Jumat, 07 Juni 2019

ROH KUDUS MEMBERI HIDUP BARU KEPADA BUMI

Hari ini, janji yang pernah diucapkan Yesus dalam Yohanes 14:15 dst, benar-benar digenapi. Roh Kudus turun memenuhi dan menguasai para murid Yesus. Pentakosta! Benar, Pentakosta telah lama ada dalam tradisi umat Perjanjian Lama. Namun, kali ini momen itu berbeda dan menemukan makna yang baru. Baru bukan saja dari sisi kemasan tradisi, tetapi juga dalam konten dan maknanya.

Dalam kalangan umat Perjanjian Lama, Pentakosta – yang berarti “hari ke lima puluh– dirayakan tujuh minggu setelah panen gandum (Imamat 23:15-21 dan Ulangan 16:9-12). Dalam perkembangan selanjutnya, hari ke-50 ini dihitung mulai dari tanggal 14 Nisan, yakni hari Paskah Yahudi. Selanjutnya, hari ke-50 ini diperingati pula sebagai hari turunnya Taurat kepada Musa. Tidaklah mengherankan kalau pada perayaan Pentakosta Perjanjian Lama ada banyak orang Yahudi dan Proselit (orang bukan Yahudi yang menganut Yudaisme) dari pelbagai pelosok negeri datang ke Yerusalem untuk membawa persembahan sebagai ucapan syukur. Mereka yang sudah lama tinggal di negeri-negeri asing tidak lagi mengerti bahasa nenek moyang mereka.

Hari itu mereka mengucap syukur untuk banyak hal, baik berkat jasmani berupa hasil panen, maupun berkat rohani sebagai umat Tuhan yang diberi hukum-hukum Tuhan. Mereka bersyukur oleh karena hasil panen gandum yang mereka nikmati itu semata-mata bukan hanya karena hasil kerja keras mereka. Melainkan pertama-tama adalah peran dari TUHAN. TUHANlah yang memberikan kesehatan dan tenaga bagi tubuh mereka sehigga mereka bisa bekerja menggarap dan memelihara kebun mereka. Mereka bersyukur oleh karena TUHAN jugalah yang diyakini menjaga dan menolong tanaman mereka tidak diserang belalang dan hama-hama lainnya. Mereka juga meyakini, TUHAN yang menumbuhkan, memberi kesuburan dengan curah hujan yang cukup sehingga tanaman gandum itterus tumbuh dan menghasilkan buah pada waktunya. Jadi, apabila mereka membawa hasil panen terbaik, hal itu bukanlah semata-mata karena kewajiban atau terpaksa. Melainkan, sudah sepantasnyalah demikian. Bersyukur kepada TUHAN!

Dalam kalangan umat Kristen, “hari ke-50” itu dirayakan tujuh minggu setelah Kebangkitan Yesus untuk memperingati turunnya Roh Kudus. Jadi, perayaan 7 minggu setelah panen dari tradisi Perjanjian Lama itu diterapkan oleh Perjanjian Baru kepada panen rohani yang kini mulai melimpah (Agustinus Gianto, SJ).

Lukas, dalam bukunya yang kedua, Kisah Para Rasul 2:1-11 menceritakan peristiwa turunnya Roh Kudus itu. Suatu ketika terdengar suara dari langit, menderu-deru dasyat seperti taufan. Bunyi dan tiupan angin itu menembus ruangan di mana para murid Yesus berkumpul. Dan lihatlah, kini muncul lidah-lidah api menghinggapi mereka. Dan mereka mulai berbicara dalam banyak bahasa. Bahasa-bahasa yang dulunya tidak pernah mereka pelajari. Kini, orang-orang Yahudi yang terserak dari pelbagai penjuru itu dapat mengerti ucapan yang disampaikan oleh para murid itu.

Suara tiupan angin keras dan lidah-lidah api menghinggapi mereka! Seperti itukah kejadiannya? Bisa saja begitu kejadiannya! Namun, mestinya kita tidak berhenti di situ. Suara tiupan angin keras menandakan bahwa Roh Kudus seperti angin. Ia tidak terlihat dan tidak bisa dikuasai, namun kehadirannya terasa dan memberi dampak. Angin atau udara, ia tidak pernah bisa dilihat, dipegang, apalagi dikuasai. Melainkan kehadirannya begitu terasa, ia memberi kehidupan! Demikian juga dengan Roh Kudus, Ia tidak terlihat, tidak bisa dijamah apalagi dikendalikan. Namun, kehadiran-Nya dapat dirasakan. Roh Kudus memberikan kekuatan dan menghidupkan!

Pada saat murid-murid berkumpul mereka merasakan adanya kekuatan yang membuat hati mereka bernyala, berkobar-kobar! Kejadian ini sudah sedikit disinggung dalam kisah mengenai dua orang murid yang menuju Emaus. Suatu ketika mereka saling berkata, “hati kita berkobar-kobar”(Lukas 24:32), artinya pikiran atau hati mereka tidak lagi ciut pesimistis dan larut dalam kecewa, tetapi menyala-nyala penuh semangat. Dan sekarang, pada perayaan Pentakosta Perjanjian Lama itu semua murid yang lain merasakan pengalaman yang sama. Hati mereka berkobar oleh Kuasa Roh Kudus!

Orang banyak yang ada di sekitar para murid ini menyaksikan peristiwa itu. Roh Kudus itu memberi kemampuan kepadapara muriduntukmenyampaikan kesaksian tentang Yesus. Roh Kudus membuat perkataan para murid dapat dimengerti oleh siapa saja yang ada di situ. Tiap orang yang mendengarkan perkataan mereka akan mendapatkan sesuatu. Inilah daya atau kemampuan yang dianugerahkan Roh Kudus kepada para murid dan selanjutnya kepada Gereja, ke dalam maupun ke luar.

Roh Kudus memberi kemampuan bagi Gereja untuk memahami ke dalam, artinya: Gereja dan para pengikut Kristus terbuka hati dan pikirannya untuk mengerti Yesus yang telah melakukan karya kasih Allah; menderita, mati, dan bangkit serta naik ke sorga. Roh Kudus meneguhkan dan mengingatkan setiap orang percaya akan ajaran dan kehidupan yang telah Yesus lakukan di bumi ini. Sedangkan Roh Kudus memberi kemampuan Gereja atau orang percaya ke luar yakni dalam menjalankan misi dan meneruskan apa yang sudah Yesus lakukan. Roh Kudus memberi kemampuan agar para pengikut Yesus mempersaksikan cara hidup baru kepada orang banyak.

Dalam bahasa masa kini, kekuatan yang diberikan Roh Kudus itu adalah kemampuan para murid dalam menerangkan iman dengan cara yang bisa dimengerti oleh orang yang bukan dari kalangan sendiri. Tidak hanya dengan perkataan, tetapi juga dengan sikap hidup dan tindakan nyata. 

Bagaimana relevansinya dalam kehidupan kita sekarang? Boleh jadi Pentakosta saat ini menemukan momentumnya dalam hal memberi kekuatan baru untuk tetap memilih hidup beradab dan tidak membiarkan masyarakat dihanyutkan oleh kekuatan-kekuatan yang mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan. Ini pilihan sederhana. Namun begitu, membuat Gereja tampil sebagai komunitas orang-orang yang setia pada kemanusiaan, menghargai dan memelihara keutuhan ciptaan, serta hormat kepada Yang Ilahi.

Orang-orang yang percaya kepada Yesus dan dibaptiskan dalam nama-Nya itu hidup dalam lindungan kekuatan yang datang dari atas, dari tempat Yesus kini berada. Itulah kehadiran Roh Kudus. Kekuatan ini memberikan hikmat, membuat akal budi tercerahkan, dan menuntun orang di jalan yang benar. Roh Kudus ini jugala yang memimpin para rasul pergi ke seluruh penjuru dunia. Roh yang sama itulah yang kini ada di tengah-tengah orang percaya. Orang tidak lagi perlu merasa terancam dan bimbang. Ada arah baru yang tidak terpikirkan sebelumnya. Ini membuat alam pikiran orang-orang pada zaman itu berubah. Terbuka alam baru. Dan kini, terus berkembang sampai Yesus datang kembali. Para murid generasi pertama itu kemudian semakin peduli terhadap orang-orang yang ada di sekitar mereka dan semakin mengerti penderitaan mereka. Roh itu memberi kemampuan bagi merekauntukmenanggalkan sikap egoism. Mereka kini terbebas dari keinginan untuk menjadi pusat perhatian. Sebaliknya, mereka telah berbuat banyak untuk orang lain. Mereka itu dikenal sebagai orang-orang yang peduli akan keadaan di masyarakat luas. Dalam banyak arti, mereka membangun peradaban baru yang memungkinkan orang berkembang sebagai manusia utuh. Manusia utuh, yang terus menerus diperbaharui sesuai dengan gambaran Anak-Nya. Itulah buah pertama dari hadirnya Roh Kudus.

Roh Kudus jugalah yang kemudian menjadikan setiap orang percaya mempunyai karakter Ilahi. Itulah yang dikatakan Paulus, “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah…”(Roma 8:14,15). Menjadi anak Allah tidak cukup hanya dengan ucapan, tetapi dipatenkan dengan perbuatan. Ya, perbuatan yang menghadirkan kehidupan yang baru di bumi ini. Selamat merayakan hari Pentakosta! 


Jakarta, Pentakosta 2019

Kamis, 30 Mei 2019

KESATUAN YANG SEMPURNA

Indonesia dibangun atas dasar Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Para pendiri negeri ini sangat menyadari bahwa Indonesiaterdiri dari pelbagai keragaman: suku, etnisitas, budaya, bahasa, agama atau keyakinan, dan sebagainya. Maka Indonesia tidak memilih menjadi negara agama atau menjadikan salah satu suku bangsa tertentu menjadi pilar pokok negara. Tidak! Bineka Tunggal Ika dipilih sebagai semboyan kehidupan kita berbangsa dan bernegara. “Berbeda-beda tetapi tetap satu”! Demikian makna dasar dari semboyan itu. Kesatuan tidak menghilangkan keanekaragaman itu, melainkan tetap memberi ruang kepada setiap perbedaan yang merupakan identitas elemen-elemen bangsa itu; menghormati eksistensi yang berbeda-beda itu sambil tetap merasakan kesehatian, solideritas dan persaudaraan di antara sesamaanak bangsa. 

Namun belakangan ini, dalam pesta demokrasi Pemilihan Umum Kepala Daerah maupun Pemilihan Umum Presiden dan anggota Legislatif, NKRI yang berpuluh tahun dibangun terancam oleh politik praktis identitas. Politik identitas muncul oleh karena kompetensi atau kemampuan orang-orang yang berkompetisi dalam pemilu itu sangat minim. Politik identitas mengusungdan menyarakankesamaan aliran dalam beragama, kesamaan suku, dan etnisitas mencoba merobek anyaman kebinekaan itu hanya untuk kepentingan sesaat. Kekuasaan! Banyak orang tidak menyadari pengaruh ini begitu kuat merembes dan menjadi virus pemecah belah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, kelompok satu dengan yang lain saling curiga bahkan menganggapnya sebagai musuh!

Masalah kesatuan ternyata bukan hanya persoalan di ranah bangsa,negaraatau politik. Ia juga dapat menjadi problem besar untuk sebuah kehidupan umat percaya. Kalau melihat sejarah kehidupan umat percaya: bukan intimidasi, tekanan atau penganiayaan yang dapat meluluh-lantakan sebuah komunitas orang percaya. Kehancuran itu justru terjadi ketika ada perpecahan dalam komunitas itusendiri. Lihatlah, sejarah kekristenan di Timur Tengah, Turki, Semenanjung Arab, Afrika Utara, bahkan sampai Eropa. Perpecahan dalam komunitas umat membuat umat itu terpecah belah, bekeping-keping dan mudah untuk ditaklukkan.

Inilah yang menjadi keprihatinan Yesus. Maka Yesus – sebelum kepergian-Nya – mendoakan agar para murid bersatu. Bila diamati dalam konteks zaman Injil Yohanes ditulis, pokok ini amat serius. Dari dahulu para murid Yesus tidaklah berasal dari kalangan yang seragam, setingkat, atas seasal. Perbedaan satu sama lain cukup besar. Kisah Para Rasul mencatat hal itu juga. Nah, apakah banyaknya perbedaan itu menjadi alasan untuk mereka bertindak sendiri-sendiri? Tidak! Justru keragaman itu dipandang sebagai sumber kekuatan untuk mereka bersatu. Ini paradoks kehidupan komunitas. Karena perbedaan itu eksis atau ada dan dirasakan, maka semakin dirasakan pula kebutuhan untuk bersatu. Di sinilah kita harus memahami bahwa kesatuan itu bukanlah keseragaman. Sebab kalau dipahami demikian, tidak ada gunanya kita bicara tentang kesatuan.

Keragaman yang kemudian dipadukan, di situlah letak kekuatan baru yang lebih dasyat. Begitulah doa Yesus. Di sini Ia memberi ruang agar setiap orang berkembang seleluasa-leluasanya, tetapi juga agar mereka memerhatikan satu dengan yang lain sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.

Kesatuan dalam doa Yesus itu didasarkan pada kesatuan diri-Nya dengan Sang Bapa. Ungkapan ini mungkin saja terasa begitu sangat teoritis, bahkan sarat dengan muatan mistik dan sulit dimengerti. Namun, Yohanes tidak mengajak kita berpikir ruwet. Ia mengajak kita memakai cara berpikir yang sangat biasa. Begini, kesatuan antara Yesus dan Sang Bapa itu jelas bukan kesatuan kesenyawaan sehingga yang satu sama persis dan melebur dengan yang lain. Ini tidak benar! Sebab kalau begitu untuk apa Yesus hadir kedunia? Kesatuan yang ditonjolkan ini adalah kesatuan yang timbul karena yang satu patuh dan yang lain menaruh perhatian; Yesus sebagai Anak, patuh, taat, setia pada kehendak Sang Bapa. Pada pihak lain, Bapa menopang dan meneguhkan apa yang dilakukan Sang Anak. Jalas tidak sama, tetapi keduanya membangun keselarasan. Inilah kesatuan yang ingin dikatakan Yesus!

Kesatuan kasih antara Bapa dan Anak itu bukan hanya contoh atau model untuk kesatuan murid-murid Yesus, tetapi juga menjadi dasar dan sumbernya untuk mereka bersatu. Murid-murid ditarik atau dihisabkan ke dalam kesatuan antara Yesus danBapa; diangkat ke dalam kesatuan ilahi itu. Atau bisa dikatakan secara terbalik seperti dalam Yohanes 17:22 dan 26, “…,supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu….supaya kasih yang Engkau berikan kepada-Ku ada di dalam mereka dan Aku di dalam mereka.”Kesatuan Ilahi oleh Yesus dialirkan ke tengah-tengah para murid-Nya. Kasih Bapa yang ada di dalam Yesus, oleh Yesus dinyatakan di tengah-tengah mereka.

Kesatuan para murid dan selanjutnya kesatuan jemaat bertujuan misioner di tengah-tengah dunia yang tidak mengenal dan mengimani kasih setia Bapa (Yoh.17:25). Dunia itu menjadi alamat kasih Allah (Yoh.3:16). Kasih-Nya itu diterjemahkan melalui hidup dan pelayanan Anak-Nya. Kini, mereka yang belum mengenal dan menerima Yesus sebagai utusan Bapa, akan terus-menerus disapa oleh Bapa melalui kesaksian para murid Yesus yang diutus ke tengah dunia dan dengan kesatuan kasih para murid itu akan menunjukkan bahwa Yesus sungguh-sungguh berasal dari Bapa. Kesatuan kasih di antara para murid akan menjadi pesona bagi orang-orang “luar” untuk menerima Yesus sebagai utusan Allah, dan dengan demikian mereka menerima kasih Bapa.

Sebaliknya, ketika para murid atau selanjutnya pengikut Yesus gagal mewujudkan kesatuan kasih – malah bertikai satu dengan yang lain untuk kepentingan sendiri – di sini mereka menjadi batu sandungan atau penghalang bagi orang lain untuk mengenal, menerima, merasakan dan mengalami kasih Bapa. Kasih itu tertahan oleh karena keegoisan kita!

Tidak dapat dipungkiri, gereja dalam sejarahnya banyak mengalami perpecahan, pertikaian bahkan kemelut dan permusuhan. Yesus, Dia yang telah berdoa untuk persatuan, tentu saja menangis! Mungkin juga hati-Nya hancur. Bukan doa-Nya yang tidak mujarab, namun para pengikut-Nyalah yang enggan mewujudkan doa itu. Betapa ambisi pribadi telah merampas kasih Bapa bagi banyak orang. Haruskah sekarang gereja terus memikirkan egonya sendiri? Tidak sadarkah bahwa hal itu melukai hati Yesus?

Para murid atau orang yang mengaku sebagai pengikut Yesus mestinya berupaya berjalan ke arah kesatuan yang diinginkan Yesus itu. Bukan untuk menjadi seragam atau sama. Tetapi masing-masing berfungsi seperti anggota tubuh yang berbeda-beda. Mengerjakan tugas yang berbeda-beda, namun “mengalir darah” yang sama, tujuan yang sama, yakni: meneruskan karya Yesus di bumi ini.

Yesus menyatakan bahwa kesatuan yang sempurna hanya bisa dicapai kalau Allah hidup semakin utuh dalam diri kita masing-masing, kalau kita berusaha untuk hidup kudus dengan menerima Yang Kudus di dalam diri kita, dan kalau kita masing-masing bersama-sama mulai memancarkan kehadiran Yesus dalam diri kita.

Kita semua mempunyai tugas yang harus dilaksanakan agar dapat menjadi tempat dari Yang Kudus di dalam hati kita untuk mencintai sebagaimana Ia mencintai. Kesatuan tidak datang dengan menerima struktur-struktur luar, atau hukum, dogma, atau ritual ibadah. Kesatuan itu muncul dari hidup yang mengalir dalam diri kita dan melalui kita Bersama. Kesatuan itu adalah hati dan budi yang diikat bersama karena hati dan budi kita relakan untuk diikat dalam persekutuan dengan Yesus. Kesatuan itu adalah nyanyian, perayaan syukur, tanda kemuliaan Allah. Dengan demikian eukumenitas tidaklah untuk mengajak orang masuk ke dalam anggota gereja tertentu, melainkan untuk mendorong semua, mulai dari diri kita sendiri, untuk mencintai Yesus secara sungguh-sungguh.

Kesatuan ini tidak hanya untuk orang-orang yang secara harafiah pengikut Yesus, tetapi untuk semua orang yang berusaha menghormati, mencintai mereka yang berbeda dan yang berusaha untuk hidup berdasarkan kebenaran yang mereka tangkap dalam suara hati mereka. Kesatuan ini untuk semua orang yang ditarik untuk dekat dengan mereka yang lemah, yang membutuhkan bantuan, dan yang tertindas serta yang menapaki jalan kasih dan jalan bukan kekerasan. Kesatuan ini adalah persekutuan yang mengikat hati Bersama-sama, hati yang dibentuk dalam berbagai tradisi agama yang berbeda. Dalam hati yang seperti ini berdetak kerinduan yang sama akan damai, akan kebenaran, akan keinginan untuk dipegang dalam rengkuhan kasih Allah. Kita adalah berbeda dan pada waktu yang sama menjadi satu dalam kerinduan hati kita.

Mewujudkan doa kesatuan yang disampaikan Yesus, menjadi berarti dalam konteks NKRI yang sedang terkoyak ini. Kita dipanggil untuk mewujudkannya tidak melulu dengan kata dan wacana, melainkan dalam tingkah polah prilaku kita. Damailah Indonesia!

Jakarta, Minggu Paskah VII 2019