Kamis, 24 Januari 2019

SABDA YANG MENGHADIRKAN TUHAN

Swaroop Rani, perempuan cantik berbadan mungil, kecintaannya pada epos Hindu seperti Mahabarata danRamayanabegitu kuat. Kisah-kisah itulah yang menjadi bahan ajar dan pengantar tidur buah hatinya. Energi kecintaan terhadap kisah-kisah suci itu tertanam kuat dalam diri sang anak. Kini, anaknya mencari sumber-sumber kisah suci itu. Bhagavadgita dan Upanishad, kitab suci agama tradisional India yang berisi ajaran moral terus menginspirasi, memotivasi dan menjadikannya kekuatan dari derap langkah perjuangannya. Meskipun ribuan tahun telah berlalu sejak penulisannya, energi kuat dalam kitab-kitab itu memberikan pemikiran yang terus berkembang sehingga bisa menjadi pedoman pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat dan dunia.

Anak seorang perempuan cantik berbadan mungil itu adalah Pandit Jawaharlal Nehru (14 November 1889-27 Mei 1964). Ia seorang politikus sekaligus pemimpin gerakan rakyat. Cerita agama tradisional yang sering dibacakan untuknya menumbuhkan kecintaan terhadap kitab sucinya dan perlahan-lahan rasa nasionalismenya tumbuh. Selain itu, dengan didikan orang tuanya agar gemar membaca, sejak kecil ia sudah membaca buku-buku lain, di antaranya tentang sejarah, politik, dan ekonomi. Pada 1905, ia lulus dari Universitas Cambridge – Inggris, dan mendapatkan kualifikasi sebagai pengacara. Meski peradaban Barat semasa kuliah sempat menggerus spiritualitas tradisionalnya, namun perjumpaannya dengan Mahatma Gandhi membuatnya kembali pada suara batinnya. Setelah ia bergabung dengan Gandhi dalam gerakan menuntut kemerdekaan India, menyebar gerakan agresif untuk membela masyarakat petani India. Konsekuensinya ia harus rela keluar masuk penjara. Sampai kemerdekaan India diperoleh, 27 tahun Nehru bolak-balik dijebloskan dalam penjara. Dibandingkan waktu untuk melakukan gerakan perjuangan kemerdekaan untuk rakyat, waktu yang dihabiskannya dalam penjara sepertinya jauh lebih Panjang. Setelah perjuangannya Bersama Gandhi berhasil, India merdeka, Nehru kemudian menjadi Perdana Menteri dan juga Menteri Luar Negeri India.

Bagi Nehru, kisah-kisah moral dari kitab suci bukan sekedar pengantar tidur atau pelampiasan hobi baca belaka. Kisah-kisah itu menjadi inspirasi, motivasi dan energi moral untuk melakukan sesuatu bagi bangsanya. Kitab suci bukan dijadikan sebagai fokus sentral politik identitas yang membakar semangat fanatisme radikal, melainkan sumber kegairahan untuk sebuah perjuangan pembebasan India dari kungkungan kolonial.

Di Nazaret – Galilea, kitab suci itu dibacakan, dan sabda diperdengarkan. Seperti hampir semua kota, bagaimana pun kecilnya, di Nazaret ada sebuah rumah sembahyang – yang dalam Bahasa Yunani disebut sinagoge (tempat pertemuan, tempat berkumpul). Di rumah sembahyang itu setiap sabat orang-orang Yahudi merayakan ibadah. Liturgi dalam rumah ibadah itu memberi corak di kemudian hari pada liturgi gereja Kristen. Pertemuan itu dimulai dengan semacam pengakuan iman (antara lain dari Ulangan 6:4-9). Lalu doa-doa dipanjatkan, kemudian menyusullah pembacaan Kitab Suci, yang dilakukan dengan berdiri, sebagai tanda penghormatan terhadap Firman Tuhan. Pembacaan pertama diambil dari Taurat, bacaan kedua diambil dari kitab para nabi. Ayat demi ayat dibacakan dalam Bahasa Ibrani, kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Aram, Bahasa rakyat pada zaman Yesus. Sesudah itu pembicara duduk untuk memberi penjelasan pendek tentang nas yang dibaca. Semua orang dewasa berhak melakukan pembacaan Kitab Suci dan memberi interpretasi. Pertemuan itu ditutup dengan berkat dari imam atau doa seorang awam. 

Kita Nabi Yesaya berkumandang. Yesus membacakan 61:1-2. Isisabda itutentang kabar baik. Ya, kabar baik untuk orang-orang papa, hina, miskin, tawanan, berkebutuhan khusus, yang sering kali tidak dipandang sebelah mata atau bahkan sebagai kutukan bagi para penyandangnya. Siapakah yang dimaksud dengan orang yang membawa kabar baik itu? Benar, selama ini orang-orang Yahudi sedang menantikan seorang Mesias pembawa kabar baik atau si pembebas yang akan membawa mereka pada zaman baru seperti era keemasan Daud atau Salomo.

Jemaat sinagoge itu tertegun dan kini mereka berharap cemas. Mereka menunggu jawab, siapakah si pembawa kabar baik itu? Siapakah Mesias yang dimaksudkan oleh Kitab Suci yang barus saja dibacakan Yesus? Sejurus kemudian, Yesus bersabdaPada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.” Benar, Yesus tidak mengatakan terus terang bahwa yang dimaksudkan dalam Yesaya 61 itu ialah Sang Mesias dan Aku inilah Mesias itu!” Namun, tentu saja dalam kalimat itu tersirat bahwa yang dimaksudkan dengan Mesias itu adalah diri-Nya sendiri. Hal ini diperkuat dengan reaksi orang-orang yang mendengar-Nya. Mula-mula mereka takjub tentang kata-kata menyenangkan yang diucapkan oleh “anak Yusuf”, si tukang kayu, teman se-kota mereka. Namun, tidak lama setelah itu mulailah mereka marah dan bersungut-sungut.

Dari peristiwa pembacaan kitab suci di sinagoge minimal kita melihat dua cara pandang berbeda. Yesus, menjadikan bacaan Kitab Suci sebagai sebuah kaidah untuk melaksanakan karya-Nya kelak. Ia hadir untuk memenuhi nubuat kitab Nabi Yesaya yang dibaca-Nya itu. Jika dibandingkan dengan bacaan Injil minggu lalu (minggu kedua setelah Epifani) dari Yohanes, di sana dikisahkan bahwa permulaan pelayanan Yesus disertai dengan tandaatau mukjizat, yakni air menjadi anggur. Namun, menurut kisah Lukas, permulaan karya Yesus itu tidak dimulai dengan mukjizat, melainkan pengajaran; dengan sabda!Setelah Yesus selesai dicobai oleh Iblis, Ia memulai karya-Nya. Pekerjaan pertama-Nya adalah pengajaran. Pengajaran itu bersumber dari Kitab Suci. Selanjut-Nya dari pengajaran-pengajaran itu, Yesus tampil melakukan tepatseperti apa yang diajarkan-Nya. Jadi, Ia menghidupi sabda-Nya itu. Ia menjadikan firman yang diajarkan-Nya itu menjadi terlihat, terasa, dan memulihkan.

Ketika Yesus memberitakan tentang kabar baik dan mengatakan,“Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku…”Dia membiarkan hidup-Nya dikuasai Roh Allah, sehingga apa pun yang terjadi, kehendak Bapa selalu berada pada posisi paling utama. Yesus begitu konsekuen bahkan sampai hari-hari terakhir pergumulan-Nya, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki,”(Matius 26:39).

Selanjutnya, Roh Tuhan yang mengurapi-Nya itu menuntun Yesus untuk menyampaikan kabar baik. Ini bukan kalimat kosong atau janji angin sorga. Tidak! Lihat, kabar baik itu benar-benar menjadi kenyataan. Yesus benar-benar menyapa orang-orang miskin yang tidak punya pengharapan, Ia menyediakan roti bagi yang lapar dan air kepada yang haus! Ia juga benar-benar membebaskan orang dari belenggu Iblis yang menyesakkan. Ia memberikan penglihatan bagi orang buta, membebaskan orang tertindas. Dan orang-orang dengan terang-benderang melihat bahwa di dalam Yesus tahun rahmat Tuhan itu benar-benar telah datang! Yesus menjadikan bacaan Kitab Suci itu sebagai sarana untuk diri-Nya menghadirkan Allah yang abstrak menjadi nyata, menyentuh dan dapat disentuh; merangkul dan dapat dirangkul!

Sebaliknya, para pendengar di sinagoge itu, mendengar dan membaca kitab yang sama justru menghasilkan reaksi berbeda. Mereka menjadikan Kita Suci sebagai alat untuk menghakimi dan menghardik. Kitab Suci bagai pentung yang siap digunakan untuk memukul siapa pun yang berbeda dengan penafsiran mereka. Bukankah hari-hari belakangan ini kita menyaksikan bagaimana Kitab Suci dipakai sebagai alat pembenaran, alat politik identitas, alat penghakiman dan, mengenai itu kita telah banyak belajar: bukan kebaikan, bukan damai sejahtera dan bukan tahun rahmat Tuhan yang akan terjadi, melainkan malapetaka, konfliks, peperangan, dan kehancuran yang akan terjadi.

Sebaiknya, ketika kita berusaha menjadikan Kitab Suci sebagai sumber inspirasi untuk menghadirkan kasih karunia Tuhan, maka yang terjadi adalah pembebasan, perdamaian, dan rahmat Tuhan menjadi sebuah keniscayaan. Pandit Jawaharlal Nehru sudah membuktikannya. Inspirasi kisah moral kitab sucinya telah membawanya sebagai salah seorang pembebas India.  Bagaimana dengan kita? Apa yang kita hasilkan dari pembacaan ke pembacaan Kitab Suci? Apakah berhasil menghadirkan Allah yang rahmani dan rahimi atau kehidupan keagamaan kita semakin eksklusif, intoleran dan radikal?

Jakarta, 24 Januari 2019

Rabu, 16 Januari 2019

MUKJIZAT ITU NYATA

Mukjizat sering dipahami sebagai sebuah solusi atau jalan mudah memecahkan persoalan. Seorang pasien sakit parah, dokter mengatakan tidak ada obatnya dan tinggal tunggu waktu saja. Keluarganya memohon Tuhan menyembuhkan melalui mukjizat. Mudah bukan? Tidak usah repot melakukan upaya diagnosa atau riset tentang penyakit dan metode pengobatannya. Contoh lain, seseorang sedang kesulitan keuangan, sementara kebutuhan tidak bisa ditunda. Lalu, ketika selesai berdoa, rumahnya ada yang mengetuk. Tampak seseorang datang membawa segepok uang. Jumlahnya percis sesuai kebutuhan. Mukjizat! 

Salah satu aspek mukjizat adalah kemudahan, maka tidaklah mengherankan kalau banyak orang – terlepas dari keyakinan dan agama apa pun – mencari dan mengejar mukjizat. Berbeda dari kebanyakan orang, Albert Einstein mengajarkan kepada para mahasiswanya, “Kalian jangan memilih jalan yang mudah!” Banyak orang berpendapat ajaran Einstein ini bersumber dari karakter Pauline, sang ibu yang bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, selalu riang dan tanpa berpikir dua kali mengulurkan tangannya ketika melihat orang dalam kesulitan.

Pauline memahami benar potensi dan karakter Einstein. Sekalipun Einstein belum dapat berbicara pada usia empat tahun dan selalu berada di rangking buncit pada saat sekolah dasar, hampir semua orang, termasuk guru di sekolahnya mengatakan, “tidak ada kesempatan baginya untuk sukses, tidak mungkin ia sukses!” Namun, sang ibu sangat mengenalnya. Einsten memiliki karakter yang tidak akan puas jika belum mendapatkan jawab atau hasil dari sesuatu yang ia cari. Selanjutnya, Einstein tumbuh menjadi sosok peneliti dan ilmuwan andal kelas wahid.

Menarik, sang ibu selalu menolak untuk tinggal bersama Einstein. Mengapa? Ia menyadari kehadirannya dapat mengganggu penelitian anaknya. Pauline memilih menempatkan diri sebagai “pelayan” yang siap melakukan apa saja untuk mendukung penelitian anaknya. Ia menjauhkan apa saja yang dapat menghalangi penelitian putranya. Ia memilih menyediakan segala fasilitas yang dibutuhkan anaknya, hingga dapat menjadikan Einstein sebagai keajaiban dunia! Einstein memberikan kemajuan revolusi dalam ilmu fisika – yang pada saat itu dasar-dasarnya berakar dari teori-teori yang dikemukakan oleh Isaac Newton dan Galileo Galilei. Einsten terus melakukan penelitian yang memberikan kontribusi bagi peradaban dunia. Puncaknya ia meraih Nobel atas disertasinya “Teori Relativitas Umum.”

Kehadiran Einstein merupakan mukjizat bagi peradaban dunia. Tetnyata benar apa yang dikatakannya, “jangan memilih jalan yang mudah!” Keajaiban ilmu pengetahuan – dalam hal ini Fisika – jelas tidak dimulai dengan jalan yang mudah. Maka kelirulah kalau kita memahami bahwa mukjizat itu menyederhana atau meniadakan upaya manusia.

Mari kita belajar dari mukjizat pertama yang dilakukan oleh Yesus versi Injil Yohanes. Mukjizat itu adalah air menjadi anggur dalam sebuah pesta perkawinan di Kana (Yohanes 2:1-11). Pesta perkawinan Yahudi pada zaman Yesus dapat berlangsung selama seminggu, dengan banyak sekali undangan. Kehabisan air anggur, minuman pesta, merupakan aib besar. Ibu Yesus, Maria mengetahui dan mengambil prakarsa. Namun, jawaban Yesus terdengar kurang sedap, “Mau apakah engkau dari-Ku, Ibu?”Jawaban ini mengindikasikan bahwa Yesus menolak permintaan ibu-Nya. Yang ditolak Yesus adalah usaha ibu-Nya untuk melibatkan diri-Nya dalam pemecahan masalah kekurangan anggur. “Saat-Ku belum tiba!”Kata-Nya. Saat atau waktu dalam Injil Yohanes menunjukkan pada saat kemuliaan, saat Yesus mati di kayu salib. Saat itu ditentukan oleh Sang Bapa sendiri, bukan oleh intervensi manusia.

Setelah ditegur dan prakarsanya ditolak, alih-alih kecewa dan marah, Maria memberi instruksi kepada para pelayan untuk melakukan apa pun yang Yesus katakan kepada mereka. Dengan demikian – meskipun secara fisik Maria adalah bunda yang melahirkan Yesus – ia dalam konteks ini memosisikan diri sebagai pelayan. Maria adalah tokoh pertama dalam kisah Injil yang memberikan respons kepercayaan yang memadai terhadap apa yang dikatakan Yesus. 

Instruksi itu ditaati oleh para pelayan. Mereka menyediakan enam tempayan besar masing-masing diisi penuh dengan air. Perintah berikutnya, “Sekarang cedoklah dan bawalah kepada pemimpin pesta!”Tanpa menerima informasi dan pembuktian bahwa air itu telah berubah menjadi anggur, dengan tidak ragu-ragu mereka membawanya kepada pemimpin pesta. Para pelayan bertindak tepat seperti apa yang dikatakan Yesus, sebagaimana telah dipesan oleh ibu-Nya. Percaya akan apa yang dikataka Yesus dan melakukannya akan membuahkan mukjizat itu terjadi. 

Pemimpin pesta takjub dan memuji kualitas air anggur prima yang dibawa oleh para pelayan. Ia memuji mempelai pria yang masih menyediakan air anggur yang baik sampai di penghujung pesta. Air anggur melambangkan sukacita. Sukacita yang berkualitas itu terus ada sampai akhir ketika Yesus hadir di tengah mereka. Bukan itu saja, mereka merespons positif, percaya dan melakukan tepat seperti apa yang Yesus perintahkan.

Benar, fokus kisah mukjizat ini bukanlah peran Maria atau mukjizat air menjadi anggur. Melainkan, pernyataan diri Yesus kepada dunia (epifani). Dalam Injil Yohanes, mukjizat itu diartikan sebagai tanda. Tanda menjadi sarana untuk menyatakan kemuliaan Yesus; menegaskan bahwa Yesus datang dari Allah, Ia adalah Firman Allah yang hidup yang menjadi manusia. Tanda yang dihadirkan Yesus memiliki makna simbolis. Anggur yang lebih baik dan berkelimpahan yang dapat membawa sukacita – bukan memabukkan – melambangkan apa yang dinantikan Israel dari Tuhan pada zaman keselamatan (Am.9:13-14; Hos. 14:8; Yer.31:12). Di dalam Yesus Allah mengaruniakan sukacita anugerah keselamatan sebagai ganti hukum Taurat. “Kasih karunia demi kasih karunia; sebab hukum Taurat diberikan melalui Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang melalui Yesus”(Yoh.1:16-17). 

Sekalipun fokus kisah mukjizat ini adalah Yesus, Sang pembuat mukjizat namun, dalam cerita ini Maria, ibu Yesus ditampilkan sebagai orang beriman istimewa yang percaya kepada firman Yesus dan menularkan keyakinannya itu kepada orang lain, dalam hal ini para pelayan untuk siap melakukan apa pun yang dikatakan Yesus. Para pelayan dengan taat melakukannya, lalu situasi pesta yang terancam penuh aib berubah menjadi pesta yang penuh sukacita baru. Zaman baru yang diantarkan oleh Firman yang menjadi manusia, diikutsertakan orang-orang yang – sama seperti Maria – percaya dan berpegang pada firman Tuhan.

Kisah mukjizat di dalam Injil selalu melibatkan orang-orang di sekeliling Yesus yang merespons positif kehadiran dan ucapan-Nya. Mukjizat tidak meniadakan usaha dan peran serta manusia. Sama halnya dengan doa. Doa tidak menggantikan upaya kerja keras si pendoa untuk bekerja dan berusaha mewujudkan apa yang terbaik supaya terjadi. Di balik keberhasilan Einstein ada Pauline yang sungguh-sungguh mengenal potensi anaknya. Ia percaya akan potensi itu, maka ia mendukungnya sepenuh hati. Sang ibu adalah orang pertama yang meyakini potensi itu.

Maria, sang bunda Yesus juga adalah orang pertama yang meyakini potensi Yesus dan ia bertindak tepat. Maria menyediakan fasilitas untuk terjadinya sebuah mukjizat di tengah krisis. Barangkali kita bukan sekaliber Maria atau pun Pauline. Namun, bukankah kita – dalam batas-batas tertentu – mengenal Tuhan kita, Yesus Kristus. Kita yakin, bahwa Dia sampai hari ini pun dapat melakukan tindakan mukjizat. Masalahnya, apakah kita hanya mau gampangnya saja? Mau air anggurnya saja tanpa ketaatan untuk menyediakan tempayan dan air? Ataukah kita hanya mau menerima hadiah Nobelnya saja tanpa harus melakukan serangkaian penelitian? 
Mencontoh dari Maria, ketika kita meyakini Yesus Kristus dapat melakukan mukjizat, maka mestinya kita percaya dan melakukan segala apa yang diperintahkan-Nya. Bahkan, mestinya kita dapat melangkah lebih maju lagi yakni, kepercayaan Yesus sebagai Mesias tidak lagi memerlukan pembuktian tanda atau mukjizat! Bukankah Alkitab sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa Yesus Kristus adalah Firman Allah yang hidup?

Jakarta, Minggu kedua sesudah Epifani 2019