! Demikian kata mendiang filsuf waktu D.H. Mellor. Menurutnya, waktu itu lebih mirip dengan peta daripada sungai. Pendekatan itu mengatakan bahwa perubahan tidak lagi tampak sebagai sesuatu yang sedang terjadi, tetapi mirip perbedaan antara dua titik dalam peta sebagaimana dialami semut yang merayap dari satu titik ke titik lain. Rasa bahwa masa depan berbeda dari masa lalu, menurut pandangan ini, itu berasal dari gerak kita sendiri, bukan dari aliran waktu yang katanya mengalir seperti sungai itu. Dalam pandangan ini, tidak banyak perbedaan antara masa lalu dan masa depan, dan karena itu masa depan sudah bisa diprediksikan. Prediksi itu sangat tergantung dari gerak atau aktivitas kita masa lalu dan sekarang! Ingatlah semboyan-semboyan yang mengatakan, "Masa depan di tentukan hari ini!" 

Betulkah dikotomi penganut Heraklietos dan Parmendes yang dikembangkan oleh D.H. Mellor itu? Dalam praktiknya, ada banyak tumpang tindih antara kedua metafor itu. Dalam kehidupan sehari-hari, kita menemukan campuran kedua metafor itu. Sir Isaac Newton dalam Principia Mathematica, karya paling penting dalam revolusi sains menulis: "Waktu mutlak, sejati, dan matematis, dengan sendirinya dan berdasarkan hakikatnyta, ia mengalir tanpa bergantung kepada apa pun di luarnya, dan nama lainnya adalah durasi. Waktu menurut Newton mengalir seperti sungai, tetapi juga mutlak, punya panjang atau "durasi", seperti garis pada peta."

Walau terkesan "mengawinkan" konsep waktu yang mengalir dan waktu yang statis, kenyataannya menunjukkan seperti itu, suka atau tidak waktu itu akan mengalir terus dan benar juaga bahwa tindakan kita masa lalu dan sekarang akan menentukan "nasib" kita ke depannya. Orang yang berleha-leha memboroskan waktu pada masa mudanya akan mudah diprediksi seperti apa nantinya di masa depan. Orang yang sangat sibuk mempersiapkan masa depannya dan yang sangat santai toh pada akhirnya akan ditelan juga oleh sang kala yang tidak kenal kompromi. Di sinilah kita harus pandai "berselancar" agar setiap perilaku hidup tidak menjerumuskan kita pada ratapan dan kertakan gigi!

Dalam konteks Injil Matius, cerita perumpamaan tentang orang kaya yang hendak bepergian dan menyerahkan hartanya merupakan narasi yang mengingatkan kita apakah mempergunakan kepercayaan sang tuan itu dengan optimal atau sebaliknya, merasa bebas seperti anak sekolah yang ditinggal gurunya? Sang tuan tidak tahu kapan akan kembali dan meminta pertanggungjawaban dari para hambanya. Waktu (durasi) akan terus mengalir!

Benar saja, sang tuan kembali dalam waktu yang tidak pernah mereka duga. Dua hamba yang diberi lima dan dua talenta berhasil melipatgandakan apa yang dipercayakan kepada mereka. Sebaliknya, seorang hamba yang diberi satu talenta tidak memanfaatkannya kesempatan itu dengan baik. Alih-alih menguburnya dengan alasan takut. 

Talenta adalah wujud kepercayaan sang tuan yang diberikan kepada para hambanya. Cerita ini menunjuk kepada Yesus yang menjelang kematian dan kebangkitan-Nya menyerahkan "harta-Nya" kepada para murid. Maka kata "talenta" tidak mengacu kepada bakat atau pembawaan sejak lahir, melainkan kepada anugerah-anugerah yang datang bersamaan dengan Kerajaan Allah dan diserahkan (paradidõmi, seperti dalam Matius 11:27) atau diberikan (didõmi) oleh Yesus kepada murid-murid-Nya. Diberikan dan bukan cuma dipinjamkan sebagai titipan. Nilai tinggi dari anugerah-anugerah itu diungkapkan dengan pilihan kata "talenta" yang nilainya sama dengan 6000 dinar: satu talenta setara dengan orang bekerja selama 6000 hari!

Pemberian ini menuntut tanggungjawab yang akan menentukan tidak saja bagi orang-orang yang dipercaya menerimanya, melainkan masa depan umat Allah dan dunia. Masa depan benar berada di tangan Tuhan, tetapi dalam prespektif waktu ala Newton: dalam waktu yang mengalir ini tindakan-tindakan kita justru akan menentukan wajah dunia ini. Lihat sejarah, apa yang terjadi ketika talenta yang diberikan Yesus Kristus itu justeru disalahgunakan, hasilnya: kekristenan tercerai-berai dan wajah tempat kekristenan lahir dan berkembang menjadi porak-poranda!

Selama ini kita hanya memandang jika tidak menggunakan talenta dengan bijak dan bajik maka yang akan menanggung adalah diri kita sendiri. Kita lupa bahwa talenta yang Tuhan serahkan kepada kita berdampak bagi kehidupan umat manusia, dunia dan wajah bumi kita!

Cepat atau lambat, sang waktu terus bergulir dan Sang Tuan itu akan kembali. Apakah kita cakap membergunakan waktu ini dengan baik? Mengelola setiap talenta yang Tuhan berikan ataukah kita sedang masa bodoh dan membiarkan diri terhempas dan tenggelan dalam aliran waktu yang tidak kenal kompromi itu? Jelas, tidak satu pun di antara kita yang ingin menyaksikan berakhirnya peradaban kita dan peradaban dunia dengan menangis. Seperti pesan TUHAN kepada nabi Zefanya, "....Dengar, hari TUHAN pahit, pahlawan pun akan menangis!"   

 

Jakarta, 14 November 2023, Minggu Biasa terakhir, Tahun A

Kamis, 09 November 2023

SIAPKANLAH MINYAKMU

Para pengamat politik belakangan ini mendapat panggung di pelbagai platform media. Yang ditunggu tentu saja analisa, hasil survey atau dukungan-dukungan terhadap calon tertentu yang bermuara pada prediksi siapa yang akan menang! Ramalan atau bahasa kerennya prediksi bagaikan oase yang dapat memuaskan keingintahuan. Meski banyak orang menyadari bahwa prediksi bisa saja bukan lagi oase yang sesungguhnya, namun fatamorgana yang dapat menipu dan menjerumuskan!

Setiap hari para pakar - termasuk pakar musiman - memborbardir kita dengan perkiraan; prediksi. Namun, seberapa dapat dipercaya ramal-ramalan itu? Konon, sampai beberapa tahun lalu tidak ada riset yang meneliti keakuratan prediksi dari para pakar di bidangnya. Lalu, datanglah Philip Tetlock. Setelah lewat sepuluh tahun, Tetlock mengevaluasi 28.361 prediksi dari 284 pakar yang mengaku profesional di bidangnya. Hasilnya, tidak berbeda dengan prediksi kaum awan yang dilontarkan secara acak! Ironisnya, yang menjadi media darling sering kali kinerjanya paling buruk; dan yang paling parah adalah kinerja para peramal malapetaka dan kehancuran! Contohnya ramalan mereka tentang kehancuran negara Kanada, Nigeria, Tiongkok, India, Indonesia, Afrika Selatan, Belgia dan Uni Eropa. Sampai sekarang belum ada satu pun dari negara-negara itu yang hancur!

Ekonom Harvard, John Kenneth Galbraith mengatakan, "Ada dua jenis peramal: Mereka yang tidak tahu, dan mereka yang tidak tahu bahwa mereka tidak tahu!" Pernyataan itu membuatnya dibenci orang-orang yang merasa dirugikan. Siapa lagi kalu bukan para peramal itu! 

Lebih jauh dari Tetlock, Peter Lynch, seorang menejer finansial dua puluh tahun yang lalu mengatakan, "Ada 60.000 ahli ekonomi di Amerika, banyak di antara mereka yang bekerja purna waktu berusaha untuk meramalkan resesi dan suku bunga. Jika saja mereka dapat memanfaatkan ramalam mereka, dua kali berturut-turut, pasti semua sudah menjadi miliader! Nyatanya? Sepanjang yang saya tahu, sebagaian besar dari mereka masih tetap menjadi pegawai!"

Para pakar menikmati prediksi atau ramalan-ramalan yang mereka lontarkan. Jika ramalan yang mereka katakan menjadi kenyataan, mereka beruntung akan menikmati ketenaran dan tentu saja semakin banyak diundang. Jika perkiraan mereka benar-benar melenceng, mereka tidak menanggung kerugian, ya paling banter berkurangnya undangan. Maka, bersikap kritis dan waspada adalah hal terbaik menghadapi ramalan.

Ramalan, prediksi, nubuat atau apa pun namanya yang diucapkan sebelum sebuah peristiwa itu terjadi selalu mengundang daya tarik tersendiri. Penasaran! Hati manusia yang selalu ingin dipuaskan dengan keingintahuan sebelum segala sesuatu itu terjadi merupakan lahan empuk bagi para spekulan untuk mengatakan apa saja dalam ketidaktahuna mereka. Haruskah kita menjadi korban kesalahan prediksi? Mestinya tidak! Lalu bagaimana kita menyikapi, khususnya mengenai apa yang kita imani? Mengabaikannya? Atau ada cara lain sehingga kita tidak mati konyol? 

Agama atau tepatnya keyakinan iman memuat narasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Masa lalu, kita belajar pernyataan Allah, kasih dan setia-Nya dalam pelbagai rentetan sejarah. Masa kini, adalah ekspresi iman tentang pernyataan Allah itu yang kita nyatakan lewat totalitas kehidupan kita. masa depan adalah hidup dalam pengharapan terhadap janji-janji Allah. Janji, yang bukan sekedar ramalan atau prediksi yang membuai sehingga kita lupa berpijak di tanah.

Realistis, kristis dan atisipatif barang kali itulah yang harus lakukan untuk menanggapi pelbagai isu dan penantian janji-janji Allah. Janji Allah tentang kedatangan Kerajaan-Nya, bagi orang percaya bukanlah sekedar ramalan atau harapan utopia lantaran pada saat itu umat hidup dalam tekanan penderitaan dasyat. Harapan mesianik! Ini adalah bagian dari keyakinan iman yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian masa lalu dan masa kini. Ada masa depan yang harus dinantikan!

Sikap untuk tidak terjebak dalam prediksi waktu dan mengharapkan pepesan kosong tentang terjadinya kedatangan Kerajaan Allah itu salah satunya diungkapkan Yesus lewat perumpamaan. Salah satu perumpamaan Yesus melalui kisah tentang gadis-gadis yang bijaksana dan yang bodoh. Perumpamaan ini hanya terdapat dalam Injil Matius. Isi cerita dan moral cerita bermuara pada satu hal, yakni: "berjaga-jagalah sebab kamu tidak tahu akan hari maupun akan saatnya..." (Matius 25:13). Hal ini berkaitan erat dengan beberapa perumpamaan sebelumnya; tentang pencuri yang datang pada waktu malam dan hamba yang sedang melakukan tugasnya ketika sang tuan kembali. 

Perumpamaan tentang gadis-gadis yang menanti sang mempelai dibuka dengan keluarnya sepuluh gadis dari rumah pengantin perempuan untuk menyongsong mempelai laki-laki. Lima di antara mereka disebut bijaksana karena mempersiapkan pelita dengan minyak yang cukup, karena tidak tahu sang mempelai pria itu akan datang kapan. Sedangkan lima yang lain tidak menyiapkan minyak untuk persediaan pelita mereka.

Perumpamaan ini tentang Kerajaan Allah, tetapi bukan Kerajaan yang sudah mulai datang dalam diri Yesus Kristus. Ini penyempurnaan di akhir zaman ketika Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya. Jemaat harus menyambut-Nya, ini diumpamakan dengan gadis-gadis yang keluar dari rumah pengantin perempuan untuk menyambut mempelai laki-laki. Dibedakan dengan gadis-gadis yang bodoh yang tidak membawa persediaan minyak yang cukup, gadis-gadis bijaksana membekali diri mereka dengan cadangan minyak yang cukup. 

Bijaksana (phronimos) menunjuk kepada mereka yang melakukan firman Allah yang telah diberitakan Yesus Kristus dan dengan cara itu, mereka akan siap sedia untuk menyambut hari Tuhan kapan pun itu terjadi. Orang-orang bodoh sebaliknya, mereka tidak melakukan firman-Nya lalu berakhir dalam kebinasaan. Dalam perumpamaan ini, jemaat kembali digambarkan bercampur baur: ada yang baik, bijaksana ada yang bodah, bebal. Bagai lalang di tengah gandum yang baru akan dipisahkan pada saat akhir (Matius 13:36-43).

Tidak seorang pun tahu kapan Hari Tuhan, Kedatangan Kristus kembali itu akan tiba. Dan, tidak ada gunanya juga memprediksi kapan waktunya terjadi karena pasti akan gagal prediksi! Yang diajarkan Yesus bukan percaya kepada ramalan seperti itu. Sikap realistis yang benar adalah, jika segala sesuatu yang kita tunggu tidak tahu datangnya, apalagi peristiwa dahsyat, maka berjaga-jaga adalah sikap yang paling tepat dan benar! Sikap ini ditandai dengan kecermatan untuk melakukan segala kehendak Bapa di dalam Yesus Kristus.

Kritis, tidak mudah diombang-ambing dengan pengajaran-pengajaran yang justeru membuat kerugian pada diri sendiri. Fokus dan uji segala pengajaran tentang hari Tuhan itu kepada apa yang diajarkan oleh Yesus Kristus sendiri. Jangan, mengisi bejana penasaranmu dengan pelbagai spekulasi yang justeru tidak pernah diajarkan oleh Yesus sendiri. Isilah bejana itu dengan firman Tuhan sehingga akan memancarkan air kehidupan yang segar!

Antisipasi,  Nasihat rasul Paulus dalam 1 Tesalonika 5:1-11 dapat menolong kita untuk mengantisipasi kedatangan hari itu. Berjaga-jagalah dengan melakukan segala yang terbaik yang dapat kita lakukan dengan berpedoman pada firman-Nya. Hanya dengan berdbuat demikianlah kita kelak dapat menyambut dan masuk dalam pesta pernikahan Anak Domba!

 

Jakarta, 9 November 2023, Minggu Biasa Tahun A