Kamis, 19 Juli 2018

MENEMBUS BATAS, MEMBANGUN SOLIDARITAS


Inti dari solidaritas adalah empati dan simpat. Dari situ lahirlah kepedulian dan setia kawan; senasib-sepenanggungan. Kesulitan utama dalam mengembangkan sikap solidaritas adalah sikap egois, mementingkan diri sendiri. Sebagian besar orang punya pemahaman bahwa jika saya memberi maka saya tidak akan punya lagi. Itu artinya, sebagaian milik saya akan hilang atau berkurang. Pada batas-batas tertentu pemahaman ini ada benarnya, contoh kita memiliki sepotong kue, lalu melihat ada orang lapar, kue itu kita berikan kepadanya. Tentu saja kini kita tidak lagi memiliki kue itu. Selain itu, orang enggan peduli oleh karena segala sesuatu yang ada pada mereka berguna untuk kesenangan pribadi. Konsep ini mengajarkan bahwa bahwa segala sesuatu yang kita miliki entah itu uang, waktu, talenta, kekuasaan, harus digunakan sesuai dengan kemauan dan kesenangan kita.

Kita cenderung berpikir bahwa segala sesuatu yang ada pada kita adalah milik kita, maka dari itu adalah hak kita untuk menggunakannya sesuai dengan kemauan kita. Namun, cobalah kita merenungkan kembali: Allah telah menciptakan manusia dengan pelbagai karunia. Allah memberikan kita tubuh, talenta, pekerjaan dan uang sehingga kita dapat melakukan segala  yang baik. Sebenarnya, kita adalah pengelola karunia Allah, segala sesuatu adalah bersumber dan milik Allah. Oleh karena itu kita tidak dapat lagi berkata, "Apa yang merupakan milik saya, akan saya gunakan semau saya, untuk kesenangan saya." Sebaliknya dan seharusnya kita akan mengatakan bahwa, "Apa yang ada pada saya sebenarnya bukan kepunyaan saya, melainkan milik Allah. Maka kita akan selalu bertanya, "Bagaimana saya akan mengelola dan menggunakan karunia ini?".

Matt Johnson, pernah mengatakan, "Peduli atau murah hati adalah sikap mementingkan orang lain, dan sebaliknya ketamakan adalah sikap mementingkan diri sendiri, dan tentu saja kebalikan dari konsep bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Ketika saya memikirkan diri sendiri dan hanya diri saya saja yang dipikirkan, maka saya akan selalu bergumul dan berusaha untuk tidak memberikan sesuatu apa pun kepada siapa pun." Barangkali inilah yang selalu ada dalam benak elit politik dan pemimpin agama pada zaman nabi Yeremia. Mereka dikecam sebagai "gembala-gembala" oleh karena hanya memikirkan kepemilikan dan kesenangan sendiri dan tidak peduli dengan umat yang harus mereka pimpin (Yeremia 23:1-6). Akibatnya, bencana dan pelbagai malapetaka menimpa umat Allah itu.

Para gembala Yehuda yakni, para raja, imam, dan nabi adalah pihak yang paling bertanggung jawab atas bencana dan petaka itu. Sebab penghukuman itu datang karena mereka gagal menjadi gembala yang baik. Mereka hanya mencari keuntungan di balik penderitaan rakyat. Rakyat, yang digambarkan sebagai "kambing - domba" tidak lebih dari tumbal untuk kesenangan para elit ini. Para gembala ini membiarkan kambing dombanya tersesat. Mereka harus bertanggung jawab atas kehancuran Yehuda. Kini, Allah tidak lagi memercayai mereka. Ia akan mengambil alih peran para pemimpin yang dzolim itu. Ia sendiri yang akan turun tangan untuk mengumpulkan kambing - domba yang sudah tercerai berai, dan memimpin mereka kembali ke padang. Kemudian Allah akan membangkitkan pemimpin baru. Tindakan Allah tidak hanya berhenti di situ. Suatu hari Ia akan menggantikan pemimpin yang korup dan lalim itu dengan seorang keturunan Daud, seorang raja bijaksana yang akan menegakkan keadilan dan ketentraman. Ia akan peduli terhadap mereka yang tersisih, tercerai-berai, miskin dan terabaikan.

Dalam sejarah peradaban dunia, kita bisa belajar bahwa setiap penguasa yang menegakkan kuasanya dengan menindas, memberangus kebenaran dan tidak mendistribusikan keadilan - mungkin saja pada awalnya tampak digdaya, kuasanya sulit ditaklukan - namun nyatanya, akan selalu tampil orang-orang yang mengusung kebenaran sebagai panglimanya, menegakkan keadilan dan mencintai sesamanya sengan baik. Di negeri ini tak kalah cerita menarik dibalik jatuhnya orang-orang hebat. Sulit dibayangkan, dulu rezim Orde Baru begitu kuat dan tangguh, namun nyatanya tumbang juga. Beberapa tahun yang lalu sebuah partai menjual jargon "katakan tidak pada korupsi", nyatanya sebagian besar bintang iklan itu kini berada di balik jeruji penjara.

Ketika fokus kita bukan pada diri sendiri, tetapi Kerajaan Allah, yakni ketika kita memikirkan Allah, penyertaan, serta kuasa-Nya, maka kita akan selalu memikirkan bagaimana caranya menggunakan apa yang telah diberikan Allah kepada kita agar orang lain pun dapat merasakan kasih Allah itu. Tak peduli, mungkin dalam kekurangan, keletihan dan keterbatasan kita. Hanya orang yang bersedia menembus batas keegoisan dapat berempati dan bersimpati kepada yang lemah. Yesus mengajak para murid-Nya untuk berada dalam kerangka ini.

Mula-mula, Ia mengajar dan menunjukkan keberpihakan kepada mereka yang menderita, miskin dan tersisih. Ia menyembuhkan pelbagai penyakit dan kelemahan manusia meski dikecam oleh elit agama sebagai orang yang melanggar hukum Sabat, Ia dapat mempertanggungjawabkannya bahwa Sabat seharusnya untuk manusia dan bukan sebaliknya. Setelah dianggap cukup mengerti, para murid kemudian diutus berdua-dua untuk melakukan tugas yang sama. Kini, ketika para murid kembali, mereka melaporkan apa yang sudah mereka lakukan. Yesus mengerti bahwa mereka -seperti handphone yang sudah lowbat, perlu di carger. Yesus mengajak mereka bertolak ke seberang untuk menyepi dan dikuatkan lagi.

Yesus sangat peduli dengan kondisi para murid yang keletihan. Namun, begitu Ia keluar dari perahu, orang banyak segera mengenali-Nya. Segeralah mereka mengusung orang-orang sakit. Di mana pun Yesus berada, ke mana pun Yesus pergi, orang-orang selalu meletakkan orang-orang sakit dan memohon kepada-Nya untuk disembuhkan dan memohon kepada-Nya supaya diperkenankan menjamah jumbai jubah-Nya, sebab dengan cara itu sakit mereka akan sembuh (Markus 6:56).

Yesus sangat mengerti kondisi para murid yang butuh retret bersama-Nya. Namun, melihat orang banyak dengan pelbagai masalah yang harus mereka tanggung, Ia melihatnya seperti sekumpulan domba yang tidak mempunyai gembala, Ia mendahulukan kebutuhan orang banyak itu. Yesus melayani orang-orang yang haus itu dengan sentuhan kasih. Ia mengajarkan banyak hal kepada mereka (Markus 6:34). Di pihak lain, bisa saja para murid jengkel karena istirahat atau retret mereka terganggu. Yesus harus melayani orang banyak dan mau tidak mau mereka juga harus terlibat. Namun, di sinilah Yesus mengajarkan prioritas dan kepedulian terhadap mereka yang sangat membutuhkan. Para murid melihat sendiri, betapa pedulinya Yesus terhadap mereka yang tercerai berai itu. Dan betapa berbedanya dengan para gembala pada zaman Yeremia: Mereka justeru yang mencerai beraikan, membuat domba-domba itu kocar-kacir, sakit, miskin dan menderita. Kini, Yesus tampil sebagai Gembala yang baik. Bukan saja memenuhi gambaran dari Yeremia 23, tetapi juga apa yang tercantum dalam Mazmur 23.

Kita semua yang mengaku Yesus sebagai gembala baik, maka seharusnya menjadi domba-domba yang baik. Domba-domba yang mengerti benar apa yang dikerjakan dan diperjuangkan oleh Sang Gembala Baik itu. Di sinilah kita harus belajar bersikap solider terhadap penderitaan sesama kita. Tidak mengenggam sendiri apa yang ada pada kita sebagai milik sendiri dan bebas menggunakannya untuk kemauan sendiri. Sang Gembala baik telah mengajarkan kepada kita untuk melepaskan segala genggaman itu, menyalurkan untuk kebutuhan orang lain dan percayalah bahwa setiap orang yang membuka tangannya untuk menolong, memberikan apa yang baik maka tidak pernah akan kekurangan yang baik dari Tuhan. Jika kita terus menggenggam apa yang ada pada kita, maka hanya itulah milik kita. Namun, ketika kita membuka genggaman itu, maka terbukalah segala kebaikan-Nya untuk kita dan sesama kita.


Jakarta, 19 Juli 2018

Kamis, 12 Juli 2018

MENYUARAKAN KEBENARAN


Menjelang pemilihan umum legislatif dan presiden tahun 2014, salah seorang juru kampanye pasangan Jokowi dan JK sering mengucapkan jargon, "Kezaliman akan terus ada, bukan karena banyaknya orang jahat, tetapi karena diamnya orang-orang baik." Kalimat ini sering diyakini berasal dari ucapan Ali bin Abi Thalib (sepupu dan menantu Muhammad). Pemakaian kalimat ini dalam kampanye tentu saja bertujuan menggugah masyarakat yang selama ini cenderung apatis untuk menggunakan suara mereka dengan bertanggung jawab. Satu suara sangat berharga untuk menentukan kehidupan komunitas masyarakat lima tahun ke depan.

"The greatest tragedy of this period of social transition was not the strident clamor of the bed people, but the appalling silence of the good people" (Martin Luther King, Jr.) Kalimat yang digadang-gadang berasal dari Ali ternyata aslinya merupakan ungkapan dari Martin Luther King, Jr. Martin Luther King Jr adalah seorang pendeta gereja Baptis sekaligus aktivis dan juru bicara gerakan moral hak-hak sipil Amerika Serikat sekitar tahun 1954 sampai 1968. Terinspirasi oleh Mahatma Gandhi, King melakukan perjuangannya tidak dengan mengangkat senjata dan memberontak. Namun, dengan lantang mengajak orang banyak untuk bersikap dan menyuarakan kebenaran. King menuntut penghapusan diskriminasi dan kesetaraan hak. Pada 14 Oktober 1964 ia dianugerahi Nobel Perdamaian atas jasanya memperjuangkan kesetaraan dengan cara-cara damai. Pada 1968, King berencana kampanye besar-besaran di Washington D.C yang bertajuk Poor people's Campaign. Namun, rencananya kandas. Ia ditembak mati oleh James Earl Ray tanggal 4 April di Memphis, Tennessee. Meski timah panas mengakhiri hidup King, namun kematian itu tidak pernah bisa membungkam suara kebenaran. Suara yang menuntut persamaan hak orang-orang kulit hitam setara dengan kulit putih. Tanggal kematiannya sejak tahun 1986 dijadikan hari libur nasional untuk mengenang perjuangan King.

Penyuarakan kebenaran tentu saja akan berhadapan dengan risiko. Yohanes Pembaptis harus membayar dengan kepalanya sendiri. Sejak kemunculannya di sungai Yordan, manusia padang gurun ini tampaknya punya nyali besar. Ia meminta penduduk Yerusalem, Galilea, Yudea dan semua orang Yahudi harus bertobat. Jika tidak, kapak sudah tersedia pada akar pohon, setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api." (Luk.3:9). Bagi Yohanes, pertobatan dan menghasilkan buahnya adalah hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian penghakiman Allah tidak terelakkan lagi. Yohanes juga tidak gentar menuding elite agama dengan sebutan keturunan ular beludak sebab kenyataannya mereka melakukan kewajiban agama hanya untuk memertahankan status sosial sambil menekan khalayak miskin.

Kini, Yohanes diperhadapkan dengan Herodes, raja dari dinasti Herodian. Sebuah dinasti yang haus kekuasaan dan memanjakan nafsu seksual serta menjunjung tinggi hedonisme. Tidaklah mengherankan kalau dalam keluarga besar Herodian begitu banyak konflik dan pembunuhan terjadi. Salah satu kebokbrokan yang ditegur oleh Yohanes adalah pernikahannya dengan Herodias. Siapa Herodias? Herodias adalah isteri dari Herodes Filipus  saudara seayah dari Herodes Antipas. Dengan dinikahinya Herodias, Herodes Antipas telah melanggar hukum Yahudi (Imamat 18:16; 20:21) dan - bagaimana pun - telah memerkosa hukum adat dan moralitas.

Yohanes tidak bisa diam. Ia bersuara! Kali ini, ia memerlihatkan nyali yang luar biasa. Ia menegur raja di hadapan umum. Keberaniannya bukan untuk mencari sensasi atau motif politis untuk popularitas. Ia melakukan itu justeru karena visinya yang melihat kehidupan umat itu akan semakin suram dan semakin dekat dengan penghukuman Allah. Pastilah Yohanes begitu kecewa melihat ulah raja Herodes ini. Raja yang seharusnya memberi contoh, teladan dan menjunjung tinggi moralitas justeru sebaliknya, menjadi pemuja nafsu serakah. Yohanes sebenarnya adalah sosok yang mencintai bangsanya, ia tidak menginginkan umat Allah itu binasa karena melakukan hal-hal yang justeru tidak dikehendaki oleh Allah.

Mestinya, Yohanes tahu benar risiko yang akan dihadapinya ketika ia menegur raja di depan umum. Namun hal itu dilakukannya demi menghentikan kebiadaban yang terus dipertontonkan. Yohanes Pembaptis dipenjarakan di benteng Makhaerus yang pengap, gelap dan menakutkan. Namun, tampaknya Yohanes lebih suka menderita dan mati ketimbang hidup dalam kepalsuan dan pemujaan nafsu duniawi.

Amos seorang peternak dari Tekoa yang dipanggil sebagai nabi TUHAN, mirip seperti Yohanes. Ia menyampaikan suara kebenaran kepada bangsanya yang terlena dengan pemujaan nafsu dan materi. Dengan lantang Amos menyampaikan pesan TUHAN bahwa Yang Mahatinggi itu tidak menyukai keramaian ibadah, persembahan hewan yang tambun dan nyanyian-nyanyian ibadah. Mengapa TUHAN tidak menyukainya? Mereka mencoba memisahkan ritual ibadah dengan kehudupan moralitas. Ibadah dipakai sebagai alat untuk menyuap TUHAN, sementara hidup mereka gemar menindas dan tidak peduli dengan kesengsaraan sesamanya. Amos melihat seperti yang dilihat Yohanes. Jika mereka tidak bertobat maka hukuman TUHAN segera menimpa. Mereka akan binasa!

Amos, Yohanes, Matin Luther King, Jr memerlihatkan kepada kita bahwa mereka mampu setia terhadap tugas panggilan sesuai konteks masing-masing: menyuarakan kebenaran apa pun risiko yang harus dihadapi mereka. Saat ini, gereja sering mengklaim dirinya sebagai penerus panggilan yang harus menyuarakan suara kenabiannya di tengah-tengah tantangannya yang terus berubah. Gereja tidak boleh berkualisi dan menjadi bagian dari kekuasaan duniawi sehingga mengiyakan saja apa yang sedang terjadi tanpa mengkritisinya. Gereja tidak boleh melacurkan diri kepada politik praktis dan kekuasaan. Sebaliknya, Gereja juga tidak boleh teralienasi dari dunia, lalu meninggalkan dunia dan hidup menyepi dari hiruk pikuk dunia dan menutup diri.

Kehadiran gereja mestinya disadari sebagai benteng moral peradaban yang berani menyatakan kebenaran. Tentu saja tidak hanya pandai dan lantang bersuara, melainkan juga tahu melakukan dan memberi contoh yang baik dan memerlihatkan apa itu kebenaran. Gereja bukan hanya alat pembawa pesan kebenaran, melainkan - pada dirinya sendiri - kebenaran itu sendiri. Kesulitan, perlakuan tidak adil, penderitaan dan bahkan pembunuhan bukanlah alasan bagi gereja untuk meninggalkan tugas panggilannya.

Tentu saja kita tahu bahwa yang dimaksud dengan gereja itu bukanlah sekedar gedung, corong mimbarnya atau lembaganya saja. Melainkan setiap anggotanya! Setiap anggota, itu berarti setiap orang percaya terpanggil untuk tidak tinggal diam melihat dan merasakan kemunafikan, kebobrokan moral dan pelbagai tindakan keji terus terjadi. Kita semua terpanggil untuk menyuarakan dan memberi contoh kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang bukan mengarah kepada kebinasaan, melainkan kehidupan yang mengarah kepada kehidupan itu sendiri.

Jakarta, 12 Juli 2018