Kamis, 02 November 2023

PRIBADI YANG MEMILIKI INTEGRITAS

Erving Goffman sosiolog kelahiran Kanada melalui dramaturgi politiknya menyebut interaksi dunia politik itu bak panggung teater. Panggung teater itu memiliki dua sisi: panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage

Goffman menuturkan bahwa panggung belakang adalah realita sebenarnya dari politik itu sendiri. Sementara panggung depan adalah realitas yang telah disortir atau yang telah dipilah sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak ramai, yakni media massa, media sosial atau melalui alat komunikasi apa saja. 

Tidak mengherankan di panggung depan semua terlihat baik, indah, mempesona, dan ideal. Pencitraaan! Untuk menghasilkan tampilan yang cantik itu, partai politik rela membayar konsultan politik. Konsultan pakar ini akan merumuskan visi-misi partai, memoles gaya bahasa sampai gestur tubuh. Mereka akan menyarankan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan pada saat tokoh politik itu tampil di hadapan umum. Pendeka kata, semua harus terlihat cantik dan apik. 

Bagaimana panggung belakang? Ini ibarat dapur, bisa berantakan dan sangat mungkin tidak hiegenis. Di sini tempat kongkalikong terjadi. Tempat membagi-bagi siapa dapat apa dan harus berkontribusi berapa. Panggung belakang dalam tempat para king maker menggunakan kuasa untuk mengatur dan bila perlu memaksakan kehendaknya. Panggung belakang adalah ruang privat yang dijaga sedemikian ketat, jangan sampai bocor menjadi konsumsi publik. Sangat dimengerti bila di panggung ini hanya segelintir orang yang bermain.

Apa yang ditengarai Erving Goffman ternyata tidak hanya berlaku di panggung politik. Dalam batas-batas tertentu hal serupa terjadi dalam pelbagai bidang kehidupan manusia: bisnis, ekonomi, pendidikan, kesehatan, bahkan ruang yang dianggap sakral; agama! Apa yang diperingatkan Yesus terhadap para murid-Nya setidaknya memperlihatkan dualisme panggung berbeda dari para pemuka agama. Kalau Goffman mengangkat istilah dramaturgi politik, bisa jadi dalam ranah agama itulahnya menjadi "dramaliturgi" Benar, tidak semua pemuka agama ahlaknya begitu. Namun, setidaknya mereka yang berpolemik dengan Yesus menyirikan kondisi tersebut.

Ketika perdebatan Yesus dengan para pemimpin Yahudi itu usai. Tinggallah Ia bersama para murid. Inilah kesempatan Yesus untuk ngobrol sambil memberi pengajaran kepada mereka. Obrolan Yesus tentu saja bukan gibah. Memakai contoh kasat mata dari figur-figur pemimpin agama itu, Yesus menghendaki para murid untuk memiliki integritas. Yesus tidak ingin para murid-Nya mencontoh perilaku mereka, kata-Nya: "... tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya." (Matius 23:3b).

Para pemuka Yahudi ini punya front stage tempat di mana kesalehan mereka dipamerkan. Mereka mengajar dan duduk di kursi Musa. Kursi ini berada di bagian depan rumah ibadat tempat para rabi mengajar. Kursi Musa menunjukkan otoritas seorang guru dalam mengajar Taurat. Yesus mengingatkan kepada para murid untuk menuruti dan melakukan apa yang mereka ajarkan. Yesus konsisten, Ia tidak membatalkan hukum Taurat (Matius 5:17-19). Para murid harus melakukan hukum Taurat yang diajarkan oleh para rabi itu. Namun, Yesus mengingatkan kepada mereka untuk tidak melakukan segala peraturan tambahan, yakni adat istiadat yang membebani kehidupan mereka (Matius 23:4).

Masih dalam panggung pertunjukan kesalehan, Yesus memberi sejumlah contoh, di antaranya: Semula, perintah Allah melalui Musa yang tertulis dalam Ulangan 6:8 dan yang lainnya, meminta agar orang-orang Israel mengikat Syema Yisreel: perintah untuk mengasihi Allah sebagai tanda pada tangan mereka dan dijadikan lambang di dahi mereka. Ini merupakan bahasa kiasan untuk mengajak umat agar pikiran (dahi) dan perbuatan (tangan) mereka selalu ingat dan tertuju pada perintah itu. Nyatanya, para rabi itu melakukannya secara harfiah dengan membungkus beberapa teks Taurat dan mengikatnya dengan tali-tali pada tangan dan dahi di saat sembahyang (disebut tefilin, tali sembahyang). Ada yang membuatnya lebar-lebar agar orang melihat, betapa salehnya mereka. Tidak hanya tali sembahyang, mereka memakai jumbai, yakni tali-tali pendek yang terpilin pada empat ujung jubah mereka. Semula inilah simbol untuk mengingatkan mereka pada segala perintah Allah (Bilangan 15:38-39). Jumbai ini telah berubah menjadi lebih panjang agar di panggung depan itu kesalehan mereka semakin jelas terlihat!

Tampaknya front stage tidak cukup di rumah ibadah sebagai dramaliturgi. Mereka merambah ke tempat-tempat perjamuan. Dalam perjamuan-perjamuan itu mereka punya tempat tersendiri. Duduk di paling depan dan terpisah dari rakyat jelata. Mereka ingin di beri salam duluan, sebelum membalasnya. Mereka suka sekali disapa sebagai Rabi (harfiah berarti "tuanku"), gelar kehormatan bagi guru-guru Taurat.

 

Masih ada lagi front stage untuk para politisi kesalehan ini, panggung itu adalah pasar. Pasar tempat keramaian di mana orang saling terhubung satu dengan yang lain untuk bertransaksi. Jadi, betapa banyaknya panggung-panggung kehormatan untuk mempertunjukkan kesalehan mereka itu. Bagi Yesus, bukan itu yang menandakan seseorang benar-benar saleh dan mentaati hukum-hukum Tuhan. Bukan supaya dilihat orang kita melakukan kesalehan, melainkan karena mengasihi Allah Bapa dengan sepenuh hati.

Apakah hanya para Rabi atau elit Yahudi yang punya tabiat pamer kesalehan? Seperti para Rabi Yahudi, para pengajar Kristiani juga tidak luput dari sindrom ini. Banyak aturan, ajaran dan khotbah dibuat gereja yang untuk dirinya sendiri bahkan tidak sanggup untuk menanggungnya. Tetapi dengan tujuan agar dilihat oleh umat. Mereka berdecak kagum memuji kesalehan para pemimpin itu. Keteladanan mereka hanya ada bila terlihat. Benar, masih banyak para pemimpin dan pengajar Kristian yang punya integritas. Untuk mereka kita patut doakan agar teladan-teladan iman terus hadir di muka bumi ini.

Kenyataanya tidak hanya para pemimpin dan pengajar saja yang mempunya front stage, masing-masing kita pun punya itu. Banyak hal kita lakukan atas nama mengasihi Allah dan sesama, atas nama pelayanan. Namun, di back stage nyata bahwa tujuannya untuk mendapatkan penghormatan. Agar citra kita menjadi harum, indah dilihat dan kita senang mendapat pujian. Ini bukanlah integritas, tetapi munafik!

Integritas adalah satunya kata dan perbuatan. Integritas akan terbukti ketika kita konsisten melakukan hukum dan kehendak Tuhan walau tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kita perbuat. Ujian dari integritas kita adalah ketika tidak ada seorang pun yang melihat perbuatan baik kita. Apakah kita akan tetap melakukannya? Ketika tidak ada seorang pun yang memuji dan berterima kasih atas perbuatan baik kita, apakah kita masih akan terus melakukannya?

Pujian dan penghormatan mungkin saja akan kita terima ketika kita sungguh-sungguh menjadi orang yang saleh, orang yang setia melakukan kehendak Tuhan. Namun, tujuan utamanya bukan itu. Tujuan utama kita melakukan kesalehan adalah karena kita mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi dan kekuatan kita serta mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri. Cinta kasih adalah energi yang tidak pernah akan habis untuk kita menjadi pribadi-pribadi yang berintegritas. Jadilah orang Kristen yang ucapan dan perbuatannya sama, yang di depan dan di belakang prilakunya tidak berbeda!

 

Jakarta, 2 November 2023, Minggu Biasa Tahun A   

Kamis, 26 Oktober 2023

MENGASIHI DIRI SENDIRI DAN SESAMA

Apa yang Anda bayangkan dengan kalimat "Mengasihi diri sendiri"? Apakah segera muncul dalam benak Anda bahwa ini adalah tindakan atau perilaku yang sungguh mulia? Atauhkah sebaliknya, semacam tabiat pementingan diri dan egois? Kunci asumsi kita sebenarnya terletak pada pemahaman tentang "mengasihi".

Banyak orang menyangka bahwa mengasihi itu adalah memberikan  atau mengupayakan segala sesuatu agar orang menjadi gembira atau senang. Dalam pemahaman seperti ini, mengasihi diri sendiri berarti berusaha memberikan segala sesuatu pada diri sendiri agar mendapatkan kegembiraan atau kesenangan. Seseorang yang hobi kuliner akan berusaha mencari tempat makan yang unik dan nikmat untuk memuaskan kesenangannya. Atau, seorang yang senang travelling berusahan mencari tempat-tempat eksotik, kalau perlu tempat tersebut adalah hidden gem yang orang lain belum mendatanginya. Entah biayanya berapa, meski harus menabung sepanjang tahun, yang penting bahagia!

Dalam batas kewajaran, menikmati kuliner, mencari tempat wisata untuk healing adalah bagian dari kita mengasihi diri sendiri. Menjadi tidak wajar apabila kita mulai kecanduan dan merasa tidak gembira kalau tidak menikmati kuliner-kuliner yang sedang trendi atau merasa begitu tertekan kalau tidak staycation atau healing ke tempat-tempat tertentu. Kalau sudah begini selangkah lagi kita terjebak pada apa yang disebut hedonis. Ya, gaya hidup yang memuja kesenangan dan kenikmatan. Lalu, kesenangan dan keinikmatan itu dipahami sebagai cara untuk mengasihi diri sendiri!

Para pemikir Yunani telah memikirkan gaya hidup hedonis. Kata hedonis berasal dari kata Yunani kuno "hedone", yang berarti kesenangan, kegembiraan, kenikmatan, kepuasan, dan hasrat sensual. Lima ratus tahun sebelum kelahiran Yesus sekelompok kecil filsuf, yang dikenal sebagai hedonis percaya bahwa hidup tentram atau kebahagiaan hanya bisa didapat dengan cara mengkonsumsi sebanyak mungkin kesenangan. Mengasihi diri sendiri berarti mewujudkan apa yang dapat  memuaskan diriku!

Sementara sebagian besar filsuf lain meyakini, bukan begitu. Bukan hedonis yang dapat membuat orang bahagia alih-alih kepuasan instan itu bersifat hina, rendah, bahkan kebinatangan. Hidup tenteram atau bahagia bagi mereka terbentuk dari kenikmatan yang melampaui hedonis, inilah yang disebut eudaimonia. Inilah yang disebut dengan kebajikan. Plato dan Aristoteles mencontohkan bahwa kebajikan itu serupa dengan memperjuangkan keadilan, hidup bijaksana, dan menahan diri atau hidup dalam keugaharian.

Meminjam pikiran para pemikir zaman kuno, mengasihi diri sendiri itu mestinya bukan dengan cara memuaskan nafsu duniawi. Malainkan dengan cara hidup benar, adil, bijaksana dan menguasai diri. Benarkah? Kenyataanya memang benar seperti itu. Coba saja begini: Anda merasa senang dan gembira ketika menikmati eskrim, maka setiap hari Anda mengonsumsi eskrim itu semakin hari Anda mencari eskrim yang rasanya semakin nikmat. Semakin hari Anda makan semakin banyak. Apa yang terjadi? Ya, sudah dapat diduga, obesitas! Yang seperti ini, Anda tidak sedang mengasihi diri sendiri. Contoh lain, setiap pagi Anda enggan bangun pagi. Mager, enakan berbaring sambil memainkan telepon genggam. Anda tidak sedang mengasihi diri sendiri. Anda sedang menggali kubur sendiri!

Mengasihi diri sendiri adalah mengupayakan merawat secara benar, tubuh, pikiran dan rohani kita. Mengasihi diri sendiri adalah upaya kita mengembangkan talenta agar optimal untuk mengejar kebahagiaan yang hakiki, yakni dengan jalan memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan hidup bijaksana dengan penguasaan diri. Hidup mengasihi diri sendiri, Anda akan tahu batas-batas apa yang yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dikejar. Mengasihi diri sendiri, Anda akan membatasi konsumsi informasi yang dapat merusak wawasan Anda tentang kebajikan dan benaran. Mengasihi diri sendiri, Anda akan makan, minum secukupnya sesuai dengan ajaran Yesus dalam doa Bapa Kami. Dan, mengasihi diri sendiri itu berarti Anda akan disiplin dengan diri sendiri!

Jelaslah bahwa mengsihi diri sendiri bukan tindakan pementingan diri sendiri atau egois. Mengasihi diri sendiri dengan benar dijadikan standar oleh Yesus untuk kita dapat mengasihi orang lain. Kasih yang seperti apa yang dapat kita lakukan terhadap orang lain? Ya, yang paling jelas dan konkrit adalah seperti kita mengasihi diri sendiri. Ini sejalan dengan kaidah emas yang diajarkan Yesus, "Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (Matius 7:12).

Ketika seseorang tahu dengan benar bagaimana ia mengasihi dirinya sendiri, maka dengan standar itu ia akan mengasihi orang lain. Ketika kita sadar bahwa mengasihi diri sendiri itu tidak mungkin akan menyakiti dan mencelakakan diri sendiri, maka hal yang sama juga akan diterapkan kepada orang lain. Ketika kita tidak suka kepura-puraan dalam tindakan kasih, maka hal yang sama juga mustahil kita lakukan kepada orang lain.

Dalam jawaban Yesus terhadap pertanyaan jebakan kaum elit Yahudi, kasih kepada sesama ini nilainya sama dengan mengasihi Allah, hanya urutannya saja yang ditaruh di belakang. Kesejajaran ini diungkapkan dengan, "Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah :Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri." (Matius 22:39). Yesus tidak menyebut hukum yang lebih rendah, melainkan "yang sama dengan itu". Apa yang dikatakan Yesus dapat kita pahami bahwa mengasihi Allah dan mengasihi sesama manusia merupakan satu paket hukum atau ajaran yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebab, mustahil orang mengasihi Allah tetapi membenci sesamanya manusia. Lagi pula, orang mengasihi Allah selalu akan diwujudkan dalam tindakannya terhadap sesama. Kita mengatakan melayani Allah, pasti dieskpresikan melalui pelayanan terhadap sesama.

Jadi, bila seseorang mengatakan mengasihi Allah namun kenyataannya tidak diwujudkan dalam mengasihi sesama yang juga dikasihi Allah, maka kasih kepada Allah itu menjadi cacat, tidak utuh! Sebaliknya, jika kita mengasihi sesama sedemikian rupa tidak dilandasi dengan kasih kita kepada Allah, maka kasih itu tidak mempunyai landasan. Sebab, kita akan jatuh pada kesenangan sesaat. Kita akan suka dan menikmati ketika orang kita kasihi menanggapi dengan positif. Sebaliknya, kita akan berhenti memberikan tindakan kasih atau bahkan membencinya ketika orang itu berperilaku tidak sesuai dengan harapan kita. Dalam hal ini, kita gagal memberlakukan kasih seperti kasih yang diajarkan dan dicontohkan sendiri oleh Yesus Kristus.

Lihatlah Yesus! Bagaimana Ia memberlakukan kasih Allah itu? Kasih yang tanpa syarat, kasih yang terus mengasihi bahkan terhadap pembenci-pembenci-Nya. Kasih inilah yang menjadi landasan untuk kita melakukan tindakan terhadap sesama. Landasan yang kuat akan menolong Anda dan saya dapat mengasihi siapa pun, termasuk terhadap mereka yang tidak menyukai kita!

 

Jakarta, 26 Oktober 2023, Minggu Biasa Tahun A