Jumat, 12 Mei 2023

KETAATAN DALAM KASIH

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” 

(Yohanes 14:15)

 

Kalimat yang diucapkan oleh Yesus dalam Yohanes 14:15 sering dipakai orang untuk mendorong orang lain menuruti kemauannya sendiri. Contoh, orang tua berkata kepada anaknya, “Anakku, kalau kamu sungguh-sungguh sayang Mami, kamu akan memperhatikan permintaanku. Mami, tidak suka dengan pacarmu yang berbeda suku dengan kita. Maka, putuskan sekarang juga. Mami tidak mau melihatnya lagi!”

 

Contoh yang lain, seorang pemuda yang dimabuk asmara berkata kepada pacarnya, “Sayangku, apakah kamu sungguh mencintaiku? Kalau benar demikian, kamu akan menuruti keinginanku. Aku menginginkan tidur denganmu, mari kita lakukan!”

 

Saya percaya, baik si Mami atau pun si pemuda yang sedang dimabuk asmara, mereka menggunakan kalimat “sungguh-sungguh mencintai atau menyayangi” sebagai alat untuk menekan bahkan mengintimidasi agar anak Mami dan pacar si pemuda itu takluk dan menuruti perintah mereka. Lalu, jika anak Mami dan pacar dari si Pemuda itu menuruti keinginan mereka, apakah benar-benar berasal dari cinta atau sayang mereka? Jelas, kita dapat menduganya: Kalau mereka menurutinya itu bukan karena motivasi cinta yang luhur. Mereka terpaksa menurutinya!

 

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku” Kata Yesus kepada murid-murid-Nya. Apakah kalimat ini senada dan seirama dengan ucapan Si Mami dan Si Pemuda itu? Apakah kalimat yang diucapkan Yesus bermaksud, “Kalau kalian betul-betul mengasihi Aku, mestinya kalian menaati semua perintah-Ku!” Seolah-olah kecintaan kepada Sang Guru harus dibuktikan dengan melakukan segala perintah-Nya. Kalau iya, apa bedanya dengan tindakan orang yang ingin perkataannya dituruti dengan cara menekan dan mengintimidasi? Apakah juga Yesus suka dengan orang yang melakukan perintah-Nya secara terpaksa?

 

Jelas bukan dalam pemahaman seperti itu! Yesus tidak bermaksud menekan atau mengintimidasi para murid untuk melakukan apa pun yang diperintahkan-Nya kepada mereka. Sebab, apa pun yang dilakukan seseorang di bawah tekanan hal tersebut bukan lagi merupakan tindakan kasih. Itu perbuatan terpaksa! Dan, kita semua yang berpikiran sehat tentu saja tidak mau seseorang berbuat sesuatu kepada kita atas dasar keterpaksaan. Kita lebih menyukai dan menghargai ketika segala tindak yang dilakukan didasari oleh kerelaan. Segala sesuatu yang dikerjakan karena terpaksa bukanlah kasih!

 

Kalimat yang diucapkan Yesus justru bermakna sebaliknya: Kasih yang ada dalam diri-Nya akan mengalir dan membuat orang yang percaya kepada-Nya mempunyai kasih seperti yang ada pada diri-Nya. Kasih itulah yang membuat Yesus dapat melakukan segala perkara yang dikehendaki Bapa-Nya. Kasih itu yang membuat-Nya mampu menapaki via dolorosa yang berujung pada kematian-Nya di Golgota. Kasih itulah yang membuat-Nya taat sampai mati. 

 

Yesus tidak membutuhkan pembuktian kecintaan para murid kepada-Nya, apalagi dengan tekanan dan intimidasi. Pembuktian itu bukan tujuan! Kasih akan mengerjakan segala sesuatu tanpa perlu disuruh atau diminta. Mengasihi Yesus itu bakal membuat orang dapat mengenal perintah-perintah-Nya dan tentu saja menuruti-Nya. Jadi, mengasihi Yesus adalah dasar agar kita dapat menjalin relasi yang benar dengan Kristus. Begitulah nanti pada akhir perikop ini terungkap bahwa siapa saja yang memegang dan menuruti perintah-perintah-Nya, mereka itulah yang nyata-nyata mengasihi Yesus.

 

Perintah-perintah Yesus yang bagaimana? Perintah-perintah yang dimaksud tidak harus diartikan seperti deretan hukum Taurat dan turunannya yang merinci tentang segala sesuatu yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Yang dimaksud dengan “perintah-perintah” di sini adalah kekuatan-kekuatan yang menggerakkan dari dalam dan muncul dari relasi spiritualitas dengan Sang Guru sendiri. Sama seperti Yesus pernah mengatakan bahwa apa yang Ia katakan dan yang Ia perbuat bukan dari diri-Nya sendiri, melainkan mengalir dari Sang Bapa. Pun demikian, tindakan-tindakan kasih yang dilakukan oleh para murid sebenarnya tidak bersumber dari diri dan kemauan mereka sendiri. Tindakan mereka dijiwai oleh kehadiran-Nya dalam diri mereka. Hidup mereka yang mengasihi Yesus seakan-akan menyuratkan perintah dari atas yang dibaca orang banyak. Dalam hal ini hidup mereka menjadi kesaksian.

 

Kasih Kristus akan mengalir dalam diri orang percaya. Dampaknya, perintah-perintah-Nya itu bukan lagi menjadi beban. Melainkan sebagai kesempatan bagi kita untuk mendemonstrasikan cinta kasih itu. Betapa pun sulit dan beratnya tantangan yang harus dihadapi, ketika cinta kasih Kristus itu mengalir dalam diri kita, tidak mustahil kita akan tetap tersenyum bahkan bersyukur!

 

Melaksanakan perintah-perintah Yesus dengan landasan kasih tidaklah mudah. Sebab dunia di mana kita berada adalah dunia yang menolak Roh Kebenaran karena dunia tidak dapat melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Dunia ini dipandang jahat dan sudah dikuasai oleh kegelapan. Kepada para murid-Nya, Yesus memperlihatkan dunia ini dan mengutus mereka. Dunia yang jahat dan gelap ini bukan untuk dimusuhi, dikecam dan dijauhi, melainkan agar mereka mengasihinya seperti Yesus mengasihi. 

 

Dalam dunia yang tidak mudah ini Yesus berjanji bahwa para murid tidak akan ditinggalkan sendirian, namun akan didampingi dan dikuatkan oleh Roh Kebenaran dan bimbingan Sang Penolong. Jadi, pengetahuan Roh Penolong itu akan datang bukan untuk dijadikan sebagai jaminan rasa aman bagi diri sendiri, melainkan kekuatan yang menolong kita untuk memenuhi perintah-perintah Kristus itu supaya melalui kesaksian itu dunia yang gelap dan jahat dapat melihat terang dan kebenaran!

 

Para murid dan kita semua yang mengasihi Kristus menjadi tempat kediaman Roh Kebenaran. Bukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran diri sendiri. Melainkan, agar kita mampu melaksanakan perintah Kristus sehingga kita berani menolong orang-orang yang terancam kekuatan-kekuatan gelap “dunia” yang menolak kehadiran ilahi tadi. Maka untuk dapat melakukan hal yang berat itu, setiap orang Kristen harus memberi diri dengan ikhlas dirasuki kebenaran yang bersumber dari Roh kebenaran itu. Murid yang sampai pada taraf ini akan menikmati dan merasakan hadirnya Sang Penolong dan memperoleh hikmat dari Roh Kebenaran itu.

 

Anda yang benar-benar menerima dan membuka diri bagi hadirnya Roh Kebenaran itu akan dapat menaati perintah-perintah Kristus itu bukan sebagai beban berat dan kewajiban agama. Melainkan melihatnya sebagai tawaran kesempatan untuk berkarya di dunia gelap dan jahat ini. Pada taraf ini kita – sama seperti rasul-rasul –  yang walaupun secara kasat mata menderita penganiayaan dan pelbagai kesulitan akan tetap dapat memancarkan terang Kristus. 

 

Jakarta, 11 Mei 2023 Minggu Paskah VI tahun A

 

Kamis, 04 Mei 2023

HIDUP SEBAGAI ANAK TUHAN

Gelisah! Tentu setiap orang tidak menginginkan ada dalam kondisi seperti ini. Sayangnya, setiap orang pernah merasakan. Ada banyak sebab yang membuat orang menjadi gelisah. Salah satunya menghadapi perpisahan. Kalau Anda masih mengingat masa kecil. Bayangkan ketika ditinggal ayah atau ibu pergi bekerja. Tidak nyaman, meski tidak ada bahaya yang terlihat tetap saja ada sesuatu yang mengancam. Gelisah!

 

Tertinggal sendiri tanpa ada yang menjadi pelindung, menyeramkan! Dalam kesadaran komunal pada zaman Yesus mengajar, pengalaman paling menyeramkan adalah merasa tertinggal di luar, tidak ada yang peduli. Dalam keadaan seperti ini orang merasa seperti berada di luar pintu gerbang kota yang terkunci rapat pada malam hari. Mengerikan, sebab sewaktu-waktu bisa menjadi mangsa empuk penjahat atau binatang buas. Dalam bayangan seperti inilah Injil Yohanes berbicara tentang tempat yang paling aman dan nyaman. Tempat itu adalah kediaman Bapa sendiri: Rumah Bapa! Tidak mungkin ada yang mengusik dan mengancam sebabYang Mahatinggi bertakhta.

 

Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal…” (Yohanes 14:2) Siapa saja boleh dan bisa menemukan ketentraman dan perlindungan di dekat Yang Mahakuasa. Oleh sebab itu tidak ada seorang pun yang merasa ditinggalkan, sendiri dan gelisah. “Banyak tempat tinggal”, sebuah jaminan, seberapa pun orang yang mau tinggal selalu akan ada tempat. Maka tidak usah berebut dan khawatir tidak kebagian tempat. Tempat yang disediakan Bapa tidak satu pun orang yang dapat membatasinya

 

Tempat itu tidak seperti tempat aman dan nyaman yang disediakan manusia yang selalu terbatas dan hanya tersedia bagi orang yang bisa membayar mahal. Maka tempat-tempat seperti itu akan menjadi rebutan. Takhta kekuasaan duniawi yang dipandang sebagai tempat impian selalu diperebutkan. Bahkan, orang berusaha menyingkirkan sesamanya agar hanya dirinya yang menguasai tempat itu. 

 

Yesus menyadari bahwa murid-murid-Nya akan gelisah ketika menghadapi perpisahan. Ia mengerti perasaan mereka sebab, Ia sendiri pernah mengalami kegelisahan itu. Yesus pernah gundah gulana ketika melihat Maria menangisi kematian Lazarus, saudaranya. Yesus pun gelisah ketika diperhadapkan dengan kematian-Nya yang sebentar lagi terjadi di kayu salib. Dengan berat hati Dia juga menyebut bahwa salah seorang dari murid-Nya akan menghianati-Nya. Apa itu gelisah, Yesus tahu betul!

 

Bagaimana mungkin orang yang beberapa kali mengalami kegelisahan dapat menasihati orang lain supaya jangan gelisah? Yesus bisa! Sebab, Ia sendiri tahu cara mengatasinya. Yesus menyatakan kepada para murid untuk tidak gelisah atas perpisahan dengan diri-Nya karena Ia berpisah untuk sementara. Yesus berpisah untuk menyiapkan tempat di rumah Bapa, dan bila nanti Ia sudah selesai, Ia akan kembali dan membawa murid-murid-Nya ke tempat yang aman tadi! Dan mereka  tidak akan lagi berpisah dengan-Nya. Murid-murid yang gelisah itu dikuatkan agar hati mereka mantap untuk melanjutkan misi Yesus di dunia ini. Misi menghadirkan Kerajaan Allah sehingga kelak sebanyak mungkin orang akan masuk ke dalam rumah Bapa yang aman itu!

 

Yesus tidak egois! Ia tidak begitu saja meninggalkan para murid. Diperhatikannya mereka, Ia dapat membayangkan sebagai “Gembala Yang Baik”, Ia juga berlaku sebagai “Pintu”, itulah tema khotbah minggu yang lalu. Sekarang ada kiasan lain: Ia memperkenalkan diri-Nya sebagai “Jalan”. Jalan ialah arah yang harus dilalui agar orang sampai pada tujuan. Mungkin kita merasa ada tumpang tindih dengan gagasan Yesus yang menyatakan diri-Nya sebagai “Pintu”.

 

Begini, kedua-duanya harus dilalui agar sampai ke tujuan. Pintu merupakan titik awal, titik berangkat. Setelah melewati pintu ada jalan yang perlu dilewati. Keluar dari pintu itu ada banyak bahaya. Namun, pada jalan yang benar ada jaminan untuk tiba di tujuan dengan selamat. Jalan yang sesungguhnya itu bukan barang yang berhenti, yang tinggal diam, namun jalan yang benar-benar bisa menghantar ke tujuan. Jalan itu adalah jalan yang hidup!

 

Dari apa yang dikatakan Yesus, kita menangkap tiga kiasan, yakni: “jalan”, “kebenaran”, dan “hidup”. Dalam diri Yesus ketiga ungkapan itu menjadi satu. Ketiga kiasan ini ditampilkan untuk menjawab Tomas yang mengeluh bahwa mereka tidak tahu ke mana Yesus akan pergi. Pada saat itu, murid-murid memang belum melihat dengan jelas arah yang sedang dijalani oleh Yesus. Bagaimana murid-murid bisa terus mengikut Yesus bila arah yang ditempuh Yesus belum jelas, itulah pertanyaan para pengikut Yesus bahkan sampai hari ini.

 

Dari arah yang belum terlihat jelas inilah Yesus memberi penjelasan gamblang bahwa diri-Nya adalah “jalan”, “kebenaran”, dan “hidup”. Ini mengandung ajakan bahwa siapa pun akan menyadari, tidak samar melainkan jelas ketika orang mau mengikuti-Nya. Mau berjalan di belakang-Nya. Berjalan mengikuti-Nya itu berarti melakukan juga seperti apa yang Yesus kerjakan. “Sesungguhnya barang siapa percaya kepada-Ku ia akan melakukan juga pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih besar dari pada itu…” (Yohanes 14:12).

 

Inilah arah yang dituju oleh Yesus, yaitu bahwa mereka percaya kepada-Nya. Mereka percaya bahwa Yesus akan pergi kepada Bapa-Nya, dan mereka tidak gelisah melainkan dalam pengharapan kedatangan-Nya kembali, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus. Sama seperti Yesus yang diutus oleh Bapa untuk menampilkan wajah Bapa, yakni Firman Yang Menjadi Manusia; terlihat, terdengar, tersentuh dan seutuhnya mewujud menjadi manusia. Demikian pula para murid diminta untuk menghadirkan wajah dan hati Allah kepada manusia; menjadikan kehadiran Allah di dunia ini bukan semacam teori saja. Namun sungguh-sungguh nyata!

 

Pekerjaan-pekerjaan Allah itu tidak selalu harus diartikan dengan mukjizat-mukjizat besar. Pekerjaan-pekerjaan Allah itu dapat tampak dalam kebaikan hati, kasih, pengampunan dan pendamaian yang sederhana yang dapat memberikan hidup dan arah baru yang jelas, yakni kehidupan yang lebih baik. 

 

Kehadiran para murid dan tentunya kita yang percaya kepada Kristus menjadi orang-orang yang dapat menghadirkan ciri dan karakter Allah. Bukankah demikian konsekuensi sebutan “anak Tuhan”. Anak yang harus memiliki karakter dan sifat dari orang tuanya! Dalam kerangka inilah, kita mempunyai akses kepada Bapa di dalam nama Yesus meminta untuk melengkapi apa yang dibutuhkan sebagai anak-anak Tuhan. Pemahaman ini jangan diputar balik! Mentang-mentang anak Tuhan, lalu kita mengatakan “…dan apa pun juga yang kamu minta dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan di dalam Anak.”(Yohanes 14:13).

 

Adakah sebagai anak-anak Tuhan, kita meminta sesuatu di dalam nama Yesus yang akhirnya dapat memuliakan Bapa? Atau dengan sewenang-wenang kita meminta segala keinginan untuk memuaskan diri sendiri. Anak Tuhan yang sesungguhnya pasti akan meminta segala sesuatu itu bukan untuk pemuasan diri. Melainkan untuk melengkapi diri agar menjadi anak Tuhan yang baik. Hidup sebagai anak Tuhan akan dimulai berjalan di jalan Yesus Kristus, selanjutnya kita akan memperagakan hidup sebagaimana dicontohkan Yesus Kristus dalam kehidupan-Nya. 

 

Jakarta, 4 Mei 2023 Paskah Minggu ke-5 Tahun A