Jumat, 09 Agustus 2019

IMAN MENGENYAHKAN KETAKUTAN

Richard H. Thaler ekonom Amerika Serikat peraih Nobel dalam bidang ekonomi 2017 suatu waktu mengadakan penelitian di dalam kelasnya di Universitas Cornell. Mahasiswa di dalam kelasnya itu dibagi dua kelompok. Kepada kelompok pertama, Thaler membagikan cangkir-cangkir kopi. Satu cangkir untuk seorang mahasiswa. Cangkir-cangkir itu boleh mereka bawa pulang atau menjualnya dengan harga yang mereka tentukan sendiri. Dengan demikian Thaler membuat pasar untuk cangkir kopidi kelasnya. Ia berasumsi sekitar lima puluh persen dari mahasiswanya itu akan bersedia melakukan transaksi jual-beli cangkir. Namun, hasilnya di luar dugaan. Mengapa? Karena sebagian besar mahasiswa yang telah memiliki cangkir kopi dari sang dosen itu enggan menjualnya di bawah 5,25 dolar. Sedangkan mahasiswa yang tidak memiliki cangkir kopi tidak bersedia membayar di atas 2,25 dolar untuk satu cangkir.

Itulah yang oleh Rolf Dobelli disebut endowment effectatau “efek kemelekatan” atau “efek keengganan melepaskan”. Sesuatu yang kita rasa sudah menjadi milik kita, nilainya akan bertambah bukan saja secara emosional, tetapi juga harganya. Dengan demikian kita bisa mengerti mengapa ada banyak barang di rumah yang terus menerus kita koleksi. Dapat dikatakan bahwa kita lebih baik dalam mengumpulkan sesuatu ketimbang membagikannya.

Hebatnya,endownment effectbukan hanya terjadi pada barang yang kita miliki, melainkan rasa memiliki. Rumah lelang seperti milik Christie’s dan Sotheby’s berkembang karena pengaruh itu. Seseorang yang menawar sampai akhir pelelangan mendapatkan sensasi bahwa barang yang dilelang itu praktis sudah menjadi miliknya, sehingga meningkatkan nilainya. Calon pemilik tiba-tiba bersedia untuk membayar lebih banyak daripada yang direncanakan, dan mundur dari pelelangan dipandang sebagai kekalahan. Untuk menghindari efek kemelekatan itu, Dobelli menyimpulkan: Jangan berpegang kepada sesuatu. Anggap barang milik Anda itu sesuatu yang “alam semesta” atau Tuhan berikan untuk sementara kepada Anda. Ingatlah bahwa dalam sekejap Tuhan dapat mengambilnya kembali!

Endowment effectdapat menghalangi kita untuk melihat dan terlibat dalam Kerajaan Allah. Kemelekatan kita terhadap kepemilikan juga berdampak buruk bagi psikologis kita. Kita berpikir bahwa hanya dengan mempunyai dan menimbun harta kekayaan seseorang dihormati dan kelangsungan hidupnya terjamin. Sebaliknya, ketika tiada harta benda maka di situlah kita dilanda ketakutan. Ya, takut tidak dihormati, takut dilecehkan, dan takut kelangsungan hidup tidak terjamin.  Dampak lebih lanjut dari ketakutan ini, seseorang akan melakukan apa saja untuk memperkaya diri. Termasuk dengan cara-cara tercela. Ia tidak lagi menganggap sesamanya manusia sebagai wujud dan gambar Allah yang harus disayangi.

Harta benda atau barang tertentu pada dasarnya tidak mempunyai kekuatan magis apa pun, apalagi memberi kekuasaan pada si pemiliknya. Sebaliknya, cara kita memandang “benda” akan sangat berpengaruh terhadap perilaku dan tindakan kita terhadap harta benda. Ketika hati kita sudah terpincut maka apa pun akan dilakukan untuk memperoleh dan mempertahankan “benda” itu! Hati kita sangat mungkin melekat pada harta benda. Di sinilah kita perlu mewaspadai. Yesus pernah mengingatkan “Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”(Lukas 12:34)

Seolah-olah Yesus berkata kepada para murid-Nya, “Janganlah melekatkan hatimu kepada dunia ini, dan kepada segala sesuatu yang kamu miliki di dalamnya. Mengapa? Sebab, dengan demikian akan menutup hati kita terhadap hal yang lebih mulia, yakni: Kerajaan Allah. Kerajaan Allah lebih mulia oleh karena di dalamnya orang dapat menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Untuk masuk ke dalamnya orang harus melepaskan semua ikatan yang melekat pada dirinya.

Juallah segala milikmu, dan berikanlah sedekah.”Maksudnya, jika hati kita melekat pada dunia dan apa yang kita miliki, maka akan sangat sulit untuk berbagi sedekah. Sebab cara berpikir dunia adalah: Ketika saya memberikan apa yang saya punya, maka pastilah milik saya akan berkurang. Lalu, bagaimana hidup saya selanjutnya? Apa jaminan saya hidup bahagia kalau harta terus berkurang atau bahkan habis? 

Yesus mau para murid-Nya berpikir dalam kerangka Kerajaan Allah. Dalam konsep Kerajaan Allah, pastilah Allah sebagai Raja akan senantiasa memelihara, “Perhatikan burung-burung gagak yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mempunyai Gudang atau lumbung, namun demikian diberi makan oleh Allah. Betapa jauhnya kamu melebihi burung-burung itu!”(Lukas 12:24). Untuk masuk dan merasakan Kerajaan Allah, jelas membutuhkan iman. Iman yang benar-benar meyakini bahwa Allah menjamin kebutuhan setiap hamba-Nya. Iman yang demikian akan menolong kita mengenyahkan ketakutan menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di hari esok.

 “Kalau engkau ingin menolong mereka yang benar-benar membutuhkan, juallah harta milikmu, dan berikanlah itu kepada orang miskin. Juallah segala milikmu, jika hal itu hanya menghalangi engkau untuk melihat Kerajaan Allah dinyatakan!” Kalau kita memberi sedekah, dengan cara yang benar, maka apa yang diberikan sebagai sedekah itu telah dikeluarkan untuk suatu hal yang paling luhur, dan itu sungguh aman tersimpan, kita tidak perlu menguatirkannya. Arahkanlah hatimu kepada “dunia yang akan datang”, dan tetapkan harapan-harapanmu berdasarkan dunia itu. Buatlah pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, dan yang tidak bisa menjadi kosong, yang isinya bukan dari emas, melainkan dari anugerah di dalam hati dan perbuatan-perbuatan baik dalam hidup. Inilah pundi-pundi yang akan bertahan lama. Inilah harta yang tidak akan habis. Sampai kapan pun kita memakainya, harta seperti ini sama sekali tidak akan berkurang. Tidak ada bahaya bahwa kita akan melihat bagian dasar pundi-pundi itu. Inilah harta yang tidak ada dalam bahaya akan dirampok, sebab tidak ada pencuri yang dapat mendekatinya. Apa yang tersimpan dalam Kerajaan Allah tidak mungkin dijamah oleh musuh. Inilah harta yang tidak akan pernah rusak untuk disimpan, apalagi berkurang karena digunakan. Ngengat tidak akan merusakkannya, seperti pakaian yang kita pakai sekarang. 

Nah, dengan demikian tampaklah jelas bahwa Yesus menginginkan kita menyimpan “harta” di sorga jika hati kita di sana sementara kita berpijak di sini. Bagaimana mendapatkannya? Lukas 12:35 dan selanjutnya, Yesus menjelaskan hendaknya setiap orang berperilaku seperti hamba yang berjaga-jaga menantikan sang tuan pulan. Berjaga-jaga yang dimaksud justru melakukan segala macam pekerjaan yang ditugaskan kepadanya. Bekerja bukan hanya ketika sang tuan ada, melainkan dalam sepenuh waktu ada atau tidak ada tuannya, hamba yang baik akan melakukan tugasnya. 

Mungkin saja sampai hari ini, kita sulit untuk melepaskan kemelekatan kita pada apa yang kita anggap sebagai milik kita. Kita masih kuatir dan takut bagaimana hidup ke depannya tanpa jaminan harta benda. Tentu saja, menabung dan menyiapkan hari esok agar lebih baik adalah suatu tindakan yang bijak. Yesus saya kira tidak sedang melarang setiap pengikutnya mencari nafkah, menabung dan menyiapkan hari esok. Namun, yang diingatkan Yesus adalah perkara hati kita. Hati yang bisa terpikat oleh hal-hal duniawi. Hati yang seharusnya hanya melekat kepada Allah saja agar dapat melakukan kehendak-Nya. Hati yang bisa terus memandang kebaikan Allah, melekat dan beriman kepada-Nya. Hati yang demikianlah yang dapat menyirnakan segala macam kekuatiran.


Karang Sembung, 9 Agustus 2019

Rabu, 31 Juli 2019

BERBAGI ADALAH BERKAT

Berkat sering dipahami sebagai sesuatu yang dipunyai seseorang, umpamanya harta benda dan kekayaan. Kalau kekayaan seseorang bertambah, kita sering mengatakan bahwa orang tersebut diberkati! Jika berkat itu dipahami dengan “mempunyai”, maka tidaklah mengherankan apabila banyak orang terus mencari dan mengumpulkan kekayaan untuk dirinya. Pemahaman ini menjadi sulit ketika berbagi dikategorikan sebagai berkat. Mengapa? Jelas, berbagi itu berarti mengeluarkan apa yang ada pada kita. Artinya, ada sesuatu yang kurang dari kepunyaan kita. Bagaimana mungkin keadaan berkurang itu disebut berkat?

Benarkah orang yang mempunyai dan terus mengumpulkan bagi dirinya harta kekayaan disebut berkat? Benarkah orang-orang yang memiliki mobil mewah, rumah mewah, barang-barang mewah, dan deposito uang dalam jumlah besar hidupnya diberkati, tentu saja dengan kriteria bahwa mereka dalam kehidupan berbahagia? Sebaliknya, apakah orang yang terus memberi sehingga hidupnya tidak tampak kaya dan mewah itu kurang diberkati?

Psikolog Norbert Schwarz, Daniel Kahneman, dan Jing Xu meneliti orang-orang yang mampu membeli barang-barang mewah, apakah otomatis memberikan kebahagiaan dalam kehidupan mereka? Mereka mengajukan pertanyaan seberapa puas ketika seseorang dapat membeli mobil mewah, rumah, flat, laptop, atau barang-barang mewah lainnya. Mereka membuat skala kebahagiaan 0 – 10. Angka “0” berarti tidak bahagia, sedangkan angka “10” menunjukkan keadaan amat sangat bahagia. Hasilnya? Semakin mewah mobilnya, semakin besar kepuasan yang didapat oleh si pemiliknya. Mobil BMW Seri 7 memberi kepuasan sekitar 50% lebih besar daripada Ford Escort. Polanya terlihat jelas, ketika seseorang menghabiskan banyak uang untuk kendaraan, mereka akan mendapatkan imbalan bagus dari investasi mereka dalam bentuk perasaan senang.

Sekarang para peneliti itu mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda dan membandingkannya dengan nilai mobil mereka: Seberapa bahagianya Anda dalam perjalanan terakhir dengan mobil Anda? Bagaimana hasilnya? Tidak ada hubungannya! Betapa pun mewah atau buruknya kendaraan, tingkat kebahagiaan pemiliknya sama-sama rendah. 

Survei pertama mengungkapkan hubungan antara nilaifinansial mobil dan perasaan puas yang diberikan kepada pemiliknya – semakin mewah, semakin besar kepuasannya. Akan tetapi survei kedua tidak menunjukkan hubungan semacam itu – kendaraan mewah tidak membuat pengendaranya lebih bahagia. Koq bisa, bagaimana ini terjadi? Mudah: Pertanyaan pertama membuat Anda berpikir tentang mobil, sementara pertanyaan kedua membuat Anda memikirkan hal yang sama sekali berbeda – panggilan telpon di sepanjang perjalanan, situasi di kantor, kemacetan, pengendara tolol di depan Anda, dan lain-lain. Sederhananya, mobil membahagiakan Anda ketika Anda “memikirkannya”, bukan ketika Anda “mengendarainya”. Itu adalah dampak dari “ilusi fokus”. Tentu saja hal ini tidak hanya untuk mobil, namun untuk segala hal yang kita beli atau berusaha kita miliki!

Ilusi fokus adalah istilah yang dipakai oleh Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of The Good Life.Kita sering terjebak dalam perangkap ilusi fokus. Mengira bahwa kebahagiaan itu didapat dari memiliki barang-barang mewah. Namun, ternyata kalau kita mau jujur, apa yang kita inginkan, apa yang kita beli dan apa yang kita kumpulkan hanya memberi kebahagiaan sebentar saja. Sesudah itu, kebanyakan kita hidup dalam pola yang lama. Akhirnya, banyak barang yang kita beli menumpuk di gudang.

Kisah perumpamaan tentang orang kaya yang bodoh (Lukas 12:13-21) menarik untuk kita simak. Barang kali si kaya yang dikisahkan dalam cerita ini menggambarkan orang yang terpapar dengan ilusi fokus. Tanahnya luas dan hasil panennya melimpah. Lalu, apa yang harus dilakukan sebab gudangnya tidak mampu lagi untuk menyimpan hasil panen itu? Kurang lebih itulah pertanyaan dalam hatinya. Sulit membayangkan, ia begitu berkelimpahan sementara bisa jadi orang-orang sekampungnya mengalami kekurangan. 

Inilah yang akan aku perbuat; aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku. Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku: Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya; beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!”(Lukas 13:18,19). Begitulah si orang kaya ini terjebak dalam ilusinya, bahwa kebahagiaan itu bersumber dari banyaknya hasil panen yang ditimbun dalam gudangnya.

Bukankah apa yang dilakukan oleh si kaya dalam perumpamaan Yesus merupakan cerminan gambaran kebanyakan orang? Bisa jadi Anda dan saya termasuk di dalamnya! Mengapa? Sebab, sering kali kita juga menaruh investasi kebahagiaan pada barang-barang yang kita miliki! Padahal, meminjam pendapat Rofl Dobelli, ada hal yang lebih bisa membahagiakan kita, yakni pengalaman! Kita dapat merasakan kebahagiaan apabila dengan harta kekayaan itu kita dapat mengalami fungsinya yang positif. Nah, apa fungsi positif dari harta kekayaan? Tentu saja harta kekayaan itu adalah alat! Alat untuk menolong dan bukan tujuan dari kebahagiaan! Kita akan jauh merasa dan mengalami kebahagiaan ketika harta kekayaan yang ada pada kita mampu menjadi alat untuk menolong sesama. Pengalaman berbagi itu akan jauh memberi kebahagiaan ketimbang menimbunnya. Bukankah dengan menimbun, kita juga harus repot. Membayar orang untuk menjaga kalau-kalau nanti ada pencuri yang membongkarnya. Belum lagi perasaan kuatir yang menghinggapi diri kita. Semakin besar kita menimbun harta kekayaan maka berbanding lurus dengan kekuatiran kita.

Yesus mengingatkan para murid dan pendengar-Nya untuk tidak gagal fokus. “Berjaga-jagalah dan waspadalah terhadap segala macam ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah hartanya, hidupnya tidak bergantung pada kekayaannya itu.”  (Lukas. 13:15). Jadi, fokus hidup kita bukanlah pada kekayaan – itu hanya ilusi – sehingga mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Melainkan, berbagi cinta kasih Allah, termasuk harta kekayaan yang kita miliki. Ingatlah, fokus pada apa yang kita timbun di dunia ini adalah kesia-siaan. Inilah juga yang sering diingatkan oleh penulis Kitab Pengkhotbah bahwa kehidupan ini adalah kesia-siaan jika tidak dipergunakan dengan semestinya.

Berbagi adalah berkat ketika kita memahami bahwa harta kekayaan itu bukan sumber dan tujuan kebahagiaan. Apa yang kita punya sejatinya bukan milik kita. Namun, milik Tuhan yang dititipkan sementara kepada kita.  Ketika milik Tuhan itu kita pergunakan untuk berbagi, di situlah kita punya pengalaman berharga. Pengalamanitu menolong kita untuk menjadi orang-orang yang berbahagia. Kebahagiaan itu bukan hanya milik orang yang kepada mereka kita berbagi. Namun, utamanya kita sendiri yang mengalami kebahagiaan itu. Nah, di sinilah kita merasakan bahwa berbagi itu adalah berkat! Dengan kata lain, bukan orang lain yang menerima bantuan kita yang pertama-tama mendapatkan berkat itu, melainkan diri kita sendiri. Ingat, kesenangan dan kebahagiaan yang langgeng itu bukan semata kita dapat membeli dan mengumpulkan benda-benda yang kita inginkan!

Cobalah saat ini kita mulai dengan memilah apa yang kita perlukan dan apa yang kita inginkan. Jangan terlalu banyak memanjakan keinginan kita. Sisihkan apa yang kita punya selain untuk tabungan juga untuk mereka yang membutuhkan. Rasakan sebuah kebahagiaan akan mengalir ketika Anda berbagi kepada mereka yang membutuhkan pertolongan Anda. Itulah berkat dalam berbagi!

 Batu, 31 Juli 2019