Kamis, 21 September 2023

TUHAN YANG ADIL DAN PENUH PEMURAH

"Boleh lihat gak isi besekmu?" Pinta seorang ibu pada temannya dalam perjalanan pulang setelah acara syukuran tetangganya. "Boleh!" Sahut teman sambil membuka besek yang berisi makanan berkat itu. "Loh koq, kamu dapat dada mentok. Lah, yang punyaku paha bawah! Ini tidak beres, perasaan selama ini saya selalu ramah sama tuan rumah itu, bahkan tanpa diminta kalau ada sampah di depan rumahnya saya pungut dan memasukkannya ke tempat sampah!" Si ibu ini terus menggeruti sepanjang perjalanan menuju rumahnya. Besek berkat yang berisi makanan itu alih-alih disyukuri, malah membuat semakin panas hati ketika ia membayangkan dada mentok yang diperoleh temannya.

Ceritanya menjadi lain apabila Si Ibu tadi tidak melihat besek teman tetangganya. Ia bisa menikmati bersama anggota keluarganya dengan makan pemberian cuma-cuma dari tetangganya yang sedang mengucap syukur itu. Bisa jadi di antara kita sulit mengucap syukur kepada Tuhan ketika membandingkan apa yang kita peroleh dengan milik tetangga kita. Kita rajin mengingat kepunyaan orang lain, sebaliknya lupa apa yang sudah Tuhan beri!

Ceritanya menjadi lain andai saja Sang Tuan itu membagi bayar dimulai yang bekerja paling pagi. Setelah menerima bayaran, mereka akan pulang dan menikmati upah bekerja di ladang anggur itu. Satu dinar adalah upah yang layak dan pantas untuk buruh yang bekerja di ladang anggur itu. Satu dinar cukup menghidupi satu keluarga untuk satu hari. Dalam perumpamaan,Yesus membalik urutannya. Yang datang terakhir bergabung bekerja di kebun anggur itu dibayar terlebih dahulu. Jelas, mereka yang datang lebih awal itu melihat. Sang Tuan memberi satu dinar kepada orang yang baru datang bekerja jam lima sore sebesar satu dinar. Pada tahap ini mungkin para pekerja yang datang menggarap kebun anggur itu dari pagi sumringah, "Mereka yang baru bekerja satu jam saja mendapat bayaran satu dinar. Nah, aku bekerja dari pagi, lebih dari sepuluh jam. Tentu akan mendapat sepuluh dinar!" 

Lalu, mereka mengamati terus. Ternyata sampai pada giliran mereka: satu dinar juga! "Wah, ini tidak adil. Bagaimana mungkin orang yang bekerja hanya satu jam bayarannya disamakan dengan kami yang bekerja lebih dari sepuluh jam. Kalau begini caranya, buat apa kami datang pagi-pagi buta bekerja terus sampai terpanggang matahari, datang saja seperti mereka. Satu jam sebelum pembayaran upah!" Mereka menggerutu dan marah.

Mengapa mereka menggerutu dan marah? Mereka marah karena melihat satu dinar yang sama! Mereka tidak menerima lebih banyak daripada yang bekerja hanya satu jam saja. Inilah yang mengganggu mereka, sehingga mereka berkata, "Engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung terik matahari!" Mereka lupa akan kesepakatan Sang Tuan di awal sebelum bekerja. Tuan itu menawarkan satu dinar sehari upah bagi yang mau bekerja. Ia bukan tuan tanah yang suka menindas dan memeras tenaga orang-orang kecil. Bayaran itu sangat pantas! 

Sang Tuan membayar hak mereka. Namun, mereka yang protes tidak memikirkan lagi hak yang sudah mereka terima. Mereka memikirkan hak istimewa (previlege). Mereka mau diistimewakan. Itulah sebabnya sikap mereka berubah. Tentang kelompok yang datang bekerja terakhir, mereka bicara dengan nada penghinaan, "Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam..." ( Matius 20:12). Perhatikan kalimat yang mereka pakai: "Mereka yang masuk terakhir ini". Apa yang mencolok dari orang yang berbicara begini? Mereka sama sekali tidak solider dengan kelompok lain. Mereka juga lupa bahwa orang-orang yang masuk bekerja menjelang sore itu karena tidak ada yang mempekerjakan mereka. Mereka lupa bahwa teman-temannya itu juga punya anak isteri yang harus diberi makan.

Para pekerja yang menuntut hak istimewa itu mau memisahkan diri dari teman-temannya yang berstatus buruh atau pekerja juga di kebun anggur itu. Mereka tidak menyebut, "Teman-teman kami yang datang belakangan." Sikap seperti ini sesungguhnya tidak berbeda dari sikap kaum Farisi yang tidak mau peduli dengan "para pendosa". Mereka merasa punya hak istimewa di hadapan Allah!

Pada versi yang lain, perumpamaan ini dengan tepat digambarkan dalam kisah pemanggilan Yunus untuk menyampaikan seruan pertobatan kepada penduduk Kota Niniwe. Rupanya sejak semula Yunus tahu bahwa Allah adalah pengasih, penyayang, panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya (Yunus 4:2). Yunus marah kepada Allah karena Allah bermurah hati dan berbelaskasihan kepada penduduk Niniwe, padahal mereka adalah para pendosa yang layak dibinasakan. Oleh karena penyesalan dan mereka menyambut seruan pertobatan, Allah menyelamatkan kota Niniwe dari kehancuran. Ternyata keadilan dan kemurahan Allah tidak seperti yang dibayangkan oleh Yunus, oleh orang-orang Farisi, oleh para pekerja yang datang terlebih dahulu dan oleh kita!

Kita membayangkan dan mendambakan seperti Petrus dan teman-temannya bahwa setelah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Yesus akan mendapat hak istimewa. Murid-murid pertama yang telah meninggalkan keluarga dan pekerjaan mereka berharap mendapat upah besar: ganjaran seratus kali lipat dan hidup kekal (Matius 19:27-29). Petrus menegaskan, "Kami telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi, apakah yang akan kami peroleh?" (Matius 19:28). Petrus seakan mewakili kita yang merasa telah melakukan banyak hal atas nama mengikut dan melayani Yesus. Petrus dan kita harus mendapat previlege, keistimewaan dan tidak boleh disamakan dengan mereka yang baru kemarin sore melayani atau bahkan yang tidak mengenal-Nya.

Ceritanya berbeda! Kita terpaku kepada hak itu, lalu membatasi kemurahan Tuhan. Cerita tentang kemurahan hati pemilik kebun anggur ini mengumpamakan kemurahan hati Allah dan Kerajaan-Nya yang melampaui semua perhitungan manusia. Pertama-tama memperlihatkan komitmen Allah yang tanpa batas mengundang manusia yang  berdosa untuk masuk ke dalam Kerajaan-Nya. Lebih menakjubkan lagi ialah kemurahan Allah yang menawarkan keselamatan penuh kepada semua orang kapan pun ia mau datang. Ini tidak berarti bahwa orang boleh menunda-nunda untuk menyambut panggilan dan pertobatan itu. Jelas, orang yang menyambut panggil dan kasih karunia Allah baginya lebih banyak kesempatan untuk bekerja di ladang Tuhan. Bagi orang-orang seperti ini ada banyak keintiman dan kebahagiaan bersama-sama dengan Tuhan yang dia layani. Untuk itu tidak perlu memikirkan hak istimewa, karena pada dasarnya selama seseorang bekerja di ladang Tuhan, ia mendapat keistimewaan bersama-sama dengan Dia!

Sebaliknya, untuk orang-orang yang berpendapat "Tuhan membayar sama orang yang bekerja sepanjang hari dengan orang yang bekerja satu jam saja." Oleh karenanya, menunda dan berniat memenuhi panggilan itu pada jam-jam terakhir. Ini mengandung risiko tinggi. Kesempatan yang baik bersekutu dengan Tuhan akan hilang. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu, kapan kesempatan itu benar-benar berakhir. Maka jangan coba-coba mengulur waktu!

 

Jakarta, 21 September 2023, Minggu Biasa Tahun A 

Kamis, 14 September 2023

MENGAMPUNI TAMPA BATAS

"Aku ingin meludahinya! Menyemprotkan ludah itu ke seluruh wajahnya, aku ingin meremas wajahnya." Gumam Debby sambil meremas dan mengepalkan tangannya, menahan emosi, "Aku benci dia! Dialah yang memporak-porandakan perkawinanku yang telah berlangsung hampir dua puluh tahun. Dia adalah sahabat dan teman sepelayanan kami di gereja. Oke, memang benar hubungan pernikahan kami tidak sedang baik-baik saja. Aku sadar, aku juga ikut andil dalam terciptanya hubungan yang renggang ini. Pasti aku juga bersalah, oleh karena itu aku tidak lebih membenci suamiku, tapi... perempuan itu, sahabatku sendiri! Mengapa dia yang mengambil kesempatan dan menghancurkan perkawinanku? Jangankan memaafkan atau mengampuni, yang ada aku ingin meludahi dan merobek wajahnya!"

Marah, kecewa, sakit hati dapat menimpa siapa saja, termasuk Anda. Tentu saja ada alasan dan pembenaran mengapa kita sulit dan seolah tidak mungkin untuk memberi maaf atau mengampuni orang yang telah merugikan, melukai dan merampas kebahagiaan kita. Seberapa besar kebahagiaan, harapan, dan impian kita yang terenggut, berbanding lurus dengan tidak mudahnya memberi maaf atau pengampunan. Manusiawi!

Apa yang terlintas dalam benak kita ketika tersakiti, terenggut, dan terinjak harga diri? Membalas, bahkan lebih dari apa yang telah dia lakukan terhadap kita! Begitulah gambaran umum orang yang tersakiti. Sangat sulit, untuk tidak mengatakan  mustahil ada orang yang tersakiti lalu langsung mengatakan dalam hatinya, "aku memaafkan dan mengampunimu!"

Benar, manusia dapat dan bisa memberi maaf atau pengampunan, tentu saja ada batasnya. Batasan pemberian maaf atau pengampunan biasanya berkaitan dengan jumlah kesalahan yang dilakukan: seberapa kali harus mengampuni? Kita lupa, masih ada batasan lain yakni, seberapa dalam luka itu telah digoreskan dalam batin kita, luka yang dalam seperti yang dialami Debby. Cukup sekali namun telah memporak porandakan semua mimpi-mimpi indah bersama suami dan anak-anaknya!

Batasan manusia dalam memberi maaf atau pengampunan terkait terulangnya kesalahan sebanyak tiga kali. Oleh karena itu jika ada yang mampu memberikan pengampunan terhadap orang yang bersalah sebanyak tujuh kali, adalah kemampuan luar biasa! Standar luar biasa ini ditanyakan Petrus kepada Yesus: Apakah tujuh kali sudah cukup untuk memberi maaf, selanjutnya kesalahan itu tidak pantas lagi diberi pengampunan!

Percakapan tentang mengampuni orang yang telah melakukan kesalahan merupakan kelanjutan dialog pengajaran Yesus tentang menegur orang yang melakukan dosa. Inti teguran itu bukan dalam rangka penghakiman dan penghukuman, melainkan pertobatan. Orang yang telah melakukan perbuatan dosa itu dengan pelbagai metode diraih kembali menjadi anggota komunitas yang telah dipulihkan.

Tampaknya, buat Petrus angka tujuh kali merupakan jumlah batasan tertinggi dalam mengampuni. Bisa jadi, Petrus yang hidup dalam lingkungan Yahudi mengenal tradisi yang telah berurat akar. Rumusannya dikutip sehubungan dengan Lamekh yang berkata, "Kain harus dibalaskan tujuh kali lipat, maka Lamekh tujuh puluh tujuh kali lipat" (Kejadian 4:24). Waktu itu, Allah tidak dapat menerima sikap Lamekh dan semua orang yang suka membalas dendam di zaman dahulu. Maka, Ia memberi manusia hukum yang membatasi pembalasan dendam. Rumusannya dapat dibaca dalam Imamat 24:20, "Mata ganti mata, gigi ganti gigi." Jika dendam manusia sulit untuk dihilangkan, maka membatasannya demikian, tidak berlebihan!

Namun, perkembangan yang terjadi hukum balas dendam ini direvisi kembali. Seharus orang benar tidak membalaskan dendam. Mengapa? Sebab ia menyerahkan perkaranya kepada Allah (Yeremia 11:20). Dengan menyerahkan segalanya kepada Allah, orang benar meyakini kemahaadilan Allah dan segala sesuatu dapat dipakai Allah untuk kebaikan manusia. Dalam hal inilah kita melihat refleksi yang dinyatakan oleh Yusuf terhadap saudara-saudaranya. Saudara-saudara Yusuf itu merancangkan pelbagai tindak kejahatan yang dipicu oleh kebencian akibat iri hati. Narasi kisah itu memberi gambaran bahwa tidak terbersit dalam benak Yusuf ada unsur kebencian. Alih-alih Yusuf berkata, "Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah mereka-rekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara suatu bangsa yang besar." (Kejadian 50:20).

Allah yang dapat menjadikan segala sesuatu, bahkan yang terburuk sekalipun untuk suatu maksud yang lebih besar dan mulia. Benar, pada saatnya kita mengalami tindakan-tindakan menyakitkan tentu saja tidak menyenangkan, rasanya ingin langsung membalas. Namun, kisah Yusuf memperlihatkan bahwa Allah sanggup mengubahnya menjadi kebaikan. Tinggal cara kita memandang dan mempercayakan segala sesuatu kepada Allah.

Yesus sendiri dengan tegas menolak hukum balas dendam. Ia mengajarkan kepada para murid-Nya agar dapat mengasihi para pembenci mereka. Selebihnya, para murid harus dapat memberi pengampunan sebanyak tujuh puluh kali tujuh kali. Dengan demikian, Yesus memberi pemaknaan baru untuk pengampunan, pengampunan itu dilakukan tanpa batas. Mengapa? Pada dasarnya ketika pengampunan itu ada batasnya berapa kali pun, maka sesungguhnya ia tidak mengampuni.

Prinsif dasar pengampunan diajarkan Yesus melalui perumpamaan seorang hamba yang berhutang sepuluh ribu talenta. Sangat besar! Raja itu, atas dasar permohonan dan belas kasihan menghapuskan seluruh hutang hambanya ini. Namun, sayang sang hamba tidak melakukan apa yang sama seperti rajanya. Temannya yang berhutang seratus dinar ia jebolkan ke penjara. Hamba ini tidak mengucap syukur atas pengampunan yang diberikan sang raja, bahkan ia menindas dan menuntut. Pada dasarnya setiap kita berhutang tak terhingga kepada Allah. Atas penebusan Kristus di kayu salib itu, hutang dosa kita dilunasi-Nya. Orang yang telah dibebaskan dari hutang dosa ini selayaknyalah saling mengampuni satu dengan yang lain.

Bila luka itu terlalu dalam menusuk sampai sum-sum tulang-tulangmu: perih dan sakit! Lihatlah, apa yang dilakukan Yusuf, setiap kesakitan yang Anda alami, ada rancangan indah. Tuhan ingin membentukmu menjadi pribadi-pribadi tangguh. Ia ingin engkau menjadi orang-orang yang dapat menginspirasi banyak orang tentang kekuatan cinta yang mengalahkan dendam. Sakit, yang dialami Debby benar tidak mudah begitu saja dihapus. Bertahun-tahun ia berjuang dan akhirnya menemukan bahwa kuasa pengampunan Allah itu begitu dahsyat. Tidak hanya dirinya yang dipulihkan - meski tidak dapat berkumpul kembali dengan suaminya - orang-orang di sekitarnya menyaksikan ketangguhan dan pertolongan Tuhan yang memulihkan.

Bila saat ini Anda terluka, jangan fokus pada mengasihani diri sendiri. Galilah bahwa di balik itu ada rancangan Tuhan yang tidak hanya untuk diri Anda sendiri, melainkan juga untuk orang-orang di sekitar Anda. Ada banyak kesaksian orang-orang yang hidupnya mengalami kepahitan, luka dan trauma namun mereka dapat bangkit kembali dan pengalamannya bukan hanya mendatangkan berkat bagi diri, keluarga, orang-orang terdekatnya tetapi juga bagi banyak orang. Jadi, mengampuni tanpa batas itu bisa dan bahkan menjadi berkat dan memberkati!

 

Jakarta, 14 September 2023, Minggu Biasa tahun A