Rabu, 01 Mei 2019

PERJUMPAAN YANG MEMULIHKAN

Ada berbagai alasan untuk orang kembali pada pekerjaan lama. Bisa saja ia melihat dalam pekerjaan yang baru tidak bisa mengoptimalkan kompetensinya. Ia malah tergagap dan tidak berdaya. Kemungkinan lain, pekerjaan baru tidak menjanjikan penghasilan dan penghidupan yang lebih baik. Atau namanya sudah melekat dan dikenal orang melalui pekerjaan lama yang ia tekuni. 

Petrus dan enam orang temannya pergi ke Danau Tiberias. Mereka kembali ke pekerjaan lamanya: jadi nelayan di danau itu. Padahal mereka dulu telah dipanggil Tuhan dari danau itu agar berhenti menjadi penjala ikan, mengikuti-Nya dan kemudian menjadi penjala manusia. Oke-lah, mungkin saja mereka masih kecewa dan terpukul atas kematian Yesus, Guru mereka yang diharapkan menjadi mesias yang akan mengangkat harkat martabat mereka dan tentunya kaum Yahudi. Namun, jika itu alasannya, bukankah Yesus yang bangkit itu sudah beberapa kali menjumpai dan menyapa mereka? Bahkan secara khusus Ia menepis semua keraguan yang diwakili oleh Tomas. Setidaknya, mereka juga melihat demonstrasi Yesus memperlihatkan luka-luka di tubuh-Nya. Dan, yang tidak kalah pentingnya, bukankah Yesus yang bangkit itu telah memberi tugas, mengutus para murid sama seperti Bapa mengutus diri-Nya? Lalu sesudah itu Ia menghembusi mereka dengan Roh.

Lalu, apa yang salah? Apakah mereka mengartikan tugas perutusan itu untuk kembali ke danau? Apakah misi yang diemban agar mereka mendapatkan ikan yang banyak? Injil Yohanes tidak menjelaskan mengapa mereka kembali ke pekerjaan lama dan tidak melaksanakan misi yang diamatkan Yesus. Mengisi kekosongan jawab ini, ada banyak penafsir berpendapat bahwa kemungkinan kisah ini adalah kisah yang dirangkai di kemudian hari. Injil Yohanes mestinya berakhir pada Yohanes 20:31. Namun, ada juga yang berpendapat Yohanes 21 itu merupakan bagian utuh yang tidak terpisahkan dari pasal-pasal sebelumnya. Hal ini dibuktikan dari penemuan-penemuan naskah kuno yang memang utuh sampai pasal 21.

Alasan apa pun yang dikemukakan sepertinya bukan itu yang harus kita persoalkan. Bukankah lebih baik mencari makna di balik kisah itu. Petrus memberi tahu teman-temannya bahwa ia akan pergi menangkap ikan. Mungkin saja ia dan teman-temannya sedikit bosan dan dalam kadar tentu merasa tidak pasti mengenai apa yang akan terjadi danapa yang harus mereka lakukan.

Mereka pergi semalaman, tetapi tidak menangkap apa-apa. Ketika hari menjelang siang, Yesus berdiri di tepi pantai danau itu. Petrus dan keenam temannya tidak menyadari bahwa yang berdiri itu adalah Yesus. Yesus bertanya kepada mereka, “Hai anak-anak, adakah kamu mempunyai lauk-pauk?”Yesus menyebut mereka anak-anak, yang merupakan ungkapan kasih kebapaan dari seorang guru kepada para muridnya. Dalam bahasa Yunani, pertanyaan Yesus itu menantikan jawaban negatif: “Kami tidak punya!” Kemudian Yesus menyuruh mereka menebarkan jala di sebelah kanan perahu. Tidak disangka, jala mereka penuh dengan ikan. Seratus lima puluh tiga ekor banyaknya.

Segeramurid yang dikasihi mengenali orang yang berbicara kepada mereka. Ia pun berseru kepada Petrus, “Itu Tuhan!” Petrus mengenakan pakaiannya – karena ia telanjang – lalu terjun ke danau, dan lari mendapatkan Yesus.

Petrus sering kali tampil dan ditampilkan sebagai pemimpin dari murid-murid yang lain. Namun, ia bukanlah yang pertama mengenali Yesus. Ia membutuhkan murid yang dikasihi agar dapat mengenali Yesus. Para pemimpin, betapa pun hebatnya dia, dapat tersedot perhatiannya oleh tanggung jawab kepemimpinannya, sehingga ia memerlukan orang lain untuk membantu, yaitu orang yang mempunyai mata atau pandangan yang jernih. Ketika Petrus dibantu untuk melihat bahwa itu adalah Yesus, ia terjun menemui Dia. Ia berani mengambil risiko dengan terjun ke danau. Matanya terpaku kepada Yesus. Petrus langsung taat kepada Yesus ketika Yesus menyuruhnya untuk menarik jala. Ia tidak menyuruh orang lain untuk melakukannya, tetapi ia sendiri. Ia menjadi pemimpin sekaligus pelayan!

Di awal, ketika Yesus memanggil para murid untuk mengikuti-Nya, Yesus memilih Simon Petrus sebagai “Kefas”, Sang “Batu Karang”. Di atas batu karang ini komunitas akan dibangun. Petrus mempunyai watak dan ciri-ciri seorang pemimpin. Ia maju atas nama kelompok dua belas murid untuk menyatakan imannya kepada Yesus.

Petrus juga berani menegur Yesus mengenai apa yang harus Ia lakukan dan tidak boleh Ia lakukan, serta berusaha untuk membela Yesus agar Ia tidak ditangkap. Akhirnya ketika Yesus menjadi begitu rentan. Ia menjadi pesakitan dan siap dibantai, Petrus, orang kuat sekaligus lemah ini jatuh dan mengatakan bahwa ia bukan murid Yesus. Ia menyangkal Yesus tiga kali. Sang “Batu Karang”, jelas bukan batu karang lagi! Ombak dasyat menghempaskannya hingga menjadi puing-puing pasir. Apakah kemudian Petrus kehilangan perannya sebagai “batu karang”?

Pada hari Paskah pagi, ketika Maria dari Magdala datang mendapatkan para murid, jelas ia mencari Petrus sebagai pemimpin kelompok, meski Petrus telah menyangkal Yesus. Bagaimana dengan sikap Yesus? Pantaskah orang seperti ini dipertahankan sebagai “batu karang”? Apakah Ia akan mengalihkan kepemimpinan kepada murid yang dikasihi, yang tetap setia sampai akhir dan berada di kaki salib?

Lihat bagaimana Yesus memulihkan:

Sesudah sarapan, Yesus bertanya kepada Petrus, “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini?”

Tentu tidak mudah bagi Petrus untuk menjawab pertanyaan ini. Lidahnya tidak selantang dulu. Petrus telah belajar. Ia tidak memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya. Dulu, ia berkata, “Tentu, dan saya akan memberikan nyawaku untuk-Mu!” Petrus kini telah diajar untuk rendah hati oleh pengalamannya; ia tahu dan mengenal kelemahan-kelemahan dan dorongan-dorongan yang ada dalam dirinya. Yang dapat ia katakana – mungkin dengan suara yang bergetar – adalah: “Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau.”

Yesus mengatakan kepadanya, “Gembalakanlah domba-domba-Ku.”

Petrus sedih karena Yesus mengulangi pertanyaan itu sampai tiga kali. Dengan cara itulah Yesus memulihkan Sang “Batu Karang”, Ia memulihkan Petrus sebagai gembala yang harus menggembalakan domba-domba-Nya. Domba-domba itu bukan miliknya, melainkan milik Yesus. Petrus tidak mempunyai hak untuk menguasai domba-domba itu; ia diberi tugas untuk membantu mereka agar berada dalam kesatuan dengan Yesus, agar mendengarkan suara Sang Gembala Agung. 

Dengan cara itu pula, Yesus melembutkan dan mengajar agar Petrus rendah hati dan kemudian dapat memimpin, mengembangkan dan bertanggung jawab terhadap kawanan domba Allah, sebagai pembuktian bahwa ia mencintai Yesus.

Petrus dipanggil terutama dan pertama-tama untuk anak-anak domba (Yun: arnia), yakni memberi makan yang kecil, memperhatikan mereka yang tersesat, kesepian, lemah, sakit, dan lapar, mereka yang tersingkirkan dari masyarakat. Petrus dipulihkan untuk mengikuti dan meneladani Sang Gembala Baik, untuk menuntun kawanan, untuk mencuci kaki orang lain, untuk memberi mereka makan, dan untuk memberikan hidupnya bagi mereka yang dipercayakan kepadanya.

Petrus adalah kita!
Siapa kita? Jelaslah tidak setegar batu karang. Kerap kali dengan bahasa, gaya, sikap dan pikiran, kita menyangkal Tuhan. Barang kali lebih dari tiga kali kita menyangkal untuk tidak taat dan setia kepada Kristus. Demi rasa aman dan nyaman, kita menolak untuk setia pada firman-Nya. Kita mengikut arus dan bersembunyi di balik berbagai alasan. Lalu, apakah Yesus menyerah dan diam? Rasanya Tidak! Sama seperti terhadap Petrus, Ia juga bertanya kepada kita, “Apakah engkau mengasihi-Ku?”Pertanyaan itu seharusnya kita tempatkan sebagai sarana pemulihan dan peneguhan kembali jati diri kita sebagai murid-murid-Nya. 

Sama seperti Petrus, kita pun diajar untuk kembali melihat pengalaman. Memperbaiki apa yang retak dan bahkan pecah. Mengumpulkan puing-puing agar kembali menjadi batu karang. Sama seperti Petrus, kita diajar untuk rendah hati, menanggalkan keegoisan dan memandang orang lain – kawanan domba – sebagai orang-orang yang berharga, yang harus dijaga bahkan dengan mempertaruhkan nyawa.

Yang menjadi permasalahan sekarang: Maukah kita mengalami pemulihan?

Jakarta, Paskah III 2019

Kamis, 25 April 2019

BERHENTI MERAGU, PERCAYA DAN BERSAKSILAH

“Karena kata-kata saja tidaklah cukup, harus ada yang bertindak.”
Albert Schweitzer

Perkataan Schweitzer tidaklah sama seperti ucapan salah seorang dari dua belas murid Yesus, Tomas. Schweitzer ingin membuktikan buah dari imannya, yakni : kesaksian. Kesaksian itu menurutnya tidak cukup dengan kata-kata, melainkan harus disertai tindakan nyata. Sementara bagi Tomas - ketika menanggapi perkataan teman-temannya bahwa Yesus sudah bangkit dan telah menampakkan diri kepada mereka - tidaklah cukup. Baginya, harus ada bukti, yakni: melihat sendiri Yesus dan meraba luka-luka-Nya!

Tomas, tidak hadir ketika untuk pertama kalinya Yesus yang bangkit itu menampakkan diri-Nya kepada para murid. Lalu, delapan hari berikutnya Tomas ada bersama-sama dengan mereka, mereka berkata kepada Tomas, bahwa mereka telah melihat Tuhan. Tomas menolak untuk percaya sebelum ada bukti nyata. 

Ada pelbagai praduga terhadap ketidak percayaan Tomas. Banyak yang geregetan dan menilai Tomas dari sisi negatif: tidak punya iman, peragu, pesimistis. Namun, bagaimana pun juga Tomas dapat mewakili orang banyak. Barang kali termasuk kita. Bukankah kita juga sering menuntut pembuktian untuk mempercayai segala sesuatu. Dan tuntutan kita itu bisa berbeda dari nalar kebanyakan orang. Pendeknya, kita ingin dipuaskan! Sebaliknya, tidak sedikit pula yang mengapresiasi sikap Tomas. Tomas adalah orang yang jujur. Percaya itu tidak bisa dipaksakan, harus melewati proses panjang. Dan keraguan merupakan proses alami manusia menuju sikap iman yang sehat. Banyak orang yang dengan lantang mengaku percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Dia Raja di atas segala raja. Namun, prakteknya itu semua hanya ucapan semu belaka. Kenyataannya, ketika situasi dan kondisi tidak sesuai dengan harapan, mereka berbalik bahkan menyangkal Tuhannya. Tomas tidak mau seperti itu!

Lalu, apakah Yesus membiarkan Tomas dalam keraguannya? Tidak! Seperti terhadap murid-murid yang lain. Dengan cara-Nya yang unik Yesus meneguhkan iman mereka kembali. Sangat mengesankan melihat bagaimana Yesus menjumpai Tomas dan menerima sebagaimana apa adanya dia. Yesus menerima tantangan Tomas tanpa mencela dan menyalahkannya. Ia menanggapi kebutuhan Tomas yang terucap dalam kata-katanya, kalaupun itu keluar dari sikap kurang percayanya.

Yesus menampakkan luka-luka-Nya kepada Tomas. Luka yang besar di lambung yang telah robek cukup untuk memasukkan tangan. Luka yang besar juga pada kedua tangan dan kaki cukup untuk memasukkan jari. Luka-luka itu tetap tinggal untuk selama-lamanya. Luka itu merupakan tanda cinta kasih Yesus yang tulus dan mengampuni, yang dicurahkan sampai sehabis-habisnya. Yesus yang bangkit tidak menampakkan diri sebagai yang berkuasa, digdaya, namun sebagai yang terluka dan mengampuni. Dia yang bangkit dan hadir di depan si peragu, tidak mencela dan mengolok-olok ketidak percayaan Tomas.

Melalui Tomas, Yesus mengundang kita untuk menyentuh bukan hanya luka-luka-Nya, melainkan luka-luka yang ada dalam diri sesama dan diri kita sendiri; luka-luka yang dapat membuat kita membenci sesama dan diri kita sendiri, yang dapat menjadi sumber perpecahan dan perpisahan. Di dalam Yesus, luka-luka ini diubah menjadi sumber pengampunan, dan akan menghimpunkan orang dalam cinta kasih. Luka-luka ini menyatakan bahwa kita saling membutuhkan. Luka-luka ini menjadi ruang untuk mengembangkan saling bela rasa dan menanggalkan keegoisan diri.

Tampaknya Albert Schweitzer melihat luka-luka itu. Luka akibat Perang Dunia II dan kolonialisasi, kemiskinan dan keterbelakangan dunia Afrika. Sambil membayangkan Afrika, Schweitzer bergumam, “Mengapa Tuhan membuat mereka jauh dari peradaban?” Apa yang dilakukannya kemudian? Di usia yang relative muda Schweitzer telah menjadi doctor filsafat sekaligus teologi serta bakat bermain music luar biasa dan berhasil di berbagai pementasan. Pada tahun 1905 di usia tiga puluh tahun ia memutuskan kembali ke sekolahnya yang dulu. Ia masuk sebagai mahasiswa kedokteran. Semua orang terkejut melihat Schweitzer yang telah meraih popularitas sebagai pemain music dan pengajar. Enam tahun ia berhasil lulus dan menjadi seorang dokter. Lalu?...

Ia berangkat ke Afrika. Bahkan sang ayah sempat berusaha menghentikan niatnya, “Kamu telah mendapat pengakuan sebagai seorang yang terpelajar, serta sebagai seorang pemain music, bukan? Apakah masih kurang, sehingga engkau harus pergi ke Afrika yang penuh bahaya?” Tampaknya, mata hati Schweitzer benar-benar melihat “luka-luka” itu dan ia menjawab, “Di bandingkan banyak tempat lain di dunia, saat ini Afrika yang benar-benar sedang membutuhkan dokter. Sampai detik ini aku hidup untuk kebahagiaanku saja. Tetapi mulai saat ini aku akan mencurahkan pikiran dan pengabdian demi orang lain.” Akhirnya pada tahun 1913 Schweitzer mendirikan rumah sakit di pinggir Sungai Ogooué, di seberang Persekutuan Perancis Afrika. Suatu kali orang Afrika pernah bertanya kepadanya, “Mengapa Anda mau datang ke tempat seperti ini dan mau menjalani hidup sulit?” 

Ia menjawab, “Karena kata-kata saja tidaklah cukup, harus ada yang bertindak!”

Di tengah kecamuk Perang Dunia II Schweitzer tidak pulang kembali ke Eropa. Ia berkonsentrasi dalam Pekabaran Injil dan perawatan medis sehingga saat itu ia mendapat gelar World Great Man, Saint of Virgin Forest, dan juga “bapak hutan”. Kemudian pada 1952, ia menerima penghargaan Nobel Perdamaian, lalu uang hadia Nobel itu ia pergunakan untuk membangun desa bagi penderita penyakit lepra.

Tomas melihat luka di tubuh Yesus yang bangkit. Ia percaya dan kemudian menjadi saksi kebangkitan itu. Banyak cerita mengenai kisahnya memberitakan Injil. Gereja Mar Thoma di Kerala, India Selatan, mereka menamakan diri Orang Kristen Malabar atau Orang Kristen Thomas adalah bukti bagaimana Tomas telah dengan sepenuh hati dan mempergunakan hidupnya untuk menyaksikan Kristus yang mengasihi dunia. 

Albert Schweitzer melihat luka dan duka dunia. Ia menanggalkan segala kenyamanan dirinya. Baginya, kesaksian tidak cukup hanya dengan ucapan bibir belaka. Dia harus menghidupi dan mewujudkannya dalam tindakan konkrit. Suatu kali orang bertanya kepadanya tentang apa yang terpenting dalam sebuah ajaran. Ia menjawab, “Pertama adalah contoh, kedua contoh, ketiga pun contoh!”

Jika Anda pernah seperti Tomas, meragukan kebangkitan-Nya, menyangsikan kasih-Nya, bahkan tidak percaya kuasa dan pertolongan-Nya, Dia tidak pernah akan mencelamu. Sama seperti terhadap Tomas dan juga rasul-rasul yang lain, Ia akan menjumpai Anda. Memperlihatkan bukan tanda-tanda kejayaan yang sering diagungkan dan dipuja dunia, melainkan luka-luka – dan itu merupakan tanda cinta kasih-Nya. Percayalah bahwa melalui luka-luka itu adalah bukti cinta-Nya kepada Anda. Satu hal yang diharapkan-Nya, yakni: Anda dan saya melihat tanda cinta kasih itu. Luka-luka itu tidak jauh dari kita. Ia begitu dekat dan mungkin melekat dalam diri kita. Biarlah kita pun bersedia memperlihatkan luka itu agar dijamah oleh bilur-bilur-Nya dan menjadi sembuh. Pada saat yang sama kita juga terpanggil untuk menjadi saksi-Nya dengan cara memulihkan luka-luka orang lain. 

Dunia tidak cukup hanya mendengar cerita kita tentang kebangkitan Yesus. Dunia kini menantikan Anda dan saya membalut luka-luka-Nya. Kesaksian yang dinantikan dunia bukan sekedar cerita menjelang tidur, melainkan bukti nyata bahwa Anda dan saya mengasihi seperti Yesus mengasihi dunia ini.

Jakarta, Paskah II 2019