Kamis, 03 Februari 2022

DIPANGGIL, JANGAN MENOLAK

“Aku Tuhan semesta. Jeritanmu Kudengar. Kau di dunia yang gelap

‘Ku s’lamatkan. Akulah Pencipta t’rang;

malam jadi benderang. Siapakah utusan-Ku membawa t’rang?

 

Reff:

 

Ini aku, utus aku! Kudengar Engkau memanggilku.

Utus aku; tuntun aku; 

‘Ku prihatin akan umat-Mu”

 

“Here I Am, Lord” juga dikenal dengan “I, the Lord of Sea and Sky” adalah nyanyian gereja yang ditulis oleh komposer musik liturgi Katolik Amerika: Daniel Schutte pada tahun 1979 dan diterbitkan pada 1981. Syair ini didasarkan pada Yesaya 6:8 dan 1Samuel 3:4. Schutte menulis lagu ini pada usia 31 tahun ketika ia belajar teologi di seminari Jesuit Berkeley. Ketika itu, dirinya diminta menulis dalam waktu singkat sebuah syair untuk penahbisan seorang diakon. Sejak saat itu himne Here I Am Lord menjadi populer, tidak hanya dinyanyikan umat Katolik, tetapi juga populer di kalangan Protestan. Di kalangan gereja-gereja Protestan, lagu ini populer dengan judul “Aku Tuhan Semesta” PKJ. 177.

 

Nyanyian “Aku Tuhan Semesta”, menjadi salah satu nyanyian pavorit untuk pengutusan. Ya, betapa tidak syair yang berdasarkan perenungan Yesaya 6:8 dan 1Samuel 3:4 ini memang pas. Konteks kedua ayat ini adalah tentang panggilan. Yesaya 6:8 bercerita tentang pemanggilan Yesaya dan 1 Samuel 3:4 tentang Samuel kecil yang dipanggil Allah menjadi utusan-Nya. Keduanya menjawab positif akan panggilan itu!

 

Tentu saja untuk menjawab “ya” pada panggilan TUHAN tidak selalu mudah. Ada pergumulan untuk tiba pada kalimat “Ini aku, utus aku! Kudengar Engkau memanggilku!” Yesaya misalnya, dalam bacaan pertama kita hari ini. Ketika berhadapan dengan Allah yang kudus, dirinya menjadi orang celaka. Mengapa? Ia bersama-sama dengan bangsanya adalah orang berdosa; najis bibir. Barangkali suasana seperti ini yang melingkupi perasaan kita juga mana kala Tuhan memanggil kita untuk sebuah pekerjaan di ladang-Nya. Entah menjadi anggota panitia, pengurus komisi, penatua atau bahkan panggilan sebagai hamba Tuhan. Pendeta! Kita mengatakan, “Ah, Tuhan saya tidak layak, tidak pantas! Bukakah ladang Tuhan itu hanya untuk pekerja-pekerja yang saleh, baik, hidup benar, jujur, dan bersih dalam segala hal. Sedangkan saya, masih sibuk dengan urusan duniawi. Banyak cacat cela dan dosa, nanti jadi batu sandungan!”

 

Lalu. Apakah Tuhan diam saja? Ternyata tidak! Salah seorang Serafim, makhluk surgawi itu terbang menghampiri Yesaya di tangannya ada bara, yang diambilnya dengan sepit dari atas mezbah. Serafim itu menyentuhkannya kepada mulut Yesaya serta berkata, “Lihat, ini telah menyentuh bibirmu, maka kesalahanmu telah dihapus dan dosamu telah diampuni.” (Yesaya 6:7).  Saya tidak dapat membayangkan bara yang diambil dengan sepit itu ketika menyentuh bibir bagaimana rasanya? Untunglah Alkitab tidak mendramatisir adegan ini. Jelas Allah sangat mengerti siapa manusia yang diajak-Nya terlibat dalam misi-Nya. Bukan seperti Serafim, Kerubim atau para Malaikat. Manusia adalah makhluk yang punya kehendak dan makhluk yang rentan terhadap dosa. Namun, Allah punya solusi: mengampuni dan menguduskan. Kini, hanya tinggal jawaban dari manusia itu sendiri!

 

Kisah pemanggilan Yesaya ini sepertinya sejajar dengan kisah pemanggilan murid-murid Tuhan Yesus yang pertama. Dibandingkan dengan kisah pemanggilan murid-murid Yesus dalam Injil Markus, tampaknya Lukas menempatkan peristiwa pemanggilan ini sedikit lebih ke belakang. Markus menampilkan kisah pemanggilan ini di awal catatan Injilnya, yakni ketika awal Yesus berkarya di Galilea. Mungkin orang heran, setidaknya saya: mengapa para murid itu begitu cepat mengikut Yesus. Mereka meninggalkan begitu saja pekerjaan serta ayah mereka lalu mengikut Yesus. Dalam Injil Markus itu, belum ada pernyataan atau tindakan apa pun dari Yesus yang menjadi alasan kuat untuk mereka mengikuti-Nya. Yang ada hanya sebuah ajakan, “Mari, ikutilah Aku!”

 

Dengan penundaan kisah panggilan ini, Lukas mengisi kekosongan itu. Para murid dengan segera meninggalkan segala sesuatu untuk mengikut Yesus karena mereka sudah mengenal. Simon sudah mengenal Yesus karena ia telah menerima Yesus di rumahnya. Yesus telah menyembuhkan ibu mertuanya dan juga orang-orang sekotanya yang sakit dan kerasukan setan. Sekarang di danau ini, Simon mengalami kebesaran Yesus. Ia yang sepanjang malam menebarkan jala dan tidak menangkap apa-apa tunduk kepada perintah Yesus untuk menebarkan jala mereka kembali. Ketaatan kepada sabda Yesus itu ternyata membuahkan hasil tangkapan yang luar biasa hingga jala mereka koyak disebabkan banyaknya ikan.

 

Apakah kekaguman Petrus berhenti hanya pada tangkapan ikan yang berlimpah itu? Tidak! Bukan hasil yang melimpah itu yang dipikirkan Petrus. Buah dari ketaatan itu ternyata menyadarkan Simon akan siapa Yesus dan siapa dirinya. Semula Simon mengenal Yesus sebagai guru (Lukas 5:5), tetapi kini ia mengenali-Nya sebagai Tuhan (Lukas 5:8). Dan, ia pun kini mengenali dirinya sebagai orang yang berdosa (Lukas 5:8). Sama seperti Yesaya berhadapan dengan kekudusan Allah, ia merasa berdosa dan najis, demikian juga Simon merasa diri berdosa di hadapan Yesus. Simon merasa tidak layak, tidak pantas untuk menjadi murid Yesus.

 

Namun, ketidakpantasan Simon itu tidak lantas menghentikan kehendak Yesus untuk memanggilnya, “Jangan takut, mulai sekarang engkau akan menjadi penjala manusia.” Tidak berapa lama lagi juga Yesus akan menyatakan maksud kedatangan-Nya, “Aku datang bukan untuk memanggil orang benar tetapi orang berdosa supaya mereka bertobat” (Lukas 5:23).

 

Pemanggilan Yesus ini menarik untuk kita cermati. Yesus menyatakan diri-Nya datang untuk orang-orang miskin, para tawanan, orang-orang tertindas, orabng-orang berdosa. Tema ini akan terus mengiring sepanjang perjalanan kehidupan Yesus dan Yesus melibatkan orang-orang tertentu dalam karya-Nya. 

 

Dalam kisah Injil tentang pemanggilan yang dibacakan hari ini, memang hanya satu nama disebut dari beberapa orang yang dipanggil oleh Yesus dan kemudian mengikuti-Nya. Nama satu-satunya itu ialah Simon. Dari teksnya sendiri kita bisa mengerti bahwa yang dipanggil itu tidak hanya Simon karena pada akhir kisah dikatakan, “mereka pun meninggalkan segala sesuatu, lalu mengikut Yesus” (Lukas 5:11). Murid-murid inilah yang akan berada bersama dengan Yesus selama karya-Nya. Mereka jugalah yang kelak akan meneruskan karya Yesus selanjutnya sampai ke ujung dunia. Mereka dipanggil untuk menjadi penjala manusia. Kisah penangkapan ikan itu menjadi gambaran pemanggilan para murid, Kesulitan akan mereka hadapi. Mereka bekerja keras dan tidak memperoleh hasil apa-apa. Hanya karena bimbingan Yesus, mereka akhirnya memperoleh banyak ikan. Itulah pemuridan; ikut dalam perjuangan Yesus. Perjuangan itu tidak akan berlalu tanpa hasil.

 

Hanya ada dua pilihan ketika kita diperhadapkan pada panggilan Tuhan: menerima dan menolak. Tentu saja ada banyak alasan untuk menolak panggilan Tuhan dan alasan itu sepertinya terlihat pantas dan sah-sah saja. Saya orang berdosa, saya tidak layak, nanti jadi batu sandungan dan seterusnya. Bercermin dari kisah-kisah pemanggilan Tuhan terhadap manusia untuk terlibat dalam pekerjaan-Nya, bukankah Tuhan juga lebih tahu siapa kita? Bukankah Ia juga punya solusi untuk menjawab ketidaklayakkan kita? Jelas, Tuhan juga menginginkan kita menggumuli panggilan itu, namun pada akhirnya Ia menghendaki jawaban, “Ini aku, utus aku, kudengar Engkau memanggilku!”

 

 

Jakarta, 3 Februari 2022

Kamis, 27 Januari 2022

MENGHADAPI PENOLAKAN DENGAN KASIH

"Tuhan mengutus kita ke dalam dunia

bawa pelita kepada yang gelap

meski dihina serta dilanda duka

harus melayani dengan sepenuh

 

Reff:

Dengan senang, dengan senang

marilah kita melayani umat-Nya

dengan senang, dengan senang

berarti kita memuliakan nama-Nya."

(PKJ 185:1)

 

Nyanyian PKJ 185 ini sempat Hitngetop. Betapa tidak, syair karya Arnoldus Isaak Apituley begitu mantap menjiwai teladan Kristus. Apalagi jika diiringi dengan musik riang gembira. Tanpa terasa tubuh ikut bergoyang. Jujur, saya pun kepingin goyang kalau mendengar nyanyian ini dilantunkan dengan bit yang gembira. Namun, ketika saya mencoba menelisik dalam, koq bulu kuduk jadi merinding. Ya, tentu saja pujian ini bukan horror. Tetapi nurani integritas diri yang terusik. Benarkah Tuhan mengutus kita? Benarkah kita ini adalah terang yang disiapkan untuk menerangi kegelapan dunia? Nah, ini yang paling menohok: Benarkah ketika dihina dan dilanda duka akan tetap melayani dengan sepenuh hati? Benarkah hati kita sungguh-sungguh senang dalam kondisi dihina dan ditolak? Benarkah dalam keadaan sedemikian itu kita masih memuliakan nama Tuhan?

 

Ah, jangan-jangan lagu ini hanya hiburan saja, seperti lagu-lagu lainya. Seperti lagu di pub dan karaoke yang tidak ada kena mengenanya dengan kehidupan kita. Hanya rasa yang sedang dimanjakan sesaat. Buktinya? Ya, baru saja dicuekin, tidak ditanggapi atau ditegur, baru saja kelupaan tidak diucapkan terima kasih atau kelewat tidak disebut dalam doa ketika berulang tahun sudah baper dan tersinggung. Belum juga dihina, belum juga ditolak, belum juga menderita dan teraniaya, kita sudah mutung dan memilih hengkang dalam pelayanan dan keanggotaan jemaat. Ya, itulah sebabnya saya suka merinding menyanyikan lagu ini. Ngeri, hanya bisa mengucap, hanya bisa bernyanyi, nyatanya tidak bisa melakoni dengan sepenuh hati!

 

Sampai kapan kita bisa konsisten dengan apa yang diucapkan, dinyanyikan dengan kenyataan yang sebenarnya? Ya, jelas sampai ada kemauan mewujudkannya secara nyata. Tidak mudah, iya betul. Sangat-sangat tidak mudah! Namun, bukan berarti mustahil untuk melakukannya. Masalahnya klasik, bukan bisa atau tidak, melainkan mau atau tidak. Sebab, kita percaya bahwa Tuhan pasti telah memberikan kepada kita dalam segala keterbatasan kita kapasitas untuk melakukan firman-Nya dengan baik. Ia telah memberikan teladan melalui Kristus. Kristus ketika pewartaan kabar baik, pelayanan, kasih karunia, dan mukjizat-mukjizat-Nya ditolak, Ia tetap melayani dengan sepenuh. Tidak hanya itu, Ia telah memberikan semuanya namun semuanya ditolak dan akhirnya Ia disalibkan. Namun, di atas kayu salib itu tetap terpancar kasih dan pengampunan-Nya.

 

Pada tahap awal pelayanan-Nya, Yesus dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus. Tentu saja ia ingin saudara dan teman sekampung-Nya, Nazaret mendapatkan dan sekaligus mengalami kabar gembira itu. Ia telah menyatakan diri sebagai orang yang ditentukan membawa tahun rahmat Tuhan telah datang! Melalui Dia kasih Allah sepenuh-penuhnya terjadi bagi umat manusia. Sayang, teman dan kerabat sekampung itu meski pada awalnya takjub, namun pada akhirnya menolak!

 

Penolakan itu bukan pada isi ajaran atau pewartaan Yesus, melainkan pada asal-usul-Nya. Mereka menolak lantaran tahu bahwa Yesus anak seorang tukang kayu. Yusuf! 

 

Menghadapi penolakan itu, Yesus mengutip pepatah tentang tabib, yang memang populer dengan berbagai versi pada zaman itu. Tabib dapat mengatasi dan menyembuhkan penyakit orang lain, tetapi tidak dapat berbuat serupa untuk dirinya sendiri. Jadi, inilah kekurangan dari seorang tabib. Dengan mengutip pepatah tabib, Yesus mau menanggapi penolakan yang dilontarkan terhadap diri-Nya, “Anda dapat menyatakan diri sebagai orang yang diurapi Allah dan dibimbing oleh Roh-Nya. Anda memandang diri Anda sebagai Mesias. Bila Anda bertahan terhadap klaim Anda itu, maka sekarang harap buktikan di hadapan kami, supaya kami dapat percaya dan memberi kesaksian tentang Anda. Lakukanlah keajaiban seperti yang di Kapernaum itu. Kalau Anda tidak mampu melakukannya, maka Anda tidak berbeda dengan tabib yang tidak dapat membuktikan keampuhan ilmunya dengan menyembuhkan dirinya sendiri!” Jadi, Yesus memahami penolakan terhadap dirinya itu dengan tuntutan pembuktian mukjizat dari orang-orang yang menolak-Nya.

 

Jelas, sejak awal Yesus tidak tergoda untuk pembuktian semacam itu. Bukankah hal serupa telah Iblis lakukan untuk mencobai diri-Nya. Dasar Yesus melakukan mukjizat bukanlah tuntutan dan perintah orang lain. Ibu-Nya sendiri dalam krisis anggur pernikahan di Kana, tidak dapat mengatur-Nya melakukan mukjizat. Mukjizat sepenuhnya adalah hak prerogatif Tuhan yang dikaitkan dengan belarasa terhadap orang yang menderita. Jadi, bukan memenuhi tuntutan!

 

Hal serupa dengan cerita tabib adalah pepatah kuno , “tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Lukas 4:24). Kata dihargai atau diperkenan ini berhubungan dengan tahun perkenanan Tuhan dalam ayat 19. Tuhan tidak mungkin berkenan kepada orang-orang Nazaret yang menolak Yesus yang baru saja memaklumkan zaman rahmat baru bagi mereka. Dengan mengungkapkan pepatah kuno ini, Yesus menempatkan diri pada posisi nabi. Mengapa Ia tidak mau memenuhi tuntutan orang-orang Nazaret? Jelas, sama seperti para nabi sebelumnya, ia pun telah ditolak! Kemudian sekilas Yesus menyebut Elia dan Elisa. Mereka mengalami hal serupa dan akhirnya orang-orang bukan umat pilihan itulah yang mendapatkan kasih karunia Allah: Janda di Sarfat dan Naaman, panglima pasukan Ben-Hadad raja Damsyik!

 

Orang-orang Nazaret semakin emosional. Argumen-argumen yang disampaikan Yesus, meskipun benar, mereka menganggapnya sebagai serangan terhadap mereka. Mereka memaknai ucapan-ucapan Yesus itu merupakan kecaman, itulah sebabnya mereka menggiring Yesus ke tepi tebing gunung untuk menghempaskan-Nya. Bangsa Yahudi mempraktikkan ini terhadap orang yang mau dirajam. Mereka mendorong ke tempat yang lebih rendah dan kemudian merajamnya dengan batu. Mengerikan!

Namun, Yesus menyikapinya dengan tenang. Ia lewat dari tengah-tengah mereka begitu saja. Tak satu pun di antara mereka yang bisa menyentuh-Nya. Apa yang terjadi sebenarnya dengan adegan ini? Apakah mata mereka dibutakan sehingga tidak dapat lagi mengenali Yesus? Atau Yesus menampakkan kuasa mandra guna sehingga walau mereka bisa melihat tetapi tidak dapat menyentuh-Nya? Lukas enggan menceritakan detail kisah ini. Namun yang ingin disampaikan Lukas adalah bahwa perlawanan terhadap pelayanan dan pewartaan Yesus sudah terjadi sedari awal Ia tampil di hadapan umum. Maka, janganlah heran kalau sampai saat ini pun perlawanan terhadap para pengikut Yesus akan selalu ada. Jangan heran kalau Anda dan saya semakin dekat dengan Kristus dan terpanggil mewartakan dan meneruskan kasih dan pelayanan-Nya, Anda dan saya akan menemui masalah: penolakan!

 

Sedari awal Yesus ditolak. Namun, kisah ini belum waktunya para penentang Yesus itu memenangkan pertarungan. Yesus yang tidak dapat disentuh oleh mereka yang ingin melenyapkan-Nya pada saat itu dapat dimaknai bahwa dalam bahaya apa pun, Yesus tetap meneruskan karya-Nya. Yesus tidak tergoda untuk membalasnya dengan mendatangkan kuasa-Nya menghalau dan menghukum mereka. Yesus tidak berambisi juga untuk terus mendemonstrasikan mukjizat-Nya agar diakui dan disembah orang-orang Nazaret itu. Namun, Dia terus menapaki jalan penolakan itu dengan tetap mengasihi dan memberkati mereka. Ia tidak lelah mencintai! Ia seperti syair lagu karya Arnoldus Isaak Apituley.

 

Sekarang, saya mau mengajak kita menyanyikan PKJ 185 itu dengan penghayatan baru. Penghayatan seperti Yesus menghayati panggilan Bapa-Nya!

 

 

Jakarta, 27 Januari 2022