Kamis, 23 Maret 2023

BANGKIT DARI TITIK NADIR

Pada 1969 Elisabeth Kübler-Ross mendefinisikan lima tahapan orang dalam menghadapi dukacita akibat kematian kerabat dekatnya. Tentu saja sebagai seorang psikolog Kübler-Ross melakukan riset panjang untuk dapat menyatakan teorinya. Kelima tahapan tersebut adalah: 

 

Denial (penyangkalan). Pada umumnya, orang akan syok dan tidak percaya bahwa kehilangan itu benar-benar terjadi.

 

Anger (amarah). Marah bahwa orang yang kita sayangi sudah tidak ada lagi. Meninggal!

 

Bargaining (tawar-menawar). Tahap ini ditandai dengan ungkapan “Seandainya…” dan diikuti oleh penyesalan yang bermunculan.

 

Depression (depresi). Kesedihan akut akibat kehilangan.

 

Acceptance (penerimaan). Menerima kehilangan itu sebagai sebuah kenyataan.

 

Kelima tahapan tersebut bukan merupakan harga mati. Setiap orang punya tingkat emosi dan spiritualitas berbeda. Kelima tahapan ini bukan juga cara untuk membenahi emosi yang kacau balau menjadi suatu kemasan rapi. Namun, melalui penjelasan Kübler, kita dapat memahami situasi dukacita atau tepatnya emosi seseorang ketika menghadapi kedukaan.

 

Meminjam tahapan kedukaan versi Kübler kita dapat memahami apa yang dirasakan dan dihadapi oleh Maria dan Marta ketika Lazarus, saudara mereka meninggal. Gambaran marah, penyesalan, depresi yang ditandai dengan kesedihan akut itu tergambar jelas dari ucapan Marta dan Maria, “Tuhan sekiranya Engkau ada di sini, suadaraku pasti tidak mati!” (Yohanes 11:21, 32). Marta dan Maria berada dalam titik nadir, situasi dan kondisi terkelam dalam kehidupan mereka sebagai orang-orang yang mengasihi sebagai saudara. Kita bisa berada pada pasisi Marta dan Maria. Pada titik nadir itu kita marah, menyesali dan depresi. Kita menyalahkan orang lain, diri sendiri dan Tuhan. Kita menyesali diri dan menutup diri, tidak dapat melihat pengharapan. Larut dalam dukacita!

 

Sepertinya Yesus sudah mengetahui apa yang terjadi dengan Lazarus. Mengapa Ia mengulur waktu untuk segera datang menolong Lazarus? Bukankah seharusnya ketika seseorang mendengar sahabat yang dikasihinya sekarat akan segera bergegas pergi untuk menolong? Hal ini justru tidak terjadi dengan Yesus. Ketika Ia mendengar kabar bahwa Lazarus sakit, Yesus sengaja tinggal dua hari lagi di tempat di mana Ia berada!” (Yohanes 11:8). Bayangkan kita berada di posisi Marta dan Maria!

 

Lalu apa dan bagaimana Yesus memandang keluarga ini? Apa dan bagaimana Yesus memandang kematian? Ada gambaran samar namun tampaknya ini bisa menjelaskan kepada kita tentang sikap Yesus ini.  Yesus berkata, “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yohanes 11:4).

 

Tidak dapat diragukan, baik dari ungkapan emosional maupun bahasa yang dipakai Yesus begitu dekat dengan keluarga di Betania ini. Bukan sekedar tahu atau kenal, mereka adalah sahabat-sahabat Yesus. Yesus pun saya kira terpukul mendengar kabar tentang sakitnya Lazarus. Menurut Yesus penyakit Lazarus tidak akan membawanya dalam kematian bukan berarti Lazarus tidak benar-benar mati. Nyatanya, Lazarus mati. Ia sudah berada empat hari dalam kubur! Yang dimaksud Yesus adalah kematian yang membawanya kepada maut dan menghapus segala pengharapan.

 

Yesus menyatakan bahwa peristiwa Lazarus ini justru akan menyatakan kemuliaan Allah dan penyakit itu akan memuliakan Anak Allah. Melalui dukacita bahkan di titik nadir kehidupan manusia Allah sanggup mengubahnya menjadi kemuliaan. Allah Sang Pemilik kehidupan adalah pengendali utama dan manusia yang meyakini-Nya seharusnya menyerahkan kendali itu kepada-Nya. Ini tidak berarti bahwa manusia tidak diberi ruang untuk marah, dukacita, kecewa dan depresi. Yang diminta-Nya, seperti terungkap dalam ucapan Yesus, “Percayakah engkau akan hal ini?”

 

Percaya tidak berarti harus menampikkan tahapan-tahapan dukacita. Yesus sepertinya sengaja untuk tidak datang pada saat-saat kritis Lazarus. Kedatangan-Nya yang dirasakan terlambat itu justru memberi ruang kepada mereka untuk belajar percaya! Belajar melangkah melalui tahapan-tahapan kesedihan itu. Dan, pada akhirnya mereka benar-benar melihat kemuliaan Allah. Lazarus yang sudah meninggal empat hari dan diperkirakan sudah berbau itu kini bangkit, berjalan. Ia hidup!

 

Dalam peristiwa ini kita sering melupakan apa yang menjadi pergumulan Yesus. Sepotong ayat menjadi gambaran, “…., sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.” (Yohanes 11:4). Apa yang dimaksud “Anak Allah akan dimuliakan”? Apakah kemuliaan yang dimaksud itu adalah tepuk tangan dan sorak kekaguman orang-orang yang menyaksikan mayat berjalan keluar dari kuburnya? Apakah kemuliaan itu adalah kesedihan yang dipulihkan: ratapan Marta dan Maria diubah menjadi tarian sukacita lalu mereka memuji dan memuliakan Allah? Ya, tidak salah bahwa mereka – orang-orang yang mengasihi Lazarus – larut dalam sukacita dan memuji Allah.

 

Anak Allah akan dimuliakan. Injil Yohanes punya cara berbeda dari Injil sinoptik dalam melihat peristiwa salib. Injil Sinoptik memandang kesengsaraan begitu keji dan mengerikan. Yesus bergumul berat di Getsemani menjelang penangkapan-Nya itu. Ia bagaikan domba yang dibawa ke pembantaian. Injil Yohanes nyaris tidak ada gambaran itu. Tidak ada pergumulan di Getsemani yang menceritakan ketakutan Yesus. Tidak ada pula seruan “Eloi, Eloi lama sabaktani!” Sebaliknya, Yohanes memandang jalan salib itu adalah jalan kemuliaan. Ya, salib adalah jalan Anak Allah dimuliakan!

 

Anak Allah akan dimuliakan, dalam versi Injil Yohanes dapat kita fahami kira-kira seperti ini. Melalui peristiwa Lazarus yang sakit dan akhirnya meninggal, Yesus bergumul. Ia tahu bahwa Allah Bapa selalu mendengarkan-Nya. Ia dapat dan berkuasa untuk membangkitkan sahabat yang dicintai-Nya. Namun dampaknya, Ia harus membayar dengan kematiaan-Nya! Loh koq bisa begitu? Ya, dalam Injil Yohanes puncak kebencian orang-orang Yahudi yang memusuhi-Nya adalah ketika mereka menyaksikan Lazarus dibangkitkan. Ada orang yang melaporkan peristiwa itu kepada orang-orang Farisi. Lalu imam-imam kepala dan orang-orang Farisi memanggil Mahkamah Agama untuk berkumpul dan mereka berkata: “Apa yang harus kita perbuat? Sebab orang itu membuat banyak mukjizat?” Bahkan Imam Besar Kayafas bertekad untuk menangkap dan membunuh Yesus, “…., bahwa lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita dari pada seluruh bangsa kita ini binasa!” (Yohanes 11:50).

 

Yesus sangat paham apa yang akan terjadi ketika Ia menyatakan cintanya kepada keluarga Lazarus. Konsekuensinya: Ia harus mati! Kebangkitan Lazarus harus dibayar dengan kematian-Nya! Di sinilah kita mengerti mengapa Yesus seolah-olah menunda kehadiran-Nya di rumah Lazarus. Di sinilah kita faham bahwa untuk mencintai Yesus melakukan pengurbanan. Di sinilah “pergumulan Getsemani” dapat kita lihat dalam versi yang lain!

 

Tidak hanya Marta, Maria dan Lazarus, Yesus faham bahwa setiap orang suatu kali pernah berada dalam titik nadir. Pengalaman yang paling kelam dalam kehidupan. Bukan berarti Ia tidak mau tahu dan diam. Yesus bergumul bersama kita, Ia memberi ruang kepada kita untuk belajar percaya. Belajar tahu dan mengerti bahwa begitu besar kasih-Nya kepada kita sehingga untuk membangkitkan kita Ia harus mengalami sengsara dan kematian. Benar tidak ada jalan mudah untuk sebuah cinta. 

 

Jika hari ini Anda sedang berada pada titik nadir kehidupan. Jika hari-hari yang Anda lalui terasa begitu panjang dan menjemukan. Ingatlah ada sosok yang sangat peduli dan mengasihi Anda. Dialah Yesus yang mau dan sanggup menggantikan titik nadir Anda dengan kematian-Nya!

 

 

Jakarta, 23 Maret 2023. Minggu Pra-Paskah V tahun A 

 

 

 

 

Kamis, 16 Maret 2023

MENJADI TERANG DI TENGAH TOXIC COMMUNITY

Baru saja Yesus merangkul dan membebaskan perempuan yang tertangkap zina. Yesus membuat orang-orang yang merasa diri lebih suci menjadi tidak berkutik. Satu persatu dengan muka yang tertunduk mereka meninggalkan-Nya. Cukup puaskah mereka? Oh, ternyata tidak! Komunitas yang merasa diri lebih terhormat ini dengan pelbagai cara menjebak, konfrontasi dan rekayasa untuk menyingkirkan Yesus.

 

Yesus yang menyelamatkan perempuan itu dari rajaman batu, dirajam! “Lalu mereka mengambil batu untuk melempari Dia; tetapi Yesus menghilang dan meninggalkan Bait Allah.” (Yohanes 8:59). Bait Allah yang sejatinya tempat perjumpaan manusia dengan Sang Khaliq menjadi ruang eksekusi bagi siapa saja yang dianggap berdosa oleh mereka yang mengaku diri kelompok saleh dan suci. Bait Allah bukanlah tempat yang nyaman bagi si pendosa untuk dirangkul, diterima dan dipulihkan kembali, melainkan tempat penghakiman dan penghukuman!

 

Yesus meninggalkan Bait Allah. Ia tersingkir! 

 

Yesus yang meninggalkan Bait Allah itu tahu benar artinya menjadi orang tersingkir. Maka tidak mengherankan ketika Ia berjalan, mata-Nya tertuju kepada orang yang tersingkir. Pengemis buta! Ya, ia tersingkir karena anggapan komunitasnya bahwa dia atau orang tuanya berdosa maka dia dilahirkan buta. Stigma masyarakat dan kebutaannya membuat dia tidak mendapat tempat dalam masyarakat dan yang bisa dilakukannya hanyalah mengemis. Tragis!

 

Hati Yesus tergerak oleh pengemis yang tidak dikehendaki dan dikucilkan oleh komunitasnya. Si Pengemis buta ini dipinggirkan karena kekurangannya. Seolah-olah pribadi yang cacat itu bukan siapa-siapa, tidak punya suara, oleh karenanya tidak perlu didengar teriakannya, tidak punya harapan, atau kebutuhan maka pantaslah diabaikan. 

 

Mengapa orang-orang seperti ini diabaikan? Apakah cacat merupakan hukuman dari Allah karena dosa yang tersembunyi? Pikiran tersebut hanya mungkin timbul kalau kita berpikir bahwa Allah seperti kita: Anda menyakiti saya, sekarang saya akan membalas menyakiti Anda. Ini pemikiran toxic, beracun dan berbahaya! Tampaknya baik tetapi dampaknya mematikan. Ya, seperti racun itu! 

 

Kita sering mengira bahwa kalau orang berhasil, kaya, mempunyai posisi jabatan mentereng, keluarganya baik, itu semua adalah tanda bahwa Tuhan memberkati. Sementara itu kegagalan, relasi yang retak, kesehatan yang jelek, bencana dan semacamnya adalah tanda bahwa ada sesuatu yang salah dan jelek dalam hidup mereka. Berdosa! 

 

Seorang Kristen menunggui istrinya melahirkan. Lalu, pada waktu putrinya lahir ia melihat anaknya itu terlahir cacat, reaksinya yang spontan adalah, “Salah saya apa, sehingga Allah melakukan ini terhadap saya dan anak saya?” Inilah juga yang menjadi pandangan atau mungkin juga sikap iman dari murid-murid Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya sehingga ia dilahirkan buta?” Apakah ini merupakan pandangan Yesus juga? Bukan! Itulah sebabnya Ia menjawab pertanyaan para murid, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia.”(Yohanes 9:3)

 

Orang-orang buta dan berkebutuhan khusus lainnya adalah sama seperti orang lain juga. Orang-orang ini memang mempunyai banyak kelemahan, kalau hal itu dikaitkan dengan kemampuan fisik, pengetahuan dan kekuasaan. Namun, dalam kaitan dengan hati dan hal-hal yang berhubungan dengan kasih, banyak dari antara mereka melebihi orang-orang yang merasa normal. Dengan cara yang penuh misteri, mereka tampaknya lebih terbuka terhadap Allah Sang Kasih dan kasih Allah. Sebaliknya, orang-orang yang mencari pengaruh, pujian dan kekayaan untuk diri sendiri sering kali tampak tertutup terhadap Allah karena merasa kuat dan cukup dalam diri sendiri.

 

Yesus, pribadi yang berbela rasa, menyentuh orang itu. Ia menyembuhkan tidak hanya dengan kata-kata tetapi dengan menyentuhnya. Ludah Yesus dan tanah tidak usah ditafsirkan berdaya magis. Bukan itu yang dimaksud sebab tanpa sarana apa pun, Yesus bisa memulihkan! Suara dan sentuhan sangat penting bagi orang buta. Sentuhan adalah indra yang penting, sentuhan adalah ungkapan kasih karena sentuhan mengandaikan kehadiran, kedekatan dan kelembutan. Adukan ludah dan tanah yang disentuhkan Yesus pada mata yang buta itu bagaikan penawar toxic, racun mematikan dari komunitas yang membuatnya tersingkir. Si Buta dari lahir itu kini melihat! 

 

Sayang, kondisinya terbaik. Kini, orang banyak meragukan dan mencari-cari dalil agar bisa membatalkan mukjizat itu. Merekalah yang kini menjadi buta. Seharusnya mereka ikut bersukacita karena satu orang buta yang pada zaman itu tidak mungkin dapat melihat kembali, kini dapat melihat. Mereka meragukannya, “Apakah dia yang benar-benar dahulu buta?” Berhadapan dengan pertanyaan itu, Si Buta yang telah celik dengan tegas menjawab, “Benar, akulah dia!”

 

Tidak puas dengan kenyataan yang terjadi, para pemuka agama itu memperkarakan bahwa tidak mungkin hal itu berasal dari Allah, sebab peristiwa pemulihan itu terjadi pada hari Sabat, berarti yang melakukannya adalah orang berdosa. Namun, orang Farisi yang lain berpendapat bahwa seorang pendosa tidak pernah bisa melakukan mukjizat seperti itu. Mereka terbelah, oleh karena itu mereka bertanya kepada orang yang telah dicelikkan itu, “Dan engkau, apakah katamu tentang Dia?” Orang itu menjawab, “Dia adalah seorang nabi.”

 

Cukupkah dengan keterangan dari orang yang telah dicelikkan itu? Tidak! Mereka mencari orang tuanya dan menanyakan apakah benar orang itu buta sejak dilahirkan? Orang tuanya menjawab, “Yang kami tahu  ialah, bahwa ia ini anak kami dan bahwa ia lahir buta, tetapi bagaimana ia sekarang dapat melihat, kami tidak tahu, dan siapa yang memelekkan matanya, kami tidak tahu juga. Tanyakan kepadanya sendiri, ia sudah dewasa, ia dapat berkata-kata untuk dirinya sendiri.” Orang itu takut dengan tekanan. Mereka sadar, para pemimpin agama ini telah sepakat bahwa setiap orang yang mengakui Yesus adalah Mesias, harus dikucilkan dari sinagoge. Rasa takut akan dikucilkan mengalahkan kegembiraan mereka karena anak mereka disembuhkan.

 

Orang-orang Farisi itu memanggil kembali orang yang telah dipulihkan dari kebutaannya. Mereka bersoal jawab. Tampaknya orang yang tadinya buta itu semakin meyakini bahwa Yesus yang menyembuhkannya benar-benar berasal dari Allah. Kini, dengan kewenangannya orang-orang Farisi itu mengusirnya. Kembali ia harus disingkirkan!

 

Jika minggu lalu kita mendengar perempuan Samaria yang berjumpa dengan Yesus di pinggir sumur Yakub sebagai pemberita Injil pertama. Kini, orang yang lahir but aini adalah orang pertama dalam kisah Injil yang ditolak dan disingkirkan lantaran ia berpegang teguh akan keyakinannya kepada Yesus. Setelah dapat melihat, sebenarnya ia dapat memperoleh tempat kembali dalam komunitas Yahudi. Ia tidak harus tersingkir lagi. Namun, ia memilih kebenaran dan memberi kesaksian akan penyembuhan yang baru saja dialaminya.

 

Salah satu ciri toxic community adalah gemar menyingkirkan orang atau kelompok yang berbeda. Komunitas yang gemar membanggakan diri dan memandang rendah yang lain. Gereja tidak steril dari toxic community di sinilah kita hadir membawa terang Kristus. Seperti orang buta yang telah dipulihkan, kehadiran kita akan membawa terang sehingga dapat melihat seperti Yesus melihat. Tidak ada lagi orang yang merasa disingkirkan. Gereja adalah tubuh Kristus yang merangkul semua orang. Semua orang istimewa dan berharga! 

 

 

Jakarta, 16 Maret 2023 Minggu Pra-Paskah ke-4 tahun A