Seorang ibu berkata, “Entah, aku tidak mengerti mengapa aku dapat melewati peristiwa ini dengan tegar. Bayangkan, suami meninggalkan kami ketika anak-anak masih kecil. Rumah jauh dari nyaman, sudah bisa meletakkan kepala untuk tidur dan tidak bocor ketika hujan, itu sudah sangat bersyukur. Setiap hari aku harus mengais rejeki menjajakan kue buatan tetanggaku. Kini, tanpa terasa waktu berjalan. Ketiga anakku semua sudah menyelesaikan kuliah bahkan dua di antara mereka pasca sarjana. Kini, aku yakin itu semua karena Tuhan yang menopang dan memberiku kekuatan!”
Pernahkah Anda mempunyai pengalaman serupa? Beban berat, penderitaan yang tampaknya sulit untuk ditanggung namun pada akhirnya Anda bisa melewatinya juga? Dan, sesudah itu Anda terheran-heran, koq bisa aku melewatinya? Bisa saja dalam pase awal penderitaan kita menolak lalu mempertanyakan penyertaan Tuhan, namun kemudian toh pada akhirnya kita tidak bisa menghindar, cawan itu harus diminum!
Yesus berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini dari pada-Ku” (Lukas 22:42). Cawan itu adalah cawan nasib-Nya yang penuh dengan penderitaan, yang sekarang sudah mulai tampak jelas di cakrawala dan itu sama sekali tidak dapat Ia mengerti. Ia sungguh tidak dapat mengerti bagaimana kematian yang penuh derita itu sesuai dengan rencana penyelamatan Bapa. J. Fitzmyer (The Gospel according to Luke,II) mengungkapkan dengan baik apa arti cawan bagi Yesus. Dengan kata- kata itu, Yesus dalam Injil Lukas mengungkapkan penolakan secara naluriah terhadap nasib yang menanti-Nya.
Tidak ada tradisi lain dalam Injil yang menggambarkan kemanusiaan Yesus dengan begitu gamblang seperti dalam Lukas itu. Tanggapan-Nya tidak hanya menunjukkan penderitaan fisik dan kecemasan psikis yang menanti-Nya, tetapi juga meliputi juga kesedihan dan keraguan batin mengenai makna dari semuanya yang akan terjadi itu. Penderitaan fisik, psikis, kesedihan dan keraguan batin itu terungkap dengan peluh-Nya yang menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah!
Betulkah peluh yang menetes seperti titik-titik darah itu merupakan gambaran Yesus yang berada dalam tekanan dahsyat? Banyak orang mengartikannya bahwa Yesus benar-benar berpeluh darah, dan studi ilmu kedokteran mutakhir menemukan bahwa jika seseorang berada dalam ketegangan kelewat berat, pembulu-pembulu darah dapat pecah dan kemudian keringat keluar dan bercampur dengan darah. Tetapi dalam kisah ini belum tentu demikian. Bisa juga bahwa peluh yang seperti titik-titik darah berarti Yesus berpeluh sangat banyak sehingga mengalir ke tanah seperti titik-titik darah. Namun, yang jelas ungkapan ini mau mengatakan bahwa Yesus berada dalam tekanan berat!
Di bukit zaitun itu Yesus menjadi korban ketakutan, kegagalan, dan kekecewaan ditambah dengan kesepian luar biasa. Tidak satu pun dari murid-murid-Nya bisa diajak berbagi, apalagi diandalkan. Dia harus menanggungnya seorang diri. Yesus sangat ketakutan! Yesus sekarang berada dalam situasi seperti yang digambarkan oleh pemazmur, “Hatiku gelisah, kengerian maut telah menimpa aku. Aku dirundung takut dan gentar, perasaan seram meliputi aku.” (Mazmur 55:5-6). Sekurang-kurangnya, Yesus secara samar melihat peristiwa-peristiwa yang segera akan menimpa diri-Nya. Pada waktu itu terjadi, Yesus tidak melihat siapa pun yang akan memberi dukungan dan penghiburan. Akibatnya, Ia merasa kehilangan daya dan sedih. Hati-Nya remuk!
Lalu, apakah Yesus mengalami keragu-raguan atas misi-Nya? Bukankah selama ini Ia selalu optimis? Bukankah Ia terus maju dan bertindak, tak pernah goyah dan terombang-ambing? Namun, teks kecil dalam Ibrani mengingatkan kita, “Ia sama dengan kita … hanya tidak berbuat dosa” (Ibrani 4:15).
Ya, semua yang ditakutkan Yesus segera menjadi kenyataan. Ia segera akan dihianati murid-Nya sendiri, ditangkap, dianiaya, dihina dan dilecehkan lalu disalibkan dan mati. Tidak dapat dihindari, cawan itu harus diminum-Nya! Namun, Injil Lukas memberi catatan penting. Di tengah-tengah ketakutan dahsyat itu, “Maka seorang malaikat dari langit menampakkan diri kepada-Nya untuk memberi kekuatan kepada-Nya” (Lukas 22:43). Penampakan malaikat ini merupakan jawaban dari doa Yesus yang berpeluh seperti tetesan darah itu. Mengenai peristiwa ini, kitab Ibrani mencatat, “Dalam hidup-Nya sebagai manusia. Ia telah mempersembahkan doa dan permohonan dengan ratap tangis dan keluhan kepada Dia, yang sanggup menyelamatkan-Nya dari maut, dan karena kesalehan-Nya, Ia telah di dengarkan. Ia telah belajar menjadi taat dalam apa yang telah diderita-Nya” (Ibrani 5:7-8). Penulis surat ini mempunyai pandangan yang luhur tentang keilahian Yesus dan dalam teks itu ia mempertentangkan dengan tajam Yesus sebagai Anak dan Yesus dalam daging, yang dapat mengalami penderitaan manusia. Manusia Yesus belajar taat, meski Ia adalah Anak Allah!
Penampakan malaikat itu tak pelak lagi sebagai jawaban terhadap permohonan Yesus untuk menyingkirkan cawan itu. Yesus tidak dibebaskan dari derita yang harus dipikul-Nya. Ia harus meminum cawan itu, tetapi bantuan ilahi tersedia untuk menopang-Nya. Bantuan ilahi membuat-Nya tegar untuk menjalani rangkaian akhir pelayanan-Nya di dunia. Pergumulan itu diselesaikan-Nya di taman zaitun itu. Selanjutnya, Ia tinggal menjalani saja via dolorosa itu!
Kita semua pernah mengalami atau bahkan mungkin saja sekarang sedang mengalami apa yang disebut syndrome Getsemani, kecemasan luar biasa oleh karena beban penderitaan yang teramat berat. Sementara tidak ada satu pun teman, sanak dan kerabat yang dapat diandalkan. Sehingga tetesan peluh kekuatiran dan air mata kita membasahi tempat tidur. Gelisah dan depresi! Yesus, yang menurut catatan Ibrani sama seperti kita manusia, Ia mengalami hal itu juga. Ada yang dapat kita contoh dari-Nya: Berdoa, yakin dan percaya bahwa Allah, Bapa kita tidak pernah meninggalkan kita. Ia akan menopang kita!
Andai kata beban itu tetap ada, sakit penyakit terus bersarang dalam tubuh Anda, beban ekonomi dan kesulitan hidup seolah betah dan tidak mau beranjak dari diri Anda, hari depanmu tampak suram. Percayalah, malaikat yang dulu menopang Yesus ada bersama dengan Anda, sehingga Anda pun akan tetap bisa meneruskan kehidupan ini. Anda akan kuat bertahan oleh karena Dia besertamu!
Kini, sama seperti Yesus dalam menapaki jalan sengsara-Nya, Ia tetap taat dan setia. Sebagai hamba, Ia taat meski harus menempuh penderitaan yang teramat sangat. Maka, sekarang marilah kita mencontoh Dia. Taat dan setia dalam segala sesuatu. Jangan biarkan tergoda dan kemudian berpaling dari-Nya. Kelak kita akan melihat dan menoleh kembali pada jalan hidup kita. Sama seperti kisah si Ibu di awal tulisan ini. Penderitaannya tidak terelakan, namun kemudian ia bisa melewatinya bersama dengan Tuhan. Mungkin saja penyertaan dan pertolongan Tuhan itu tidak sedahsyat atau sespektakuler seperti yang disaksikan orang-orang, namun kelak kita akan mengerti, “Koq bisa ya, aku melewati semuanya itu?”
Jakarta, Minggu Palmarum / Minggu Sengsara, tahun C 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar