Kamis, 10 Januari 2019

PERSEKUTUAN KASIH BERSAMA ALLAH

Zhou Enlai (1898-1976) adalah seorang politisi yang dihormati rakyat China. Tampaknya tidak ada orang China yang dihormati lebih dari Zhou Enlai, demikian penilaian Kim Doo Eung – penulis populer asal Korea Selatan. Alasan Zhou Enlai dihormati dan dicintai banyak orang terutama karena ia selalu berada – atau memposisikan diri – di tempat kedua dan tidak berambisi meraih kekuasaan atau berada pada posisi pertama. Ia dikenal sebagai orang yang melakukan dan memikirkan apa yang terbaik buat negaranya. Konsisten dengan kesederhanaan posisi keduanya, tetapi berkat pengaruhnya yang luas, persatuan Republik Rakyat China (RRC) dapat terwujud. Selain itu, tak terbayangkan apa jadinya sebagian besar masalah dalam dan luar negeri China jika tanpa Zhou Enlai.

Ada alasan lain Zhau Enlai begitu dihormati. Ia dikenal sebagai orang yang berintegritas: Mewujudkan apa yang dikatakannya dalam aksi nyata. Tidak banyak politisi yang seperti ini. Kebanyakan menebar janji namun tidak dipenuhi. Mereka sering berlindung di balik perisai dalil dan argumentasi. Zhou Enlai sering pergi ke berbagai daerah untuk bertemu dan berbincang dengan rakyat, mulai dari anak-anak hingga lansia, dari berbagai kalangan – bukan sebagai pencitraan jelang pemilu. Zhou Enlai terbiasa menyapa lebih dahulu orang yang ditemuinya di jalan, seperti buruh di Beijing, koki, atau polisi pengatur lalu lintas. Sering ia menyemangati mereka dalam bekerja.

Rakyat China juga menghormati Zhou Enlai karena ia berperan sebagai seorang suami yang penuh tanggung jawab. Politisi pada masa itu terbiasa menikahi empat atau lima orang perempuan. Namun, Zhou Enlai menjalani kehidupan pernikahannya hanya dengan Deng Yingchou, seorang perempuan yang cerdas. Seumur hidupnya ia setia, inilah salah satu faktor yang membuat rakyat percaya kepadanya. Soal pekerjaan, ia adalah seorang yang gigih bekerja. Bahkan, sampai sebelum kematiannya, ia masih mengurusi sebagian besar masalah luar negeri China dan Jepang, serta normalisasi hubungan politik dengan Amerika Serikat. Itulah sebabnya ketika ia meninggal dunia, seluruh rakyat China bersedih seperti kehilangan saudaranya sendiri. China, seperti yang tampak hari ini tidak terlepas dari jasa Zhou Enlai. Maka tepatlah apa yang dikatakan Kim Doo Eung, “Tidak ada orang China yang dihormati lebih dari Zhou Enlai!”

Tentang orang besar dan dihormati, Yesus pernah berkata, “Sesungguhnya di antara mereka yang dilahirkan oleh perempuan tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis…”(Matius 11:11). Apa alasan Yesus mengatakan demikian? Ya, Yohanes adalah orang yang tidak punya ambisi politik. Dia tahu untuk siapa dan apa yang diperjuangkannya. Dia tidak mencari pengikut apalagi menghimpun fans dan memanfaatkan mereka. Tidak! Dia hanya ingin bangsanya bertobat dan menyambut Mesias.

Yohanes menyadari posisinya – dalam Bahasa Zhou Enlai – ia cukup puas memposisikan diri di tempat kedua! Hal ini terlihat dalam gaya hidupnya yang bukan pencitraan. Kesederhanaannya tidak menghalangi pesan khotbahnya sampai pada telinga orang banyak. Tak pelak lagi, Yohanes telah menimbulkan kekaguman banyak orang. Bayangkan, seharusnya umat Allah itu berbondong-bondong menuju Yerusalem, karena di sana ada Bait Suci. Namun, nyatanya arus manusia itu kini berbalik, seluruh Yerusalem dan daerah sekitarnya malahan menuju arah sungai Yordan. Arah di mana “Sang Suara” itu bergema!

Kekaguman umat yang rindu suara kebenaran itu segera mengingatkan mereka pada sebuah pengharapan tentang datangnya Sang Mesias. Segeralah mereka mendaulat Yohanes sebagai Mesias yang dijanjikan itu. Bukankah dari sisi Yohanes respon umat yang seperti ini adalah sebuah keuntungan. Popularitas dan kekuatan politik akan segera terbangun. Jika sudah demikian, ia bisa melakukan apa pun yang diingininya! Namun, segera Yohanes menjawab dan berkata kepada semua orang itu, “Aku membaptis kamu dengan air, tetapi Ia yang lebih berkuasa dari padaku akan datang dan membuka tali kasut-Nya pun aku tidak layak…”(Lukas 3:16). Yohanes adalah orang yang tahu diri. Bayangkan, begitu rupa Yohanes merendahkan diri di hadapan Yesus, membuka tali kasut adalah pekerjaan seorang hamba terhadap tuannya - bahkan untuk itu pun ia merasa tidak layak! Dari Yohanes kita belajar, untuk menjadi orang besar, kerendahan hati dan bersedia merendahkan diri merupakan karakter yang mutlak harus dimiliki.

Yohanes merendahkan hati, sekaligus merendahkan diri – serendah-rendahnya – di hadapan Yesus. Untuk inilah Yesus membuka kesempatan Yohanes terlibat dalam karya-Nya. Meski Yohanes sempat mencegah, namun Yesus ikut serta dalam baptisan pertobatan yang dilakukan Yohanes. Apakah Yesus juga sebagai pendosa? Mengingat baptisan Yohanes adalah baptisan untuk orang-orang yang bertobat? Tidak! Dengan pernyataan Yohanes tentang kemuliaan Yesus dan usaha mencegah-Nya untuk dibaptiskan maka sebenarnya sudah jelas Sang Mesias bukanlah orang berdosa yang memerlukan pertobatan. Melainkan, Sang Mesias memberi ruang agar karya Allah di dalam diri-Nya tampak. Yesus mendukung apa yang dilakukan Yohanes, yakni gerakan pertobatan. Yesus yang kemudian akan melanjutkan apa yang sudah dibuka oleh Yohanes Pembaptis.

Yohanes Pembaptis membuka jalan agar pernyataan Allah Bapa menjadi nyata. Dalam baptisan itu, langit terbuka dan turunlah Roh Kudus dengan menyatakan, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.”(Lukas 3:22). Benar, bisa saja kapan dan di mana pun suara pernyataan Allah itu disampaikan. Namun, dalam konteks inilah kita belajar ada persekutuan kasih yang bekerja untuk menyatakan kebaikan Allah. Yohanes memberi ruang dirinya dipakai sebagai pembuka jalan untuk karya Yesus. Ruang yang diberikan Yohanes adalah dengan melakukan tugas sepenuh hati, tidak punya ambisi pribadi yang dapat merusak misi Allah, dan menjadi seorang yang berkaraker rendah hati. 

Pada pihak lain, Yesus memberi ruang kepada Yohanes untuk tidak sungkan dan ragu membaptis diri-Nya sehingga pernyataan Roh Allah itu menjadi lengkap untuk meneguhkan Yesus dalam melakukan misi-Nya di dunia sampai tuntas. Pada peristiwa ini, kita juga menyaksikan bagaimana Sang Bapa, Anak, dan Roh Kudus menyatu dalam satu peristiwa yang menunjukkan relasi yang tidak terpisahkan.

Bukan hanya Yohanes Pembaptis, Allah juga menginginkan kita berkarya melanjutkan misi-Nya di dunia ini. Kerendahan hati merupakan syarat bagi kita agar dapat terus berkarya di ladang-Nya. Membuka diri dan mau merangkul siapa saja tanpa harus merasa diri paling baik, paling saleh, apalagi paling terhormat merupakan cara kita agar kasih Allah itu tidak terhalangi. Sebagaimana Kristus merasakan begitu kuat dan dalamnya bersekutu dengan Sang Bapa yang kemudian meneguhkan-Nya untuk melakukan tugas pelayanan di dunia ini. Maka, kita pun diundang-Nya untuk merasakan persekutuan kasih ini, dan dengan itu kita pun mengalami peneguhan untuk melakukan tugas pelayanan yang dipercayakan kepada kita selagi nafas kehidupan ini masih ada!


Jakarta, 10 Januari 2019

Rabu, 02 Januari 2019

PENGETAHUAN YANG MENUNTUN KEPADA KRISTUS

“Tidak ada bintang di atas Betlehem”,demikian judul bab dua dari buku “Yesus Bagi Orang Non Religius” karya John Shelby Spong, seorang pendeta Gereja Episkopal di Morris Plains, New Jersey, Amerika Serikat. Ia seorang pegiat kajian Yesus sejarah yang mencoba memilah antara mitos dan fakta dalam kisah hidup Yesus. Sudah dapat diduga banyak kontroversi di hampir 20 buku karyanya. 

“Tidak ada bintang di atas Betlehem”mempertanyakan kesahihan dan fakta yang terjadi di sekitar peristiwa kelahiran Yesus. Spong mulai dengan pertanyaan, di mana Yesus dilahirkan? Karena Ia dikenal sebagai Yesus dari Nazaret, kemungkinan besarnya adalah Nazaret, kampung halaman-Nya.  Dalam narasi Injil Markus, bukan hanya tidak dijumpai rujukan ke Betlehem, tetapi juga tidak ada petunjuk tentang kisah kelahiran Yesus yang ajaibitu. Hal ini menunjukkan bahwa kisah tentang tempat kelahiran Betlehem bagi Yesus tidak masuk kedalamtradisi Kristen,setidaknya sampai Matius menulis injilnya kira-kira tahun delapan puluhan. Betlehem muncul dalam sebuah teks mesianik, Mikha 5:2.

Dalam kisahnya tentang Herodes yang menanggapi sebuah pertanyaan dari orang Majus, Matius bertutur bahwa sang raja memerintahkan semua imam kepala dan ahli Taurat menunjukkan dan menentukan di mana “Dia yang dijanjikan” itu akan dilahirkan. Mereka yang dimintai keterangan ini lalu menyelidiki Kitab Suci dan menafsirkan kata-kata Mikha sebagai sebuah petunjuk rahasia tentang tempat kelahiran Sang Mesias (Matius 2:5-6). Mengapa Mikha menulis bahwa Sang Mesias akan lahir di Betlehem yang jaraknya hanya beberapa kilometer dari Yerusalem? Jawabnya, kota ini adalah tempat kelahiran Raja Daud yang agung dan dari sanalah titik berangkat pengharapan Yahudi yang telah lama mendambakan pemulihan takhta Daud. 

Dalam kisah kelahiran Yesus versi Matius, dikisahkan tentang orang Majus sebagai penggenapan dari Yesaya 60. Dalam perikop ini, Yesaya mengatakan, bahwa raja-raja mendatangi “cahaya”, “Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi,…tetapi terang TUHAN terbit atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu”(Yesaya 60:2,3). Raja-raja ini datang dengan menunggang unta; mereka datang dari Syeba, dan mereka membawa emas dan kemenyan (Yes.60:6). Ini adalah inti kisah tentang orang Majus.

Matius mengisahkan bahwa orang Majus itu dibimbing oleh bintang yang ajaib di langit sebelah timur. Bintang itu sebagai tanda kelahiran seorang raja Yahudi (Matius 2:2). Bintang ini kemudian bergerak di angkasa dengan sangat lambat sehingga para pengamat bintang dari Timur Tengah ini dapat mengikutinya sampai ke tempat tujuan mereka (Matius 2:9). Benarkah ada bintang seperti itu? Bintang yang muncul di langit untuk mengumumkan peristiwa di bumi hanya dapat dibayangkan dalam sebuah dunia yang memandang langit sebagai atap bumi dan lantai surga. Bintang dalam pandangan dunia semacam ini adalah seperti pelita langit yang Allah dapat gantung supaya dapat terlihat dari bumi untuk mengamanatkan kelahiran orang penting dan sering kali dipakai dalam mitos-mitos Yahudi. Dalam suatu tradisi para rabi, sebuah bintang dikatakan telah memberitakan kelahiran Abraham, bintang lainnya mengamanatkan kelahiran Ishak, anak yang dijanjikan; dan masih ada sebuah bintang lain, yakni ketika menjadi tanda kelahiran Musa.

Spong mempertanyakan, bagaimana pemahaman kosmologi zaman sekarang? Dengan pertolongan teleskop Hubble, kita dapat mengetahui bahwa galaksi kita dikenal dengan nama Bima Sakti, memiliki 200 milyar bintang, dan kebanyakan dari bintang ini lebih besar dari bintang yang kita sebut matahari. Kesadaran moderen kita harus juga mencakup fakta bahwa seluruh alam semesta yang kasatmata, yang di dalamnya galaksi kita yang besar hanyalah satu bagian yang sangat kecil, berisi ratusan milyar galaksi lainnya. Bintang itu obyek fisik yang impersonal, ia tidak memberitakan peristiwa-peristiwa di bumi. Tidak ada bintang yang mengembara di dalam galaksi kita. Setiap bintang menjelajahi suatu lintasan yang sudah tetap sehingga dapat dibuat peta pergerakannya dengan komputer; dan lokasi persisnya di angkasa pada waktu kapan pun di masa lalu dan di masa depan dapat dengan tepat dihitung.  Bagi Spong, apa yang dituturkan Matius tentang Bintang Betlehem yang menuntun orang Majus bukanlah sebuah gejala kosmis objektif. Namun, melalui pemahaman kosmologi pembacanya, Matius sedang memberitakan bahwa, seperti orang-orang besar terdahulu : Abraham, Ishak, dan Musa, lahir dengan didahului tanda-tanda kosmis, kini tanda itu hadir untuk menunjukkan kelahiran Sang Mesias.. Detail-detail kisahnya harus dimengerti sebagai simbol- simbol penafsiran dan bukan secara harafiah. Matius, melalui kisah Injilnya sedang menuntun para pembacanya untuk sampai kepada Mesias yang telah dinubuatkan oleh para nabi sebelumnya.

Bisa saja pengamatan Spong benar, bahwa ada banyak mitos-mitos di sekitar kelahiran Yesus, khususnya tentang Bintang Betlehem dan orang-orang Majus. Namun, bukankah Tuhan juga sangat bisa memakai ciptaan-Nya, salah satunya Bintang Betlehem satu dari jutaan milyar bintang ciptaan-Nya untuk menyatakan kelahiran Sang Mesias itu. Namun, dari pada energi kita terkuras untuk berdebat tentang kesahihan narasi Bintang Betlehem dan Orang Majus, adalah lebih penting menggali makna di balik kisah ini.

Matius hendak menyampaikan pesan, bahwa bukan hanya penguasa asing tetapi juga pemuka-pemuka umat Allah, di wakili oleh ahli Taurat dan kelompok Farisi, yang tahu nubuat mesianik terkejut dengan berita kelahiran Sang Mesias. Penguasa Yahudi, dalam sosok Herodes meminta alim ulama untukmenelisik dalam Kitab Suci mereka. Mengherankan, pengetahuan dan kemampuan religius yang mereka miliki seharusnya mengantar mereka untuk menyambut Sang Mesias itu. Alih-alih melakukannya, kelahiran Sang Mesias itu menjadi ancaman akut bagi mereka. Herodes yang sering kali paranoid terhadap ancama kekuasaan, segera berdiplomasi agar orang Majus itu segera kembali kepadanya setelah berjumpa dengan Sang Mesias yang mereka cari.

Pada pihak lain, orang Majus – yang dalam strata ketahiran Yudaisme – tidak mungkin mendapat hidayah dari Allah, justeru dengan ilmu pengetahuannya terus mencari agar mereka bisa berjumpa, menyembah dan memberi persembahan kepada-Nya. Setidaknya, dengan kisah ini sedari awal Matius ingin mengatakan bahwa ada dua kemungkinan orang dengan ilmu pengetahuannya. Pertama, menjauhkan diri dari Yesus dan kalau bisa menolak serta menyingkirkan-Nya. Mengapa? Karena Yesus untuk kelompok ini merupakan ancaman. Ia menjadi ancaman yang akan melucuti segala kemunafikan, keserakan, ketamakan, dan pemuasan segala nafsu termasuk nafsu religius – ingin dihormati sebagai orang saleh. 

Kemungkinan kedua, adalah mereka yang menyambut, menyembah, dan memberikan persembahan. Orang-orang seperti ini melihat kebenaran janji Allah dalam diri Yesus Kristus, Sang Mesias itu. Ia menjadi pengharapan yang dinanti-nantikan oleh karena Dialah yang akan menyatakan kepenuhan Allah dalam wujud manusia. Dialah yang akan menghadirkan damai sejahtera, maka menyambut, menyembah dan memberikan kemuliaan kepada-Nya merupakan sebuah keniscayaan.

Diperhadapmukakan dengan narasi Matius, sebuah pertanyaan ditujukan kepada kita. Ada dalam kelompok manakah kita sekarang? Apakah kelompok pertama yang merasa terancam dengan kehadiran Kristus sehingga dengan demikian kita harus menolak dan menyingkirkan-Nya? Bisa jadi kita adalah orang-orang yang dekat sekali dengan Kitab Suci, kental dengan apa yang namanya pelayanan, hafal doktrin-doktrin Kekristenan, pendekkataorang religius. Namun, bukankah ahli Taurat dan orang Farisi juga seperti itu?

Bisa jadi dalam pelayanan dan kehidupan rohani, kita tampil sebagai orang saleh. Namun sebenarnya perkataan dan ajaran Sang Mesias itu kita tolak, kita singkirkan: kita tidak peduli dengan pergumulan dan kesulitan orang lain. Kita sibuk dengan “wilayah kekuasaan dan kenyamanan” sendiri. Sulit berbagi ruang dan uang dengan sesama. Mudah mengeluarkan kata-kata sinis dan menyakitkan, selalu ingin dinomorsatukan. Suka mendominasi topik pembicaraan. Sibuk mencari hormat dan arogan. Saya kira dalam kondisi seperti ini sulit bagi kita untuk benar-benar – seperti orang Majus – menyembah-Nya dengan tulus, apalagi memberikan persembahan yang terbaik.

Cerita Bintang Betlehem dan orang Majus mengajak kita untuk bersikap arif agar kita menggunakan akal budi dan pengetahuan kita untuk berjumpa dengan-Nya. Pengetahuan itu menuntun kita kepada Kristus.

Jakarta, Minggu Epifani 2019