Selasa, 09 April 2019

IA TERPAKU DAN TELANJANG

Ia yang menggantung bumi, tergantung di sini,
Ia yang memasang surga, di pasang di sini,
Ia yang menciptakan segala sesuatu teguh terikat, diikat pada sebatang kayu,
Tuan untuk dihina, Allah telah dibunuh,
Raja Israel telah disembelih oleh tangan Israel…
Tuan telah diperlakukan secara tidak pantas,
Tubuhnya telanjang…
Dan bahkan, tidak layak untuk ditutupi, sehingga ketelanjangannya tidak tampak.
Maka cahaya surga berpaling, dan hari menjadi gelap,
agar dapat menyembunyikan Dia yang dilucuti pakaian-Nya di atas salib.”(Melito dari Sardis, “Homili tentang Kesengsaraan”, dikutip oleh Hengel, Crucifixion, p.21)

Keempat Injil bercerita bahwa di Golgota,sebelum penyaliban, pakaian Yesus segera dibagi-bagi di antara para serdadu. Pada umumnya, orang yang divonis hukuman salib harus memikul salibnya sendiri dengan telanjang melewati jalan-jalan di Yerusalem. Tetapi karena orang Yahudi ngeri terhadap ketelanjangan di depan umum, terkadang dibuat pengecualian. Bisa jadi, perlakuan terhadap Yesus juga demikian. Meneguhkan pendapat itu, salah satu lukisan penyaliban paling awal adalah gambar dari pahatan kecil abad ke-2 pada sebuah permata yang menampilkan tubuh Yesus di salib yang telanjang dan sudah rusak. 

Di Golgota, Yesus dipaku dan telanjang! Bagi kebanyakan orang lebih mudah memahami siksaan fisik yang mengerikan ketimbang membayangkan perendahan paling keji pada saat seseorang disalibkan. Filsuf Seneca menegaskan bahwa lebih baik melakukan tindakan bunuh diri daripada menghadapi kematian di salib yang berkepanjangan. “Adakah orang yang lebih suka disia-siakan dalam penderitaan, sekarat saat demi saat, mati secara perlahan-lahan daripada mati seketika? Dapatkah ditemukan orang yang mau diikat pada batang kayu terkutuk, sakit berlama-lama, seluruh tubuh dirusak, bengkak dengan bilur-bilur yang nyeri pada bahu dan dada, menarik nafas kehidupan selama penderitaan yang berkepanjangan? Ia akan memilih banyak cara lain untuk mati sebelum menaiki salib.

Salib yang ditemui pada masa sekarang jauh lebih baik. Namun, bukan merupakan model atas kesetiaan kepada sejarah. Salib-salib itu, hampir tanpa pengecualian, entah dilukis entah diukir, salah! Salib-salib itu menampilkan tubuh yang tersalib secara amat rapi. Ditutup dengan kain pinggang, masih mengenakan mahkota duri, dan paku menerobos telapak tangan-Nya, bahkan pergelangan tangan-Nya. Terlalu indah!

Meski dihina, martabat-Nya direndahkan serendah-rendahnya, sebelum ajal tiba. Yesus masih memikirkan orang lain. Ia tidak meminta dikasihani, tetapi kasih-Nya terus terpancar. Yesus masih memikirkan nasib Maria, bunda-Nya. Ia menitipkan kepada murid yang dikasihi-Nya. Dan sejak saat itu Maria menjadi ibu bagi para murid. Tidak hanya itu, di dalam diri-Nya sama sekali tidak tersirat kebencian terhadap orang-orang yang memusuhi, merendahkan, menganiaya dan membunuh-Nya. Alih-alih kutuk yang meluncur dari mulut-Nya adalah syafaat kepada Bapa-Nya, “Ya, Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”(Lukas 23:34). Syafaat itu jelas ditujukan bagi mereka yang secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas penyaliban-Nya, yaitu penguasa Romawi, Pilatus, dan para tentaranya serta para pemimpin Yahudi yang menyerahkan-Nya kepada wali negeri Romawi untuk disalibkan.

Bisa saja kita memiliki tabiat seperti penguasa Romawi yang gemar menaklukkan, gemar menjadikan orang lain obyek dari kenikmatan kita. Pilatus juga bisa mewakili kita yang selalu memilih rasa aman dan nyaman ketimbang memperjuangkan kebenaran dan menegakkan keadilan. Atau kita adalah para pemuka Yahudi, yang menggunakan agama sebagai alat untuk menghukum, menghajar, menghardik dan menindas sesama. Kita merasa diri paling benar dan orang lain adalah penista agama! Yesus juga telah berdoa untuk kita. Dia menyampaikan syafaat kepada Bapa agar kita diampuni dan diterima kembali!

Di dalam Yesus, setiap orang akan melihat apa artinya pengampunan. Di dalam Yesus, setiap orang diterima meskipun telah melakukan kekejian. Kasih-Nya yang besar seharusnya mendorong setiap kita untuk bersyukur dan menanggapi dengan kehidupan pertobatan. Kristus telah mati agar kita mendapatkan kehidupan kekal, maka sewajarnyalah kita bersyukur dan menjadi pelayan-Nya yang setia!

Jumat, 05 April 2019

MENILIK HATI, MENEGUHKAN RELASI

Dunia politik dengan gamlang mempertontonkan kepada kita bahwa transaksi lebih utama ketimbang relasi. Musim kampanye, merupakan musim tebar pesona dan janji, bahkan musimtransaksi. Belum lagi kemenangan diraih, para kandidat sudah membagi-bagi jatah menteri. Partai A mendapat jatah tujuh menteri, partai B kebagian lima menteri, dan yang tidak mendukung jangan harap kebagian rezeki! Tidak penting lagi kepakaran dan persahabatan, yang penting adalah: kamu mendukung atau tidak. Itulah transaksi!

Bila transaksi mengutamakan hitung-hitungan matematis untung-rugi – dan biasanya itu berpusat pada pemenuhan ambisi serta pementingan diri sendiri – relasi tidaklah demikian. Relasi selalu terkait dengan hubungan, dan memang itu hakikat utama yang terkandung dalam kata relasi. Dalam ilmu-ilmu sosial, relasi terbangun oleh karena adanya interaksi dari dua atau lebih pihak yang saling mempengaruhi. Relasi yang baik akan membuahkan kebaikan: saling mendukung, membangun, toleran, dan akomodatif. Namun, relasi yang buruk akan bermuara pada saling curiga, persaingan tidak sehat, tidak akomodatif dan sulit kerjasama.

Berbicara tentang relasi, mungkin saja terasa usang di tengah-tengah derasnya arus transaksional yang telah merasuki sendi-sendi kehidupan pribadi kita. Contoh, pernikahan. Betapa banyak pernikahan dan hubungan keluarga seharusnya merupakan sebuah relasi indah. Saling memberikan yang terbaik untuk pasangan atau anggota keluarga. Namun apa yang terjadi? “Kalau dia mengasihi, memperhatikan dan setia, maka saya juga akan seperti itu. Namun, saya juga bisa bersikap masa bodoh kalau dia tidak lagi mencintai saya!” Atau sikap orang tua terhadap anak dan sebaliknya. Orang tua berkata, “Saya akan memberikan apa pun buat anak saya, asalkan dia menghormati saya. Namun, jangan harap dia mendapatkan warisan jika dia selalu menentang aku!”

Bahkan transaksi juga terjadi di ranah spiritual. Banyak orang mencoba hitung-hitungan dengan Tuhan. “Tuhan, saya sudah melayani, saya sudah beribadah, berdoa, dan bersedekah. Kini, Engkau harus membalasnya dengan memenuhi segala keinginan saya. Saya sudah setia kepada-Mu, maka wajarlah kalau Engkau memberikan berkat melimpah dalam kehidupanku!” 

Peristiwa di Betania hendak mengajar kepada kita, apakah kita seperti Maria yang memberikan persembahan penghormatan kepada Yesus karena cintanya sebagai buah relasi yang baik dengan-Nya. Ataukah seperti Yudas yang selalu bertransaksi dan berhitung untuk kepentingannya sendiri.

Waktu itu, enam hari menjelang perayaan Paskah. Yesus berada kembali di Betania tempat Ia membangkitkan Lazarus yang sudah empat hari mati. Di sana Yesus ikut perjamuan di rumah Simon si kusta. Tentu saja, Lazarus ada di situ, makan bersama dengan Yesus, sementara Maria melayani. Dalam Injil Yohanes yang kita baca pada Minggu Pra-paskah V ini, peristiwa itu terjadi pada malam hari menjelang masuknya Yesus ke Yerusalem. Ada dua informasi penting yang disampaikan Yohanes. Pertama, kisah itu masih berkaitan dengan kisah tentang Lazarus yang dibangkitkan. Pembangkitan Lazarus telah meningkatkan intensitas konflik sampai pada keputusan Mahkamah Agama untuk membunuh Yesus, kali ini Lazarus ada di itu. Kedua, kisah ini juga merupakan persiapan akan peristiwa-peristiwa penderitaan yang harus dihadapi Yesus sampai pada saat kematian-Nya.

Di tengah-tengah perjamuan, Maria terdorong oleh kasih dan ungkapan syukurnya. Ia mengambil setengah kati minyak narwastu yang mahal harganya. Minyak itu menurut perkiraan Yudas dapat dijual seharga tiga ratus dinar. Setara dengan upah buruh selama setahun dipotong cuti dan hari libur. Namun, Maria menuangkan minyak itu tepat di kaki Yesus, lalu ia menguraikan rambutnya yang Panjang dan menyeka kaki Yesus itu dengan mahkotanya, sesuatu yang sangat tabu. Seorang perempuan Yahudi tidak akan pernah menguraikan rambut di depan orang, kecuali di hadapan suaminya sendiri. Kita bisa membayangkan betapa dramatisnya apa yang dilakukan Maria. Ia membuka, menguraikan dan memakai untuk membasuh kaki Yesus!

Tentu saja, ketika botol minyak wangi itu dibuka, harumnya minyak narwastu murni itu sudah tercium. Apalagi, ketika seluruh minyak itu tumpah di kaki Yesus dan gerakan rambut yang menyekanya, pastilah seluruh ruangan itu sangat harumdengan wanginya minyak narwastu itu. Keadaan ini mengingatkan kita akan peristiwa Lazarus yang telah empat hari mati. Bukankah Marta pada waktu itu mencegah Yesus ketika Ia meminta mereka membuka kubur Lazarus? “Tuhan, ia sudah berbau,…”.

Maria saat itu mengganti bau anyir kematian mayat Lazarus dengan semerbak bau harum minyak narwastu murni. Ini adalah tindakan kasih Maria yang berkelimpahan tanpa memikirkan kerugian yang ada pada dirinya. Ia tidak peduli berapa lama harus bekerja menghasilkan uang untuk membeli minyak itu. Baginya, keuntungan itu sudah diperoleh dirinya. Kematian saudara yang begitu dicintainya dan kini hidup kembali tidak ada artinya dengan tiga ratus dinar yang dia curahkan!

Yudas bereaksi keras atas sikap dan tindakan Maria ini. Pemborosan!, “Mengapa minyak narwastu in tidak dijual tiga ratus dinar, dan uangnya diberikan kepada orang-orang miskin?”Motivasi ini tentu niatan yang luhur, karena ia tampaknya peduli dengan orang-orang miskin. Namun, penulis Injil Yohanes mengungkap niat sebenarnya dari seorang Yudas. Bukan, ia bukan peduli kepada si miskin. Yudas mengatakan semuanya itu karena dia adalah seorang pencuri yang sering mengambil uang dari kas yang dipegangnya. Yesus yang tahu segala sesuatu tidak berbicara apa pun untuk menanggapi protes Yudas.

Sebaliknya, Yesus meneguhkan Maria dalam kasih dan martabatnya sebagai perempuan. Yesus memerdekakan cintanya tanpa harus merasa bersalah atas tindakannya yang menurut Yudas sebagai pemborosan. Dengan membela Maria, Yesus juga membutuhkan kasih dan kepercayaan Maria pada saat orang-orang segera akan menolak dan membunuh-Nya. Maria sadar bahwa karena Yesus menghidupkan kembali saudaranya dan atas permintaannya itu menyebabkan kebencian terhadap Yesus semakin memuncak. Yesus akan segera ditangkap dan dibunuh. Bagi Maria, Yesus telah memberikan segala-galanya. Lalu kini, ia menanggapi pemberian yang utuh itu dengan memberikan seluruh dirinya pula, seluruh yang paling berharga dalam dirinya ia persembahkan dalam keagungan. Tampaknya agak bodoh dan menjadi batu sandungan, namun justru Yesus menaruh hormat pada pemberian yang seperti itu.

Maria telah menjalin relasi yang mutual dengan Yesus. Ia merasakan benar-benar cinta kasih Yesus. Cinta itu bersemayam dalam hati sanubarinya – suatu tempat yang paling layak dalam hidup manusia. Maria tidak terjebak hubungan transaksional: berhitung untung-rugi dengan Tuhan. Itulah sebabnya ia rela memberikan yang terbaik dalam hidupnya untuk Tuhannya.

Sekarang, tiliklah hati kita. Apakah cinta Tuhan juga tumbuh di sana? Apakah kebaikan dan cinta kasih serta penebusannya membuat kita menyadari bahwa sebenarnya tidak ada yang begitu pantas untuk kita berikan kepada-Nya sebagai persembahan yang terbaik? Apakah kebaikan Tuhan itu mendorong dan menolong kita untuk dengan sukacita menunaikan tugas panggilan kita sebagai murid-murid-Nya? Ataukah sama seperti Yudas, yang tampaknya baik; mau menolong dan memperhatikan orang-orang miskin namun di sana tersembunyi niat busuk?

Bangun dan milikilah relasi yang baik dengan Yesus, pasti kita akan merasakan cinta kasih-Nya. Hanya orang yang merasakan dan mengalami cinta kasih Tuhan Yesuslah yang akan mampu mengucap syukur dengan benar.

Jakarta, Minggu Pra-Paskah V 2019