Jumat, 06 Oktober 2023

BUAH ANGGUR YANG MANIS

Sudara Nadeesh hari itu dipukuli secara brutal oleh polisi. Ia bersama puluhan temannya mengalami nasib yang sama. Nadeesh tidak terima negaranya hancur dan bangkrut karena penguasa dan pengusaha bersekongkol melumat habis sumber-sumber kekayaan negara dan bangsa mereka. Benar, masyarakat kelas menengah dan atas membawa dan memberikan bantuan kepada mereka yang tengah sekarat mengangkat beban hidup. Namun, apalah artinya segenggam makanan dan sebotol air minum dibanding keserakahan dan kerakusan mereka?

Tanda-tanda kebangkrutan Sri Lanka telah dimulai ketika pemotongan pajak besar-besaran terjadi tahun 2019 hasil dari lobi-lobi para pengusaha yang didukung kelompok orang kaya dan profesional, mengakibatkan pundi-pundi negara terkuras habis! Pemotongan pajak besar-besaran hanya menguntungkan para pengusaha dan orang kaya tetapi menyengsarakan nyaris puluhan juta rakyat Sri Lanka.

Mahindra Rajapaksa dari etnis mayoritas Sinhala pada 2009 dianggap sebagai pahlawan lantaran pemerintahannya dapat mengatasi pemberontakan separatis Tamil. Namun, selanjutnya keluarga yang tamak ini memeras habis-habisan rakyatnya. Ia tidak lagi peduli dengan penderitaan bangsanya, alih-alih sibuk memuaskan hedonis diri dan keluarganya. Sri Lanka hanya salah satu contoh negara gagal. Benar ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya, namun yang paling kentara adalah ketamakan dan keserakahan para pemimpin. Mengerikan!

Ibarat kebun anggur, Sri Lanka telah menjadi kering kerontang. Setidaknya ini ditandai dengan pemadaman listrik, kesulitan bahan bakar minyak, kelangkaan obat-obatan. Mayoritas anak-anak Sri Lanka terpaksa mengkonsumsi yang nyaris tidak mengandung protein sehingga PBB memperingatkan terjadinya malnutrisi dan krisis kemanusiaan. Sri Lanka tidak sendiri, dalam peradaban manusia tragedi semacam ini terus saja terulang. Mungkinkah Indonesia mengalami krisis serupa? Negeri indah nyiur melambai, bagaikan jamrud yang terbentang di khatulistiwa sangat mungkin berubah menjadi gersang dan miskin penuh kemelut ketika "kebun anggur" yang disediakan Allah ini tidak dikelola dengan baik!

Hari ini kita diingatkan tentang "kebun anggur" premium maha indah yang menjadi porak poranda karena salah urus dan kerakusan manusia. Dalam narasi  tentang "Nyanyian kebun anggur" (Yesaya 5:1-7), TUHAN disebut sebagai "kekasihku" yang memiliki kebun anggur sangat indah. Lokasinya terletak di bukit subur, ditanami dengan pokok anggur pilihan, dirawat dan dijaga dengan keamanan tingkat tinggi. Kebun anggur itu dilengkapi pula dengan peralatan untuk memeras buah anggur menjadi minuman. Semua yang terbaik telah disediakan oleh sang pemilik kebun anggur. Tentu saja yang diharapkan adalah anggur yang berkualitas: manis! Ternyata, yang dihasilkannya adalah anggur asam yang tidak berkualitas. 

Kekecewaan sang pemilik kebun anggur dilampiaskan dengan menebang pagar duri, membiarkan kebun itu dijarah dan diinjak-injak lalu ditumbuhi semak belukar. Kebun anggur itu akan kering kerontang karena TUHAN menahan awan-awan untuk tidak menurunkan hujan. Jelaslah bahwa Sang Pemilik kebun anggur itu adalah TUHAN sendiri, Sang Penguasa langit dan bumi. "Kekasihku" itu adalah TUHAN alam sedangkan yang dimaksud dengan "kebun anggur" adalah kaum Israel, umat pilihan-Nya.

Umat itu begitu dicintai-Nya, ada banyak keistimewaan yang diberikan kepada mereka. Namun nyatanya mereka mengecewakan, tidak menghasilkan "buah anggur yang manis". "Tanaman-tanaman kegemaran-Nya" diharapkan menghasilkan "kebenaran" (mishpat) dan "keadilan" (tsedaqah). Namun yang dijumpai-Nya adalah "kelaliman" (mishpakh) dan "keonaran" (tse' aqah)! Sangat masuk akal kalau pemilik kebun anggur itu kecewa, marah dan memporak-porandakan kebun anggur itu!

Ketidakadilan, kelaliman dan keonaran dipertontonkan oleh "umat istimewa" ini. Mereka lupa untuk apa TUHAN memberikan segala keistimewaan itu. Yang mereka kejar adalah kenikmatan sesaat meski dengan itu harus membungkam nurani. Sama seperti Sudara Nadeesh dan teman-temannya di Sri Lanka, siapa yang berani berteriak tentang ketidakadilan berhadapan dengan gas air mata, pentung dan bahkan peluru. Bukankah itu yang terjadi dengan Yeremia dan teman-temannya. Mereka dicari, diintimidasi, disingkirkan dan dibunuh!

Dalam narasi kebun anggur yang dikisahkan Yesus, kehancuran kebun anggur itu disebabkan bukan oleh kebun itu sendiri. Yesus sama sekali tidak mempermasalahkan kebun itu, tetapi para penggaraplah yang bertanggung jawab terhadap kebun anggur itu. Para penggarap itu ingin menguasai kebun dan hasilnya. Mereka merasa menjadi pemilik dari kebun anggur itu. Mereka memukuli, melempari dengan batu, bahkan juga membunuh para utusan Sang Tuan. Tidak hanya berhenti di sini, mereka bahkan membunuh anak pemilik kebun anggur itu. Karena kejahatan tersebut, sang tuan kebun anggur itu akan mengambil kembali kebun anggurnya lalu mempercayakan kepada para penggarap lain yang akan menyerahkan hasil pada waktunya. Para penggarap yang dimaksud adalah para imam kepala, kaum Farisi, tua-tua bangsa dan para elit Yahudi.

Melalui kisah kebun anggur itu, Yesus menyatakan secara langsung kepada para pemimpin Yahudi itu, bahwa Kerajaan Allah itu akan diambil dari mereka dan akan diberikan kepada suatu bangsa yang akan menghasilkan buah yang manis dari Kerajaan itu. Kerajaan Allah semula ditegakkan Allah di tengah bangsa Israel. Namun, para elit Israel yang merupakan "penggarap kebun itu" bertindak laksana pemilik kebun. Pemilik yang bukan seperti Allah tetapi mereka merasa sebagai pemilik yang bebas memperlakukan kebun anggur itu untuk memuaskan nafsu serakah mereka.

Di tangan mereka alih-alih hasil yang baik justru kelaliman, keonaran dan kemunafikan menjadi tontonan sehari-hari. Bait Allah tidak lagi menjadi sarana perjumpaan Allah yang penuh rahmat dengan umat, tetapi telah berubah menjadi lahan bisnis. Persembahan-persembahan menjadi kesempatan meraup untung. Setiap orang yang dipakai Allah untuk memperingatkan perbuatan mereka dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Bahkan, Yesus Kristus, "Anak Sang Pemilik Kebun" itu di bunuh di luar kebun (di luar Yerusalem). Jelas, kondisi seperti ini jauh dari harapan Sang Pemilik kebun anggur itu. Maka kebun anggur atau Kerajaan itu akhirnya dialihkan kepada umat yang baru yang akan menghasilkan buah-buah Kerajaan yang manis dan berkualitas, mereka akan melakukan kehendak Allah seperti yang telah dijelaskan Yesus.

Kebun anggur Israel dan para penggarapnya merupakan catatan peringatan penting untuk sebuah umat yang baru. Umat yang akan menggarap, bekerja meneruskan kebun anggur yang terbengkalai itu. Umat yang baru itu harus menghasilkan buah yang berkualitas, manis dan penuh nutrisi baik. Tidak hanya berhenti di sini, para pekerja itu tidak boleh melakukan kesalahan yang sama, yakni merasa menjadi pemilik sehingga hasilnya tidak diserahkan kepada Sang Tuan tetapi menjadi kebanggaan dan pemuasan diri. 

Anugerah Tuhan terhadap umat yang baru ini jelas disertai dengan tanggung jawab besar. Gereja terpanggil untuk bekerja dengan tanggung jawab yang besar. Gereja terpanggil untuk menghadirkan buah Kerajaan Allah, yakni damai sejahtera di bumi. Umat Tuhan yang baru harus benar-benar menghasilkan "buah anggur yang manis", yakni hidup yang berdampak membawa damai sejahtera!

 

Jakarta, 6 Oktober 2023, Minggu Biasa Tahun A

Kamis, 28 September 2023

KELUARGA YANG MENGAKUI KUASA ALLAH

Anda melamar sebuah pekerjaan yang sudah lama menjadi impian Anda. Agar menarik, Anda memoles setiap kata agar terdengar menawan. Dalam wawancara tentang pekerjaan, Anda menekankan tentang prestasi dan keahlian Anda. Sebaliknya, menyembunyikan kelemahan dan kesulitan. Dalam wawancara itu, mereka bertanya, apakah Anda mampu meningkatkan penjualan hingga tiga puluh persen sekaligus pada saat yang sama memangkas anggaran produksi sebesar tiga puluh persen. Anda pun menjawab dengan suara tenang, "Saya pasti bisa!" Sekalipun dalam hati Anda merasa cemas dan menguras otak Anda untuk mendapatkan cara agar Anda dapat mewujudkan perkataan Anda itu. Anda tetap melakukan dan menjawab apa pun yang diharapkan agar mendapat posisi pada pekerjaan itu. Anda fokus untuk memukau pewawancara, konsekuwensinya urusan nanti.

Rolf Dobelli dalam bukunya, "The Art of Thinking Clearly" menyebut perilaku itu sebagai strategic misrepresentation atau "strategi omong besar". Semakin besar yang dipertaruhkan, maka semakin lebay, berlebihan pernyataan Anda itu. Strategi seperti ini banyak kita jumpai dalam masa-masa kampanye. Banyak omong besar yang terbukti janji-janji kosong. Omong besar yang bahkan mengalahkan kewarasan akal sehat tidak segan-segan untuk meraih kekuasaan!

Strategi omong besar dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk Anda dan saya. Tujuannya untuk membangun citra diri yang baik. Perkara ucapan itu dipraktikan atau tidak, itu perkara lain. Yang penting orang mengenal dirinya sebagai firug yang keren dan mumpuni. Lantas, apakah reputasi baik dan keren itu akan melekat pada diri kita hanya melalui strategi omong besar? Bayangkan, kalau Anda datang kepada seorang dokter untuk keluhan mata Anda. Pada pertemuan pertama sang dokter spesialis mata itu memaparkan keahliannya. Dengan segudang pengalaman, ia menjanjikan pada pertemuan kelima mata Anda akan segera pulih bahkan dapat melihat melebihi mata orang normal. Anda termakan omong besarnya itu. Pada kedatangan kedua dan ketiga, alih-alih penglihatan Anda membaik, semakin buram dan mengkhawatirkan. Apakah Anda akan kembali pada pertemuan keempat?

Pencitraan dapat dibangun melalui strategi omong besar. Namun, tidak dengan reputasi! Anda dan saya bisa dengan omong besar mengatakan percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah. Namun, dampak dari pengakuan itu, yakni: tunduk dan melakukan kehendak-Nya adalah perkara yang lain. Orang yang percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah belum tentu mau tunduk dan melakukan perintah-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah Iblis dan antek-anteknya juga percaya dan mengakui dan percaya kepada kemahakuasaan Allah?

Pencitraan, itulah yang kerap kali kita jumpai dalam Injil yang mengisahkan perjumpaan Yesus dengan orang-orang Farisi, imam-imam kepala, tua-tua Yahudi dan para pakar hukum Taurat itu. Salah satu kisah itu yang kita baca hari ini. Pagi itu Yesus masuk kompleks Bait Allah dan mengajar. Para pemuka agama itu merasa terusik dan bertanya atas kewenangan dan kuasa dari mana Yesus melakukan itu? Yesus menjawab secara diplomatis dengan sebuah pertanyaan tentang baptisan Yohanes yang tidak dapat dijawab!

Selanjutnya, Yesus memberikan pengajaran dengan tiga perumpamaan: dua orang anak yang diminta bekerja oleh bapaknya (Matius 21:28-32), tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46), dan tentang perjamuan kawin (Matius 22:1-14). Ketiga perumpamaan ini bermuatan ajaran teguran kepada para pemuka agama itu yang atas ketidakpercayaan mereka kepada Yesus. Mereka seperti anak pertama yang mengatakan "ya" untuk bekerja di kebun anggur bapaknya. Nyatanya tidak mengerjakan apa yang diucapkannya itu. Mereka seperti para penggarap kebun anggur yang menangkap dan memukul, bahkan juga membunuh utusan-utusan sang pemilik kebun anggur. Mereka seperti para tamu undangan yang menolak untuk hadir dalam pesta perjamuan kawin itu.

Perumpamaan mengenai seorang bapak yang mempunyai dua orang anak yang diminta bekerja di kebunnya hanya terdapat dalam Injil Matius. Perumpamaan ini menekankan kembali tema yang dibahas oleh Injil Matius tentang pertobatan. Pertobatan itu bukan omong besar saja, melainkan sebuah tindakan nyata! Anak pertama mengatakan "ya" tetapi nyatanya tidak mau pergi dan mengerjakan perintah bapaknya. Sedangkan anak kedua mengatakan, "Aku tidak mau", tetapi kemudian ia menyesal dan pergi mengerjakan perintah bapaknya.

Perumpamaan ini mengajarkan bahwa yang penting dan menentukan bukanlah apa yang dikatakan, melainkan apa yang dilakukan orang. Urutan cerita menunjukkan celaan terhadap hal berbalik dari perkataan "Ya" tetapi pada kenyataannya "tidak" dikerjakan! Walaupun jawaban anak kedua sangat tidak sopan, "Aku tidak mau!" Namun, nyatanya tidak dipermasalahkan ketika anak kedua ini menyesal lalu mengerjakan perintah bapaknya.

Imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi menjadi representasi dari kebanyakan orang Yahudi itu seperti anak pertama. Mereka mendengar warta pertobatan Yohanes, tetapi mereka mengabaikannya. Sekarang malahan menentang Yesus. Mereka menolak pemberitaan dan karya yang dilakukan Yesus. Sikap mereka ini berbanding terbalik dengan para pemungut cukai, para pelacur sundal yang mereka labeli dengan sebutan orang-orang berdosa. Pada pihak lain, orang-orang yang disebut kelompok pendosa ini, semula mengatakan "tidak" (karenanya mereka melakukan perbuatan dosa). Tetapi kemudian mereka menyesal dan percaya kepada Yesus.

Dalam kisah ini jelaslah, para pemuka Yahudi itu tahu, menyaksikan dan membenarkan perkataan Yesus namun mereka tidak mau tunduk apalagi melakukannya. Mereka membenarkan ajaran di balik perumpamaan Yesus. Yesus bertanya, "Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka, "Yang terakhir" Kata Yesus kepada mereka, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului masuk ke dalam Kerajaan Allah." (Matius 21:31).

Percaya, mengakui akan kemahakuasaan Allah tidak serta-merta membuat orang tunduk dan melakukan apa yang dikehendaki Allah. Di sinilah kita membutuhkan apa yang disebut kerendahan hati. Paulus mengajarkan kepada jemaat di Filipi untuk merendahkan diri sama seperti Yesus. Jemaat Filipi yang tumbuh di kota yang sering disebut "little Roma" yang gemar sekali membanggakan diri. Hidup dalam pelbagai macam bentuk pencitraan. Mereka diminta untuk sehati sepikir dengan Yesus  yang walaupun dalam rupa Allah tidak mempertahankan-Nya, melainkan telah mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, disalibkan dan mati! Paulus mengajarkan ketertundukan kepada Allah itu dengan cara taat dan setia dalam melakukan kehendak Allah.

Hari ini, ketika memulai bulan keluarga, kita diingatkan kembali tentang kemahakuasaan Allah. Keluarga yang mengakui sekaligus tunduk kepada kemahakuasaan Allah. Keluarga yang menjunjung tinggi otoritas Allah di atas segalanya. Dampaknya, setiap anggota keluarga akan belajar dan melaksanakan kehendak Allah itu pertama-tama dalam keluarga. Ayah dan ibu, orang tua akan menjadi contoh terlebih dahulu menterjemahkan kata "taat", "setia", "kasih", "pengampunan", "bela rasa", "pendamaian", "kerendahan hati" dan seterusnya ke dalam perbuatan yang nyata; konkrit. Sebab kalau tidak itu berati kita sedang dalam pase "strategi omong besar" yang sama seperti para pemuka agama Yahudi itu. Bahkan, sama seperti Iblis dan antek-anteknya yang percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah tetapi tidak mau tunduk! 

Demikian juga seterusnya, setiap anggota keluarga mengutamakan otoritas Allah dan mengakuinya dalam tingkah laku dan segenap tindakan. Dengan cara itulah kita, dan tentunya keluarga kita mengakui kemahakuasaan Allah!

Jakarta, 1 Oktober 2023 Pembukaan Bulan Keluarga / Minggu Biasa tahun A