Selasa, 25 April 2023

PINTU BAGI DOMBA-DOMBA

“…εγω ειμαι η θυρα των προβατων.”

Bayangkan Anda membangun sebuah rumah yang megah. Ada ruang tamu, kamar tidur utama, kamar tidur anak dan kamar tidur tamu, ruang makan, ruang keluarga, toilet, pendeknya semua ruangan yang mendukung aktifitas Anda dan keluarga lengkap dan megah. Namun, ada Anda lupa membuat pintu! Benar, rumah Anda itu masih bisa berfungsi, tetapi tetap ada yang kurang! Pintu meski bukan bagian utama dari rumah tetapi punya kedudukan dan fungsi yang sangat penting.

Pintu merupakan penghubung dua tempat yang berbeda. Coba Anda bayangkan jika toilet yang bersebelahan dengan ruang tamu tidak ada pintunya? Atau kamar tidur Anda dengan ruang keluarga tidak memiliki pintu. Mungkin masih bisa orang-orang yang ada di rumah itu melakukan aktivitas. Yang di ruang tamu bisa ngobrol dan yang di toilet bisa membuang hajat. Namun, tentu saja tidak nyaman!

Pintu penting dibangun, apalagi menyangkut aspek keamanan. Setiap orang punya sisi privasi dan pintulah yang menjembatani antara yang privat dan yang umum. Melalui pintu, kita dapat memilah siapa yang boleh masuk ke rumah kita dan siapa yang harus tetap tinggal di luar. Pintu menghubungkan dunia luar dan kehidupan “di dalam”. Sebaliknya, pintu juga memisahkan kita dari “dunia luar”.

Pentingnya pintu tergambar juga dalam mitos yang diturun-alihkan oleh orang tua kita. “Jangan duduk di depan pintu, nanti susah ketemu jodoh!” Larangan ini menjadi semakin kuat diberlakukann kepada perempuan yang sedang mengandung, “Jangan duduk di pintu, nanti sulit melahirkan!” Benarkah sedemikian ajaib dan sakralnya pintu? Tentu saja tidak demikian. Inilah salah satu cara orang tua menunjukkan pentingnya pintu. Pintu yang menjadi akses keluar dan masuk itu jangan sampai dihalangi!

Yesus menaruh perhatian penting terhadap pintu, sampai-sampai Ia mengumpamakan diri-Nya dengan pintu, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya Akulah pintu ke domba-domba itu.” (Yohanes 10:7). Yesus menyamakan diri dengan pintu, apa maksudnya? Dengan menggambarkan diri sebagai pintu, Yesus hendak mengajarkan bahwa kini, melalui kehadiran-Nya umat Allah memasuki era baru. Yesus, Sang Firman yang menjadi manusia itulah yang menjadi pintu. Melalui-Nya orang akan diajak ke padang rumput hijau seperti yang digambarkan Daud dalam Mazmur 23 tentang kidung gembala. Melalui pintu itu domba-domba, dalam hal ini orang-orang yang percaya kepada-Nya akan mendapatkan air yang tenang, rumput yang hijau dan sekaligus penjagaan yang prima. Damai sejahtera; syalom!

Pintu dipakai untuk menutup jalan atau membiarkan orang melewatinya. Pintu tertutup bagi orang yang tidak punya kewenangan untuk mengambil begitu saja hak milik seseorang. Hanya kepada gembala yang sesungguhnya pintu itu terbuka karena kawanan itu adalah miliknya. Pintu juga akan terbuka dan membiarkan Sang Gembala menuntun keluar kawanan domba-Nya untuk menikmati apa yang disediakan bagi kawanan domba itu. Pintu “thura” (Yunani) kata yang dipakai untuk mengungkapkan pintu jalan masuk dan keluar kebun, rumah atau kandang. Pendek kata pintu merupakan akses untuk menghubungkan seseorang dengan asetnya. 

Pada zaman digital setiap orang mempunyai akses terhadap kepemilikannya. Dibutuhkan password untuk membuka setiap akun elektronik kita. Kita diwanti-wanti untuk tidak memberikan nomor PIN atau kata sandi kepada orang lain untuk setiap akun elektronik kita. Mengapa? Supaya tidak dimanfaatkan oleh orang lain untuk mengeruk keuntungan melalui asset digital kita! Meskipun demikian, bisa saja karena kecerobohan kita atau kepintarannya, orang dapat menerobos system pertahanan data kita. Hacker!

Hacker atau peretas adalah seseorang yang ahli dalam bidang komputer khususnya pemrograman. Ia mampu mengobrak-abrik system keamanan suatu jaringan komputer, selanjutnya mengambil dan memanipulasi data untuk tujuan tertentu. Biasanya untuk menguntungkan dirinya sendiri. Aktivitas peretas erat kaitannya dengan cracking. Agak mirip tetapi sedikit berbeda. Jika hacking digunakan untuk mendapatkan celah agar bisa masuk ke dalam system, cracking lebih dalam dari itu. Selain masuk ke dalam system, dengan cracking seseorang bisa melakukan perusakan atau pencurian data sehingga dampak kerugian bagi pemilik menjadi jauh lebih besar.

Seorang hacker atau cracker jelas tidak akan menggunakan akses atau pintu masuk legal. Mereka akan mencari cara melalui celah-celah yang bisa ditembus. Mereka akan mengambil dan memanfaatkan data yang ditembusnya itu guna kepentingan dirinya sendiri. Menguntungkan diri sendiri dan merugikan orang lain, itulah tindakan pencuri. Maka untuk melindungi aset digital, kita memerlukan proteksi mumpuni. Sistem pengamanan tingkat tinggi yang tidak mudah dijebol dan dicuri.

Saya dapat membayangkan dalam masyarakat agraris kuno zaman Yesus ada banyak hacker dan cracker yang mencoba mencari celah untuk dapat mengakses property orang lain. Mereka tidak masuk melalui pintu utama karena, tentu saja pintu utama akan dijaga ketat. Mereka menerobos dan meloncati pagar yang lemah dan pendek. Dengan cara itu, mereka mengambil dan mencuri. 

Yesus menegaskan bahwa yang datang sebelum diri-Nya adalah pencuri dan perampok. Ini artinya, sebelum Dia datang, kawanan domba itu tinggal di tempat yang sangat rawan, mungkin juga tidak berpintu. Kawanan domba itu tidak terlindungi dengan baik. Kedatangan Yesus menjamin kehidupan mereka. 

Tentu saja apa yang dimaksudkan Yesus bukan harfiah. Ia bukan bodyguard dengan pentung atau senjata yang berdiri di depan pintu kandang domba. Bukan begitu! Melalui analogi “Akulah pintu” pertama-tama membawa kita dalam pemahaman bahwa Yesus merupakan akses, Ia pemegang password otentik yang disediakan oleh Bapa. Melalui Yesus orang dapat mengenal kasih setia Bapa secara utuh karena Yesuslah perwujudan Sang Firman yang sebenarnya. Ketika seseorang mengenal-Nya, maka orang itu akan berjumpa dengan kasih Allah yang memelihara dan menghantarnya kepada kehidupan yang sesungguh-Nya, kepada air yang tenang dan rumput yang hijau!

Yesus yang menggambarkan diri-Nya sebagai “pintu” bagi domba-domba-Nya juga menjamin bahwa yang melalui pintu itu tidak akan bisa “dihack” oleh orang lain yang mencoba memanipulasi dirinya. Sebab itu, pastikanlah kita mempunyai “sistem pengamanan” mumpuni dalam kehidupan ini, yakni akses melalui Yesus sendiri!

Pada pihak lain, ketika Yesus berbicara “Akulah pintu”, ini menjadi peringatan untuk kita waspada, sebab bisa saja ada pintu-pintu lain yang mencoba menjebak kita. Banyak tawaran yang sepertinya masuk logika pikir kita untuk mencapai “air yang tenang dan rumput yang hijau” (kemakmuran). Tampaknya seperti tidak ada masalah; semua baik-baik saja mengikuti tren dunia ini. Namun, bisa jadi di situlah letaknya perangkap. Bukankah perangkap itu dibuat sedemikian bagus sehingga orang tidak terasa sedang digiring untuk masuk ke dalam perangkapnya? 

Kawanan domba Allah dari zaman ke zaman selalu diperhadapkan dengan perangkap-perangkap pencuri. Ada pelbagai jenis perangkap entah itu melalui logika berpikir, bisnis, ajaran dan praktik ibadah yang sebenarnya lambat laun sedang memisahkan orang percaya dari Sang Gembala Agung. Ketika Yesus mengatakan “Akulah Pintu bagi domba-domba itu” dan kita adalah salah satu dari kawanan domba-Nya, sudah seharusnya kita melewati “Pintu” yang benar itu! 

Bagaimanakah kita tahu bahwa “pintu” atau akses itu adalah benar yang disediakan Yesus, sebab banyak orang memakai nama-Nya juga untuk kepentingan diri sendiri? Yesus pernah mengatakan bahwa baik tidaknya pohon itu dilihat dari buahnya. Melalui pintu yang benarlah kita akan menghasilkan buah yang benar: memuliakan dan mengasihi Allah sebagaimana Yesus memuliakan dan mengasihi-Nya. Mengasihi sesama sebagaimana Yesus melakukannya.

 

Jakarta, 25 April 2023 Minggu Paskah ke-4 Tahun A

Kamis, 20 April 2023

BERBAGI CERITA KEHIDUPAN

Pernah melihat anak kecil mendengar dongeng? Reaksi apa yang Anda lihat? Antusias! Sayang sekali makin lama budaya mendongeng makin pudar. Banyak orang tua menggantikan dongeng atau cerita dengan perangkat elektronik: telepon genggang, tab dan sejenisnya. Jangan-jangan teknologi juga akan menggantikan guru-guru Sekolah Minggu dalam bercerita menyampaikan Firman Tuhan. Alasannya praktis dan lebih bisa mendramatisir, bisa muncul gambar atau video animasi, musik yang mendukung narasi cerita dan seterusnya.

Betapa pun serunya teknologi tetap saja ada sesuatu yang kurang lengkap! Ya, karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Manusia membutuhkan dialog, interaksi dan komunikasi timbal-balik. Benar, Tuhan memberikan dua mata dan dua telinga sebagai jendela untuk menangkap imformasi dan data dari luar dirinya. Namun, jangan lupa juga bahwa Tuhan memberikan sebuah mulut bukan saja untuk makan, tetapi menyuarakan apa yang dirasa, apa yang menjadi gagasan dan mimpi-mimpi dari setiap orang. Manusia adalah makhluk yang senang bercerita dan mendengar cerita. Kita adalah makhluk yang suka curhat, yang tidak tahan kalau ada sesuatu terus dipendam di dalam hati.

Sebuah cerita dibangun idealnya di atas realita atau kalau pun tidak berdasarkan pada apa yang dicita-citakan. Dua orang murid Yesus melakukan perjalanan dari Yerusalem ke Emaus. Penulis Injil Lukas mengatakan jarak yang mereka tempuh kira-kira tujuh mil jauhnya, sebelas kilometer. Jarak yang bisa ditempuh sekitar dua atau tiga jam dengan berjalan kaki. Apa yang dilakukan orang ketika berjalan bersama? Berdiam dirikah dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing? Mungkin saja kalau zaman sekarang orang tidak berinteraksi dengan teman sperjalanan karena sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Dua murid Yesus ini tidak demikian. Mereka bercakap-cakap, bertukar pikiran. Mereka saling membagikan ceritanya!

Tampaknya, penulis Injil Lukas juga menginginkan pembaca tulisannya ikut terlibat mendengar dan berinteraksi dalam perjalanan itu. Hal ini ditunjukkannya ketika ia hanya menyebut salah satu saja nama murid yang melakukan perjalanan itu. Murid tersebut bernama Kleopas. Apakah Luas tidak tahu teman seperjalanan Kleopas itu? Baiklah kita memaknainya bahwa Lukas memberi kesempatan kepada kita untuk menjadi teman seperjalanan Kleopas. Kita diajak oleh Lukas menjadi murid yang tidak disebutkan namanya itu. Dengan demikian kita bisa ngobrol bareng bertiga!

Cerita kita dengan Kleopas membahas tentang kekecewaan. Ya, kecewa! Yesus yang kita dambakan sebagai sosok Mesias yang lebih jagoan dari Yudas Makabeus itu nyatanya cemen! Ia mati, mati dengan mengubur mimpi-mimpi kita tentang kejayaan Israel yang akan dipulihkan, tentang berakhirnya penindasan di bawah kekuasaan Romawi. Nyatanya, semua itu hanya mimpi!

Dalam kekecewaan cerita atau narasi akan semakin membuncah mana kala kita bertemu dengan orang yang mengalami kekecewaan. Cerita kecewa akan menenggelamkan kita pada dukacita dan semakin menghilangkan pengharapan. Kita dan Kleopas sama-sama memberi bahan bakar pada kematian. Cerita itu bukan cerita kehidupan!

Apa yang kamu percakapkan sementara kamu berjalan?” Ada suara asing yang mereka dengar. Pertanyaan itu membuat mereka terhenyak dan menyadari bahwa hingga kini mereka berjalan menuju cita-cita yang berakhir dengan kekecewaan, ini tampak dari raut muka mereka yang semakin muram. Kleopas menginginkan Si Penanya itu ikut masuk dalam suasana batinnya. Ikut dalam ceritanya! Maka tidak mengherankan kalau segera ia balik bertanya, “Adakah Engkau satu-satunya orang asing di Yerusalem, yang tidak tahu apa yang terjadi di situ pada hari-hari belakangan ini?” Kini, Kleopas membawa seluruh Yerusalem untuk mendukung cerita kekecewaannya. Seluruh Yerusalem memang telah gempar dengan berita kematian Yesus yang memilukan. Seluruh Yerusalem tenggelam dalam cerita kematian!

Kita yang diikutkan oleh Lukas sebagai teman dari Kleopas mungkin reaksi kita berbeda, tapi bisa juga sama. Atau kita memilih diam dan bertanya-tanya dalam hati: siapakah orang ini yang ikut nimbrung dalam perjalanan? Pertanyaan dibalas dengan pertanyaan lagi. Sang Musafir yang ikut dalam obrolan itu kembali bertanya. Dan kali ini, melalui pertanyaan-Nya, Ia membuka peluang untuk Kleopas dan kita bercerita dan sudut pandang kita tentang Yesus dari Nazaret itu.

Dengan cara ini, Lukas makin mengikutsertakan kesadaran pembacanya dalam cerita mengenai siapa Yesus dari Nazaret itu. Kisah ini memperjumpakan kita sebagai pembacanya dengan Yesus sendiri. Di sinilah kita diajak dan diberi kesempatan oleh Sang Musafir itu untuk bercerita tentang diri-Nya. Apa pandangan kita ketika mengalami kekecewaan, harapan yang tidak terpenuhi dan hidup dirundung duka dan nestapa? Sangat mungkin kita bercerita bahwa Tuhan Yesus itu sudah mati. Tidak ada lagi gunanya menaruh pengharapan kepada-Nya! Percaya kepada-Nya hanya akan menambah penderitaan, tidak menyelesaikan masalah. Pendek kata, cerita yang kita sampaikan adalah cerita kematian, bukan cerita kehidupan!

Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi!” Sang Musafir itu alih- alih mengaminkan cerita Kleopas dan kita, Ia membuat terhenyak! Kalimat yang disampaikan Sang Musafir itu terdengar kasar dan mencela. Namun, dalam cara ngobrol orang pada zaman itu, kalimat seperti ini dimaksudkan sebagai ajakan untuk bersama-sama memikirkan kembali sebuah perkara dengan obyektif sehingga menemukan sebuah solusi atau makna yang lebih berharga dari narasi itu.

Kini, giliran Sang Musafir itu yang bercerita. Cerita-Nya merujuk pada nubuat mengenai Mesias yang menderita. Benar, setiap kali Yesus memberitahu tentang penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya, mereka tidak bisa memahami. Pikiran mereka tidak dapat mencerna, mengapa Sang Mesias harus menderita dan bahkan dibunuh untuk mencapai kemuliaan-Nya?

Antara Yerusalem dan Emaus ditampilkan sebagai cara Yesus menyampaikan cerita kehidupan di tengah-tengah cerita pesimisme, kecewa dan kematian. Cara Yesus membalik cerita kematian menuju cerita kehidupan sama unik dan menariknya dengan peristiwa kebangkitan itu sendiri. Caranya sederhan, kedua murid itu diminta mengingat-ingat kembali semua yang telah didengar tentang diri-Nya. Tetapi kali ini mereka diajak membaca kembali pengalaman itu dengan pikiran yang merdeka yang tidak dikungkung oleh agenda mereka sendiri, yakni: keinginan politis untuk hidup dalam kejayaan. Kini, mereka diperhadapkan pada sumber-sumber kekayaan iman sejati: “mulai dari kitab-kitab Musa dan segala nabi-nabi.”

Sejak dari awal ketika kita dilibatkan dalam percakapan ini, kita pun diajak agar bersedia berdialog dengan sabda Tuhan sendiri dan membiarkan diri diperkaya oleh-Nya. Tugas kita hanya satu: enyahkan agenda tersembunyi, yakni: pementingan dan pengutamaan diri sendiri. Apa dampaknya? Seperti disebutkan nanti dalam Lukas 24:32, “mereka berkata satu kepada yang lain, ‘hati kita berkobar-kobar’”. Api yang berkobar biasanya menunjuk pada api yang menerangi dan memiliki daya memurnikan logam campuran. Jadi, pikiran (hati) mereka yang tadinya gelap, kini terang menyala-nyala dan yang tadinya tidak murni kiniu dimurnikan.

Selanjutnya, di Emaus “Ketika Ia memecah-mecahkan roti” barulah mata mereka terbuka. Mereka dapat melihat bahwa yang bersama-sama mereka dalam perjalanan itu adalah Yesus! Mereka menyadari bahwa orang itu adalah Dia yang dalam Perjamuan Malam itu mengatakan tidak akan makan dan minum sampai Kerajaan Allah benar-benar dating. Kini, mereka menyadari bahwa yang Ilahi bisa benar-benar hadir di tengah-tengah manusia. Kisah kehidupan itu benar-benar hadir di tengah narasi kematian!

Yesuslah cerita kehidupan itu! Mereka yang percaya bahwa Yesus telah bangkit akan mempercayai kehadiran-Nya di dalam kehidupan mereka. Dan kehadiran-Nya itulah yang memberi pengharapan baru dan wajah baru bagi kemanusiaan. Yang diminta dari kita ialah meneruskan cerita kehidupan ini. Meneruskan dengan cara membiarkan kehadiran-Nya di dalam diri kita sehingga Kristus hidup di dalam diri kita, Kristus makin tampak jelas dan makin bisa dirasakan orang banyak, semakin memberi pengharapan!

 

Jakarta, 20 April 2023, Paskah ke-3 Tahun A