Dalam keseharian abu dan debu begitu dekat dengan kita. Sama-sama partikel atau serbu halus sekali dan mudah diterbangkan angin. Namun, tampaknya ada sedikit nuansa antara abu dan debu. Abu, umumnya berasal dari sisa hasil pembakaran. Kayu dibakar, menjadi arang dan akhirnya menyisakan debu. Begitu pula dengan jasad manusia yang dikremasi menyisakan abu putih halus. Sedangkan debu berasal dari benda-benda yang berbenturan, bergesekan atau bertumbukan sehingga menghasilkan partikel-partikel halus berdiameter kurang dari 500 mikrometer. Umpamanya, debu tanah, pasir atau debu vulkanik dan batubara. Baik abu dan debu dalam tataran spiritual mempunyai makna simbolis. Keduanya melambangkan ketidak-berdayaan, ketiadaan arti,kecil, lemah dan fana.
Konon manusia diciptakan dari situ; “… ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” (Kej.2:7). Dari ketiadaan arti, kecil, dan lemah, TUHAN menjadikannya makhluk superior atas segala ciptaan yang ada. “Tak ada keraguan bahwa Homo Sapienadalah spesies paling kuat di dunia. Homo Sapienjuga suka berpikir bahwa ia memiliki status moral superior, dan bahwa kehidupan manusia jauh lebih bernilai ketimbang kehidupan babi, gajah, atau serigala.” Ungkap Yuval Noah Harari (Homo Deus, masa depan umat manusia). Meskipun kemudian ia mempertanyakan, “Apakah benar bahwa kehidupan manusia lebih berharga dari kehidupan babi hanya karena manusia secara kolektif lebih kuat ketimbang babi secara kolektif?.... Kita meyakini bahwa hidup manusia benar-benar lebih superior dalam suatu hal yang fundamental. Kita Sapiens gemar mengatakan kepada diri sendiri bahwa kita memiliki suatu kualitas ajaib yang tidak hanya membentuk kekuatan besar kita, tetapi juga memberi kita justifikasi moral atas status istimewa kita. Apa, sih, penanda unik manusia ini? Monoteis tradisional menjawab bahwa hanya Sapiens yang punya jiwa abadi. Sementara tubuh rusak membusuk, jiwa meneruskan perjalanan menuju penyelamatan atau kutukan, dan akan menjalani kebahagiaan abadi di surga atau penderitaan abadi di neraka. Mereka hidup beberapa tahun, dan kemudian mati dan lenyap dalam ketiadaan.”
Meski Harari masih mempertanyakan dengan bekal eksperimen-eksperimen laboratorium, apakah benar manusia itu punya jiwa, setidaknya sejarah telah memberi ruang kepada makhluk yang bernama manusia adalah penguasa jagat raya. Seperti yang terungkap dalam Mazmur 8, “Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, … Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu,…”.
Secara moral teologis, kekuasaan yang dipercayakan kepada manusia adalah untuk memertahankan dan mengembangkan keutuhan ciptaan yang semula diciptakan dengan sungguh amat baik. Artinya, kekuasaan dan kewenangan itu sama seperti apa yang Allah lakukan: memelihara dan menjaga adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kuasa yang dimandatkan kepada manusia. Selanjutnya, apa yang terjadi dengan manusia? Keserakahan, ketamakan, pemuasan nafsu itulah yang terjadi. Manusia menolak mandat itu, ia menolak “nafas kehidupan yang dihembuskan Allah”. Kita tahu ujungnya: kematian! Bumi ini terus mengarah kepada kematian karena yang diberi mandat untuk menguasai dan mengelolanya menggunakannya untuk kepuasan sendiri.
Dalam tataran spiritual, para nabi diutus Sang Penguasa yang sesungguhnya untuk menegur dan mengingatkan manusia. Untuk bencana yang bakal terjadi. Nabi Yoel, mengatakan kematian dan hukum itu sudah di depan mata, “… suatu hari gelap gulita dan kelam kabut, suatu hari berawan dan kelam pekat;… Di depannya api memakan habis, di belakangnya nyala api berkobar… Di depannya bumi gemetar, langit bergoncang dan bulan menjadi gelap, dan bintang-bintang menghilangkan cahayanya. Dan Tuhan memperdengarkan suara-Nya di depan tantara-Nya. Pasukan-Nya sangat banyak dan pelaksana firman-Nya kuat. Betapa hebat dan sangat dasyat hari TUHAN! Siapakah yang dapat menahannya?(Yoel 2:1-11)
Siapakah yang dapat menahan kedasyatannya jika hari itu tiba? Ketika malapetaka itu tiba: banjir besar melanda, gunung berapi memuntahkan amarahnya, tanah longsor, peperangan antar bangsa, wabah penyakit, tindakan anarki terjadi, Adakah manusia yang disebut makhluk perkasa itu sanggup menghentikannya? Hari TUHAN lebih dasyat dari itu, siapakah yang dapat menahannya?
Perspektif spiritual memberi makna pada peristiwa alam maupun sosial yang menimbulkan bencana pada sebuah peringatan dari Yang Ilahi agar manusia mawas diri; bertobat! Tentu, saja kacamata ilmu pengetahuan bisa berbeda dalam pemaknaan. Namun, demikian ada satu benang merah yang mau dikatakan bahwa manusia, betapa pun ia punya kekuatan dan kuasa tidak dapat mengendalikan gejala-gejala alam dan fenomena sosial yang dasyat. Ada keterbatasan: kita ini berasal dari debu, berasalah dari ketiadaan arti, kecil dan fana dan kelak akan kembali seperti itu.
Berangkat dari kesadaran inilah para nabi, termasuk Yoel mengajak agar umat manusia yang merasa diri paling mulia di antara semua ciptaan untuk segera berbenah diri. “Tetapi sekarang juga,” Demikian Firman TUHAN, ‘berbaliklah kepada-Ku dengan segenap hatimu, dengan berpuasa, dengan menangis, dan dengan mengaduh.” Koyakkanlah hatimu dan jangan pakaianmu, berbaliklah kepada TUHAN, Allahmu, sebab Ia pengasih dan penyayang, Panjang sabar dan berlimpah kasih setia, dan Ia menyesal karena hukuman-Nya.”(Yoel 2:12-13).
“Tetapi sekarang juga!”Tidak ada lagi waktu berleha-leha. Waktunya mendesak untuk berbalik kepada Yang Ilahi. Dalam tataran spiritual, Yang Ilahi dipahami sebagai sumber kekuatan moral, sumber kebaikan dan sumber kehidupan. Berbalik kepada-Nya berarti siap meninggalkan apa yang bertentangan dengan moralitas ilah. Bertobat berarti siap membuang segala kejahatan dan kini fokus pada mengerjakan apa yang baik. Tentu saja tolok ukur yang baik bukan diri sendiri melainkan kebaikan Allah. Bertobat berarti menyongsong kehidupan dan bukan kematian. Orang yang bertobat akan mengarahkan segala dayanya untuk memulihkan dan menciptakan tatanan kehidupan yang sungguh amat baik.
Ibadah sejatinya mendemontrasikan kehidupan umat yang mengalami pertobatan. Namun, sayangnya yang terjadi adalah pamer kesalehan. Memberi sedekah, puasa, dan berdoa tak pelak lagi adalah ritual ibadah yang baik. Namun, manusia suka menggunakan ritual-ritual itu untuk pamer kesalehan. Jelas, bukan seperti ini yang diinginkan TUHAN. Bukan alat pamer, tetapi terjadi sebagai buah dari pertobatan. Yesus mengecam praktik-praktik ibadah yang dijadikan alat pamer kesalehan (Matius 6:1-6, 16-21). Bagi-Nya, praktik ibadah itu harus membangun relasi baik dengan Allah, dan juga terhadap sesama manusia. Relasi baik itu ditandai dengan ucapan syukur dan ketaatan kepada Allah, kemudian bersedia menghadirkan damai sejahtera di bumi.
Hari ini kita masuk dalam masa pertobatan. Abu sebagai pengingat bahwa kita sebenarnya bukan siapa-siapa. Makhluk fana yang berasal dari ketiadaan daya dan arti. Kelak kita akan kembali kepada debu itu. Marilah, sebelum saat itu tiba; sebelum kita terlambat, kita menyambut ajakan TUHAN agar kita hidup dalam pertobatan. Bukan pertobatan yang basa-basi. Tidak cukup hanya dengan menorehkan abu di jidat, lalu dengan itu kita pamer bahwa kita sudah bertobat. Bukan begitu! Melainkan, dengan mengingat pesan Yoel, “Koyakkanlah hatimu dan janganlah pakaianmu!”. Olesan abu di jidat kita adalah “pakaian”. Baiklah kita pakai pakaian itu. Namun, jangan berhenti di situ. Sebab, kalau hanya itu, kita mengulangi apa yang dulu dikecam Yesus: ibadah munafik! “Koyakkanlah hatimu”, pertobatan itu harus dimulai dari hati yang tulus, yang bersedia diubahkan oleh TUHAN dan yang mau mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar