Jumat, 08 April 2022

HAMBA YANG MENDERITA

Seorang ibu berkata, “Entah, aku tidak mengerti mengapa aku dapat melewati peristiwa ini dengan tegar. Bayangkan, suami meninggalkan kami ketika anak-anak masih kecil. Rumah jauh dari nyaman, sudah bisa meletakkan kepala untuk tidur dan tidak bocor ketika hujan, itu sudah sangat bersyukur. Setiap hari aku harus mengais rejeki menjajakan kue buatan tetanggaku. Kini, tanpa terasa waktu berjalan. Ketiga anakku semua sudah menyelesaikan kuliah bahkan dua di antara mereka pasca sarjana. Kini, aku yakin itu semua karena Tuhan yang menopang dan memberiku kekuatan!”

 

Pernahkah Anda mempunyai pengalaman serupa? Beban berat, penderitaan yang tampaknya sulit untuk ditanggung namun pada akhirnya Anda bisa melewatinya juga? Dan, sesudah itu Anda terheran-heran, koq bisa aku melewatinya? Bisa saja dalam pase awal penderitaan kita menolak lalu mempertanyakan penyertaan Tuhan, namun kemudian toh pada akhirnya kita tidak bisa menghindar, cawan itu harus diminum!

 

Yesus berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku” (Lukas 22:42). Cawan itu adalah cawan nasib-Nya yang penuh dengan penderitaan, yang sekarang sudah mulai tampak jelas di cakrawala dan itu sama sekali tidak dapat Ia mengerti. Ia sungguh tidak dapat mengerti bagaimana kematian yang penuh derita itu sesuai dengan rencana penyelamatan Bapa. J. Fitzmyer (The Gospel according to Luke,II) mengungkapkan dengan baik apa arti cawan bagi Yesus. Dengan kata- kata itu, Yesus dalam Injil Lukas mengungkapkan penolakan secara naluriah terhadap nasib yang menanti-Nya.

 

Tidak ada tradisi lain dalam Injil yang menggambarkan kemanusiaan Yesus dengan begitu gamblang seperti dalam Lukas itu. Tanggapan-Nya tidak hanya menunjukkan penderitaan fisik dan kecemasan psikis yang menanti-Nya, tetapi juga meliputi juga kesedihan dan keraguan batin mengenai makna dari semuanya yang akan terjadi itu. Penderitaan fisik, psikis, kesedihan dan keraguan batin itu terungkap dengan peluh-Nya yang menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah!

 

Betulkah peluh yang menetes seperti titik-titik darah itu merupakan gambaran Yesus yang berada dalam tekanan dahsyat? Banyak orang mengartikannya bahwa Yesus benar-benar berpeluh darah, dan studi ilmu kedokteran mutakhir  menemukan bahwa jika seseorang berada dalam ketegangan kelewat berat, pembulu-pembulu darah dapat pecah dan kemudian keringat keluar dan bercampur dengan darah. Tetapi dalam kisah ini belum tentu demikian. Bisa juga bahwa peluh yang seperti titik-titik darah berarti Yesus berpeluh sangat banyak sehingga mengalir ke tanah seperti titik-titik darah. Namun, yang jelas ungkapan ini mau mengatakan bahwa Yesus berada dalam tekanan berat!

 

Di bukit zaitun itu Yesus menjadi korban ketakutan, kegagalan, dan kekecewaan ditambah dengan kesepian luar biasa. Tidak satu pun dari murid-murid-Nya bisa diajak berbagi, apalagi diandalkan. Dia harus menanggungnya seorang diri. Yesus sangat ketakutan! Yesus sekarang berada dalam situasi seperti yang digambarkan oleh pemazmur, “Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku. Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.” (Mazmur 55:5-6). Sekurang-kurangnya, Yesus secara samar melihat peristiwa-peristiwa yang segera akan menimpa diri-Nya. Pada waktu itu terjadi, Yesus tidak melihat siapa pun yang akan memberi dukungan dan penghiburan. Akibatnya, Ia merasa kehilangan daya dan sedih. Hati-Nya remuk!

 

Lalu, apakah Yesus mengalami keragu-raguan atas misi-Nya? Bukankah selama ini Ia selalu optimis? Bukankah Ia terus maju dan bertindak, tak pernah goyah dan terombang-ambing? Namun, teks kecil dalam Ibrani mengingatkan kita, “Ia sama dengan kita … hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15).

 

Ya, semua yang ditakutkan Yesus segera menjadi kenyataan. Ia segera akan dihianati murid-Nya sendiri, ditangkap, dianiaya, dihina dan dilecehkan lalu disalibkan dan mati. Tidak dapat dihindari, cawan itu harus diminum-Nya! Namun, Injil Lukas memberi catatan penting. Di tengah-tengah ketakutan dahsyat itu, “Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya” (Lukas 22:43). Penampakan malaikat ini merupakan jawaban dari doa Yesus yang berpeluh seperti tetesan darah itu. Mengenai peristiwa ini, kitab Ibrani mencatat, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia. Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya, Ia telah di dengarkan. Ia telah belajar menjadi taat dalam apa yang telah diderita-Nya”  (Ibrani 5:7-8). Penulis surat ini mempunyai pandangan yang luhur tentang keilahian Yesus dan dalam teks itu ia mempertentangkan dengan tajam Yesus sebagai Anak dan Yesus dalam daging, yang dapat mengalami penderitaan manusia. Manusia Yesus belajar taat, meski Ia adalah Anak Allah!

 

Penampakan malaikat itu tak pelak lagi sebagai jawaban terhadap permohonan Yesus untuk menyingkirkan cawan itu. Yesus tidak dibebaskan dari derita yang harus dipikul-Nya. Ia harus meminum cawan itu, tetapi bantuan ilahi tersedia untuk menopang-Nya. Bantuan ilahi membuat-Nya tegar untuk menjalani rangkaian akhir pelayanan-Nya di dunia. Pergumulan itu diselesaikan-Nya di taman zaitun itu. Selanjutnya, Ia tinggal menjalani saja via dolorosa itu!

 

Kita semua pernah mengalami atau bahkan mungkin saja sekarang sedang mengalami apa yang disebut syndrome Getsemani, kecemasan luar biasa oleh karena beban penderitaan yang teramat berat. Sementara tidak ada satu pun teman, sanak dan kerabat yang dapat diandalkan. Sehingga tetesan peluh kekuatiran dan air mata kita membasahi tempat tidur. Gelisah dan depresi! Yesus, yang menurut catatan Ibrani sama seperti kita manusia, Ia mengalami hal itu juga. Ada yang dapat kita contoh dari-Nya: Berdoa, yakin dan percaya bahwa Allah, Bapa kita tidak pernah meninggalkan kita. Ia akan menopang kita!

 

Andai kata beban itu tetap ada, sakit penyakit terus bersarang dalam tubuh Anda, beban ekonomi dan kesulitan hidup seolah betah dan tidak mau beranjak dari diri Anda, hari depanmu tampak suram. Percayalah, malaikat yang dulu menopang Yesus ada bersama dengan Anda, sehingga Anda pun akan tetap bisa meneruskan kehidupan ini. Anda akan kuat bertahan oleh karena Dia besertamu!

 

Kini, sama seperti Yesus dalam menapaki jalan sengsara-Nya, Ia tetap taat dan setia. Sebagai hamba, Ia taat meski harus menempuh penderitaan yang teramat sangat. Maka, sekarang marilah kita mencontoh Dia. Taat dan setia dalam segala sesuatu. Jangan biarkan tergoda dan kemudian berpaling dari-Nya. Kelak kita akan melihat dan menoleh kembali pada jalan hidup kita. Sama seperti kisah si Ibu di awal tulisan ini. Penderitaannya tidak terelakan, namun kemudian ia bisa melewatinya bersama dengan Tuhan. Mungkin saja penyertaan dan pertolongan Tuhan itu tidak sedahsyat atau sespektakuler seperti yang disaksikan orang-orang, namun kelak kita akan mengerti, “Koq bisa ya, aku melewati semuanya itu?”

 

Jakarta, Minggu Palmarum / Minggu Sengsara, tahun C 2022

 

 

 

 

Kamis, 31 Maret 2022

MAKNA PENGURAPAN YESUS

Hare Krishna adalah sebuah gerakan bhakti atau amal yang didirikan di Amerika Serikat tahun 1965 oleh A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada dengan nama resmi “The International Society for Krishna Consciousness”. Sebagai sebuah gerakan amal, anggota Sekte Hare Krishna kerap berada di ruang publik, bandara atau stasiun kereta api. Seorang anggota sekte biasanya akan menyapa dengan seseorang dengan ramah sambil memberikan setangkai bunga kecil. Jika Anda seperti kebanyakan orang, Anda akan menerima bunga itu untuk menghindar dari kesan kasar dan tidak bersahabat. Namun, jika Anda berusaha menolak, Anda akan segera mendengar suara lembut, “Ambillah, ini hadiah dari kami untuk Anda.”

Jika Anda ingin membuang bunga itu ke tempat sampah terdekat, Anda akan melihat sudah ada beberapa tangkai di sana. Tapi itu bukan akhir. Tepat ketika perasaan tidak enak mulai menarik-narik hati Anda, seorang anggota sekte Hare Krishna yang lain akan segera mendekati Anda, kali ini jelas bukan untuk memberikan setangkai bunga lagi, melainkan proposal sumbangan! Sering kali permintaan ini berhasil, sangat sukses sehingga banyak bandara internasional melarang anggota sekte tersebut berada dalam wilayah mereka.  

Seorang psikolog ternama, Robert Cialdini menjelaskan kesuksesan kampanye seperti ini dan yang sejenisnya. Cialdini mempelajari fenomena “timbal-balik” (reciprocity). Ia telah menemukan bahwa manusia akan mengalami kesulitan kalau berutang kepada orang lain. Maka tidaklah heran jika banyak LSM dan lembaga amal menggunakan Teknik yang percis sama: pertama, memberi, lalu mengambil. Apakah fenomena ini hanya berhenti pada LSM dan lembaga-lembaga amal saja? Rasanya tidak! Bahkan, kita dapat menjumpai dalam gereja pun terjadi. Atas nama pelayanan gereja berbagi amal, bakti sosial dan yang sejenisnya. Untuk apa? Ya, supaya gereja kita aman Pak! Perhatian dan doa-doa personal menjadi andalan agar cengkraman makin kuat, anggota jemaat tidak hengkang. Politik hutang budi membuat seseorang tidak bebas. Paisengki!

Lazarus telah mati dan dibangkitkan. Sekarang si Pembangkit itu berkunjung ke kampung Lazarus. Betania! Ini kesempatan baik untuk balas budi. Keluarga itu menyiapkan perjamuan. Perjamuan spektakuler. Betapa tidak, bukan hanya hidangan makan, minum. Narwastu murni setengah kati seharga 45 juta rupiah tumpah ruah di kaki Yesus. Jelas, ini menimbulkan bau semerbak harum di seluruh ruangan bahkan mungkin saja sampai keluar rumah. Harum narwastu pengganti bau anyir mayat yang telah dibangkitkan Yesus. Rasanya narwastu seharga 300 dinar menjadi tidak berarti dibanding nyawa saudara Maria yang kembali! Namun, bagi Yudas ini adalah bentuk pemborosan. Bukankah uang sebanyak itu dapat disumbangkan untuk para fakir miskin?

Reciprocity-kah Maria? Mengingat saudara yang dicintainya tidak jadi mati sehingga ia mau mengurbankan apa saja yang paling berharga untuk membalas kebaikan Sang Guru? Jika benar, kalau demikian apakah yang dilakukan oleh Yesus tidak ubahnya seperti banyak LSM, lembaga amal atau salah satu metode marketing?

Yesus mencintai dan menyatakan belas kasihan-Nya terhadap keluarga Maria itu nyata. Tidak dapat dibantah! Sebelumnya, Yesus bahkan menangis karena kepergian Lazarus. Sepertinya, untuk menggambarkan rasa belas kasihan mendalam, Alkitab hanya mencatat terjadi dalam keluarga ini. Cinta Yesus yang begitu besar ditangkap oleh saudara-bersaudara ini. Jelas, ini bukan reciprocity. Ini kasih yang tulus, kasih yang tanpa syarat, yang tidak mengharapkan balasan. Yesus tidak sedang menanam saham balas budi. Yesus tidak sedang mengikat Maria dan saudara-saudaranya sehingga memaksakan diri untuk melayani Yesus. Tidak!

Justru, kasih-Nya membebaskan mereka dari belenggu kematian. Mengarahkan Marta dan Maria agar memahami arti dari sebuah pelayanan! Dampak dari kasih yang membebaskan itu terlihat dari sikap Maria. Ia bebas, tidak terikat dengan harta kekayaan. Ia bebas, bahkan dengan rambutnya - mahkota seorang perempuan - ia menyeka bagian terendah dari tubuh Yesus. Kaki-Nya! Maria tidak menyayangkan untuk tindakan kasih yang ia nyatakan kepada Yesus. Hal yang serupa terjadi pada Paulus ketika ia mengalami perjumpaan dengan Yesus yang membebaskannya dari belenggu Taurat, Paulus merasakan dekapan kasih Yesus itu sehingga dalam bacaan kedua minggu ini (Filipi 3:4-14), membuat segala sesuatu yang dianggap berharga kini dilepaskannya, bahkan secara ekstrem ia memandangnya sebagai sampah. Mengapa? Yang berharga dan terbaik telah ia dapatkan di dalam Kristus!

Tindakan Maria diniatkan oleh kasih yang begitu mendalam terhadap Yesus tanpa disadarinya telah menjadi semacam persiapan dalam puncak pelayanan Yesus. Tindakan Maria yang mengurapi Yesus dengan minyak narwastu murni merupakan persiapan penguburan Yesus.

Tindakan menyeka kaki Yesus dengan rambutnya pada zaman itu, bahkan mungkin juga sekarang, merupakan tindakan berlebihan dan tidak elok dilihat banyak orang: menguraikan rambut, tentu saja membuka tudung kepala. Rambut bagi seorang perempuan adalah mahkota, kini ia gunakan untuk membasuh kaki, bagian tubuh paling bawah tentu saja merupakan pemandangan kontras. Namun, tanpa disadari Maria, inilah wujud dari kerendahan hati, yang nantinya akan diperagakan juga oleh Yesus ketika Ia membasuh kaki para murid dalam perjamuan malam terakhir. Yesus yang adalah Sang Guru dan Tuhan meminta para murid untuk meneladani-Nya.

Jika Maria, dalam peristiwa pembangkitan Lazarus dikenal dan dihormati dengan pengakuannya, “Ya, Tuhan, aku percaya, bahwa Engkaulah Mesias, Anak Allah, Dia yang akan datang ke dalam dunia” (Yohanes 11:27), sekarang Maria dihormati sebagai orang yang mengungkapkan kasihnya. Seorang yang patut diteladani oleh semua kaum beriman.

Sama seperti Maria, apakah buat kita perjumpaan dengan Yesus Kristus itu hanya sekedar pelajaran katekisasi? Atau, benar bahwa Dia adalah seorang Sahabat, Guru dan Tuhan, yang memahami kemelut hidup kita, mengerti dan mengampuni segala dosa dan penyesalan kita? Sekarang, apa yang dapat kita persembahkan kepada Kristus? Jika Maria telah memberikan yang terbaik, baik materi maupun “harga diri” meskipun harus menimbulkan protes dari seorang Yudas, lalu apa dapat kita persembahkan kepada-Nya? Masihkah kita memberi dan melayani-Nya dengan motif “timbal-balik”?

Seharusnya, kasih Kristus itu membebaskan kita dari segala ikatan yang membelenggu. Di dalam Kristus, kita adalah orang-orang yang merdeka. Merdeka untuk melayani-Nya dengan segenap hati, akal budi dan kekuatan kita. Sangat mungkin akan tampil orang-orang seperti Yudas yang mencibir dan menganggap “pemborosan” dalam kita melayani-Nya. Namun, ketika cinta-Nya merengkuh kita maka hanya ada satu kata “bersyukur!”

Jakarta, Minggu Pra-paskah ke-5 Tahun C