Kamis, 28 September 2023

KELUARGA YANG MENGAKUI KUASA ALLAH

Anda melamar sebuah pekerjaan yang sudah lama menjadi impian Anda. Agar menarik, Anda memoles setiap kata agar terdengar menawan. Dalam wawancara tentang pekerjaan, Anda menekankan tentang prestasi dan keahlian Anda. Sebaliknya, menyembunyikan kelemahan dan kesulitan. Dalam wawancara itu, mereka bertanya, apakah Anda mampu meningkatkan penjualan hingga tiga puluh persen sekaligus pada saat yang sama memangkas anggaran produksi sebesar tiga puluh persen. Anda pun menjawab dengan suara tenang, "Saya pasti bisa!" Sekalipun dalam hati Anda merasa cemas dan menguras otak Anda untuk mendapatkan cara agar Anda dapat mewujudkan perkataan Anda itu. Anda tetap melakukan dan menjawab apa pun yang diharapkan agar mendapat posisi pada pekerjaan itu. Anda fokus untuk memukau pewawancara, konsekuwensinya urusan nanti.

Rolf Dobelli dalam bukunya, "The Art of Thinking Clearly" menyebut perilaku itu sebagai strategic misrepresentation atau "strategi omong besar". Semakin besar yang dipertaruhkan, maka semakin lebay, berlebihan pernyataan Anda itu. Strategi seperti ini banyak kita jumpai dalam masa-masa kampanye. Banyak omong besar yang terbukti janji-janji kosong. Omong besar yang bahkan mengalahkan kewarasan akal sehat tidak segan-segan untuk meraih kekuasaan!

Strategi omong besar dapat dilakukan oleh siapa pun, termasuk Anda dan saya. Tujuannya untuk membangun citra diri yang baik. Perkara ucapan itu dipraktikan atau tidak, itu perkara lain. Yang penting orang mengenal dirinya sebagai firug yang keren dan mumpuni. Lantas, apakah reputasi baik dan keren itu akan melekat pada diri kita hanya melalui strategi omong besar? Bayangkan, kalau Anda datang kepada seorang dokter untuk keluhan mata Anda. Pada pertemuan pertama sang dokter spesialis mata itu memaparkan keahliannya. Dengan segudang pengalaman, ia menjanjikan pada pertemuan kelima mata Anda akan segera pulih bahkan dapat melihat melebihi mata orang normal. Anda termakan omong besarnya itu. Pada kedatangan kedua dan ketiga, alih-alih penglihatan Anda membaik, semakin buram dan mengkhawatirkan. Apakah Anda akan kembali pada pertemuan keempat?

Pencitraan dapat dibangun melalui strategi omong besar. Namun, tidak dengan reputasi! Anda dan saya bisa dengan omong besar mengatakan percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah. Namun, dampak dari pengakuan itu, yakni: tunduk dan melakukan kehendak-Nya adalah perkara yang lain. Orang yang percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah belum tentu mau tunduk dan melakukan perintah-Nya dalam kehidupan sehari-hari. Bukankah Iblis dan antek-anteknya juga percaya dan mengakui dan percaya kepada kemahakuasaan Allah?

Pencitraan, itulah yang kerap kali kita jumpai dalam Injil yang mengisahkan perjumpaan Yesus dengan orang-orang Farisi, imam-imam kepala, tua-tua Yahudi dan para pakar hukum Taurat itu. Salah satu kisah itu yang kita baca hari ini. Pagi itu Yesus masuk kompleks Bait Allah dan mengajar. Para pemuka agama itu merasa terusik dan bertanya atas kewenangan dan kuasa dari mana Yesus melakukan itu? Yesus menjawab secara diplomatis dengan sebuah pertanyaan tentang baptisan Yohanes yang tidak dapat dijawab!

Selanjutnya, Yesus memberikan pengajaran dengan tiga perumpamaan: dua orang anak yang diminta bekerja oleh bapaknya (Matius 21:28-32), tentang penggarap-penggarap kebun anggur (Matius 21:33-46), dan tentang perjamuan kawin (Matius 22:1-14). Ketiga perumpamaan ini bermuatan ajaran teguran kepada para pemuka agama itu yang atas ketidakpercayaan mereka kepada Yesus. Mereka seperti anak pertama yang mengatakan "ya" untuk bekerja di kebun anggur bapaknya. Nyatanya tidak mengerjakan apa yang diucapkannya itu. Mereka seperti para penggarap kebun anggur yang menangkap dan memukul, bahkan juga membunuh utusan-utusan sang pemilik kebun anggur. Mereka seperti para tamu undangan yang menolak untuk hadir dalam pesta perjamuan kawin itu.

Perumpamaan mengenai seorang bapak yang mempunyai dua orang anak yang diminta bekerja di kebunnya hanya terdapat dalam Injil Matius. Perumpamaan ini menekankan kembali tema yang dibahas oleh Injil Matius tentang pertobatan. Pertobatan itu bukan omong besar saja, melainkan sebuah tindakan nyata! Anak pertama mengatakan "ya" tetapi nyatanya tidak mau pergi dan mengerjakan perintah bapaknya. Sedangkan anak kedua mengatakan, "Aku tidak mau", tetapi kemudian ia menyesal dan pergi mengerjakan perintah bapaknya.

Perumpamaan ini mengajarkan bahwa yang penting dan menentukan bukanlah apa yang dikatakan, melainkan apa yang dilakukan orang. Urutan cerita menunjukkan celaan terhadap hal berbalik dari perkataan "Ya" tetapi pada kenyataannya "tidak" dikerjakan! Walaupun jawaban anak kedua sangat tidak sopan, "Aku tidak mau!" Namun, nyatanya tidak dipermasalahkan ketika anak kedua ini menyesal lalu mengerjakan perintah bapaknya.

Imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi menjadi representasi dari kebanyakan orang Yahudi itu seperti anak pertama. Mereka mendengar warta pertobatan Yohanes, tetapi mereka mengabaikannya. Sekarang malahan menentang Yesus. Mereka menolak pemberitaan dan karya yang dilakukan Yesus. Sikap mereka ini berbanding terbalik dengan para pemungut cukai, para pelacur sundal yang mereka labeli dengan sebutan orang-orang berdosa. Pada pihak lain, orang-orang yang disebut kelompok pendosa ini, semula mengatakan "tidak" (karenanya mereka melakukan perbuatan dosa). Tetapi kemudian mereka menyesal dan percaya kepada Yesus.

Dalam kisah ini jelaslah, para pemuka Yahudi itu tahu, menyaksikan dan membenarkan perkataan Yesus namun mereka tidak mau tunduk apalagi melakukannya. Mereka membenarkan ajaran di balik perumpamaan Yesus. Yesus bertanya, "Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka, "Yang terakhir" Kata Yesus kepada mereka, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului masuk ke dalam Kerajaan Allah." (Matius 21:31).

Percaya, mengakui akan kemahakuasaan Allah tidak serta-merta membuat orang tunduk dan melakukan apa yang dikehendaki Allah. Di sinilah kita membutuhkan apa yang disebut kerendahan hati. Paulus mengajarkan kepada jemaat di Filipi untuk merendahkan diri sama seperti Yesus. Jemaat Filipi yang tumbuh di kota yang sering disebut "little Roma" yang gemar sekali membanggakan diri. Hidup dalam pelbagai macam bentuk pencitraan. Mereka diminta untuk sehati sepikir dengan Yesus  yang walaupun dalam rupa Allah tidak mempertahankan-Nya, melainkan telah mengosongkan diri, mengambil rupa seorang hamba, disalibkan dan mati! Paulus mengajarkan ketertundukan kepada Allah itu dengan cara taat dan setia dalam melakukan kehendak Allah.

Hari ini, ketika memulai bulan keluarga, kita diingatkan kembali tentang kemahakuasaan Allah. Keluarga yang mengakui sekaligus tunduk kepada kemahakuasaan Allah. Keluarga yang menjunjung tinggi otoritas Allah di atas segalanya. Dampaknya, setiap anggota keluarga akan belajar dan melaksanakan kehendak Allah itu pertama-tama dalam keluarga. Ayah dan ibu, orang tua akan menjadi contoh terlebih dahulu menterjemahkan kata "taat", "setia", "kasih", "pengampunan", "bela rasa", "pendamaian", "kerendahan hati" dan seterusnya ke dalam perbuatan yang nyata; konkrit. Sebab kalau tidak itu berati kita sedang dalam pase "strategi omong besar" yang sama seperti para pemuka agama Yahudi itu. Bahkan, sama seperti Iblis dan antek-anteknya yang percaya dan mengakui kemahakuasaan Allah tetapi tidak mau tunduk! 

Demikian juga seterusnya, setiap anggota keluarga mengutamakan otoritas Allah dan mengakuinya dalam tingkah laku dan segenap tindakan. Dengan cara itulah kita, dan tentunya keluarga kita mengakui kemahakuasaan Allah!

Jakarta, 1 Oktober 2023 Pembukaan Bulan Keluarga / Minggu Biasa tahun A

Kamis, 21 September 2023

TUHAN YANG ADIL DAN PENUH PEMURAH

"Boleh lihat gak isi besekmu?" Pinta seorang ibu pada temannya dalam perjalanan pulang setelah acara syukuran tetangganya. "Boleh!" Sahut teman sambil membuka besek yang berisi makanan berkat itu. "Loh koq, kamu dapat dada mentok. Lah, yang punyaku paha bawah! Ini tidak beres, perasaan selama ini saya selalu ramah sama tuan rumah itu, bahkan tanpa diminta kalau ada sampah di depan rumahnya saya pungut dan memasukkannya ke tempat sampah!" Si ibu ini terus menggeruti sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Besek berkat yang berisi makanan itu alih-alih disyukuri, malah membuat semakin panas hati ketika ia membayangkan dada mentok yang diperoleh temannya.

Ceritanya menjadi lain apabila Si Ibu tadi tidak melihat besek teman tetangganya. Ia bisa menikmati bersama anggota keluarganya dengan makan pemberian cuma-cuma dari tetangganya yang sedang mengucap syukur itu. Bisa jadi di antara kita sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika membandingkan apa yang kita peroleh dengan milik tetangga kita. Kita rajin mengingat kepunyaan orang lain, sebaliknya lupa apa yang sudah Tuhan beri!

Ceritanya menjadi lain andai saja Sang Tuan itu membagi bayar dimulai yang bekerja paling pagi. Setelah menerima bayaran, mereka akan pulang dan menikmati upah bekerja di ladang anggur itu. Satu dinar adalah upah yang layak dan pantas untuk buruh yang bekerja di ladang anggur itu. Satu dinar cukup menghidupi satu keluarga untuk satu hari. Dalam perumpamaan,Yesus membalik urutannya. Yang datang terakhir bergabung bekerja di kebun anggur itu dibayar terlebih dahulu. Jelas, mereka yang datang lebih awal itu melihat. Sang Tuan memberi satu dinar kepada orang yang baru datang bekerja jam lima sore sebesar satu dinar. Pada tahap ini mungkin para pekerja yang datang menggarap kebun anggur itu dari pagi sumringah, "Mereka yang baru bekerja satu jam saja mendapat bayaran satu dinar. Nah, aku bekerja dari pagi, lebih dari sepuluh jam. Tentu akan mendapat sepuluh dinar!" 

Lalu, mereka mengamati terus. Ternyata sampai pada giliran mereka: satu dinar juga! "Wah, ini tidak adil. Bagaimana mungkin orang yang bekerja hanya satu jam bayarannya disamakan dengan kami yang bekerja lebih dari sepuluh jam. Kalau begini caranya, buat apa kami datang pagi-pagi buta bekerja terus sampai terpanggang matahari, datang saja seperti mereka. Satu jam sebelum pembayaran upah!" Mereka menggerutu dan marah.

Mengapa mereka menggerutu dan marah? Mereka marah karena melihat satu dinar yang sama! Mereka tidak menerima lebih banyak daripada yang bekerja hanya satu jam saja. Inilah yang mengganggu mereka, sehingga mereka berkata, "Engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung terik matahari!" Mereka lupa akan kesepakatan Sang Tuan di awal sebelum bekerja. Tuan itu menawarkan satu dinar sehari upah bagi yang mau bekerja. Ia bukan tuan tanah yang suka menindas dan memeras tenaga orang-orang kecil. Bayaran itu sangat pantas! 

Sang Tuan membayar hak mereka. Namun, mereka yang protes tidak memikirkan lagi hak yang sudah mereka terima. Mereka memikirkan hak istimewa (previlege). Mereka mau diistimewakan. Itulah sebabnya sikap mereka berubah. Tentang kelompok yang datang bekerja terakhir, mereka bicara dengan nada penghinaan, "Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam..." ( Matius 20:12). Perhatikan kalimat yang mereka pakai: "Mereka yang masuk terakhir ini". Apa yang mencolok dari orang yang berbicara begini? Mereka sama sekali tidak solider dengan kelompok lain. Mereka juga lupa bahwa orang-orang yang masuk bekerja menjelang sore itu karena tidak ada yang mempekerjakan mereka. Mereka lupa bahwa teman-temannya itu juga punya anak isteri yang harus diberi makan.

Para pekerja yang menuntut hak istimewa itu mau memisahkan diri dari teman-temannya yang berstatus buruh atau pekerja juga di kebun anggur itu. Mereka tidak menyebut, "Teman-teman kami yang datang belakangan." Sikap seperti ini sesungguhnya tidak berbeda dari sikap kaum Farisi yang tidak mau peduli dengan "para pendosa". Mereka merasa punya hak istimewa di hadapan Allah!

Pada versi yang lain, perumpamaan ini dengan tepat digambarkan dalam kisah pemanggilan Yunus untuk menyampaikan seruan pertobatan kepada penduduk Kota Niniwe. Rupanya sejak semula Yunus tahu bahwa Allah adalah pengasih, penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya (Yunus 4:2). Yunus marah kepada Allah karena Allah bermurah hati dan berbelaskasihan kepada penduduk Niniwe, padahal mereka adalah para pendosa yang layak dibinasakan. Oleh karena penyesalan dan mereka menyambut seruan pertobatan, Allah menyelamatkan kota Niniwe dari kehancuran. Ternyata keadilan dan kemurahan Allah tidak seperti yang dibayangkan oleh Yunus, oleh orang-orang Farisi, oleh para pekerja yang datang terlebih dahulu dan oleh kita!

Kita membayangkan dan mendambakan seperti Petrus dan teman-temannya bahwa setelah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus akan mendapat hak istimewa. Murid-murid pertama yang telah meninggalkan keluarga dan pekerjaan mereka berharap mendapat upah besar: ganjaran seratus kali lipat dan hidup kekal (Matius 19:27-29). Petrus menegaskan, "Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi, apakah yang akan kami peroleh?" (Matius 19:28). Petrus seakan mewakili kita yang merasa telah melakukan banyak hal atas nama mengikut dan melayani Yesus. Petrus dan kita harus mendapat previlege, keistimewaan dan tidak boleh disamakan dengan mereka yang baru kemarin sore melayani atau bahkan yang tidak mengenal-Nya.

Ceritanya berbeda! Kita terpaku kepada hak itu, lalu membatasi kemurahan Tuhan. Cerita tentang kemurahan hati pemilik kebun anggur ini mengumpamakan kemurahan hati Allah dan Kerajaan-Nya yang melampaui semua perhitungan manusia. Pertama-tama memperlihatkan komitmen Allah yang tanpa batas mengundang manusia yang  berdosa untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Lebih menakjubkan lagi ialah kemurahan Allah yang menawarkan keselamatan penuh kepada semua orang kapan pun ia mau datang. Ini tidak berarti bahwa orang boleh menunda-nunda untuk menyambut panggilan dan pertobatan itu. Jelas, orang yang menyambut panggil dan kasih karunia Allah baginya lebih banyak kesempatan untuk bekerja di ladang Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini ada banyak keintiman dan kebahagiaan bersama-sama dengan Tuhan yang dia layani. Untuk itu tidak perlu memikirkan hak istimewa, karena pada dasarnya selama seseorang bekerja di ladang Tuhan, ia mendapat keistimewaan bersama-sama dengan Dia!

Sebaliknya, untuk orang-orang yang berpendapat "Tuhan membayar sama orang yang bekerja sepanjang hari dengan orang yang bekerja satu jam saja." Oleh karenanya, menunda dan berniat memenuhi panggilan itu pada jam-jam terakhir. Ini mengandung risiko tinggi. Kesempatan yang baik bersekutu dengan Tuhan akan hilang. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu, kapan kesempatan itu benar-benar berakhir. Maka jangan coba-coba mengulur waktu!

 

Jakarta, 21 September 2023, Minggu Biasa Tahun A