Dalam karyanya, Il Principe (Sang Penguasa) Nicolo Machiavelli mengajukan pertanya penting, “Apakah lebih baik dicintai atau ditakuti?” Setiap orang tentunya ingin kedua-duanya: dicintai sekaligus ditakuti. Namun jika tidak boleh keduanya, jauh lebih baik mana di cintai atau ditakuti? Machiavelli menjawab, “Alangkah lebih baik ditakuti ketimbang dicintai. Mengapa demikian? Machiavelli berpendapat bahwa manusia itu mudah berubah sikap, plin-plan, penipu, pembohong, penakut dan rakus. Ia juga tidak percaya kepada kekuatan cinta, katanya: “Cinta itu ikatan yang mudah putus, maklum manusia itu lemah, yang akan memutuskan ikatan cinta kalau menguntungkan dirinya, tetapi rasa takut yang diperkuat dengan hukuman selalu efektif.
Machiavelli yakin rasa takut itu paralel dengan tidak adanya rasa benci. Kebencian bisa membunuh rasa takut dan melahirkan pemberontakan. Pernyataan Machiavelli ini didasarkan pada observasinya bahwa, “raja-raja yang melakukan hal-hal besar adalah mereka yang tahu bagaimana memberdaya orang lain dengan lihai, dan yang akhirnya menang terhadap mereka yang memegang teguh prinsip-prinsip kejujuran.” Machiavelli lupa, ada banyak penguasa yang jujur dan sukses.
Berbeda dengan Machiavelli, yang memilih ditakuti ketimbang dicintai, Yesus justru menghidupi cinta. Tepatnya cinta yang sesungguhnya. Benar, manusia itu makhluk lemah yang mudah berubah, plin-plan, tidak jujur, mudah ingkar janji ketika menemukan hal yang lebih menarik, mudah berkhianat dan menyangkal. Namun, Yesus dapat membuktikan cinta di atas segalanya. Cinta itu justru memulihkan, meneguhkan, memberdayakan dan membuat orang bebas mencintai. Yesus tidak hanya mengajarkan cinta kasih itu. Ia menghidupinya. Karena cinta-Nya, Ia memulihkan Petrus yang tiga kali menyangkal-Nya, karena cinta di hadapan-Nya tidak ada orang yang merasa dihakimi dan dipersalahkan. Alih-alih memohon ampun untuk mereka yang menganiaya-Nya.
Cinta yang mengalir dalam diri Yesus itu berasal dari sumber segala cinta, yakni Bapa-Nya sendiri. Dari cinta kepada Bapa-Nya lahirlah ketaatan. Taat bukan karena takut seperti bayangan Machiavelli, yang melakukan segala sesuatu karena bayang-bayang takut dan hukuman. Orang yang takut juga akan mengerjakan perintah, namun jelas tidak dilakukan dengan sukacita. Sebaliknya, cinta akan mengerjakan apa pun bahkan rela menderita namun tetap bersukacita.
Hubungan cinta mutual seperti inilah yang ingin Yesus teruskan kepada para murid-Nya. Yesus yang sebelumnya berbicara tentang pokok anggur. Yang menginginkan para murid untuk tetap tinggal dengan-Nya supaya berbuah, kini Ia juga meneruskan untuk tinggal di dalam-Nya. Semula Yesus mengatakan, “Tinggallah di dalam Aku”, kini perintah itu diperjelas menjadi, “Tinggallah di dalam kasih-Ku”. Kesatuan yang digambarkan dengan kesatuan pokok anggur dan ranting-rantingnya dalam Yohanes 15:1-8 kini disebut sebagai kesatuan kasih. Para murid diminta untuk tinggal dalam kasih-Nya.
Sama seperti Bapa telah mengasihi Yesus, Yesus pun tinggal di dalam Bapa-Nya, demikianlah kasih di dalam Yesus itu mengalir kepada para murid-Nya. Para murid diundang untuk masuk dalam arus pusaran kasih yang terbangun antara Bapa dan Anak. Di sini, sekali lagi kasih Yesus nyata. Yesus tidak egois namun Ia mengundang, melibatkan dengan sengaja para murid untuk mengalami kasih yang dialami-Nya. Mengalami kasih Bapa! Lalu, bagaimana caranya? Caranya ialah dengan tinggal di dalam kasih Yesus itu sendiri. Tinggal dalam pokok anggur yang benar!
Kasih akan Yesus itu dikaitkan dengan melaksanakan perintah Yesus. Perintah Yesus dalam kerangka cinta kasih ini bukanlah seperti yang dibayangkan Machiavelli. Bukan karena tekanan takut, tapi justru energi atau nutrisi cinta yang mengalir dari pokok anggur itulah yang menghasilkan buah. Sebagaimana pokok anggur menghasilkan buah, ini adalah keniscayaan atau dampak. Ya, dampak karena ranting itu dialiri nutrisi, maka ia berbuah. Begitu juga kehidupan para murid yang dialiri oleh nutrisi, energi cinta dari Kristus, maka dampaknya akan menghasilkan buah. Dalam hal ini, melaksanakan tugas atau perintah Yesus. Melaksanakan tugas atau perintah atas dasar dorongan cinta akan sangat berbeda dengan melaksanakan tugas karena takut.
Di dalam ketaatan untuk menyelesaikan tugas-Nya pada kehendak Allah itu, kasih Yesus kepada Allah itu menjadi amat jelas. Kasih para murid kepada Yesus juga akan menjadi nyata kalau mereka setia melakukan tugas-tugas yang dipercayakan Yesus kepada mereka.
Yesus yang sebentar lagi akan kembali kepada Bapa mengatakan supaya sukacita-Nya tinggal di dalam para murid dan sukacita para murid menjadi penuh. Apa artinya? Kesatuan kasih yang terbangun antara Bapa - Anak - para murid tidak hanya membawa sukacita bagi para murid, tetapi juga bagi Yesus. Sukacita itu berangkat karena cinta kasih. Cinta kasih itu memunculkan ketaatan pada firman yang sedang dibicarakan oleh Yesus. Kasih yang mengalir dari Bapa itulah yang diterima Yesus dan sekarang dialirkan kepada para murid. Yesus yang adalah pokok anggur yang benar, mengalirkan nutrisi, energi cinta kasih Bapa. Murid-murid yang adalah ranting, tumbuh dan dipersatukan dalam pokok anggur yang sama, yakni Yesus Kristus!
Para murid masuk dalam kesatuan dengan Bapa dan Anak bukan karena jasa mereka sendiri. Kesatuan mereka dengan Bapa terjadi oleh karena Pokok Anggur itu, Yesus memasukkan mereka ke dalamnya. Dengan demikian, inisiatif datang dari Yesus sendiri. “Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu.” Kalau tidak dipanggil oleh Yesus, para murid tidak akan datang kepada Yesus, dan tidak terhubung pula dengan kasih Bapa. Mereka dipanggil Yesus untuk pergi dan menghasilkan buah. Buah inilah yang akan menjadi tanda bahwa mereka adalah murid-murid Yesus. Kesatuan dengan Yesus, bukanlah kesatuan yang statis, melainkan kesatuan yang dinamis yang membuat para murid bukan seperti robot, melainkan dengan kreativitasnya mereka bergiat melakukan apa yang difirmankan Yesus.
Kasih Yesus yang dinamis dan besar itu menjadi contoh atau roll model kasih yang harus tumbuh di antara para murid. Kasih Yesus yang menyerahkan nyawa-Nya itu adalah dasar bagi kasih mereka satu terhadap yang lain. Hanya karena mereka hidup dalam kasih Yesuslah mereka dapat melakukan apa yang tampaknya oleh dunia dinilai mustahil: mengasihi tanpa syarat dan setulus-tulusnya, bahkan rela kehilangan nyawa!
Kita yang terhubung oleh pemberitaan para murid dan kemudian menjadi percaya kepada-Nya, adalah juga ranting-ranting-Nya. Kita semua dari pelbagai bangsa, suku bangsa, ras dan beragam suku bangsa telah dipersatukan dalam Sang Pokok Anggur, oleh karenanya seharusnya kita merasakan aliran-aliran cinta kasih Allah itu, yang kemudian berbuah pada waktunya.
Jakarta, Minggu Paskah VI 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar