Selasa, 05 Maret 2019

KITA ADALAH ABU DAN DEBU

Dalam keseharian abu dan debu begitu dekat dengan kita. Sama-sama partikel atau serbu halus sekali dan mudah diterbangkan angin. Namun, tampaknya ada sedikit nuansa antara abu dan debu. Abu, umumnya berasal dari sisa hasil pembakaran. Kayu dibakar, menjadi arang dan akhirnya menyisakan debu. Begitu pula dengan jasad manusia yang dikremasi menyisakan abu putih halus. Sedangkan debu berasal dari benda-benda yang berbenturan, bergesekan atau bertumbukan sehingga menghasilkan partikel-partikel halus berdiameter kurang dari 500 mikrometer. Umpamanya, debu tanah, pasir atau debu vulkanik dan batubara. Baik abu dan debu dalam tataran spiritual mempunyai makna simbolis. Keduanya melambangkan ketidak-berdayaan, ketiadaan arti,kecil, lemah dan fana.

Konon manusia diciptakan dari situ; “… ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kej.2:7). Dari ketiadaan arti, kecil, dan lemah, TUHAN menjadikannya makhluk superior atas segala ciptaan yang ada. “Tak ada keraguan bahwa Homo Sapienadalah spesies paling kuat di dunia. Homo Sapienjuga suka berpikir bahwa ia memiliki status moral superior, dan bahwa kehidupan manusia jauh lebih bernilai ketimbang kehidupan babi, gajah, atau serigala.” Ungkap Yuval Noah Harari (Homo Deus, masa depan umat manusia). Meskipun kemudian ia mempertanyakan, “Apakah benar bahwa kehidupan manusia lebih berharga dari kehidupan babi hanya karena manusia secara kolektif lebih kuat ketimbang babi secara kolektif?.... Kita meyakini bahwa hidup manusia benar-benar lebih superior dalam suatu hal yang fundamental. Kita Sapiens gemar mengatakan kepada diri sendiri bahwa kita memiliki suatu kualitas ajaib yang tidak hanya membentuk kekuatan besar kita, tetapi juga memberi kita justifikasi moral atas status istimewa kita. Apa, sih, penanda unik manusia ini? Monoteis tradisional menjawab bahwa hanya Sapiens yang punya jiwa abadi. Sementara tubuh rusak membusuk, jiwa meneruskan perjalanan menuju penyelamatan atau kutukan, dan akan menjalani kebahagiaan abadi di surga atau penderitaan abadi di neraka. Mereka hidup beberapa tahun, dan kemudian mati dan lenyap dalam ketiadaan.”

Meski Harari masih mempertanyakan dengan bekal eksperimen-eksperimen laboratorium, apakah benar manusia itu punya jiwa, setidaknya sejarah telah memberi ruang kepada makhluk yang bernama manusia adalah penguasa jagat raya. Seperti yang terungkap dalam Mazmur 8, “Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, … Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu,…”

Secara moral teologis, kekuasaan yang dipercayakan kepada manusia adalah untuk memertahankan dan mengembangkan keutuhan ciptaan yang semula diciptakan dengan sungguh amat baik. Artinya, kekuasaan dan kewenangan itu sama seperti apa yang Allah lakukan: memelihara dan menjaga adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kuasa yang dimandatkan kepada manusia. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan manusia? Keserakahan, ketamakan, pemuasan nafsu itulah yang terjadi. Manusia menolak mandat itu, ia menolak “nafas kehidupan yang dihembuskan Allah”. Kita tahu ujungnya: kematian! Bumi ini terus mengarah kepada kematian karena yang diberi mandat untuk menguasai dan mengelolanya menggunakannya untuk kepuasan sendiri.

Dalam tataran spiritual, para nabi diutus Sang Penguasa yang sesungguhnya untuk menegur dan mengingatkan manusia. Untuk bencana yang bakal terjadi. Nabi Yoel, mengatakan kematian dan hukum itu sudah di depan mata, “… suatu hari gelap gulita dan kelam kabut, suatu hari berawan dan kelam pekat;… Di depannya api memakan habis, di belakangnya nyala api berkobar… Di depannya bumi gemetar, langit bergoncang dan bulan menjadi gelap, dan bintang-bintang menghilangkan cahayanya. Dan Tuhan memperdengarkan suara-Nya di depan tantara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dasyat hari TUHAN! Siapakah yang dapat menahannya?(Yoel 2:1-11)

Siapakah yang dapat menahan kedasyatannya jika hari itu tiba? Ketika malapetaka itu tiba: banjir besar melanda, gunung berapi memuntahkan amarahnya, tanah longsor, peperangan antar bangsa, wabah penyakit, tindakan anarki terjadi, Adakah manusia yang disebut makhluk perkasa itu sanggup menghentikannya? Hari TUHAN lebih dasyat dari itu, siapakah yang dapat menahannya? 

Perspektif spiritual memberi makna pada peristiwa alam maupun sosial yang menimbulkan bencana pada sebuah peringatan dari Yang Ilahi agar manusia mawas diri; bertobat! Tentu, saja kacamata ilmu pengetahuan bisa berbeda dalam pemaknaan. Namun, demikian ada satu benang merah yang mau dikatakan bahwa manusia, betapa pun ia punya kekuatan dan kuasa tidak dapat mengendalikan gejala-gejala alam dan fenomena sosial yang dasyat. Ada keterbatasan: kita ini berasal dari debu, berasalah dari ketiadaan arti, kecil dan fana dan kelak akan kembali seperti itu.

Berangkat dari kesadaran inilah para nabi, termasuk Yoel mengajak agar umat manusia yang merasa diri paling mulia di antara semua ciptaan untuk segera berbenah diri. “Tetapi sekarang juga,” Demikian Firman TUHAN, ‘berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, Panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.”(Yoel 2:12-13).

Tetapi sekarang juga!”Tidak ada lagi waktu berleha-leha. Waktunya mendesak untuk berbalik kepada Yang Ilahi. Dalam tataran spiritual, Yang Ilahi dipahami sebagai sumber kekuatan moral, sumber kebaikan dan sumber kehidupan. Berbalik kepada-Nya berarti siap meninggalkan apa yang bertentangan dengan moralitas ilah. Bertobat berarti siap membuang segala kejahatan dan kini fokus pada mengerjakan apa yang baik. Tentu saja tolok ukur yang baik bukan diri sendiri melainkan kebaikan Allah. Bertobat berarti menyongsong kehidupan dan bukan kematian. Orang yang bertobat akan mengarahkan segala dayanya untuk memulihkan dan menciptakan tatanan kehidupan yang sungguh amat baik

Ibadah sejatinya mendemontrasikan kehidupan umat yang mengalami pertobatan. Namun, sayangnya yang terjadi adalah pamer kesalehan. Memberi sedekah, puasa, dan berdoa tak pelak lagi adalah ritual ibadah yang baik. Namun, manusia suka menggunakan ritual-ritual itu untuk pamer kesalehan. Jelas, bukan seperti ini yang diinginkan TUHAN. Bukan alat pamer, tetapi terjadi sebagai buah dari pertobatan. Yesus mengecam praktik-praktik ibadah yang dijadikan alat pamer kesalehan (Matius 6:1-6, 16-21). Bagi-Nya, praktik ibadah itu harus membangun relasi baik dengan Allah, dan juga terhadap sesama manusia. Relasi baik itu ditandai dengan ucapan syukur dan ketaatan kepada Allah, kemudian bersedia menghadirkan damai sejahtera di bumi.

Hari ini kita masuk dalam masa pertobatan. Abu sebagai pengingat bahwa kita sebenarnya bukan siapa-siapa. Makhluk fana yang berasal dari ketiadaan daya dan arti. Kelak kita akan kembali kepada debu itu. Marilah, sebelum saat itu tiba; sebelum kita terlambat, kita menyambut ajakan TUHAN agar kita hidup dalam pertobatan. Bukan pertobatan yang basa-basi. Tidak cukup hanya dengan menorehkan abu di jidat, lalu dengan itu kita pamer bahwa kita sudah bertobat. Bukan begitu! Melainkan, dengan mengingat pesan Yoel, “Koyakkanlah hatimu dan janganlah pakaianmu!”. Olesan abu di jidat kita adalah “pakaian”. Baiklah kita pakai pakaian itu. Namun, jangan berhenti di situ. Sebab, kalau hanya itu, kita mengulangi apa yang dulu dikecam Yesus: ibadah munafik! “Koyakkanlah hatimu”, pertobatan itu harus dimulai dari hati yang tulus, yang bersedia diubahkan oleh TUHAN dan yang mau mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Rabu Abu, 2019 

Kamis, 28 Februari 2019

TUNDUK DI DALAM TAKJUB

Tunduk? Ah, siapa yang mau? Bukankah sifat dan naluri umum manusia adalah menjadi penakluk? Bukan menyerah dan takluk. Lihatlah sepanjang peradaban manusia, selalu diwarnai oleh perang dan penaklukkan. Ini menegaskan bahwa manusia tidak suka tunduk. Tidak ada seorang pun senang menjadi pribadi yang berada di bawah bayang-bayang orang lain!

Tunggu dulu! Perkembangan sainsdapat menjawabnya. Manusia bisa tunduk dan dapat melakukan apa pun yang dikehendaki oleh orang yang “mengendalikannya” dan itu dilakukan seolah-olah pilihan bebasnya sendiri yang menyenangkan. Yuval Noah Harari dalam Homo Deus sedikit mengulas tentang ini. Ia mengacu pada riset yang disebut Robo -rat. Robo-ratadalah seekor tikus biasa dengan sebuah lilitan : para ilmuwan menanam elektroda ke dalam syaraf sensori dan jalur dopamine mesolimbicyang bisa disebut reward area pada otak tikus. Ini memungkinkan para ilmuwan mengendalikan gerak tikus dengan remote control. Setelah sesi-sesi latihan, para peneliti berhasil – tidak hanya membuat tikus belok ke kiri atau ke kanan, tetapi juga memanjat tangga, mengendus tumpukan sampah di sekitarnya, dan melakukan hal-hal lain yang normalnya tidak disukai tikus, seperti melompat dalam ketinggian ekstrem.

Militer dan korporat sangat berminat pada  robo-rat, dengan harapan tikus-tikus itu akan terbukti berguna untuk banyak tugas dan situasi. Misalnya, robo-ratdapat mendeteksi orang yang masih hidup tetapi terperangkap di bawah reruntuhan Gedung, melacak bom atau ranjau, dan memetakan terowongan atau gua di bawah tanah. Tentu saja tikus-tikus itu akan melakukannya seolah tanpa paksaan. Profesor Sanjiv Talwar dari State University of New York, salah seorang peneliti terkemuka robo-ratmenjelaskan, “tikus-tikus itu ‘bekerja untuk kesenangan’ dan ketika elektroda-elektroda menstimulasi reward areadalam otak mereka, tikus-tikus itu merasakan sensasi Nirwana”. Tikus itu tidak merasa bahwa seseorang lain sedang mengendalikannya, dan ia merasa sedang tidak dipaksa untuk melakukan apa pun yang bertentangan dengan keinginannya.

Militer Amerika Serikat belum lama ini sudah menginisiasi eksperimen semacam robo-ratdengan menanamkan chip-chip komputer pada otak manusia, dengan harapan bisa menggunakan metode ini untuk merawat tentara yang menderita gangguan stress pasca trauma. Di Rumah Sakit Hadassah di Yerusalem, para dokter telah memelopori sebuah perawatan baru untuk pasien yang menderita depresi akut. Mereka menanam elektroda-elektroda ke otak pasien, dan menyambungkannya dengan sebuah komputer mungil yang ditanam di dada pasien. Setiap menerima perintah dari komputer, elektroda mengalirkan arus listrik yang melumpuhkan area otak yang bertanggungjawab atas depresi. Perawatan itu tidak selalu berhasil. Namun, dalam beberapa kasus pasien melaporkan bahwa perasaan kosong gelap yang mendera mereka sepanjang hidup menghilang seperti sulap!

Inilah Anak-Ku yang Kupilih, dengarkanlah Dia!”(Lukas 9:35)

Sangat jelas, ini adalah kalimat perintah. Suara Langit yang memerintahkan orang yang mendengarnya untuk tunduk dan mendengarkan apa yang diucapkan Sang Anak. Dalam Perjanjian Baru, hanya di sini gelar ini dipergunakan. Anak Pilihan-Ku menghadirkan kembali gambaran tentang Israel yang dalam Yesaya 42:1 disebut sebagai Pilihan-Ku dan Yakub yang disebut sebagai Anak-Ku atau hamba-Ku. 

Pesan “Dengarkanlah Dia” dekat dengan pesan yang dapat kita temukan dalam Ulangan 18:15, yakni ketika Musa mewartakan bahwa Allah akan membangkitkan nabi seperti dia. Ketika memberikan pesan itu, Musa juga mengatakan, “Dialah yang harus kamu dengarkan.” Maka menjadi lengkaplah ketika Musa juga hadir dalam peristiwa pernyataan Allah itu. Peristiwa itu lazim disebut transfigurasi.

Transfigurasi ini merupakan komunikasi kedua antara Kawasan “Langit” dan “Bumi”. Pernyataan Langit yang pertama diberikan pada peristiwa pembaptisan Yesus oleh Yohanes di sungai Yordan (Lukas 3:21-22). Pada peristiwa baptisan itu Kawasan Langit menyatakan kepada Yesus, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”Suara itu ditujukan kepada Yesus. Dan Yesus menanggapi suara itu dengan cara melakukan apa yang menjadi kehendak Bapa-Nya. Pernyataan Surgawi kedua terjadi dalam peristiwa transfigurasi ini. Kembali muncul suara Langit. Kali ini pernyataan itu tidak ditujukan kepada Yesus, tetapi kepada tiga orang murid yang menyaksikan peristiwa yang menakjubkan itu. Suara itu berisi pernyataan dan sekaligus perintah. Suara dari langit itu menyatakan, “Inilah Anak-Ku yang Kupilih”dan memberi perintah kepada para murid itu, “Dengarkanlah Dia!”
 

Pernyataan surgawi itu penting terutama karena dinyatakan segera sesudah pemberitaan Yesus tentang penderitaan yang harus Dia alami. Pernyataan surgawi itu bisa dimengerti sebagai pernyataan penderitaan atau juga sebagai konfirmasi surgawi atas pemberitahuan Yesus mengenai penderitaan-Nya. Meskipun demikian, pernyataan surgawi itu juga harus ditempatkan dalam konteks akhir karya Yesus di Galilea yang diwarnai dengan pertanyaan tentang siapakah Yesus dan ditutup dengan pengakuan Petrus bahwa Yesus adalah Mesias dari Allah. Dalam peristiwa transfigurasi ini, baik pernyataan Yesus maupun pengakuan Petrus diteguhkan oleh pernyataan surgawi bahwa Yesus memang Mesias bahkan lebih dari Mesias yang mereka duga; bahwa Ia memang dari Allah karena Yesus adalah Anak pilihan Allah.

Kata-kata kesaksian dan jaminan dari surga akan menguatkan mereka. Yesus adalah sungguh-sungguh Anak Allah yang taat kepada Bapa-Nya. Ketaatan itu Ia buktikan tidak saja dalam setengah perjalanan di Galilea. Berikutnya akan Ia buktikan ketika harus melangkah menuju Yerusalem. Di sanalah Ia harus menghadapi penolakan, penghinaan, penderitaan, bahkan kematian yang mengerikan. Ketaatan yang diperagakan oleh Yesus bukan ketaatan yang direkayasa oleh Sang Bapa, seperti Profesor Sanjiv Talwar yang merekayasa robo-rat.Allah tidak merancangkan otak Yesus yang seolah-olah Ia dengan sukacita melakukan apa yang tidak lazim dilakukan oleh umat manusia: cinta kasih radikal, pengampunan radikal dan pengorbanan radikal. Yesus mengerjakan-Nya dengan ketaatan dan kesadaran penuh!

Sama seperti Yesus mendengar suara Bapa-Nya, Ia taat mengerjakan apa yang menjadi kehendak-Nya, maka kita pun – sebagai murid-murid – harus mencontoh apa yang dilakukan-Nya. Mendengarkan ajaran dan perintah-Nya bukan karena terpaksa atau direkayasa. Bukan karena takut ancaman api neraka dan tidak kebagian kavling di surga. Juga bukan karena stimulus – yang meminjam istilah robo-ratdisebut reward area– dengan ganjaran kemuliaan dan kehidupan sukses, makmur bertaburan mukjizat. Bukan itu! Namun, dengan penuh kesadaran melakukan kehendak Bapa, hanya dengan cara itulah kita mencintai Allah. Cinta yang bukan sekedar mengharapkan imbalan karena hakikatnya Dia telah terlebih dulu memberikan cinta-Nya! 

Mencintai Allah karena takjub akan kasih-Nya yang luar biasa. Meraih kita, orang berdosa yang seharusnya dihukum! Kesadaran inilah yang akan mendorong kita untuk tunduk kepada Allah. Bukan dengan tertekan, terpaksa dan berharap imbalan. Serta melanjutkan apa yang sudah dikerjakan Kristus.

Jakarta, Minggu Transfigurasi 2019