Kamis, 10 Agustus 2023

JEJAK PERUBAHAN BAGI BANGSA

Perahu Retak

Perahu negeriku, perahu bangsaku menyusuri gelombang.

Semangat rakyatku, kibar benderaku menyeruak lautan.

Langit membentang, cakrawala di depan melambaikan tantangan.

 

Di atas tanahku, dari dalam airku tumbuh kebahagiaan.

Di sawah kampungku, di jalan kotaku terbit kesejahteraan.

Tapi kuheran di tengah perjalanan muncullah ketimpangan.

 

                Aku heran, aku heran yang salah dipertahankan.

                Aku heran, aku heran yang benar disingkirkan.

 

Perahu negeriku, perahu bangsaku jangan retak dindingmu.

Semangat rakyatku, derap kaki tekadmu jangan terantuk batu.

Tanah pertiwi angugerahi ilahi jangan ambil sendiri.

Tanah pertiwi anugerah ilahi jangan makan sendiri.

 

                Aku heran, aku heran satu kenyang seribu kelaparan.

                Aku heran, aku heran keserakahan diagungkan.

                                                     (lirik oleh : Emha Ainun Najib. Lagu/dinyanyikan: Franky Sahilatua)

 

Kritik sosial melalui lantunan suara ini populer pada 1995, tiga tahun sebelum era reformasi. Ketimpangan membuncah seperti lirik lagu Perahu Retak. Setiap suara yang menyerukan keadilan dibungkam dan entah di mana kita dapat menemui si pemilik suara itu. Raib! Jejak negeri yang semula dibangun dalam bersamaan, di tengah perjalanan seperti perahu yang retak itu. Nyaris tenggelam oleh badai keegoisan penguasa. Hal semacam ini tidak hanya menjadi jejak bangsa kita, tetapi di banyak negara dan sepanjang zaman.

"Yang salah dipertahankan, yang benar disingkirkan. Satu kenyang seribu kelaparan, keserakahan diagungkan!" Heran! Ya, mungkin dalam keputusasaannya Nabi Elia juga mempertanyakan keadilan TUHAN. Betapa tidak, ia merasakan perjuangannya mengembalikan bangsanya ke jalan yang benar tetapi justru disingkirkan dan hendak dibunuh, "Aku bekerja segiat-giat-Nya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang diriilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku." (1 Raja-raja 19:10). Jelas, Elia sangat mencintai bangsanya. Namun, apa yang ia dapat? Ancaman, intimidasi dan rencana pembunuhan yang digagas oleh ibu negara, Izabel!

Reformasi 1998, negeri ini menapaki era baru. Seolah semua dapat berbicara, punya kesempatan sama meski harus diawali dengan peristiwa berdarah. Menyakitkan! Namun, lagi-lagi seperti perahu retak itu. Ketimpangan kembali terjadi, atas nama demokrasi, politik identitas dimainkan tanpa menghitung badai besar akan melumat perahu negeri yang mulai berlayar kembali. Perpecahan menghadang! Meski demikian kita masih dianugerahi Tuhan dengan tokoh-tokoh yang tidak gentar memperjuangkan kebenaran dan kesetaraan. Mereka tahu dan bersedia menanggung risiko dibungkam, dianiaya dan dipenjarakan. Korban politik identitas!

Bukankah telah lama politik identitas itu juga dipraktikan oleh Herodes Antipas bersama petinggi Yudaisme? Mereka menghalalkan apa saja demi mempertahankan kekuasaan. Herodes atas permintaan Salome anak dari Herodias, memenggal kepala Yohanes Pembaptis. Sejatinya, Yohaneslah yang mencintai bangsanya. Namun, atas nama kekuasaan ia harus mati! Pada gilirannya, Yesus akan mengalami hal serupa. Peristiwa kematian Yohanes memaksa Yesus menyingkir. Namun, orang banyak yang sudah lama diperlakukan bagai "domba tanpa gembala" terus mengikut langkah-Nya, hingga mereka menemukan Yesus dan di sanalah Yesus menjamu mereka dengan lima roti dan dua ikan. 

Peristiwa ini memicu orang banyak untuk menjadikan Yesus sebagai "Raja". Ya, raja yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Bukankah ini sangat logis, jika Yesus yang menjadi raja mereka; mereka tidak usah lagi mengolah tanah untuk menghasilkan bahan makanan dan roti atau pergi ke tengah danau mencari ikan? Jika mereka sakit tidak lagi perlu mencari tabib atau rumah sakit, cukup datang kepada Yesus dan dengan belas kasihan-Nya Ia akan menyembuhkan! Bukankah hal seperti ini yang sedang dilakukan oleh para politisi kita? Memberi mereka "roti" dan "ikan", menebar pesona dengan aksi-aksi sosial!

Sayang, Yesus tidak mau dijadikan raja roti dan paranormal penyembuh! Menurut catatan Yohanes, Yesus sengaja menyingkir, "Karena Yesus tahu, bahwa mereka hendak datang dan hendak membawa Dia dengan paksa untuk menjadikan Dia raja, Ia menyingkir pula ke gunung, seorang diri." (Yohanes 6:15). Secara politis, bukankah ini saat yang tepat? Yesus dengan pengaruh, pengajaran dan mukjizat-Nya telah memikat banyak orang dan orang-orang itu menginginkan-Nya menjadi raja. Ini kesempatan emas untuk meraih kekuasaan! Sekali lagi, Yesus menolak! Ia konsisten dengan misi-Nya, kalau mau kekuasaan, itu sudah dari dulu ketika Si Iblis menawari-Nya. Yesus tidak mau para pengikut-Nya hidup dengan kemudahan-kemudahan yang mematikan daya juang dan keyakinan iman yang benar.

Apa yang diperlihatkan Yesus mestinya juga menolong kita untuk tidak terjebak mengikut calon atau para pemimpin yang menjanjikan kemudahan, yang hanya pandai memberi roti dan ikan, tetapi tidak dapat menyediakan lahan untuk menanam atau kail dan perahu untuk mencari sendiri ikan-ikan itu. Dari sikap Yesus mestinya kita bisa berefleksi untuk menjadi pengikut-pengikut-Nya yang siapa dan setia menapaki jejak-Nya meskipun bukan jejak di jalan mulus melainkan via dolorosa!

Perjalanan yang sulit itu tergambar melalui peristiwa para murid yang diterjang badai dalam perahu mereka. Yesus sengaja mendesak mereka untuk cepat-cepat beranjak seusai keramaian perjamuan lima roti dan dua ikan itu. Sedangkan Ia sendiri, naik ke bukit seorang diri dan berdoa. Adegan lain, para murid yang berlayar tanpa Yesus mengalami tantangan hebat. Angin sakal menerjang perahu mereka. Perahu yang diancam ombak dan angin, dalam Injil Matius mengacu kepada gereja yang terancam kuasa alam maut ketika terpisah dari Yesus. Ia datang menjelang pagi, mengingatkan kita dalam tradisi Perjanjian Lama, "Allah akan menolongnya menjelang pagi" ( Mazmur 46:6; 30:6 dan Yesaya 17:14). Dengan berjalan di atas air - bukan melayang terbang - Yesus melakukan apa yang hanya dilakukan Allah, "Ia melangkah di atas gelombang-gelombang laut" (Ayub 9:8; Mazmur 77:20, Yesaya 43:16). Demikian Yesus menyatakan sebagai Allah yang menaklukan kuasa maut.

Alih-alih para murid gembira melihat Yesus di tengah badai itu, mereka terkejut dan menyangka-Nya hantu. Murid-murid kurang percaya. Yesus menenangkan mereka, "egõ eimi (Aku ada), perkataan yang sama seperti Allah menyatakan diri kepada Musa (Keluaran 3:14). Rahasia jati diri ilahi Yesus yang disembunyikan bagi orang bijak dan pandai, di danau dan dalam badai itu dinyatakan kepada murid-murid, orang-orang kecil!

Seperti biasa, Petrus tampil mewakili murid yang lain, "Tuhan, apabila Engkau itu, suruhlah aku datang kepada-Mu berjalan di atas air." (Matius 14:28). Yesus menerima tantangan Petrus dan mempersilahkannya berjalan di atas air menuju diri-Nya. Petrus melakukannya. Ia dapat berjalan di atas air itu! Namun, apa yang terjadi ketika ia melihat badai yang memukul-mukul air di sekitarnya. Nyalinya ciut, ia tenggelam dan berseru, "Tuhan, tolonglah aku!". Lagi, Yesus mengabulkan permohonan Petrus. Ia mengulurkan tangan-Nya dan memegang. Setelah itu Yesus mencela ketakutan Petrus. Petrus dicela karena ia kurang percaya. Celaan ini berulang kali dipakai Injil Matius untuk melukiskan kerapuhan iman para murid. Iman mereka ada, namun tidak memadai. Ini seperti benih yang jatuh di tanah yang berbatu; Petrus segera percaya namun tidak bertahan ketika kesulitan datang.

Nyali kita baik pribadi maupun gereja ciut menghadapi tantangan atau badai. Ciutnya iman kita muncul dalam pelbagai diktum, antara lain: kami kaum minoritas atau minoritas ganda! Dengan label itu sangat mudah kita diombang-ambing oleh badai arus dunia. Kita cenderung menjadi orang atau umat pragmatis yang mengikut arus agar selamat dan tidak diganggu baik dalam usaha atau ibadah. Kita gambang menyetujui kebijakan-kebijakan yang sebenarnya bertentangan dengan norma kemanusiaan dan kehendak Tuhan. Kita takut perahu kita karam.

Di sinilah, di Indonesia yang terus berubah, kita ditempatkan Tuhan. Perahu kita berlayar di sini, maka jangan retak agar tidak tenggalam. Di sinilah iman kita diuji untuk menghadirkan perubahan ke arah yang lebih baik. Bisa jadi tidak apa yang kita lakukan sederhana, namun berdampak dalam kehidupan sosial. Anda ingin Indonesia lebih baik? Mulailah dari diri sendiri meski besar tantangan yang di hadapi, ingat Yesus Kristus, Anak Allah yang hidup itu ada bersama-sama dalam perahu kita!

Jakarta, 10 Agustus 2023 Minggu Biasa Tahun A

Kamis, 03 Agustus 2023

YESUS SANG SUMBER BERKAT

Kehilangan dan tertolak merupakan peristiwa menyakitkan. Traumatis! Pada taraf tertentu peristiwa menyakitkan ini membuat manusia apatis dan tidak mau tahu lagi dengan orang lain bahkan dirinya sendiri. Paulus begitu sedih dan terpukul ketika oleh karena bangsanya sendiri menolak pemberitaan Injil yang menyelamatkan itu. "...bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati." (Roma 9:2). Kesedihan itu wajar. Mengapa? Ia telah melakukan pemberitaan Injil kepada banyak orang di luar bangsanya dan mereka menerimanya. Tentu saja, secara emosional ia ingin bangsanya sendiri menerima Injil itu. Kesedihannya itu diungkapkan bahwa ia rela terkutuk dan terpisah dengan Kristus demi teman sebangsanya itu. Luar biasa!

Kehilangan dan tertolak demikian kata yang tepat ketika Yesus mendengar kabar bahwa Yohanes Pembaptis telah dieksekusi, dipenggal oleh Herodes lantaran sang nabi nyentrik itu berani menegur perilaku amoral sang penguasa bersama Herodias yang semula istri Filipus saudaranya itu. Sebelum peristiwa itu pun Yesus telah ditolak di Nazaret, kampung halamannya sendiri. Memilukan!

Sangat dipahami pukulan-pukulan berat itu menggetarkan jiwa-Nya. Lazimnya manusia membutuhkan pemulihan paska peristiwa-peristiwa traumatik itu, Yesus menyingkir. Ada pelbagai pendapat tentang menyingkirnya Yesus. Bisa saja Yesus takut terhadap Herodes yang semakin menggila dalam mempertahankan kekuasaan dan kenyamanan istananya sehingga apa dan siapa pun yang berani mengusik akan berhadapan dengan kebuasannya. Wajar kalau Yesus mencari tempat sunyi yang jauh dari jangkauan penguasa lalim itu. Atau, Yesus membutuhkan tempat sunyi untuk meratapi kesedihan-Nya. Bisa juga Ia seperti Yunus yang memilih kabur dari panggilannya sebagai nabi. Apa pun penafsirannya, faktanya bahwa setelah mendengar berita Yohanes Pembaptis dibunuh Ia menyingkir dan hendak mengasingkan diri!

Peristiwa pengasingan diri yang berkaitan dengan Yohanes Pembaptis, bukanlah yang pertama bagi Yesus. Dulu, ketika Yohanes Pembaptis ditangkap dan dipenjarakan, Yesus juga menyingkir (Matius 4:12). Kali ini bisa saja Yesus mempunyai gambaran bahwa kematian pendahulu-Nya adalah sinyal kuat terhadap kematiaan-Nya sendiri yang semakin dekat. Yesus butuh menenangkan diri. Yesus perlu memulihkan diri dan untuk itu Ia ingin sendiri.

Kepentingan untuk diri sendiri ini ternyata tidak selalu terpenuhi. Ia terusik dengan banyaknya orang yang entah tahu dari mana tempat yang dituju oleh Yesus itu. Okhlos, orang banyak itu menginggalkan tempat tinggal mereka dan mengikuti Yesus. Jelas, mereka sama sekali tidak tahu kondisi Yesus yang sedang mengalami pukulan dahsyat. Mereka sama seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan induknya, seperti kawanan domba tanpa gembala. Mereka berjalan kaki, tidak menaiki perahu seperti Yesus. Ya, bisa dimengerti butuh perahu seberapa banyak untuk mengangkut mereka? Berjalan kaki memperkirakan tempat tujuan Yesus merupakan tindakan luar biasa. Mereka harus mengitari danau itu!

Esplankhnisthe! Tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan. Ungkapan ini mengacu kepada kasih mendalam yang bersumber dari hati. Seperti kasih yang membuncah dari "rahim" sang ibu ketika melihat penderitaan anaknya. Ya, ini bukan tentang perasaan. Bukan emosional belaka, melainkan sikap penuh iba yang siap bertindak melakukan apa saja. Sama seperti Paulus yang bahkan mau terkutuk demi mengasihi teman sebangsanya.

Esplankhnisthe itu nyata dalam tindakan therapeia: pemulihan dan penyembuhan orang yang sakit dan tidak berdaya. Koq bisa si sakit dan tidak berdaya itu ada di tempat pengasingan Yesus. Tentu saja orang-orang yang peduli terhadap penderitaan sesamanya ini berjibaku, menggendong, membopong, menandu mereka yang tidak berdaya itu. Bagaimana mungkin hati Yesus tidak tergerak oleh belas kasihan? Energi-Nya tidak ada habis-habisnya. Yesus terus merengkuh mereka yang datang dengan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Kasih-Nya mengalir bagaikan sungai!

Yesus tidak terpuruk dengan kebutuhan-Nya sendiri untuk mengasingkan dan memulihkan diri-Nya sendiri. Tidak! Sampai hari menjelang malam Yesus terus bekerja. Mungkin karena memperhatikan Sang Guru dan juga kebutuhan orang banyak itu, "... murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata, tempat ini terpencil dan hari mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat memberi makanan di desa-desa!" (Matius 14:15). Para murid menawarkan kepada Yesus solusi manusiawi. Bisa saja Yesus mengabulkan proposal para murid. Mereka akan pergi mencari warung penjual makanan.

Namun, ini bukan solusi ideal. Selain jarak yang jauh dan berapa warung yang dapat menyediakan makanan siap saji untuk lebih dari lima ribu orang. Lagi pula orang banyak yang mengikuti Yesus itu tampaknya bukan untuk mendapat makanan pengganjal perut, melainkan mereka rindu seorang gembala yang baik. Gembala yang bukan seperti Herodes dan para imam yang mendukungnya. Mereka "miskin" dan perlu disembuhkan. Dan, Yesus menyediakan "perjamuan" itu!

Alih-alih mengabulkan permintaan murid-murid-Nya, Yesus mengatakan "Kamu harus memberi mereka makan!" Dengan berkata demikian, Yesus memberi tanggung jawab kepada murid-murid-Nya. Ia tampaknya memikirkan makanan yang masih ada pada mereka, dan Yesus yakin bahwa apa yang diperlukan untuk dihidangkan kepada orang banyak justru ada pada mereka. Yesus mengajar kepada para murid-Nya untuk percaya diri, menunjukkan inisiatif dan tidak mengelak dari tanggung jawab, berlaku sebagai pemimpin yang melayani. Perintah ini mencerminkan ajaran Yesus yang kemudian diteruskan menjadi tradisi gereja. Gereja tidak boleh membubarkan khalayak yang lapar akan Allah, sebab roti biasa tidak dapat mengenyangkan manusia secara tuntas!

"Yang ada pada kami ... lima roti dan dua ikan! (Matius 14:17). Yesus mengambil roti itu dan memecah-mecahkannya. Dalam keluarga Yahudi hal ini dilakukan oleh seorang bapak kepala keluarga sebagai tanda bahwa mereka boleh makan. Mula-mula Yesus memberikan roti yang telah dipecah-pecahkan itu kepada para murid. Kemudian mereka memberikannya kepada orang banyak. Jadi ada dua pemberi: Yesus dan murid-murid-Nya. Namun, hakikatnya hanya ada satu pemberi saja, yakni :Yesus, Sang Sumber Pemberi berkat! Oleh-Nya perintah "Kamu harus memberi mereka makan!" terpenuhi! Murid-murid di sini tampil sebagai perantara yang diperlukan oleh orang banyak. Mereka "meniadakan diri" secara total di balik kepedulian Yesus terhadap esplankhnisthe yang benar-benar membutuhkan. Demikian mereka, tanpa kecuali mendapatkan kebutuhan mereka. Bahkan, sisa makanan itu dua belas bakul penuh. Berkat itu melimpah!

Dalam keadaan sebagai pengungsi yang mengasingkan diri karena terancam penguasa, Yesus tetap peduli dan iba melihat penderitaan orang banyak yang mengikuti-Nya. Ia menunjukkan keprihatinan-Nya dengan melenyapkan penyakit dan kelaparan. Pemberian makan kepada orang banyak di tempat sunyi akan mengingatkan orang pada Musa dan pemberian manna di padang gurun dan akan nabi Elisa yang dengan lima roti menjamu seratus orang. Kini, Yesus tampil sebagai Nabi akhir zaman dan Mesias.

Dalam rangkaian peristiwa-peristiwa ajaib itu ternyata Allah melibatkan manusia untuk berpartisipasi. Manusia yang mau peduli terhadap sesamanya. Namun, ada banyak alasan untuk kita tidak mau peduli. Alasan itu bersumber dari kekhawatiran kita dan meragukan kuasa Allah. Kita  khawatir dengan diri sendiri dan kebutuhannya, sehingga kita lupa bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang lebih membutuhkan pertolongan. Kekhawatiran itu dapat memicu sifat egoisme dan egosentrime lalu kita lari dari tanggung jawab. Kita meragukan bahwa Allah di dalam Yesus Kristus sanggup menyediakan apa yang kita butuhkan. Ingatlah, Yesus meminta bukan apa yang tidak ada pada kita. Ia mengatakan, "Apa yang ada padamu?" Yang ada itulah yang terus akan mengalirkan berkat-berkat-Nya bagi banyak orang!

Jakarta, 3 Agustus 2023 Minggu Biasa Tahun A