Jumat, 16 Oktober 2020

KELUARGA YANG MEMAHAMI FIRMAN

Saya kira kita semua sependapat bahwa manusia adalah makhluk yang bertanya. Melalui pertanyaan, manusia mengenal banyak pengetahuan dan kebenaran, itulah setidaknya yang dilakukan oleh Socrates, salah seorang filsuf legendaris. Ia selalu memakai metode bertanya dan terus menelusuri jawaban lewat pertanyaan kembali sampai menemukan titik terinci dari jawaban orang yang menjawabnya. Ketika pertanyaan itu terus mengalir mana di sana akan ada upaya untuk terus mendalami, menelaah sehingga otak atau logika akan bekerja dengan maksimal secara konstruktif. Melalui metode itu pengetahuan akan lahir sangat rinci dan runut dengan sendirinya. Untuk sampai pada jawaban runut dan rinci itu Socrates menggunakan refleksi dan menyentil agar pengetahuan sang penjawab itu bisa terus diingat dan dapat dikombinasikan dengan berbagai unsur kajian yang lain. Mekanisme dialog menjadikan proses penggalian pengetahuan tidak membosankan, alih-alih membangun suasana hidup. Proses ini dalam istilah Faulo Freire disebut dengan pembelajaran andragogy, yakni: proses pembelajaran yang melibatkan subyek pembelajar secara aktif.

 

Socrates menghargai benar dialog, artinya komunikasi dua arah yang benar-benar saling menghargai satu dengan yang lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang dipergunakan adalah sebagai alat atau media untuk orang secara sadar dan berpartisipasi menemukannya. Ujungnya adalah memahami sebuah pokok kebenaran tertentu. 

 

Para pemimpin Yahudi, di antaranya orang Farisi, Ahli Taurat, orang Saduki, menggunakan metode bertanya ketika berdialog – tepatnya bukan dialog, karena mereka tidak bersedia mendengar – dengan Yesus. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bukan sama sekali berangkat dari ketidaktahuan mereka yang ingin tahu dan memahami. Bukan juga untuk mendengarkan dari sudut pandang Yesus yang sedang diajak diskusi. Melainkan pertanyaan itu dirancang untuk menguji dan menjebak Yesus. Mereka bukan menunggu jawaban yang benar dan membangun iman mereka, melainkan jawaban yang salah. Di mana dengan jawaban yang salah itu mereka dapat menghakimi dan menjatuhkan vonis. Jawaban yang salah dari Yesus akan menjadi bahan untuk mereka memprovokasi orang banyak agar dapat menyingkirkan Yesus. Sayangnya, Yesus tidak sebodoh yang mereka kira. Ia tahu niat busuk mereka itu.

 

Adalah sebuah fakta mengherankan, dalam banyak hal orang Farisi itu bertolak belakang dengan kaum Saduki, misalnya saja tentang keyakinan kebangkitan sesudah kematian. Saduki tidak percaya adanya kebangkitan orang mati, namun Farisi meyakini. Namun, kali ini setelah Yesus membungkam orang-orang Saduki tentang pokok kebangkitan orang mati – yang seharusnya dengan ini orang Farisi senang – alih-alih mendukung Yesus, orang-orang Farisi ini malah terus berusaha memojokkan Yesus. Mereka bahu-membahu sepakat membungkam Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan itu.

 

Orng Farisi itu bertanya, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?” Ini pertanyaan khas mereka. Mengapa? Mereka ahli hukum. Ya, hukum Taurat. “Makanan” sehari-hari mereka adalah Taurat. Mereka ahli dalam hal ini. Mereka hidup dalam adat-istiadat nenek moyang mereka. Yang dimaksud dengan adat-istiadat nenek moyang adalah penafsiran mereka atas Taurat, penjelasan-penjelasan terhadap beberapa ketetapan-ketetapan Taurat yang dipandang belum memberi kejelasan. Orang Farisi sangat dekat dengan hukum. Maka wajarlah kalau mereka bertanya tentang hukum mana yang paling utama dalam Taurat. Jelaslah di sini bahwa pertanyaan mereka merupakan bidang keahlian mereka, itu artinya pertanyaan yang dimaksud bukan berangkat dari keingintahuan atau berangkat dari orang yang haus untuk belajar. Bukan!

 

Yesus tahu pertanyaan ini adalah pertanyaan menguji atau menjebak. Yesus menjawab pertanyaan itu dengan merujuk dua hukum yang paling utama. Yang terutama dan yang pertama adalah mengasihi Allah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dan dengan segenap akal budi. Hukum ini adalah bagian dari yang kita kenal sebagai shema yang menjadi doa harian orang-orang Yahudi (Ulangan 6:5). Kasih kepada Allah itu meliputi keutuhan hidup manusia (hati, jiwa, akal budi). Oleh karena itu, kasih kepada Allah merupakan kasih yang total, sebagaimana Allah juga mengasihi manusia dengan total.

 

Perintah kedua, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri. Kita mengingat, dalam Injil Matius mengasihi sesama itu tidak hanya mencakup tetangga atau orang sebangsa tetapi juga musuh-musuh (Matius 5:43-45). Ukuran mengasihi itu adalah “seperti dirimu sendiri”, ini mencerminkan kaidah atau hukum emas (golden rule): “Segala sesuatu yang kamu kehendaki orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Matius 7:12). 

 

Kasih kepada sesama dikatakan Yesus “… Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu ialah,..” (Matius 22:39), itu artinya atau pada hakikatnya kasih kepada sesama tidak dapat dipisahkan dari kasih kepada Allah. Ini sejalan dengan 1 Yohanes 4:20, “Jikalau seorang berkata: ‘Aku mengasihi Allah’, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya.” Bila kasih kepada Allah tidak kita wujudnyatakan dalam tindakan cinta kepada sesama kita yang dikasihi oleh Allah, kasih kita kepada Allah menjadi tidak utuh. Dan bila kasih kita kepada sesama tidak dijiwai oleh kasih kepada Allah, cinta kasih itu sulit bertahan di tengah-tengah tantangan. 

 

Dengan jawaban ini kemudian Yesus menegaskan bahwa semua perintah dan peraturan lain tergantung pada perintah kasih yang utama, dalam arti: semua tindakan kasih itu mesti diilhami oleh kasih yang ganda ini. Ketaatan hukum tanpa kasih kepada Allah dan sesama kita adalah “gong yang berkumandang dan canang yang gemerincing”  (1 Korintus 13:1-3). 

 

Tampaknya dari jawaban Yesus itu orang-orang Farisi diam dan kini Yesus balik bertanya. Ia mengajukan pertanyaan kepada mereka tentang apa pendapat mereka mengenai Mesias. Mereka menjawab bahwa Mesias adalah anak Daud. Yesus kemudian melanjutkan pertanyaan lagi, “Jika demikian, bagaimanakah Daud oleh pimpinan Roh dapat menyebut Dia (Mesias) Tuannya..” Jika Mesias itu adalah Tuan dari Daud, bagaimana mungkin Dia itu adalah anak Daud? Untuk pertanyaan kedua ini tidak ada jawaban. Dan sejak hari itu, tidak ada seorang pun yang berani menanyakan sesuatu kepada-Nya. Namun, bukan berarti mereka menuruti apa yang dijawab dan diajarkan Yesus, melainkan mereka terus mencari cara untuk menjerat dan menghukum Yesus.

 

Hari ini kita belajar dari tokoh-tokoh yang berjumpa dan berdiskusi dengan Yesus. Mereka bertanya namun sayangnya bukan untuk memahami, melainkan untuk menguji dan menjatuhkan Yesus. Bukankah ada banyak di antara kita yang menggunakan pengetahuan, atau akal budi hanya untuk kepuasan sendiri? Kita bangga kalau orang yang berdiskusi dengan kita tidak berkutik, tidak bisa menjawab pertanyaan dari kita. Kita bangga dengan banyaknya pengetahuan yang ada pada kita, dan kemudian berhenti untuk memahami sungguh-sungguh kehendak Tuhan melalui firman-Nya. Ilustrasi perumpamaan yang dipakai Yesus banyak untuk menggambarkan orang yang bangga dengan pengetahuan hukumnya namun akhirnya tidak mendapat bagian dalam Kerajaan Surga. Nah, apakah kita akan mengulang? Saya kira kita tidak perlu mengikuti contoh yang keliru. Contohlah yang baik! Pergunakan kesempatan yang ada untuk belajar mengetahui, memahami dan kemudian melakukan firman-Nya.

 

Marilah dalam keluarga, kita ciptakan suasana kondusif dalam belajar dan memahami firman Tuhan. Bila saja untuk kegiatan-kegiatan lain kita membutuhkan waktu, dana dan fasilitas-fasilitas lainnya, tidakkah kita tergerak untuk menciptakan suasana kebersamaan yang indah dalam keluarga untuk memahami firman Tuhan? Berilah kesempatan untuk masing-masing anggota keluarga melakukan dan berbagi firman. Dalam kondisi seperti inilah kita akan merasakan kehadiran Tuhan itu benar-benar nyata!

 

Jakarta, 16 Oktober 2020

Jumat, 09 Oktober 2020

MENGELOLA KEKUASAAN DALAM KELUARGA

Hari-hari belakangan ini kita cemas bukan saja virus Covid-19, alih-alih mereda, terus meningkat. Tetapi juga dengan aksi-aksi demo yang menjurus pada vandalisme dan anarkis. Entah berapa kerugian yang harus ditanggung untuk membangun kembali fasilitas umum yang rusak, hancur dan terbakar. Tentu saja selalu ada pembenaran dalam melakukan aksi-aksi ini. Mereka yang berdemo umumnya memandang pemerintah dan DPR menggunakan kuasanya sewenang-wenang. Penetapan undang-undang Omnibus law Cipta Kerja dipandang sebagai bentuk penindasan baru terhadap para pekerja; buruh. Maka ini wajib dilawan!

 

Di pihak lain, pemerintah dan DPR, termasuk juga orang-orang yang tidak menyukai aksi-aksi demo anarkis ini berpendapat bahwa mereka yang di jalanan itu bertindak sewenang-wenang. Mentang-mentang jumlahnya banyak, mereka merasa berkuasa di jalanan dan bertindak semaunya. Inilah kekuasaan yang sedang dipertontonkan. Ya, kekuasaan tanpa dialog dan tanpa mau mendengar.

 

Berbicara tentang kekuasaan, sering kali kita menghubungkannya dengan pemerintahan, lembaga-lembaga tinggi negara atau kekuasaan politik. Padahal, di mana pun kita dapat menjumpai praktik-praktik kekuasaan. Di pasar, di sekolah, di perusahaan, di ruang bisnis, di gereja, bahkan di rumah kita sendiri. Setiap kita dipercayakan sebuah peran, entah itu peran sebagai orang tua: papa atau mama, peran sebagai anak, peran sebagai pasangan: istri atau suami. Di dalam peran-peran itu terdapat hak dan tanggung jawab. Seiring dengan itu juga ada semacam “kuasa” yang melekat. Misalnya, orang tua yang bekerja. Ia berperan mencari dan menyediakan uang agar seisi rumah terpenuhi kebutuhannya. Ada yang mengelola peran ini dengan baik. Cinta kasih yang memotivasi sehingga ia menafkahi keluarga dengan sukacita, penuh cinta, tidak memaksakan dan tidak menuntut untuk dihormati dan didahulukan segalanya. Namun, tidak sedikit juga yang merasa diri punya kuasa. Uang ada padaku, maka seisi rumah harus menuruti apa yang aku mau! 

 

Demikian juga, seorang Ibu. Ia punya “kuasa” di rumah. Menata rumah, merawat dan menyiapkan segala sesuatu. Kalau “kuasa” itu dikelola dengan baik, maka rumah bagaikan taman, kebun penuh kembang, keluarga bagai oase di padang gurun, yang memberikan kesegaran kepada setiap anggota keluarganya. Namun, bisa terjadi kuasa ini tidak dikelola dengan baik, ia hanya mau mengatur dan merasa diri paling capai bekerja di rumah. Perasaannya tidak dikelola dengan baik sehingga rumah bagaikan neraka, orang-orangnya tidak betah tinggal di rumah. Rasanya tidak ada seorang pun yang punya impian membangun rumah seperti ini.

 

Di sini pentingnya mengelola kuasa atau tepatnya kepercayaan yang Tuhan berikan kepada kita masing-masing agar kehidupan dalam keluarga itu menyenangkan alih-alih menjadi berkat. Konflik-konflik yang terjadi kalau kita telusuri berasal dari kegagalan setiap pihak dalam mengelola wewenang yang Tuhan percayakan. Dalam kisah-kisah konflik yang terjadi antara Yesus dan para pemimpin agama Yahudi juga kita menemukan kegagalan para pemimpin agama itu dalam mengelola kuasa yang melekat pada diri mereka.

 

Yerusalem adalah kota di mana konflik antara pemuka agama Yahudi dan Yesus memuncak. Ini dapat kita sadari oleh karena para penentang itu tinggal di Yerusalem. Para penentang sengaja datang kepada Yesus untuk mencobai dan menjerat Yesus. Tiga kali mereka datang untuk menjerat Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan jebakan. Penentang-penentang utama Yesus itu adalah orang-orang Farisi, para ahli Taurat, orang-orang Saduki dan juga kelompok Herodian.

 

Beberapa tema kontroversi antara lain: tentang membayar pajak kepada kaisar (Matius 22:15-22), tentang kebangkitan orang mati (Matius 22:23-33), tentang hukum yang terutama (Matius 22:34-40), dan tentang hubungan Yesus dengan Daud (Matius 22:41-46). Keseluruhan kontroversi itu diakhiri dengan kecaman Yesus terhadap para ahli Taurat dan orang-orang Farisi.

 

Kontroversi mengenai membayar pajak dimulai dengan perundingan orang-orang Farisi untuk dapat menjerat Yesus dengan pertanyaan jebakan. Sebelum percakapan ini, tentu saja mereka telah merasa tersinggung dengan perumpamaan-perumpamaan yang disampaikan Yesus dalam pengajaran-Nya. Oleh karenanya, diskusi yang mereka lakukan bukan untuk mencari tahu kebenaran yang sesungguhnya, melainkan agar Yesus salah menjawab dan orang banyak terprovokasi untuk menangkap dan menghukum-Nya. Soal pajak adalah isu yang seksi untuk menjebak Yesus.

 

Dalam masyarakat Yahudi pada zaman itu, pajak bukanlah soal menyenangkan. Mereka merasa dibebani dengan pelbagai jenis pajak. Sebagai wilayah yang dikuasai oleh penjajah Romawi, mereka terkena kewajiban membayar pajak. Selain pajak yang dipungut oleh penguasa Romawi, orang-orang Yahudi juga masih menanggung pajak yang dipungut oleh penguasa local dan juga otoritas Bait Allah. Oleh karena itu, berbicara pajak merupakan pokok yang sesitif. Sangat mungkin karena sensitivitas yang tinggi inilah, maka pajak menjadi pertanyaan penjerat yang ditujukan kepada Yesus.

 

Mereka datang dengan sebuah awal yang lembut. Mereka menyapa Yesus sebagai Guru yang baik. Mereka mengatakan bahwa Yesus adalah seorang yang jujur dan dengan kejujuran-Nya itu Ia mengajar di Bait Allah. Tak lupa, sanjungan itu diteruskan bahwa Yesus adalah seorang yang tidak takut kepada siapa pun sebab Ia tidak mencari muka. Dalam teknik komunikasi, inilah yang disebut captatio benevolentiae; ungkapan-ungkapan pujian untuk menarik hati lawan bicara. Nah, berhati-hatilah kalau seseorang menyanjung Anda setinggi langit.

 

Namun, mata Yesus mampu menyelami hati orang, Ia tidak dapat dikelabui dengan siasat tersembunyi. Benar, Ia adalah orang yang tanpa memandang muka. Yesus dengan jujur menyingkapkan kemunafikan yang ada dalam hati orang-orang yang mencoba menjebak-Nya.

 

Masalah sensitif, tentang membayar pajak kepada penjajah Romawi ditanggapi-Nya dengan menyingkapkan terlebih dahulu bahwa pihak yang membawa masalah, dalam hal ini orang-orang Farisi dan teman-teman mereka juga membawa dan menggunakan mata uang yang sedang dipermasalahkan itu. Yesus tidak memberi jawaban tentang masalah abstrak, tetapi simpel dan konkret bagi pengguna fasilitas yang disediakan oleh pemerintah, entah baik atau buruk: barangsiapa menerima, harus mengembalikan, harus ikut membayar apa yang dinikmatinya. Jawaban konkret itu disertai jawaban yang lebih mendasar, “Kembalikan kepada Allah apa yang menjadi kepunyaan Allah”. Segala-galanya yang kita terima dari Bapa, hendaknya kita kembalikan kepada Dia, dengan mencari Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya. Usaha kaum Farisi untuk menjerat Yesus akhirnya kandas. Yesus membalikkan-Nya menjadi kesempatan untuk mewartakan inti pokok Injil kepada mereka.

 

Kuasa dan kewenangan yang ditampilkan kaum Farisi ternyata bukan untuk menegaskan atau mengkonfirmasi kebenaran, melainkan untuk kepentingan mereka sendiri. Untuk menjerat dan akhirnya menyingkirkan Kebenaran yang sesungguh-Nya itu. Berhati-hatilah ketika kita merasa punya otoritas atau kuasa, janganlah menggunakannya untuk pemuasan kepentingan sendiri, lalu menindas dan menyingkirkan orang lain. Sebab, jika itu yang terjadi, kebenaran yang sesungguhnya itu akan balik memukul kita.

 

Melalui pengajaran Yesus dalam menjawab pertanyaan rumit dan jebakan ini, kita menyadari bahwa ada kuasa-kuasa yang kepada mereka kita harus tunduk. Kuasa Allah, mutlak kita harus tunduk dan memberikan segalanya, karena berasal dari Dialah segala sesuatu yang ada pada kita. Kepada penguasa pemerintahan, oleh karena melalui merekalah tatanan ketertiban dapat terjadi. Di sinilah kita juga belajar mengelola kuasa atau kewenangan yang melekat pada kita untuk tidak semena-mena, melainkan mengelolanya dengan dasar cinta yang dari Allah, agar segala sesuatunya mendatangkan kebaikan.

 

 

Jakarta 9 Oktober 2020