Kamis, 19 Oktober 2023

BERIKANLAH KEPADA ALLAH

Kuasa seorang raja tidak hanya terlihat dari luas wilayah kekuasaan, jumlah orang-orang yang tunduk kepadanya, atau mengahnya istana yang dibangun untuk tempat kediamannya. Kuasa seorang raja ditandai dengan uang! Ya, uang yang beredar baik di wilayah kekuasaannya atau di wilayah lain. Dinar Romawi pada zaman Yesus tercetak gambar Kaisar Tiberius. Termasuk Palestina, seluruh wilayah jajahan Romawi menggunakan mata uang itu. Dengan beredarnya uang bergambar kaisar, tentu saja mengingatkan bangsa Yahudi - yang juga menggunakan uang itu - sedang berada di bawah kekuasaan Romawi. Menyakitkan! Mengapa? Ya, bukankah mereka umat istimewa, umat kepunyaan Allah sendiri, tetapi mengapa sekarang di bawah kekuasaan bangsa lain?

Sejak abad 6 Sebelum Masehi, wilayah kekuasaan Arkhelaus, khususnya Yudea, dijadikan propinsi Romawi- Siria. Wilayah itu dipimpin langsung oleh seorang wakil kaisar (praefectus). Seluruh penduduknya wajib membayar pajak kepada kaisar. Sedangkan wilayah kekuasaan Herodes Antipas dan Filipus dipandang sebagai wilayah khusus, sehingga penduduknya tidakmembayar pajak kepada kaisar. Yang wajib membayar pajak di wilayah Filipus hanya para penguasa wilayah tersebut.

Bayangkan Anda seorang penduduk Yudea pada waktu itu. Anda adalah umat Yahudi yang secara iman yakin betul umat pilihan Allah. Namun, nyatanya sekarang segala hak Anda dibatasi, bahkan ditindas dengan pelbagai peraturan termasuk pajak yang sangat membebani itu. Bagaimana perasaan Anda? Dalam posisi seperti ini jelas banyak penduduk Yudea mengharapkan pembebasan. Ya, mereka berharap TUHAN menghadirkan kembali Koresh yang akan menjadi penolong bangsa Yahudi itu terbebas dari pelbagai penindasan. Maka tidaklah mengherankan kalau pada kondisi seperti ini muncul gerakan-gerakan radikal melawan penjajah Romawi seperti yang ditampilkan oleh kaum Zelot. Mereka merindukan sosok Mesias pembebas!

Di tengah situasi geopolitik yang tidak menguntungkan buat kaum Yahudi, konflik internal sesama Yahudi pun tidak kalah semaraknya. Para elit Yahudi memanfaatkan situasi sensitif ini sebagai pertanyaan jebakan terhadap Yesus. Mereka bertanya tentang pajak! "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada kaisar atau tidak? Pada zaman modern ketika pajak merupakan salah satu sumber pendanaan program-program pemerintah untuk kesejahteraan rakyaknya, tentu saja pertanyaan semacam ini bukan lagi pertanyaan relevan. Pajak adalah kewajiban setiap warga negara!

Namun, pertanyaan ini menjadi dilematis pada zaman itu. Mengapa? Kalau Yesus mengatakan "tidak boleh membayar pajak kepada kaisar", Yesus akan segera berhadapan langsung dengan para penguasa Romawi yang menetapkan pajak yang harus dibayar kepada Kaisar. Menolak membayar pajak itu berarti tidak mengakui wilayah kekuasaan kaisar. Ini pemberontakan atau subversi! Jawaban ini yang dinanti oleh para pemuka Yahudi. Mereka akan mudah meminjam tangan para penguasa Yahudi untuk segera menyingkirkan Yesus. Bukankah sejak masuknya Yesus ke Yerusalem dan mengobrak-abrik bisnis mereka, sejak saat itu mereka ingin menyingkirkan Dia? Dengan jawaban menolak membayar pajak kepada kaisar, mereka tidak perlu repot-repot mengeluarkan tenaga dan biaya untuk menyingkirkan Yesus. Cukup menjadikan jawaban Yesus sebagai bukti bahwa Ia menghasut orang banyak untuk tidak membayar pajak!

Bagaimana kalau Yesus menjawab, "boleh membayar pajak kepada Kaisar"? Kali ini orang-orang akan berkata, "Inikah Yesus Sang Mesias itu? Bukankah Mesias itu harus berjuang untuk membebaskan bangsanya dari kaum penjajah? Mengapa Ia justru mengizinkan kita untuk membayar pajak kepada Kaisar?" Dengan jawaban "boleh membayar pajak kepada Kaisar" sudah cukup bagi orang banyak untuk meragukan kemesiasan Yesus. 

Dilematis! Benar, memang itu yang dirancang oleh orang-orang Farisi. Sudah jelas, tujuan mereka bertanya kepada Yesus bukan untuk mendapat pencerahan. Bahasa yang manis di awal pertanya itu bagaikan rayuan beracun yang menjerat dan mematikan!

Tidak seorang pun ingin masuk atau berada dalam pusaran dilematis. Pada saat inilah hikmat sangat dibutuhkan. Yesus tidak mau diseret masuk dalam jebakan ini. Yesus menemukan cara untuk menjawab pertanyaan orang-orang Farisi itu tanpa memasukkan diri-Nya kepada salah satu ekstrim yang diharapkan oleh si penanya itu. Yesus sangat faham bahwa orang-orang yang bertanya kepada-Nya adalah orang-orang munafik, "Mengapa mencobai Aku, hai orang-orang munafik?".

Yesus meminta kepada mereka untuk ditunjukkan sekeping dinar. Ia bertanya, "Gambar dan tulisan siapakah ini?" Mereka tidak bisa mengelak dan harus menjawab, "Gambar dan tulisan kaisar." Maka dengan mudah Yesus berkata kepada mereka, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar..." (Matius 22:21). Dengan cara ini,Yesus tidak mengatakan "boleh" atau "tidak boleh" membayar pajak kepada Kaisar. Ia hanya menyatakan pertanyaan retoris bahwa keping dinar itu adalah milik Kaisar dan harus diberikan kepada Kaisar. Seolah Yesus menyadarkan mereka bahwa, saat ini mereka memang benar berada dalam kekuasaan Kaisar, maka lakukanlah kewajiban sebagai warga negara dengan baik.

Di pihak lain, tentu saja ada banyak hal bahkan lebih banyak lagi yang bukan milik Kaisar, yang tidak berada di bawah kekuasaannya. Bahkan seandainya pun betul Kaisar mebnar-benar menguasi wilayah dan penduduknya, tetap ada yang tidak bisa diambil atau dikuasai kaisar: hati dan iman mereka! Ada lebih banyak hal yang berada di wilayah kekuasaan Allah. Maka Yesus berkata, ".... dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" Apa itu? Apa yang menjadi milik Allah adalah seluruh keutuhan hidup manusia. Segala-galanya yang ada pada diri manusia adalah milik Allah dan itu yang harus diberikan kepada Allah.

Melalui jawaban pertanyaan jebakan ini Yesus mau mengingatkan kepada kita untuk melakukan kewajiban baik sebagai anggota, masyarakat, warga negara atau pun suatu komunitas dengan sepenuh hati, tetapi juga yang terpenting adalah meletakkan semua itu dalam memberi diri kepada Allah. Mengapa? Sebab, segala-galanya yang ada pada kita sesungguhnya berasal dari Dia, maka hendaknya kita mengembalikan kepada Dia dengan mencari Kerajaan Allah dan Kebenaran-Nya, dengan melakukan seluruh kehendak-Nya.

Jemaat-jemaat di Makedonia, salah satunya adalah Tesalonika, mereka dalam keadaan tertekan, miskin, dan menderita. Tentu penderitaan itu disebabkan oleh pendindasan Romawi dan para pemuka Yahudi. Namun Paulus mengapresiasi iman mereka. Meski dalam keadaan menderita tetapi mereka penuh dengan sukacita dan kaya akan kemurahan (bnd. 2 Korintus 8:1-5). Keadaan menderita dan mengenaskan tidak menjadi alasan bagi jemaat ini untuk tidak memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Maka tidaklah mengherankan kalau dalam doa-doa Paulus mengingat Tesalonika adalah salah satu jemaat yang mengerjalan pelayanan sebagai wujud dari iman mereka, "Sebab kami mengingat pekerjaan imanmu, usaha kasihmu dan ketekunan pengharapanmu kepada Tuhan kita Yesus Kristus di hadapan Allah dan Bapa kita." (1 Tesalonika 1:3)

Marilah kita memberi kepada Allah, bukan karena Dia tidak punya dan membutuhkan sesuatu dari kita, tetapi karena segala-galanya berasal dari Dia. Memberi kepada Allah adalah cara kita bersyukur dan ikut terlibat dalam pekerjaan-Nya!

 

Jakarta, 19 Oktober 2023, Minggu Biasa Tahun A

 

 

Kamis, 12 Oktober 2023

UNDANGAN UNTUK BERSUKACITA

Minggu kemarin kita disuguhi kisah anak tuan tanah yang dibantai oleh para petani penggarap kebun anggur. Mereka membunuh si anak di luar kebun anggur tuannya karena berpikir bahwa ketika si ahli waris ini mati, maka mereka dapat mengambil ali kepemilikan kebun anggur itu. Sayangnya tidak sederhana itu, sang tuan murka dan membinasakan mereka! 

Hari ini, kita menikmati lagi kisah tentang sang anak. Bukan anak tuan tanah, tetapi anak raja. Anak raja mau menikah! Tentu saja ada banyak persiapan yang dilakukan oleh sang raja. Persiapan jamuan pesta dan siapa saja yang diundang tidak boleh dilakukan main-main. Serius dan cermat! Walau merepotkan, namun sukacita pesta perjamuan kawin itu akan membayar lunas  semua kerepotan  itu. Siapa pun yang mengadakan pesta pastilah ia ingin berbagi sukacita. Raja ingin bersukacita bersama dengan rakyat, para kerabat dan sahabat.

Sama seperti pada budaya kita ketika mengundang teman, sahabat dan kerabat pasti ada kriteria tertentu: mereka yang dekat dan punya relasi baik pasti mendapat prioritas. Dalam pesta pernikahan anaknya, sang raja menyebar undangan kepada mereka yang dipandang layak untuk menerimanya. Setelah undangan itu disebar, sang raja menyuruh lagi hamba-hambanya untuk memanggil orang-orang yang telah diundang itu agar segera datang ke perjamuan kawin anaknya. Sudah diundang, lalu dipanggil pula, luar biasa! Rupanya dalam tradisi undang-mengundang pada waktu itu ada kebiasaan kalau seseorang sudah menerima undangan, mereka akan diingatkan kembali dengan cara memanggil para undangan tersebut karena pesta segera dimulai. Namun, kelewatan juga orang-orang yang diundang ini. Bukankah yang mengundang mereka itu raja? Seharusnya, tanpa peringatan pemanggilan pun mereka antusias  segera bergegas menuju istana, tempat pesta itu berlangsung.

Lebih kelewatan lagi, pemanggilan itu dilakukan tidak hanya sekali. Kali ini pemanggilan kedua disertai dengan penegasan, "Sesungguhnya hidangan, telah kusediakan, lembu-lembu jantan dan ternak piaraanku telah disembelih; semua telah tersedia, datanglah ke perjamuan kawin ini!" (Matius 22:4). Panggilan kedua ini memperlihatkan kesabaran sang raja. Nyatanya, mereka menolak, lebih dari itu: penolakan mereka disertai dengan penghinaan dan perilaku kejam terhadap para hamba raja.

Kisah perjamuan dengan indah mengungkapkan kebersamaan, kegembiraan, sukacita dan damai sejahtera umat manusia dalam Kerajaan Allah. Anehnya, banyak orang yang tidak menanggapi dengan posisitif. Mereka menolak bahkan menyingkirkan, menganiaya dan membunuh hamba-hamba yang menyampaikan undangan sang raja itu. Kesenangan pribadi, hidup dalam zona nyaman dengan pekerjaan, tradisi, dan kebanggaan diri seakan memasung mereka untuk tidak mau beranjak menyambut undangan sukacita sang raja.

Dalam tradisi Yahudi, perjamuan sering dipergunakan untuk metafor Kerajaan Allah. Kerajaan yang penuh sukacita! Orang-orang Israel berulang kali diundang dan dipanggil ikut serta dalam perjamuan itu namun acap kali mengabaikan dan menolaknya. Mereka dipanggil untuk keluar dari tradisi yang sudah kaku dan beku. Tradisi yang melanggengkan primordial dan kebanggaan mereka. Mereka diundang untuk meninggalkan cara hidup yang penuhg kemunafikan. Mereka diminta untuk menyambut dan menikmati kebersamaan sukacita dalam perjamuan kawin sang anak. Sayang, mereka menolak dan menyingkirkan orang yang diutus mengundang dan memanggil mereka. Mereka menolak Sang Anak, yaitu Yesus Kristus yang telah hadir di tengah-tengah mereka. Sang Anak yang selalu menggelar "pesta sukacita" dengan pelbagai pengajaran dan pemulihan-pemulihan kelemahan manusia akibat dosa. Sang Anak yang merangkul dan mengasihani orang berdosa. Mereka menolak bahwa Yesus itulah Mesias yang sesungguhnya. Mereka lebih menyukai apa yang sudah berakar turun-temurun. Mereka bangga sebagai umat pilihan dan hidup dalam kesalehan semu.

Asyik dengan apa yang sedang kita geluti. Larut dalam rutinitas, dan merasa nyaman dengan keyakinan diri yang berlebihan dapat membuat kita juga menolak undangan dan panggilan Tuhan. Untuk apa menanggapi undangan dan panggilan-Nya kalau kita merasa bahwa semuanya sudah baik-baik saja?

Para pemuka Yahudi menolak Sang Anak. Namun, penolakan  itu tidak dapat menggagalkan rencana keselamatan Allah. Raja yang murka itu menyuruh hamba-hambanya mengundang siapa saja yang ada di persimpangan jalan untuk hadir dalam pesta perjamuan kawin anaknya merupakan gambaran bahwa sukacita keselamatan itu terbuka bagi semua orang. Bahkan orang-orang berdosa sekali pun! Maka dalam perjamuan kawin anak raja itu terhimpunlah semua orang tanpa batasan lagi. Orang-orang yang semula dipandang tidak layak: orang-orang non Yahudi dan para pendosa kini mendapat tempat dalam Kerajaan Allah itu. Mereka diajak masuk dalam Kerajaan Allah. Sekat-sekat yang dibuat berdasarkan strata kesalehan Yahudi seketika runtuh, kebahagiaan dan sukacita surgawi terbuka lebar, tanpa batas!

Apa jadinya ketika undangan pesta perjamuan kawin itu terbuka untuk setiap orang bahkan yang di pinggir jalan sekalipun? Apa jadinya, kalau kemurahan Allah itu berlaku bagi semua orang termasuk para pendosa sekalipun? Anugerah Allah di dalam Anak-Nya begitu murah. Namun, sadarilah bahwa anugerah Allah itu begitu murah ini bukanlah perkara murahan!

Orang-orang pinggir jalan yang masuk dalam pesta itu ada orang jahat dan juga orang baik. Hal yang tidak biasa terjadi: Raja berbaur bersama mereka dalam kegembiraan pesta. Ia melihat ada seorang yang tidak berpakaian pesta ada dalam pesta itu. Kita bisa saja berkata, justru orang inilah yang paling logis. Lah, mereka orang pinggiran mana punya pakaian pesta? Justru yang aneh mereka yang berpakaian pesta itu. Dari mana mereka mendapatkannya?

Bila seorang pembesar, apalagi seorang raja mengadakan pesta, hal yang lazim bahwa mereka menyediakan semacam jubah untuk dikenakan pada para tamu undangan. Ya, bisa juga terjadi bahwa ada tamu terhormat yang sudah mengenakan pakaian pesta dari rumah mereka. Jadi, seandainya pun tidak ada pakaian yang pantas untuk sebuah pesta, tuan rumah - dalam hal ini sang raja - telah menyediakannya! Sayangnya, orang yang satu ini tidak mengenakannya. Ia terlihat nyaman dengan pakaiannya yang barang kali sudah gembel.

Raja menjadi murka, bukan karena pakaian kumalnya itu. Tetapi orang ini tidak menghargai apa yang terbaik yang disediakan oleh sang raja. Orang ini memandang remeh kemurahan hati sang raja. Kita dapat mengingat narasi nyanyian kebun anggur minggu yang lalu. Dalam Yesaya 5, sang pemilik kebun anggur itu telah menyediakan segala yang terbaik agar kebun anggurnya itu menghasilkan buah yang manis. Namun ternyata semua kebaikannya itu sia-sia. Yang dihasilkan adalah buah yang asam!

Rabi Yokhanan ben Zakai (80 M) bagaimana orang bijak berdandan setelah diundang raja, tetapi orang-orang bodoh meneruskan kesibukan mereka sendiri. Ketika perjamuan sudah tiba dan mereka dipanggil, mereka tampil dengan kotor di depan raja. Bukannya diundang untuk duduk makan, mereka disuruh berdiri dan menonton saja (Shabat 153a). Pengajaran melalui perumpamaan yang disampaikan Yesus lebih tegas lagi. Setelah diminta pertanggungjawaban dan orang tersebut tidak mampu memberinya, orang tanpa pakaian pesta itu dikeluarkan dari perjamuan mesianik dengan cara mengerikan; digambarkan dengan kegelapan dan siksaan!

Allah mengundang semua orang, termasuk di dalamnya orang berdosa. Inilah kemurahan-Nya! Namun, Allah juga tegas dengan mereka yang meremehkan kasih karunia-Nya. Mereka yang tetap tidak mau mengenakan "pakaian pesta" artinya berubah menjadi manusia baru dan nyaman dengan "pakaian kumal"nya akan menerima risiko. Ia tidak akan menikmati sukacita pesta itu. Jadi, marilah kita sambut undangan sukacita itu dan marilah kita datang dengan pakaian pesta yang sudah disediakan-Nya!


Jakarta, 12 Oktober 2023, Minggu Biasa Tahun A