Rabu, 20 Februari 2019

MENGASIHI MUSUH, MUNGKINKAH?

“Seribu teman terlalu sedikit, satu orang musuh terlalu banyak”. Pepatah ini mengingatkan bahwa, sejatinya dalam kehidupan ini kita tidak mencari musuh tetapi turus menjalin relasi yang baik dengan semua orang. Idealnya, setiap orang yang kita jumpai dijadikan teman bahkan sahabat. Namun sayangnya, karena perbedaan temperamen, sifat, budaya, dan terutama kepentingan, alih-alih persahabatan yang dibangun, hubungan menjadi disharmoni. Disadari atau tidak, dalam kehidupan kita ada orang-orang yang kita sukai dan ada yang tidak kita sukai. Sebaliknya juga begitu, bagi orang-orang tertentu, kita dapat menjadi sahabatnya. Namun, bagi yang lain bisa jadi kita adalah orang yang memuakan mereka, seteru! Jika sudah begini, kita mengalami kesulitan berkomunikasi dengan baik.

Haruskah kita memutuskan untuk berhenti menjalin relasi dengan mereka yang menjadi “musuh” kita? Haruskah kita juga memusuhi dan memperlakukan mereka layaknya mereka memperlakukan kita? Benar, pada umumnya naluri manusia ingin membalas perlakuan yang diterimanya. Kita pada umumnya ingin membalas budi baik terhadap orang yang memberikan kebaikan kepadanya. Sebaliknya, kita juga ingin membalas perlakukan yang tidak menyenangkan terhadap dirinya.

Pernahkah Anda ingin membalas dendam lebih dari pada porsi yang seharusnya ketika Anda disakiti? Pada umumnya manusia ingin membalas lebih dari apa yang diterimanya. “Jika kamu membunuh anjingku, maka anjingmu akan kubunuh, begitu juga sapimu dan ayammu – aku akan tunjukkan agar kamu tidak main-main denganku!” Membatasi kecenderungan ini maka terciptalah apa yang disebut Hukum Resiprokal atau lex talionis. Siapa pun yang menyakiti orang lain harus merasakan sakit yang sama: patah ganti patah, mata ganti mata, gigi ganti gigi, seperti yang dibuatnya orang lain bercacat, begitulah harus dibuat kepadanya (Imamat 24:19-20). Resiprokal adalah standar dunia tentang kebenaran, keadilan dan hukum. Resiprokal juga berfungsi mengekang mereka untuk membuat kerusakan yang lebih parah dari yang seharusnya ketika mereka melakukan pembalasan.

Tidak menuntut balas dan mengasihi musuh di tengah kecenderungan sifat manusia melakukan pembalasan, mungkinkah?

Batasan kasih dan hak balas dendam dipelajari oleh orang Yahudi dalam kitab Imamat, “Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Imamat 19:18). Mengasihi orang sebangsa adalah konsep yang dapat diterima umum, sama seperti lumrahnya kita memberi angpaupada anggota keluarga sendiri. Jika seseorang bukan orang sebangsa, atau anggota keluarga, maka tidak ada kewajiban untuk mengasihi. Membenci musuh adalah sikap yang wajar. 

Yesus sekali lagi – setelah minggu kemarin kita tercengan dengan ucapan bahagia – menyatakan hal yang tidak wajar yang dianut oleh dunia ini, yakni perintah untuk mengasihi musuh. Apa artinya mengasihi seseorang? Bagi kebanyakan kita, kasih adalah sebuah perasaan emosi. Kata Yunani agapau(atau agape) sebenarnya mengacu bukan pada perasaan, melainkan kepada sebuah tindakan. Mengasihi (agapau) berarti “menginginkan sesuatu yang baik terjadi buat orang lain”. Kasih tidak melibatkan emosi atau rasa suka. Kita mengasihi, itu artinya kita menginginkan kebaikan bagi orang lain dan memperlihatkan keinginan tersebut dalam bentuk tindakan. Inilah poin pentingnya! Mengasihi musuh memang tidak mungkin ketika kita hanya menggunakan emosi, “Saya tidak pernah akan merasakan sanyang terhadap orang yang pernah melukai saya. Yesus tidak meminta para muridnya untuk merasakan sayang atau suka, tetapi untuk melakukan tindakan kasih kepada semua orang termasuk musuh sekali pun.

Mudah bagi kita untuk mengasihi orang yang mencintai kita; bahkan pemungut cukai pun bisa. Namun, sulit bagi kita untuk mengasihi mereka yang pernah melukai kita. Mudah bagi kita untuk mendoakan mereka yang mengasihi kita, tetapi sulit untuk mereka yang pernah menyakiti. Akan tetapi tindakan ini bukan hal mustahil untuk dilakukan. Mengasihi orang yang mengasihi kita adalah manusiawi, tetapi mengasihi musuh adalah tindakan surgawi! Ketika kita berhasil melakukannya, maka kita bertindak sama seperti Bapa surgawi. 

Sebutan anak-anak Tuhan, mestinya mendorong kita untuk melakukan seperti Bapa melakukannya. Allah mengasihi siapa saja termasuk orang-orang yang menentang-Nya dengan memberikan kebaikan. Termasuk kita di dalamnya, bukankah kita juga adalah orang yang berdosa, yang mestinya tidak pantas untuk menerima kasih karunia-Nya, “Akan tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa. Sebab jikalau kita masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya”(Roma 5:8,10).

Membalas dendam atas perlakuan yang tidak menyenangkan dari orang-orang di sekitar kita mungkin saja sesaat akan menjadi pelipur lara buat kita. Namun, apakah selanjutnya masalah menjadi selesai? Bukankah sebaliknya? Banyak darah tertumpah akibat balas dendam: perang antar saudara karena sakit hati seolah menjadi cerita turun-temurun. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya nyawa melayang akibat konfliks kaum Protestan dan Katolik di Irlandia Utara; Yahudi dan Palestina; Hutus dan Tutsis di Rwanda; Korena Utara dan Selatan; Pakistan; Afganistan dan Anda bisa menyebutkan sendiri. Jelaslah membalas dendam akan menghasilkan dendam yang baru, demikian seterusnya.

Lalu, bukankah ketika kita tidak membalas, itu berarti kita sedang membiarkan mereka untuk bertindak terus menyakiti orang lain? Bukankah kita sedang membiarkan mereka bertindak dzolim?

Yesus memberi contoh,”Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkanlah ia juga mengambil bajumu”(Lukas 6:20). Bukankah Yesus sedang mengajarkan pembiaran kelaliman? Sepintas kita menangkap mungkin begitu.  Mari kita lihat konteksnya. Dalam Injil Matius dijelaskan lebih rinci, “Siapa yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu”(Matius 5:39).

Pada zaman Yesus, adalah pemandangan lazim melihat seorang tuan menampar budaknya. Seorang tuan dapat memperlakukan seorang budak semaunya. Tidak ada seorang pun yang dapat menampar seseorang yang kedudukannya lebih tinggi. Tangan kiri tidak pernah digunakan untuk memukul. Menampar pipi kanan berarti menampar seseorang dengan punggung tangan. Ketika si tuan menampar, si budak akan menunduk pasrah. Si tuan akan terus menampar si budak. Tentu si budak dapat membalas, namun harap diingat, jika ia melakukannya maka risikonya sangat besar. Jika ada seseorang yang kedudukannya sama, lalu menamparnya, maka ia dapat melaporkan si penampar itu ke pengadilan. Pada zaman Yesus, menampar seseorang adalah tindakan kriminal yang dapat dihukum di pengadilan.  Tetapi Yesus malah mengajarkan respons yang mengejutkan: tawarkan juga pipi yang lain. Akibatnya, si penampar menjadi bingung (mengapa ia pasrah saja, atau ketika membalikkan pipi, si tuan tidak bisa lagi menggunakan punggung tangan, melainkan telapak tangan. Dan ini adalah tamparan untuk orang yang sama kedudukannya. Si penampar akan berpikir dua kali: jangan-jangan dia melaporkannya kepada pihak berwajib!)

Orang yang ditampar akan punya alternatif untuk sebuah respons tanpa kekerasan namun mengajarkan kepada si penamparnya untuk berpikir kembali tentang kekerasan yang sudah ia lakukan. Mahatma Gandhi dalam konteks perjuangannya memakai cara-cara seperti ini. Ia pernah mengatakan, “Jika mata ganti mata maka seluruh dunia akan menjadi buta!” Gandhi memilih jalan tidak memakai kekerasan dalam perjuangannya. Ia berhasil membuktikan kepada dunia bahwa kekerasan dan dendam bukanlah solusi terbaik mengatasi konfliks!
Martin Luther King Jr pernah mengatakan “Darkness cannot drive out darkness, only light can do that. Hate cannot drive out hate, only love can do that.” Luther King Jr, bukan sekedar retorika. Ia membuktikannya dengan gerakan menuntut kesetaraan hak asasi manusia namun dengan cara tidak menggunakan kekerasan. 

Bagaimana dengan gereja? Apakah masih mempertanyakan, “Mengasihi musuh, mungkinkah?” Jelas, di dalam Yesus hal itu bukan saja mungkin. Namun, merupakan solusi mengatasi dan mengakhiri konfliks. Saatnya kita bertanya bukan mungkin atau tidak, melainkan maukah kita mengasihi musuh atau orang yang telah membuat luka dalam hidup kita?

Jakarta, Minggu Epifani VII 2019

Kamis, 14 Februari 2019

MEMPERJUMPAKAN ALLAH

Ada hal menarik ketika Yesus memanggil murid-murid pertama - yang mungkin saja luput dari pengamatan kita – Ia sungguh-sungguh serius. Begitu pentingnya momen pemilihan itu sehingga Yesus harus mendahuluinya dengan doa di atas gunung (Lukas 6:12). Ia melewatkan malam dalam doa. Ini terjadi dalam setiap momen penting kehidupan Yesus, doa menjadi hal utama sebelum melakukan segala sesuatu. Jadi, meski Dia punya otoritas untuk menunjuk siapa saja menjadi pengikut-Nya, namun Ia harus mengkonfirmasikan dengan Bapa-Nya. Hal ini terjadi karena tugas perutusan sebagai murid itu hampir sama seperti Bapa mengutus Yesus. Pada saatnya, para murid itu harus dapat memperjumpakan Allah kepada semua orang dalam konteks di mana mereka ada sebagaimana Yesus memperjumpakan Bapa kepada orang-orang yang ditemui-Nya. Para murid juga akan  menghadapi tantangan yang tidak kalah berat dari apa yang dialami Yesus.

Cara Yesus memperjumpakan Allah yang menyapa umat manusia tidak hanya unik, melainkan berbeda dari para utusan Allah sebelumnya. Yesus mampu menghadirkan Allah yang ingin berkomunikasi dengan manusia. Di dalam Dia orang melihat Allah yang memberkati mereka, tidak peduli siapa pun atau apa pun yang telah mereka perbuat, tidak peduli apa pun jenis kelamin dan etnisitas mereka. Yesus tidak hanya sekedar mengabarkan Injil – kabar baik – namun, Injil itu juga adalah passion-Nya: Yesus menyembuhkan banyak orang; Allah Bersama- dengan Dia – dan Dia mengatakan bahwa kita pun memiliki akses kepada Allah. Mereka tidak hanya tertulis dalam daftar tamu, tetapi diundang dalam Kerajaan-Nya (James Brian Smith:The Good and Beautiful Life). Iamenanggapi realita sosial pada zaman-Nya tetapi juga menghadirkan surga ke dalam dunia! 

Yesus menyapa dan menyampaikan ucapan bahgia kepada mereka yang justru kondisi secara fisik berlawanan dengan kata “bahagia” itu. Matius mencatat ada Sembilan ucapan bahagia. Lukas hanya menekankan empat ucapan bahagia. Ucapan bahagia itu Ia sampaikan kepada kamu yang miskin, kamu yang lapar, kamu yang sekarang menangis, kamu yang dibenci.Kepada mereka inilah Yesus menyebut sebagai orang yang berbahagia!

Berbahagialah!Tiap kalimat dimulai dengan kata berbahagialah (makarios). Makarios memiliki makna yang lebih dalam daripada sekedar happy. Makna kata ini terkandung di dalamnya: kaya, mampu, beruntung, terberkati.Bayangkan Yesus mengucapkan kata-kata bahagia itu ditujukan kepada mereka yang benar-benar miskin, lapar, berduka dan dibenci. Yesus berbicara kepada mereka yang terbiasa memandang ke bawah karena malu dan tidak punya harapan; para perempuan, orang sakit, orang miskin, orang Yahudi campuran kelas dua, mereka yang hidupnya hancur karena telah salah mengambil keputusan, kini mereka semua benar-benar mendengar kabar baik. Kini, mata mereka langsung menatap Yesus dengan harapan dan sukacita. “Saya? Dia sedang berbicara mengenai saya? Saya diterima dalam Kerajaan Allah? Kerajaan Allah tersedia bagi saya sekarang juga? Kabar ini bukan saja kabar baik, tetapi kabar yang sangat baik!

Ucapan bahagia versi Lukas tidak menggunakan kata-kata kiasan. Miskin, yang dimaksudkan adalah orang-orang yang memang kekurangan dan bahkan tidak memiliki hal-hal mendasar untuk menunjang kehidupan mereka. Orang miskin pada waktu itu dipahami sebagai kelompok yang tidak beruntung. Mereka membutuhkan belas kasihan orang lain. Raja adalah pihak yang pertama-tama harus memberikan bantuan kepada kelompok ini. “Milik merekalah Kerajaan Allah” itu berarti mereka dapat mengharapkan intervensi Allah (Sang Raja) untuk kebutuhan-kebutuhan mereka. Sekarang mereka melihat dan mengalami Yesus adalah wujud intervensi Allah untuk kebutuhan mereka. Ia menghadirkan Allah yang abstrak menjadi nyata!

Demikian juga dengan kata “lapar”. Lukas menggunakan kata itu secara harafiah. Mereka yang lapar adalah mereka yang benar-benar tidak mempunyai makan. Makanan adalah bentuk intervensi pertama yang harus diberikan kepada mereka yang miskin dan mengalami kelaparan. Bukankah Allah telah melakukan intervensi itu? Allah memberi makan Israel di padang gurun dengan menurunkan manna. Yesus menaruh perhatian kepada mereka yang lapar. Pada saatnya mereka akan menerima roti dari Yesus. Yesus tidak membiarkan mereka lapar! Lagi, Yesus menghadirkan Allah yang peduli!

Kepada mereka yang tertindas karena ketidak-adilan, Yesus menyampaikan ucapan bahagia. Apakah ini pengharapan eskatologi belaka? Lukas menggambarkan kebahagiaan konkrit yang akan mereka alami. Kadang mereka akan menerima penganiayaan karena mempertahankan prinsip termasuk keberpihakan kepada Yesus. Derita dan aniaya itu mungkin saja akan mereka tanggung. Bisa saja mereka akan kehilangan nyawa. Jika dihubungkan dengan ucapan bahagia terakhir versi Lukas, ucapan bahagia ini tidak hanya punya makna sosio-ekonomis. Ada aspek spiritual di dalamnya. Aspek itu berkaitan dengan komitmen para murid. Berbahagialah terhadap komitmen kesetiaan kepadaYesus, karena kesetiaan mereka, mereka akan hidup terus dalam persekutuan dengan Kristus.

Bukankah sebelumnya mereka terbiasa ditempatkan sebagai orang-orang yang berstatus tidak beruntung? Para rabi mengajarkan ucapan makariosuntuk menunjuk pada kondisi yang kasat mata benar-benar baik.

Berbahagialah mereka yang tinggal dengan istri yang bijaksana…
Berbahagialah mereka yang tidak berdosa dengan lidah mereka…
Berbahagialah mereka yang tidak melayani dengan kerendahan…
Berbahagialah mereka yang memiliki teman…. 
(SIrakh 25:7-11)

Semua kondisi di atas memang menyenangkan. Istri yang baik dan tidak memiliki status yang rendah adalah hal baik. Ucapan di atas masuk akal dan wajar. Pesan yang sama juga disampaikan kepada mereka yang sedang berduka. Mereka akan dihiburkan di dunia yang akan datang kelak. Semakin kita menderita dalam dunia ini, semakin sedikit pula kita akan menderita di kehidupan yang akan datang. “Bersukacitalah,” kata seorang rabi kepada mereka yang sedang berdukacita, “karena engkau akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik kelak.” Pesan ini logis. Ada kebenaran dalam pesan ini: “Suatu hari nanti kamu akan mendapatkan upahmu!”

Sebaliknya, pesan Yesus sangat mengejutkan. Ucapan bahagia berlawanan dengan pengajaran umum para rabi pada saat itu. Yesus menggunakan kalimat-kalimat ekspresi yang serupa dengan kutipan-kutipan rabinis yang populer, namun dengan perubahan yang berlawanan. Alfred Edersheim menyimpulkan bahwa, “pengajaran Yesus tidak hanya berbeda dengan para rabi, namun juga cukup berlawanan, sehingga memperlihatkan perbedaan yang besar antara Kerajaan Kristus di dunia, dan sempitnya Yudaisme” Pengajaran Yesus ini baru dan berbeda!

Dulu Yesus memanggil murid-murid pertama dengan begitu serius, membawanya dalam doa semalam suntuk. Kita percaya, sampai pada zaman ini pun Yesus serius memanggil banyak orang terlibat dalam karya-Nya: memperjumpakan Allah dengan dunia ini, khususnya manusia. Pada saat ini, kita yang percaya akan karya Yesus seharusnya turut merasakan hidup dalam Kerajaan-Nya. Dengan, demikian kita juga terpanggil untuk meneruskan karya Kristus itu dalam konteks kehidupan kita masing-masing. Sudah saatnya kita – sama seperti Yesus dulu melakukannya – bukan sekedar bersuara menyampaikan janji-janji surga, melainkan menghadirkan surga itu ke dalam dunia.

Menjadi murid Yesus berarti berani meneruskan dan mengerjakan misi Yesus di dunia ini. Yesus hadir ke dunia ini tidak sekedar menyampaikan kata-kata kosong. Ia tidak sekedar menjanjikan “berbahagia” bagi para pendengar-Nya. Namun, kehidupan-Nya menjawab tantangan dan kebutuhan mereka. Yesus berbicara tepat pada jantung kebutuhan mereka. Sehingga sapaan Yesus itu benar-benar merupakan Kabar Baik, “Saya? Dia sedang berbicara mengenai saya? Saya diterima dalam Kerajaan Allah? Kerajaan Allah tersedia bagi saya sekarang juga? Kabar ini bukan saja kabar baik, tetapi kabar yang sangat baik!

Kini, para murid harus melakukan hal yang sama: berbicara bukan mengenai diri sendiri, kesuksesan, kebahagiaan, kesalehan, dan keberuntungan diri sendiri. Melainkan, berbicara dan menyapa mereka yang miskin, lapar, dan tertindas. Berbicara dan menyapa mereka itu berarti bersedia menjadi alat di dalam tangan-Nya untuk menjawab doa dan harapan mereka. Untuk menghadirkan surga di bumi ini!

Jakarta, Minggu Epifani VI 2019