Jumat, 23 April 2021

DIPERSATUKAN DALAM SANG POKOK ANGGUR

Dalam karyanya, Il Principe (Sang Penguasa) Nicolo Machiavelli mengajukan pertanya penting, “Apakah lebih baik dicintai atau ditakuti?” Setiap orang tentunya ingin kedua-duanya: dicintai sekaligus ditakuti. Namun jika tidak boleh keduanya, jauh lebih baik mana di cintai atau ditakuti? Machiavelli menjawab, “Alangkah lebih baik ditakuti ketimbang dicintai. Mengapa demikian? Machiavelli berpendapat bahwa  manusia itu mudah berubah sikap, plin-plan, penipu, pembohong, penakut dan rakus. Ia juga tidak percaya kepada kekuatan cinta, katanya: “Cinta itu ikatan yang mudah putus, maklum manusia itu lemah, yang akan memutuskan ikatan cinta kalau menguntungkan dirinya, tetapi rasa takut yang diperkuat dengan hukuman selalu efektif.

 

Machiavelli yakin rasa takut itu paralel dengan tidak adanya rasa benci. Kebencian bisa membunuh rasa takut dan melahirkan pemberontakan. Pernyataan Machiavelli ini didasarkan pada observasinya bahwa, “raja-raja yang melakukan hal-hal besar adalah mereka yang tahu bagaimana memberdaya orang lain dengan lihai, dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.” Machiavelli lupa, ada banyak penguasa yang jujur dan sukses.

 

Berbeda dengan Machiavelli, yang memilih ditakuti ketimbang dicintai, Yesus justru menghidupi cinta. Tepatnya cinta yang sesungguhnya. Benar, manusia itu makhluk lemah yang mudah berubah, plin-plan, tidak jujur, mudah ingkar janji ketika menemukan hal yang lebih menarik, mudah berkhianat dan menyangkal. Namun, Yesus dapat membuktikan cinta di atas segalanya. Cinta itu justru memulihkan, meneguhkan, memberdayakan dan membuat orang bebas mencintai. Yesus tidak hanya mengajarkan cinta kasih itu. Ia menghidupinya. Karena cinta-Nya, Ia memulihkan Petrus yang tiga kali menyangkal-Nya, karena cinta di hadapan-Nya tidak ada orang yang merasa dihakimi dan dipersalahkan. Alih-alih memohon ampun untuk mereka yang menganiaya-Nya.

 

Cinta yang mengalir dalam diri Yesus itu berasal dari sumber segala cinta, yakni Bapa-Nya sendiri. Dari cinta kepada Bapa-Nya lahirlah ketaatan. Taat bukan karena takut seperti bayangan Machiavelli, yang melakukan segala sesuatu karena bayang-bayang takut dan hukuman. Orang yang takut juga akan mengerjakan perintah, namun jelas tidak dilakukan dengan sukacita. Sebaliknya, cinta akan mengerjakan apa pun bahkan rela menderita namun tetap bersukacita.

 

Hubungan cinta mutual seperti inilah yang ingin Yesus teruskan kepada para murid-Nya. Yesus yang sebelumnya berbicara tentang pokok anggur. Yang menginginkan para murid untuk tetap tinggal dengan-Nya supaya berbuah, kini Ia juga meneruskan untuk tinggal di dalam-Nya. Semula Yesus mengatakan, “Tinggallah di dalam Aku”, kini perintah itu diperjelas menjadi, “Tinggallah di dalam kasih-Ku”. Kesatuan yang digambarkan dengan kesatuan pokok anggur dan ranting-rantingnya dalam Yohanes 15:1-8 kini disebut sebagai kesatuan kasih. Para murid diminta untuk tinggal dalam kasih-Nya.

 

Sama seperti Bapa telah mengasihi Yesus, Yesus pun tinggal di dalam Bapa-Nya, demikianlah kasih di dalam Yesus itu mengalir kepada para murid-Nya. Para murid diundang untuk masuk dalam arus pusaran kasih yang terbangun antara Bapa dan Anak. Di sini, sekali lagi kasih Yesus nyata. Yesus tidak egois namun Ia mengundang, melibatkan dengan sengaja para murid untuk mengalami kasih yang dialami-Nya. Mengalami kasih Bapa! Lalu, bagaimana caranya? Caranya ialah dengan tinggal di dalam kasih Yesus itu sendiri. Tinggal dalam pokok anggur yang benar!

 

Kasih akan Yesus itu dikaitkan dengan melaksanakan perintah Yesus. Perintah Yesus dalam kerangka cinta kasih ini bukanlah seperti yang dibayangkan Machiavelli. Bukan karena tekanan takut, tapi justru energi atau nutrisi cinta yang mengalir dari pokok anggur itulah yang menghasilkan buah. Sebagaimana pokok anggur menghasilkan buah, ini adalah keniscayaan atau dampak. Ya, dampak karena ranting itu dialiri nutrisi, maka ia berbuah. Begitu juga kehidupan para murid yang dialiri oleh nutrisi, energi cinta dari Kristus, maka dampaknya akan menghasilkan buah. Dalam hal ini, melaksanakan tugas atau perintah Yesus. Melaksanakan tugas atau perintah atas dasar dorongan cinta akan sangat berbeda dengan melaksanakan tugas karena takut.

 

Di dalam ketaatan untuk menyelesaikan tugas-Nya pada kehendak Allah itu, kasih Yesus kepada Allah itu menjadi amat jelas. Kasih para murid kepada Yesus juga akan menjadi nyata kalau mereka setia melakukan tugas-tugas yang dipercayakan Yesus kepada mereka. 

 

Yesus yang sebentar lagi akan kembali kepada Bapa mengatakan supaya sukacita-Nya tinggal di dalam para murid dan sukacita para murid menjadi penuh. Apa artinya? Kesatuan kasih yang terbangun antara Bapa - Anak - para murid tidak hanya membawa sukacita bagi para murid, tetapi juga bagi Yesus. Sukacita itu berangkat karena cinta kasih. Cinta kasih itu memunculkan ketaatan pada firman yang sedang dibicarakan oleh Yesus. Kasih yang mengalir dari Bapa itulah yang diterima Yesus dan sekarang dialirkan kepada para murid. Yesus yang adalah pokok anggur yang benar, mengalirkan nutrisi, energi cinta kasih Bapa. Murid-murid yang adalah ranting, tumbuh dan dipersatukan dalam pokok anggur yang sama, yakni Yesus Kristus!

 

Para murid masuk dalam kesatuan dengan Bapa dan Anak bukan karena jasa mereka sendiri. Kesatuan mereka dengan Bapa terjadi oleh karena Pokok Anggur itu, Yesus memasukkan mereka ke dalamnya. Dengan demikian, inisiatif datang dari Yesus sendiri. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Kalau tidak dipanggil oleh Yesus, para murid tidak akan datang kepada Yesus, dan tidak terhubung pula dengan kasih Bapa. Mereka dipanggil Yesus untuk pergi dan menghasilkan buah. Buah inilah yang akan menjadi tanda bahwa mereka adalah murid-murid Yesus. Kesatuan dengan Yesus, bukanlah kesatuan yang statis, melainkan kesatuan yang dinamis yang membuat para murid bukan seperti robot, melainkan dengan kreativitasnya mereka bergiat melakukan apa yang difirmankan Yesus.

 

Kasih Yesus yang dinamis dan besar itu menjadi contoh atau roll model kasih yang harus tumbuh di antara para murid. Kasih Yesus yang menyerahkan nyawa-Nya itu adalah dasar bagi kasih mereka satu terhadap yang lain. Hanya karena mereka hidup dalam kasih Yesuslah mereka dapat melakukan apa yang tampaknya oleh dunia dinilai mustahil: mengasihi tanpa syarat dan setulus-tulusnya, bahkan rela kehilangan nyawa!

 

Kita yang terhubung oleh pemberitaan para murid dan kemudian menjadi percaya kepada-Nya, adalah juga ranting-ranting-Nya. Kita semua dari pelbagai bangsa, suku bangsa, ras dan beragam suku bangsa telah dipersatukan dalam Sang Pokok Anggur, oleh karenanya seharusnya kita merasakan aliran-aliran cinta kasih Allah itu, yang kemudian berbuah pada waktunya.

 

 

Jakarta, Minggu Paskah VI 2021

Jumat, 16 April 2021

BERTUMBUH DALAM KRISTUS, BERBUAH DALAM KARYA

Belakangan ini, tepatnya sejak pandemi Covid-19 terjadi, saya lebih intens menekuni hobi berkebun karena banyak jadwal pelayanan dan pertemuan yang ditunda atau dibatalkan. Jadilah WFH work from home. Ada banyak waktu luang di rumah. Untuk menambah wawasan menanam, selain membaca buku dan artikel, saya juga melihat dan mempelajari pengalaman orang lain melalui media-media online dalam menanam dan merawat tanaman sehingga berhasil memetik hasil panennya. Menyenangkan!

 

Tidak ketinggalan sesekali saya bergabung dengan beberapa komunitas “pengangguran” online. Komunitas pengangguran, bukan berarti isinya orang-orang yang tidak punya kerjaan, jadinya nganggur. Bukan. “Pengangguran” dari kata “anggur”, jadi komunitas “pengangguran” adalah orang-orang yang mencintai tanaman anggur. Mereka menanam, membudidayakan, merawat, menikmati proses pertumbuhan dan kemudian tentu saja menikmati hasilnya, yakni memetik buah anggur!

 

Semula saya tidak yakin, anggur bisa ditanam di sini (Jakarta), ternyata setelah menggali dari pelbagai sumber, menanam anggur dapat dibudidayakan di sini. Ada pelbagai varietas dapat tumbuh dengan subur, berbuah lebat dan manis, layaknya seperti yang dijual di super market buah. Namun, untuk pohon anggur bisa menghasilkan buah seperti yang kita inginkan, tentu saja harus melewati pelbagai proses perawatan. Perawatan itu bertambah ketika kita menanam di luar habitat aslinya.

 

Tidak seperti tanaman anggur di Indonesia yang pada umumnya dipakai sebagai tanaman hias atau pemanis halaman rumah atau teras. Di Timur Tengah, Palestina, Israel dan sekitarnya, anggur merupakan tanaman produktif yang dibudidayakan dalam skala industry. Jadi, bicara anggur adalah bicara industri dan investasi yang melibatkan banyak orang. Anggur menjadi tanaman yang sangat umum dijumpai di Kawasan Timur Tengah, maka tidaklah mengherankan jika Yesus menggunakan perumpamaan pohon anggur untuk memudahkan pendengar-Nya mengerti apa yang diajarkan-Nya.

 

Dalam Perjanjian Lama, kebun anggur atau poko anggur sering dipakai untuk kiasan Israel yang sangat diperhatikan oleh Allah tetapi tidak menghasilkan buah yang diharapkan. Ini kita bisa membacanya dalam Hosea 10:1; Yeremia 6:9; Yehezkiel 15; 17:5-19; 19:10-14,dll). Kiasan pohon anggur juga dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan diri-Nya dengan ditambah “yang benar”. Dengan begitu, Yesus bersama dengan murid-murid-Nya (yang disebut ranting-rantingnya) ditampilkan sebagai Israel yang benar yang menanggapi dengan positif segala usaha Allah (pemilik kebun anggur) dengan menghasilkan buah.

 

Pengusaha kebun anggur, tentu saja memerintahkan para pegawainya untuk memotong cabang dan ranting yang kebanyakan atau yang mati. Mengapa demikian, ini berguna agar nutrisi yang diserap akar dapat terkonsentrasi dengan baik ke cabang atau ranting yang kuat dan sehat. Saya mempraktikan teori ini. Dalam komunitas “pengangguran” pasti sering dibicarakan bagaimana pohon anggur itu dibentuk. Mula-mula si pengangguran itu akan membiarkan pokok anggur tumbuh (pokok anggur sering disebut batang primer, atau utama) dari pokok itu akan keluar banyak tunas-tunas air. Di sini kita menentukan dari cabang yang banyak itu, hanya diambil 2 atau tiga cabang yang nantinya disebut cabang sekunder. Cabang sekunder dipelihara sampai sebesar jari kelingkin. Dari masing-masing cabang sekunder, kita akan memlih 3, atau 4 cabang lagi, yang kemudian dinamakan cabang tersier. Dari cabang-cabang inilah nantinya kita mengharapkan keluar bunga yang akan menjadi anggur.

 

Dalam proses pembentukan cabang sekunder dan tersier ini, hampir setiap hari kita harus memangkas tunas-tunas air, yakni tunas yang tumbuh di ketiak daun agar pertumbuhan cabang dan ranting yang kita fokuskan untuk mengeluarkan buah dapat tumbuh maksimal karena nutrisi tidak kebuang percuma. Pembersihan ranting dan pembuangan daun-daun tentu bisa jadi penderitaan dan menyakitkan bagi si pohon anggur (saya sering kali tidak tega untuk membuang pucuk dan memangkas daun yang kebanyakan). 

 

Kegiatan ini dalam perumpamaan yang digunakan oleh Tuhan Yesus merupakan kegiatan pemeliharaan Bapa. Di titik ini, kita harus menyadari bahwa pemeliharaan Sang Bapa kadang tidak menyenangkan buat kita. Ia memotong bahkan apa yang sedang kita sukai. Ia menghilangkan kesenangan kita atau bisa jadi orang-orang yang kepadanya kita bergantung. Pada saat itu terjadi, menyakitkan! Namun, andaikan saja kita tahu tujuannya, yakni menghasilkan buah yang berkualitas, tentu kita akan mensyukurinya!

 

Dalam kelanjutannya, fokus pembicaraan bergeser. Dari pemeliharaan yang berupa pemangkasan fokusnya sekarang ke hubungan antara pokok anggur dan ranting-rantingnya (Yohanes 15:4-6). Ini hubungan timbal balik dan vital antara Yesus dan murid-murid-Nya. Karena Yesus tahu dan sudah memberitahukannya juga kepada murid-murid-Nya, bahwa ada murid yang akan menyerahkan dan menyangkal-Nya, maka ajakan untuk tinggal dalam diri-Nya tidaklah berlebihan. Sama seperti ranting yang terlepas dari pokok anggur, tidak dapat berbuah bahkan mati, demikian juga murid-murid tidak dapat berbuah dari diri mereka sendiri. Mereka akan berbuah banyak hanya ketika tinggal bersama dengan Yesus. Hal berbuah bukanlah prestasi sendiri. Tanpa Yesus, mereka tidak menghasilkan apa-apa (Yohanes 15:5).

 

Apa arti “tinggal dalam Yesus”? Kita mengingat kembali dalam Injil Yohanes ketika Yesus memnggil dua murid yang pertama. Calon murid itu bertanya kepada Yesus, “Di mana Engkau tinggal?” Selanjutnya mereka pergi untuk tinggal bersama dengan Yesus. Tinggal atau berada bersama dengan Yesus berarti membuat rumah kita dalam Dia dan membiarkan Yesus membuat rumah-Nya dalam diri kita. Kita merasa kerasan tinggal bersama-sama dengan-Nya. Kita bersama dengan Dia dan tinggal di dalam Dia. Dengan demikian, melakukan perintah Yesus tidak sama seperti tunduk dalam arti militer, melainkan lebih berarti mengikuti kehendak Dia yang kita cintai; menyenangkan hati-Nya, mengerti apa yang Ia kehendaki dari kita. Kita bersama-sama mempunyai satu hati, satu budi, satu roh. Tinggal bersama dengan Yesus ini dapat dialami sebagai persahabatan yang sederhana, tetapi juga dapat dipahami sebagai kasih yang membakar. Dari tinggal bersama seperti inilah, ibarat ranting yang dialiri nutrisi akan menghasilkan buah, yakni karya nyata dari apa yang Yesus kehendaki!

 

Orang Kristen dikatakan ia tinggal di dalam Yesus, bila membiarkan firman-Nya tinggal dalam dirinya, memenuhi budi dan hatinya, dan meresapi tingkah lakunya. Buahnya akan banyak! Bila firman Tuhan tinggal dalam kita, dan kita tinggal dalam Tuhan, hidup kita terus bertumbuh, ibarat pohon anggur kita subur dan berbuah, menghasilkan buah-buah kasih bagi sesama. Hidup kita menjadi kreatif untuk kebaikan bersama. Bukan kreatif untuk memuaskan diri sendiri.

 

Jakarta, Minggu Paska VI 2021