Kamis, 27 Januari 2022

MENGHADAPI PENOLAKAN DENGAN KASIH

"Tuhan mengutus kita ke dalam dunia

bawa pelita kepada yang gelap

meski dihina serta dilanda duka

harus melayani dengan sepenuh

 

Reff:

Dengan senang, dengan senang

marilah kita melayani umat-Nya

dengan senang, dengan senang

berarti kita memuliakan nama-Nya."

(PKJ 185:1)

 

Nyanyian PKJ 185 ini sempat Hitngetop. Betapa tidak, syair karya Arnoldus Isaak Apituley begitu mantap menjiwai teladan Kristus. Apalagi jika diiringi dengan musik riang gembira. Tanpa terasa tubuh ikut bergoyang. Jujur, saya pun kepingin goyang kalau mendengar nyanyian ini dilantunkan dengan bit yang gembira. Namun, ketika saya mencoba menelisik dalam, koq bulu kuduk jadi merinding. Ya, tentu saja pujian ini bukan horror. Tetapi nurani integritas diri yang terusik. Benarkah Tuhan mengutus kita? Benarkah kita ini adalah terang yang disiapkan untuk menerangi kegelapan dunia? Nah, ini yang paling menohok: Benarkah ketika dihina dan dilanda duka akan tetap melayani dengan sepenuh hati? Benarkah hati kita sungguh-sungguh senang dalam kondisi dihina dan ditolak? Benarkah dalam keadaan sedemikian itu kita masih memuliakan nama Tuhan?

 

Ah, jangan-jangan lagu ini hanya hiburan saja, seperti lagu-lagu lainya. Seperti lagu di pub dan karaoke yang tidak ada kena mengenanya dengan kehidupan kita. Hanya rasa yang sedang dimanjakan sesaat. Buktinya? Ya, baru saja dicuekin, tidak ditanggapi atau ditegur, baru saja kelupaan tidak diucapkan terima kasih atau kelewat tidak disebut dalam doa ketika berulang tahun sudah baper dan tersinggung. Belum juga dihina, belum juga ditolak, belum juga menderita dan teraniaya, kita sudah mutung dan memilih hengkang dalam pelayanan dan keanggotaan jemaat. Ya, itulah sebabnya saya suka merinding menyanyikan lagu ini. Ngeri, hanya bisa mengucap, hanya bisa bernyanyi, nyatanya tidak bisa melakoni dengan sepenuh hati!

 

Sampai kapan kita bisa konsisten dengan apa yang diucapkan, dinyanyikan dengan kenyataan yang sebenarnya? Ya, jelas sampai ada kemauan mewujudkannya secara nyata. Tidak mudah, iya betul. Sangat-sangat tidak mudah! Namun, bukan berarti mustahil untuk melakukannya. Masalahnya klasik, bukan bisa atau tidak, melainkan mau atau tidak. Sebab, kita percaya bahwa Tuhan pasti telah memberikan kepada kita dalam segala keterbatasan kita kapasitas untuk melakukan firman-Nya dengan baik. Ia telah memberikan teladan melalui Kristus. Kristus ketika pewartaan kabar baik, pelayanan, kasih karunia, dan mukjizat-mukjizat-Nya ditolak, Ia tetap melayani dengan sepenuh. Tidak hanya itu, Ia telah memberikan semuanya namun semuanya ditolak dan akhirnya Ia disalibkan. Namun, di atas kayu salib itu tetap terpancar kasih dan pengampunan-Nya.

 

Pada tahap awal pelayanan-Nya, Yesus dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus. Tentu saja ia ingin saudara dan teman sekampung-Nya, Nazaret mendapatkan dan sekaligus mengalami kabar gembira itu. Ia telah menyatakan diri sebagai orang yang ditentukan membawa tahun rahmat Tuhan telah datang! Melalui Dia kasih Allah sepenuh-penuhnya terjadi bagi umat manusia. Sayang, teman dan kerabat sekampung itu meski pada awalnya takjub, namun pada akhirnya menolak!

 

Penolakan itu bukan pada isi ajaran atau pewartaan Yesus, melainkan pada asal-usul-Nya. Mereka menolak lantaran tahu bahwa Yesus anak seorang tukang kayu. Yusuf! 

 

Menghadapi penolakan itu, Yesus mengutip pepatah tentang tabib, yang memang populer dengan berbagai versi pada zaman itu. Tabib dapat mengatasi dan menyembuhkan penyakit orang lain, tetapi tidak dapat berbuat serupa untuk dirinya sendiri. Jadi, inilah kekurangan dari seorang tabib. Dengan mengutip pepatah tabib, Yesus mau menanggapi penolakan yang dilontarkan terhadap diri-Nya, “Anda dapat menyatakan diri sebagai orang yang diurapi Allah dan dibimbing oleh Roh-Nya. Anda memandang diri Anda sebagai Mesias. Bila Anda bertahan terhadap klaim Anda itu, maka sekarang harap buktikan di hadapan kami, supaya kami dapat percaya dan memberi kesaksian tentang Anda. Lakukanlah keajaiban seperti yang di Kapernaum itu. Kalau Anda tidak mampu melakukannya, maka Anda tidak berbeda dengan tabib yang tidak dapat membuktikan keampuhan ilmunya dengan menyembuhkan dirinya sendiri!” Jadi, Yesus memahami penolakan terhadap dirinya itu dengan tuntutan pembuktian mukjizat dari orang-orang yang menolak-Nya.

 

Jelas, sejak awal Yesus tidak tergoda untuk pembuktian semacam itu. Bukankah hal serupa telah Iblis lakukan untuk mencobai diri-Nya. Dasar Yesus melakukan mukjizat bukanlah tuntutan dan perintah orang lain. Ibu-Nya sendiri dalam krisis anggur pernikahan di Kana, tidak dapat mengatur-Nya melakukan mukjizat. Mukjizat sepenuhnya adalah hak prerogatif Tuhan yang dikaitkan dengan belarasa terhadap orang yang menderita. Jadi, bukan memenuhi tuntutan!

 

Hal serupa dengan cerita tabib adalah pepatah kuno , “tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Lukas 4:24). Kata dihargai atau diperkenan ini berhubungan dengan tahun perkenanan Tuhan dalam ayat 19. Tuhan tidak mungkin berkenan kepada orang-orang Nazaret yang menolak Yesus yang baru saja memaklumkan zaman rahmat baru bagi mereka. Dengan mengungkapkan pepatah kuno ini, Yesus menempatkan diri pada posisi nabi. Mengapa Ia tidak mau memenuhi tuntutan orang-orang Nazaret? Jelas, sama seperti para nabi sebelumnya, ia pun telah ditolak! Kemudian sekilas Yesus menyebut Elia dan Elisa. Mereka mengalami hal serupa dan akhirnya orang-orang bukan umat pilihan itulah yang mendapatkan kasih karunia Allah: Janda di Sarfat dan Naaman, panglima pasukan Ben-Hadad raja Damsyik!

 

Orang-orang Nazaret semakin emosional. Argumen-argumen yang disampaikan Yesus, meskipun benar, mereka menganggapnya sebagai serangan terhadap mereka. Mereka memaknai ucapan-ucapan Yesus itu merupakan kecaman, itulah sebabnya mereka menggiring Yesus ke tepi tebing gunung untuk menghempaskan-Nya. Bangsa Yahudi mempraktikkan ini terhadap orang yang mau dirajam. Mereka mendorong ke tempat yang lebih rendah dan kemudian merajamnya dengan batu. Mengerikan!

Namun, Yesus menyikapinya dengan tenang. Ia lewat dari tengah-tengah mereka begitu saja. Tak satu pun di antara mereka yang bisa menyentuh-Nya. Apa yang terjadi sebenarnya dengan adegan ini? Apakah mata mereka dibutakan sehingga tidak dapat lagi mengenali Yesus? Atau Yesus menampakkan kuasa mandra guna sehingga walau mereka bisa melihat tetapi tidak dapat menyentuh-Nya? Lukas enggan menceritakan detail kisah ini. Namun yang ingin disampaikan Lukas adalah bahwa perlawanan terhadap pelayanan dan pewartaan Yesus sudah terjadi sedari awal Ia tampil di hadapan umum. Maka, janganlah heran kalau sampai saat ini pun perlawanan terhadap para pengikut Yesus akan selalu ada. Jangan heran kalau Anda dan saya semakin dekat dengan Kristus dan terpanggil mewartakan dan meneruskan kasih dan pelayanan-Nya, Anda dan saya akan menemui masalah: penolakan!

 

Sedari awal Yesus ditolak. Namun, kisah ini belum waktunya para penentang Yesus itu memenangkan pertarungan. Yesus yang tidak dapat disentuh oleh mereka yang ingin melenyapkan-Nya pada saat itu dapat dimaknai bahwa dalam bahaya apa pun, Yesus tetap meneruskan karya-Nya. Yesus tidak tergoda untuk membalasnya dengan mendatangkan kuasa-Nya menghalau dan menghukum mereka. Yesus tidak berambisi juga untuk terus mendemonstrasikan mukjizat-Nya agar diakui dan disembah orang-orang Nazaret itu. Namun, Dia terus menapaki jalan penolakan itu dengan tetap mengasihi dan memberkati mereka. Ia tidak lelah mencintai! Ia seperti syair lagu karya Arnoldus Isaak Apituley.

 

Sekarang, saya mau mengajak kita menyanyikan PKJ 185 itu dengan penghayatan baru. Penghayatan seperti Yesus menghayati panggilan Bapa-Nya!

 

 

Jakarta, 27 Januari 2022

 

 

Kamis, 20 Januari 2022

MEWARTAKAN TAHUN RAHMAT TUHAN

Sebuah perasaan yaris serupa terjadi di banyak gereja ketika pertama kalinya dibuka secara terbatas untuk umat dapat beribadah. Gembira dan haru bercampur aduk. Hasilnya, bulir bening sulit dibendung keluar dari sepasang mata! Ya, betapa tidak kerinduan terpendam dan membuncah kini terobati meski terbatas! Tidak sedikit yang bersujud di ruang ibadah sambil berseru, “Puji Tuhan, akhirnya kami dapat beribadah kembali!”

 

Barangkali rasa itu juga yang terjadi ketika Ezra, sang imam dan Nehemia, sang gubernur berdiri di halaman depan gerbang Air yang dikelilingi umat TUHAN. Mereka menatap kotanya yang tinggal puing, tembok Yerusalem yang hancur dan entah Bait Allah seperti apa rupanya. Kerinduan yang membuncah itu kini pecah! Bak orang yang kehausan di padang gurun, mereka mendesak sang imam itu segera membacakan KitabSuci. Mereka rindu mendengar Kitab Suci dibacakan di tanah perjanjian, bukan dengan sembunyi-sembunyi di negeri pengasingan.

 

Pada hari pertama bulan ketujuh itu, Ezra berdiri di atas mimbar kayu yang dibuat dadakan membacakan Taurat TUHAN di hadapan umat. Bagai tanah kering kerontang disiram air. Pintu gerbang Air itu menjadi saksi bisu umat dipuaskan dengan air kehidupan; Firman Allah! Bagai rusa yang dahaga menemukan telaga, demikianlah mereka menikmati Firman TUHAN yang dibacakan sang imam. Kekuatan firman itu mampu menopang mereka dari pagi hingga tengah hari. Mereka memuji dan bersujud. Mereka menangis dan mengaminkan firman itu. Betapa tidak, mereka bukan saja mendengar pewartaan tahun rahmat TUHAN telah tiba, tetapi juga mengalami kedahsyatan Allah yang menuntun mereka kembali pulan. Ya, meski ini merupakan awal, namun setidaknya kuasa dan pengampunan-Nya mulai nyata.

 

Hal serupa terjadi beratus tahun kemudian ketika Yesus membacakan firman itu di sinagoge. Ia memaklumkan bahwa tahun rahmat TUHAN telah tiba, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi AKu, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.” (Lukas 4:18-19). Yesus menjelaskan dengan singkat apa yang dibaca-Nya dari kitab Yesaya itu, “Pada hari ini, genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”

 

“Hari ini” (sēmeron) “genaplah”, artinya terpenuhi. Kata ini ada dalam bentuk perfek. Hal ini bermakna bahwa kedua informasi ini menyatakan sebuah pemenuhan janji Allah itu sudah terjadi dan sedang terus berlangsung. Penggenapan ini telah terjadi, sedang dan akan terus berlangsung dalam pribadi Yesus. Kehadiran-Nya adalah saat istimewa di mana Allah memenuhi janji-janji-Nya. Hal ini Yesus nyatakan sendiri dalam periode awal pelayanan-Nya di depan publik setelah peristiwa pembaptisan-Nya. Itu berarti selama Ia hidup tahun rahmat Tuhan itu secara kasat mata akan terjadi di dalam diri-Nya.

 

Semua orang yang mendengar pernyataan-Nya itu membenarkan Dia. Mereka takjub akan kata-kata indah penuh kuasa itu. Ini setidaknya mengindikasikan bahwa Yesus sudah banyak menjelaskan kepada mereka banyak hal tentang karya-Nya sebagai pembawa kabar baik. Apa yang tertulis dalam Injil Lukas yang kita baca ini merupakan ringkasan dari apa yang diajarkan Yesus. Lukas rupanya tidak menaruh perhatian pada detail apa yang menjadi ajaran Yesus. Yang lebih ingin ditampilkan adalah efek atau reaksi orang-orang yang mendengar-Nya.

 

Mestinya, sama seperti umat Allah pada zaman Ezra - Nehemia yang menantikan tahun rahmat Tuhan itu, mereka antusias, menyambut dan kemudian bersama-sama membangun kembali tembok Yerusalem. Namun, para pendengar Yesus yang semula mendengarkan dan membenarkan ajaran-Nya itu, kini berbalik menolak. Mereka menolak bukan karena kata-kata dan ajaran Yesus yang penuh rahmat. Ya, mereka menolak karena tahu asal-usul Yesus: anak Yusuf!

 

Penolakan mereka mendorong Yesus berbicara dengan metaphor tabib dan seorang nabi yang ditolak di tempat asalnya serta kisah tentang Elia dan Elisa yang justru diutus oleh Allah kepada orang-orang di luar Israel. Pernyataan tentang nabi yang tidak dihargai di kotanya, di tempat asalnya rupanya menjadi gambaran umum pada zaman itu. Suara kenabian justru memunculkan penolakan dari orang-orang dekat dalam lingkungan sang nabi. Yeremia berkali-kali mengeluh karena justru menjadi tanda perbantahan dan musuh bagi keluarga dan bangsanya sendiri (Yeremia 15:10).  

 

Dua kisah kelam dalam kehidupan Israel diangkat Yesus menjadi contoh konkrit penolakan itu. Elia diutus Allah kepada janda di Sarfat yang bukan orang Israel. Janda inilah yang kemudian mendapat rahmat Allah ketika bencana kelaparan menimpa seluruh negeri. Naaman, orang Siria jelas bukan orang Yahudi, dialah yang disembuhkan Elisa sementara banyak orang Israel yang juga terkena penyakit kusta.

 

Semua yang dikatakan Yesus ini membuat orang-orang Nazaret merasa bahwa merekalah yang dimaksudkan Yesus. Merekalah yang menolak dan tidak akan menerima rahmat Tuhan itu. Maka mereka menghalau Yesus ke luar kota. Mereka membawa-Nya ke tepi gunung untuk melemparkan Dia. Sadis! Lalu apa yang terjadi dengan Yesus? Yesus berjalan begitu saja di tengah-tengah mereka lalu pergi. Mereka tidak dapat menyentuh-Nya! Inilah awal karya pelayanan Yesus di depan publik. Ia mewartakan kabar baik. Ia menyerukan tahun rahmat Tuhan sudah tiba. Ia menawarkan program pelayanan-Nya. Ia dikagumi banyak orang, tetapi kemudian Ia juga ditolak oleh orang-orang sekota-Nya. Namun, semuanya ini tidak dapat menghentikan dan melumpuhkan Yesus. Ia tetap teguh, terus berkarya. Hanya saja, Ia kini harus pergi dari kota kelahiran-Nya dan menyampaikan mewartakan kabar gembira itu kepada mereka yang terbuka hatinya untuk menyambut dan menerima-Nya.

 

Berhadapan dengan kabar sukacita ini, hanya ada dua pilihan: menerima atau menolak. Bisa jadi pada awalnya kita adalah bagian orang-orang yang kagum, terpesona dan menyambut karya Kristus itu. Bisa jadi juga kemudian kita berubah. Kalau dulu orang berubah kemudian menolak dan ingin mencampakkan Yesus hanya ketika mereka tahu asal-usul Yesus, anak Yusuf! Kita juga bisa menjadi orang semacam itu ketika tahu bahwa Yesus tidak selalu mengiyakan apa saja yang menjadi keinginan kita. Kita bisa menolak-Nya ketika tahu bahwa mengikut Yesus itu tidak selalu menyenangkan. 

 

Sebaliknya, ketika kita menyambut-Nya kita akan mengerti bahkan mengalami rahmat Tuhan itu begitu nyata dalam kehidupan kita. Hal ini seperti janda di Sarfat yang menyambut Elia atau Naaman yang akhirnya bersedia menuruti apa yang dikatakan Elisa, lalu penduduk Kapernaum, seperti perempuan Samaria, orang kusta, orang lumpuh, buta, bisu, tuli, perempuan yang berzinah, Zakheus dan masih banyak lagi yang lain. Bagi mereka, jelas Yesus bukan hanya sekedar mewartakan berita sukacita namun sekaligus wujud nyata dari sukacita itu sendiri!

 

Lalu apa yang dilakukan bagi orang-orang yang telah menerima dan mengalami rahmat Tuhan itu? Adakah mereka berdiam diri lalu menikmati rahmat itu sendiriAlkitab banyak menceritakan bahwa orang-orang yang telah menerima rahmat-Nya, mereka tidak tinggal diam. Mereka membagikan rahmat itu dengan berkarya dan menyaksikannya kepada orang lain. Mestinya kita yang telah menerima rahmat-Nya juga berbuat demikian. Apa pun bentuk rahmat Tuhan itu mestinya tidak untuk kenikmatan apalagi kebanggaan diri sendiri, melainkan digunakan juga untuk kepentingan orang lain. Membangun dan mempedulikan orang lain, agar mereka juga bukan saja mendengar warta rahmat Tuhan, melainkan merasakan dan mengalami rahmat itu!

 

 

Jakarta, 20 Januari 2022