Kamis, 03 Agustus 2023

YESUS SANG SUMBER BERKAT

Kehilangan dan tertolak merupakan peristiwa menyakitkan. Traumatis! Pada taraf tertentu peristiwa menyakitkan ini membuat manusia apatis dan tidak mau tahu lagi dengan orang lain bahkan dirinya sendiri. Paulus begitu sedih dan terpukul ketika oleh karena bangsanya sendiri menolak pemberitaan Injil yang menyelamatkan itu. "...bahwa aku sangat berdukacita dan selalu bersedih hati." (Roma 9:2). Kesedihan itu wajar. Mengapa? Ia telah melakukan pemberitaan Injil kepada banyak orang di luar bangsanya dan mereka menerimanya. Tentu saja, secara emosional ia ingin bangsanya sendiri menerima Injil itu. Kesedihannya itu diungkapkan bahwa ia rela terkutuk dan terpisah dengan Kristus demi teman sebangsanya itu. Luar biasa!

Kehilangan dan tertolak demikian kata yang tepat ketika Yesus mendengar kabar bahwa Yohanes Pembaptis telah dieksekusi, dipenggal oleh Herodes lantaran sang nabi nyentrik itu berani menegur perilaku amoral sang penguasa bersama Herodias yang semula istri Filipus saudaranya itu. Sebelum peristiwa itu pun Yesus telah ditolak di Nazaret, kampung halamannya sendiri. Memilukan!

Sangat dipahami pukulan-pukulan berat itu menggetarkan jiwa-Nya. Lazimnya manusia membutuhkan pemulihan paska peristiwa-peristiwa traumatik itu, Yesus menyingkir. Ada pelbagai pendapat tentang menyingkirnya Yesus. Bisa saja Yesus takut terhadap Herodes yang semakin menggila dalam mempertahankan kekuasaan dan kenyamanan istananya sehingga apa dan siapa pun yang berani mengusik akan berhadapan dengan kebuasannya. Wajar kalau Yesus mencari tempat sunyi yang jauh dari jangkauan penguasa lalim itu. Atau, Yesus membutuhkan tempat sunyi untuk meratapi kesedihan-Nya. Bisa juga Ia seperti Yunus yang memilih kabur dari panggilannya sebagai nabi. Apa pun penafsirannya, faktanya bahwa setelah mendengar berita Yohanes Pembaptis dibunuh Ia menyingkir dan hendak mengasingkan diri!

Peristiwa pengasingan diri yang berkaitan dengan Yohanes Pembaptis, bukanlah yang pertama bagi Yesus. Dulu, ketika Yohanes Pembaptis ditangkap dan dipenjarakan, Yesus juga menyingkir (Matius 4:12). Kali ini bisa saja Yesus mempunyai gambaran bahwa kematian pendahulu-Nya adalah sinyal kuat terhadap kematiaan-Nya sendiri yang semakin dekat. Yesus butuh menenangkan diri. Yesus perlu memulihkan diri dan untuk itu Ia ingin sendiri.

Kepentingan untuk diri sendiri ini ternyata tidak selalu terpenuhi. Ia terusik dengan banyaknya orang yang entah tahu dari mana tempat yang dituju oleh Yesus itu. Okhlos, orang banyak itu menginggalkan tempat tinggal mereka dan mengikuti Yesus. Jelas, mereka sama sekali tidak tahu kondisi Yesus yang sedang mengalami pukulan dahsyat. Mereka sama seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan induknya, seperti kawanan domba tanpa gembala. Mereka berjalan kaki, tidak menaiki perahu seperti Yesus. Ya, bisa dimengerti butuh perahu seberapa banyak untuk mengangkut mereka? Berjalan kaki memperkirakan tempat tujuan Yesus merupakan tindakan luar biasa. Mereka harus mengitari danau itu!

Esplankhnisthe! Tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan. Ungkapan ini mengacu kepada kasih mendalam yang bersumber dari hati. Seperti kasih yang membuncah dari "rahim" sang ibu ketika melihat penderitaan anaknya. Ya, ini bukan tentang perasaan. Bukan emosional belaka, melainkan sikap penuh iba yang siap bertindak melakukan apa saja. Sama seperti Paulus yang bahkan mau terkutuk demi mengasihi teman sebangsanya.

Esplankhnisthe itu nyata dalam tindakan therapeia: pemulihan dan penyembuhan orang yang sakit dan tidak berdaya. Koq bisa si sakit dan tidak berdaya itu ada di tempat pengasingan Yesus. Tentu saja orang-orang yang peduli terhadap penderitaan sesamanya ini berjibaku, menggendong, membopong, menandu mereka yang tidak berdaya itu. Bagaimana mungkin hati Yesus tidak tergerak oleh belas kasihan? Energi-Nya tidak ada habis-habisnya. Yesus terus merengkuh mereka yang datang dengan menyediakan apa yang mereka butuhkan. Kasih-Nya mengalir bagaikan sungai!

Yesus tidak terpuruk dengan kebutuhan-Nya sendiri untuk mengasingkan dan memulihkan diri-Nya sendiri. Tidak! Sampai hari menjelang malam Yesus terus bekerja. Mungkin karena memperhatikan Sang Guru dan juga kebutuhan orang banyak itu, "... murid-murid-Nya datang kepada-Nya dan berkata, tempat ini terpencil dan hari mulai malam. Suruhlah orang banyak itu pergi supaya mereka dapat memberi makanan di desa-desa!" (Matius 14:15). Para murid menawarkan kepada Yesus solusi manusiawi. Bisa saja Yesus mengabulkan proposal para murid. Mereka akan pergi mencari warung penjual makanan.

Namun, ini bukan solusi ideal. Selain jarak yang jauh dan berapa warung yang dapat menyediakan makanan siap saji untuk lebih dari lima ribu orang. Lagi pula orang banyak yang mengikuti Yesus itu tampaknya bukan untuk mendapat makanan pengganjal perut, melainkan mereka rindu seorang gembala yang baik. Gembala yang bukan seperti Herodes dan para imam yang mendukungnya. Mereka "miskin" dan perlu disembuhkan. Dan, Yesus menyediakan "perjamuan" itu!

Alih-alih mengabulkan permintaan murid-murid-Nya, Yesus mengatakan "Kamu harus memberi mereka makan!" Dengan berkata demikian, Yesus memberi tanggung jawab kepada murid-murid-Nya. Ia tampaknya memikirkan makanan yang masih ada pada mereka, dan Yesus yakin bahwa apa yang diperlukan untuk dihidangkan kepada orang banyak justru ada pada mereka. Yesus mengajar kepada para murid-Nya untuk percaya diri, menunjukkan inisiatif dan tidak mengelak dari tanggung jawab, berlaku sebagai pemimpin yang melayani. Perintah ini mencerminkan ajaran Yesus yang kemudian diteruskan menjadi tradisi gereja. Gereja tidak boleh membubarkan khalayak yang lapar akan Allah, sebab roti biasa tidak dapat mengenyangkan manusia secara tuntas!

"Yang ada pada kami ... lima roti dan dua ikan! (Matius 14:17). Yesus mengambil roti itu dan memecah-mecahkannya. Dalam keluarga Yahudi hal ini dilakukan oleh seorang bapak kepala keluarga sebagai tanda bahwa mereka boleh makan. Mula-mula Yesus memberikan roti yang telah dipecah-pecahkan itu kepada para murid. Kemudian mereka memberikannya kepada orang banyak. Jadi ada dua pemberi: Yesus dan murid-murid-Nya. Namun, hakikatnya hanya ada satu pemberi saja, yakni :Yesus, Sang Sumber Pemberi berkat! Oleh-Nya perintah "Kamu harus memberi mereka makan!" terpenuhi! Murid-murid di sini tampil sebagai perantara yang diperlukan oleh orang banyak. Mereka "meniadakan diri" secara total di balik kepedulian Yesus terhadap esplankhnisthe yang benar-benar membutuhkan. Demikian mereka, tanpa kecuali mendapatkan kebutuhan mereka. Bahkan, sisa makanan itu dua belas bakul penuh. Berkat itu melimpah!

Dalam keadaan sebagai pengungsi yang mengasingkan diri karena terancam penguasa, Yesus tetap peduli dan iba melihat penderitaan orang banyak yang mengikuti-Nya. Ia menunjukkan keprihatinan-Nya dengan melenyapkan penyakit dan kelaparan. Pemberian makan kepada orang banyak di tempat sunyi akan mengingatkan orang pada Musa dan pemberian manna di padang gurun dan akan nabi Elisa yang dengan lima roti menjamu seratus orang. Kini, Yesus tampil sebagai Nabi akhir zaman dan Mesias.

Dalam rangkaian peristiwa-peristiwa ajaib itu ternyata Allah melibatkan manusia untuk berpartisipasi. Manusia yang mau peduli terhadap sesamanya. Namun, ada banyak alasan untuk kita tidak mau peduli. Alasan itu bersumber dari kekhawatiran kita dan meragukan kuasa Allah. Kita  khawatir dengan diri sendiri dan kebutuhannya, sehingga kita lupa bahwa ada orang-orang di sekitar kita yang lebih membutuhkan pertolongan. Kekhawatiran itu dapat memicu sifat egoisme dan egosentrime lalu kita lari dari tanggung jawab. Kita meragukan bahwa Allah di dalam Yesus Kristus sanggup menyediakan apa yang kita butuhkan. Ingatlah, Yesus meminta bukan apa yang tidak ada pada kita. Ia mengatakan, "Apa yang ada padamu?" Yang ada itulah yang terus akan mengalirkan berkat-berkat-Nya bagi banyak orang!

Jakarta, 3 Agustus 2023 Minggu Biasa Tahun A

Kamis, 27 Juli 2023

KERAJAAN ALLAH DALAM HAL KECIL

Saya yakin Anda pernah mendengar ungkapan "Small is beautiful", yang artinya kurang lebih, "kecil itu cantik atau indah", imut-imut menggemaskan! Benarkah? Bukankah selama ini orang ingin memiliki segala sesuatu yang besar? Manusia berlomba-lomba ingin menjadi besar, mendirikan perusahan, partai, negara, menancapkan pengaruhnya agar nama besar tetap tenar! Tanpa kecuali, gereja pun ingin bertambah besar atau kalau perlu paling besar. Mega church! Sebaliknya, kalau kecil, sedikit umatnya menjadi minder dan pesimis tetap bertahan dan tidak leluasa melakukan tugas panggilannya. Barang kali itulah yang ada di dalam benak sebagian besar orang-orang yang mulai mengikut Yesus dan menerima ajaran-Nya. Mereka ada orang-orang kecil dan kelompok kecil. Kini, mereka berhadapan dengan kuasa besar yang siap melumat komunitas yang baru tumbuh itu!

Siapa sangka istilah small is beautiful pada awalnya diperkenalkan oleh ekonom besar, Ernst Friedrich Schumacher ketika ia meangajukan tesisnya yang disebut theory of economies of scale. Ia mengatakan bahwa sebuah organisasi harus dibuat tetap kecil agar berhasil mencapai target. Tampak pengaruh kuat Leopold Kohr dalam karya Schumacher "Small is Beautiful: A Study of Economic as if People Mattered" (1973) yang dengan yakin mengatakan bahwa tidak ada kesengsaraan di bumi yang tidak dapat ditangani dengan sukses dalam sekala kecil. Sebaliknya, tidak ada penderitaan di bumi yang dapat ditangani sama sekali kecuali dalam skala kecil. Dalam keluasannya, semuanya runtuh, bahkan yang baik sekalipun... karena satu-satunya masalah di dunia bukanlah kejahatan, tetapi kebesaran. 

Ya, bukankah Kita Suci pun banyak mengingatkan kita bahwa siapa pun yang menginginkan menjadi besar bersiaplah untuk hidup penuh konfliks dan mengalami keruntuhan, "Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan!" Schumacher dengan konsisten mengkritik perusahan-perusahan yang terus berlomba menjadi besar dan terbesar. Fenomena ini ia sebut "gigantisme", yang akan menghasilkan sistem birokrasi yang melemahkan, membuat organ-organ di dalamnya menjadi anonimitas dan tentu saja hubungan personal, mengenal individu dan mengerti memahami orang lain menjadi minim. Terlepas dari kritiknya tentang kecenderungan perusahaan menjadi besar, Schumacher tidak naif. Bahwa perusahaan yang dikelola dengan baik niscaya akan tumbuh menjadi besar, namun menurutnya hal itu bisa direstrukturisasi sebagai perusahaan berskala kecil, perusahaan yang bisa bertatap muka (face to face enterprise).

Saya membayangkan apabila kita menjadi bagian dari perusahaan raksasa multi kontinental, satu dengan lain hanya terhubung melalui jobdisc dan menggunakan perangkat teknologi, apa yang terjadi? Di manakah sisi kemanusiaan mendapat tempat? Di manakah relasi dan rasa dihargai? Tidak ada! Demikian pula dengan perkembangan Mega Church di mana gereja-gereja berlomba menjadi besar dengan jumlah pengikutnya yang fantastis, yang satu dengan lain anggotanya terhubung dengan perangkat moderen. Di manakah relasi dan rasa yang seutuhnya itu?

Yesus mengajar dengan banyak memakai perumpamaan, tujuannya mengajak para pendengar berpikir dan tersentuh dalam konteks mereka masing-masing. Kerajaan Allah adalah materi ajar yang banyak disampaikan melalui perumpamaan. Dua perumpamaan tentang biji sesawi dan ragi bercerita tentan makna yang sama, yakni bahwa Kerajaan Allah itu tidak serta-merta hadir menjadi besar. Sebaliknya, seperti biji sesawi yang pada zaman itu dikenal sebagai benih tanaman yang paling kecil, jika sudah tumbuh dengan baik akan menjadi tanaman besar yang dapat dipakai menjadi tempat berlindung burung-burung. Hal yang sama dengan ragi. Ragi yang kecil dan nyaris tak terlihat akan mengkhamirkan seluruh adonan sehingga menjadikan roti empuk dan enak dimakan. Jelas, yang ditekankan Yesus tentu saja bukan melulu pada target bahwa Kerajaan Allah itu menjadi besar. Bukan! Ini bicara tentang optimis ketika para pengikut-Nya merasa diri kecil berhadapan dengan mayoritas yang tidak selalu ramah. Perumpamaan ini berbicara menghargai proses, upaya manusia dalam menghadirkan karya Allah di bumi ini.

Dalam sunyi, benih itu tumbuh menjadi besar dan dalam diam, ragi itu memengaruhi seluruh adonan. Tidak usah gembar-gembor, melakukan perkara-perkara spektakuler. Cukup lakukan perkara-perkara kecil dengan cinta yang besar. Kerjakan dengan tulus setiap ajaran dan teladan yang diberikan Yesus. Peragakan tentang apa itu cinta, pengurbanan, pengampunan, kepedulian dan keberpihakan kepada yang tersisih dan terzolimi. Rasakan bahwa engkau benar-benar menyapa dan hadir bagi mereka yang sedang dalam kesepian, tidak punya teman bahkan tertolak dalam komunitasnya.

Apa yang Anda bayangkan ketika Anda bekerja dalam sebuah perusahaan besar, suatu ketika Anda diajak bicara dari hati ke hati oleh atasan atau boss Anda? Saya membayangkan, Anda dihargai sebagai manusia! Anda dibutuhkan bukan hanya tenaga dan pikirannya saja, melainkan kehadiran Anda menjadi berarti dalam perusahaan itu. Benar, gereja dan komintas orang percaya bukanlah sebuah perusahaan. Namun, alangkah indahnya apabila setiap orang dalam komunitas orang percaya itu dapat saling menghargai dan kehadirannya dirayakan! Nah, menurut Schumacher interaksi yang seperti ini hanya bisa terjadi dalam skala kecil. Pantaslah sejak zaman Musa, Allah melalui Yitro sang mertua, meminta Musa untuk mendistribusikan kepemimpinan kepada para tua-tua. Lalu, Yesus pun meminta para murid untuk membagi kelompok demi kelompok ketika Ia membagikan lima roti dan dua ikan itu. Semua mendapat bagian!

Tak usah resah dan risau apabila saat ini gereja kita bukan gereja yang besar, tidak usah khawatir apabila kita tinggal dan berada di tengah-tengah mayoritas yang bisa saja tidak menerima kita. Tuhan telah memberikan benih yang kecil, benih itu baik dan pasti dapat tumbuh. Tugas kita adalah terus berproses; lakukanlah hal-hal sederhana dengan hati tulus. Muliakanlah Tuhan di mana kita hadir. Cintai dan hargai semua orang yang kita temui maka benih itu akan terus tumbuh bahkan kelak Anda tidak menyadarinya bahwa benih itu telah menjadi berkat, naungan bagi orang-orang yang mungkin saja sedari awal tidak menyukai Anda.

Sebaliknya, jangan terlena ketika Anda berada dalam komunitas besar dengan pelbagai fasilitas lengkap. Ingatlah bahwa manusia itu butuh relasi, diakui kehadirannya, dicintai dan dimengerti. Tidak usah prontal merombak total tatanan gereja dan komunitas yang sudah ada. Cukup, mulailah dari diri sendiri menyebarkan virus-virus positif. Dan lihatlah, bahkan Anda kelak tidak akan menyadari bahwa buah pelayanan itu telah memberkati banyak orang. Itulah ragi positif! 


Jakarta, 27 Juli 2023, Minggu Biasa TahunA