Kamis, 28 Juni 2018

PENGHARAPAN YANG TERPENUHKAN


Apa yang paling banyak dikeluhkan dalam pelayanan kesehatan versi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)? Setidaknya survey yang dilakukan oleh Perkumpulan Prakarsa di 11 kabupaten/kota dengan 1.334 orang reponden menjadi gambaran umum (data dirilis pada 23/05/2017).  Hasilnya, 50,57% responden merasa dokter kurang peduli, 14,94% merasa tenaga medis kurang komunikatif, dan 12,64% dokter tidak datang tepat waktu dan pasien harus menunggu lama. Di samping itu keluhan yang banyak kita dengar adalah tentang antrian yang sangat panjang dan melelahkan.

Bagaimana jika Anda atau anggota keluarga Anda mengalami sakit serius, lalu akses untuk mendapatkan layanan kesehatan yang memadai terhalang oleh pelbagai aturan dan antrian sesama penderita, sedangkan kondisi si sakit tidak bisa kompromi lagi dengan waktu. Sangat manusiawi jika Anda jengkel, marah, dan kecewa. Harapan yang semula menyala-nyala, kian lama kian memudar bahkan padam sama sekali.

Peristiwa dua mukjizat yang terekam dalam Markus 5:21-43 memang bukan layanan BPJS. Namun, dilihat dari makna esensi singkatan BPJS dan orang-orang yang menaruh tumpuan terhadap layanan lembaga tersebut sedikit banyak ada tali persinggungan. Yesus, yang beberapa kisah sebelumnya digambarkan telah banyak melakukan mukzijat penyembuhan, pengusiran setan dan menaklukan badai taufan jelas dapat diandalkan menjadi jaminan pengharapan untuk mengatasi pelbagai kesulitan yang dihadapi orang-orang pada masa itu. Kuasanya sungguh terbukti! Namun sayangnya, akses untuk memperoleh jaminan kuasa itu ternyata tidak mudah. Dalam bacaan minggu ini tergambar jelas, ada dua sosok yang sangat membutuhkan kuasa Yesus itu. Mereka adalah Yairus yang anak perempuannya sedang sakit sekarat dan seorang perempuan yang sudah dua belas tahun menderita pendarahan. Akses kepada Yesus terhalang oleh banyaknya orang yang berbondong-bondong berada di sekeliling Yesus. Mereka itu bisa saja orang-orang yang membutuhkan pertolongan Yesus, namun tampaknya lebih banyak sebagai penonton.

Siapa pun orang tua, jika anaknya sakit - apalagi sakit serius - pasti akan melakukan apa saja untuk memulihkan anaknya. Demikian juga dengan Yairus. Ia adalah orang penting, kepala rumah ibadat yang mengatur segala peribadahan di sinagoge, dan tentunya dekat dengan orang-orang Farisi yang seringkali menentang apa yang dilakukan Yesus. Hari itu, tanpa sungkan - orang terhormat ini - mau sujud di hadapan Yesus untuk memohon bantuannya agar putrinya dipulihkan. Kita dapat membayangkan, ketika mendapat akses langsung dengan Yesus, maunya Yairus, Yesus segera sampai ke rumahnya agar putrinya dapat segera tertolong. Bukankah begitu, setiap orang yang merasa diri atau anggota keluarganya bermasalah, khususnya sakit serius, meminta diutamakan atau didahulukan. Banyak kericuhan terjadi di rumah puskesmas, IGD rumah sakit, atau pun layanan kesehatan lainnya oleh karena keluarga tidak sabar meminta diprioritaskan.

Orang banyak yang berbondong-bondong itu ternyata tidak bisa membuat langkah Yesus lebih cepat. Dan kini, langkah itu benar-benar terhenti! Ada insiden, seorang perempuan yang dua belas tahun menderita pendarahan menghentikan langkah Yesus itu. Ia menjamah jubah Yesus. Padahal, menurut hukum Musa, perempuan yang pendarahan adalah najis (Imamat 15:25). Ia tidak boleh disentuh atau menyentuh dan tidak boleh hadir di tengah-tengah peribadatan umat. Sakitnya sudah lama, dari sudut medis tidak ada lagi pengharapan. Perempuan ini sudah banyak menghabiskan harta bendanya untuk dapat pulih. Kini, harapan satu-satunya adalah Yesus.

Perempuan ini menunjukkan kenekatannya. Ia menerobos kerumunan orang banyak. Ia juga mendobrak rintangan sosial-agama, lalu mendekati Yesus dari belakang dan menyentuh-Nya. Dalam tradisi, orang-orang sakit sering mencoba menyentuh sang penyembuh dan sang penyembuh diharapkan menyentuh orang yang sakit. Yairus tadi meminta Yesus meletakkan tangan-Nya atas putrinya (Mrk.5:23). Tampaknya, ada keyakinan bahwa sentuhan itu mengandung kekuatan pemulihan (dunamis, ay.30), kekuatan itu akan mengalir kepada yang sakit sehingga akan mendatangkan kesembuhan. Namun, dalam kisah ini ada sesuatu yang lebih. Kata "menyentuh jubah-Nya" diulang samapai empat kali. Perempuan ini sungguh percaya bahwa sentuhan yang "terlarang" itu akan membawa keselamatan bagi dirinya. Dan benar, ternyata dia sembuh!

Yesus merasakan ada tenaga yang keluar dari diri-Nya. Ia berpaling mencari tahu. Akhirnya, perempuan itu maju dan sujud di hadapan-Nya dan menceritakan semua yang terjadi. Kini, ia dihadapkan dengan rasa takut. Ketakutannya (phobos) bersifat ketakjuban atas pengalaman penyembuhan itu. Ia sujud dan mengakui kuasa ilahi yang bekerja melalui Yesus. Yesus melihat iman perempuan itu karena ia percaya dengan sungguh-sungguh, perempuan itu dinyatakan bukan hanya sembuh tetapi juga selamat. Dia yang tadinya menderita dan dikucilkan karena penyakitnya, kini karena imannya pulang dengan sembuh dan selamat. Ia mengalami syalom! Ia ditolong Yesus secara utuh: jiwa dan raganya.

Bagaimana dengan Yairus? Tentu hatinya begitu gundah. Sakit sang putri serius dan kini langkah yang semula penuh harapan harus terhenti. Yesus berhenti terlalu lama! Dan, benar saja, sementara Yesus masih berbicara datanglah orang yang diutus dari rumah Yairus. Ia mengabarkan bahwa, "Anakmu sudah meninggal, untuk apalagi engkau menyusahkan Guru?" (ay.35). Semua sudah terlambat, tidak ada lagi harapan!

Kita dapat merasakan betapa hancurnya perasaan Yairus ditambah lagi dengan suasana duka yang terjadi di rumah Yairus yang meratapi putrinya yang sudah meninggal. Bagaimana tanggapan Yesus? "Jangan takut, percaya saja!" Yesus meneguhkan kembali harapan sang ayah. Ia meneguhkan Yairus supaya tidak putus asa dan memandang kematian sebagai penghapus segala pengharapan itu. Justeru dengan berita duka ini, Yairus ditantang untuk mempercayakan diri pada kuasa Allah, sama seperti perempuan yang percaya tadi. "Anak ini tidak mati, tetapi tidur!" Dengan menggunakan kiasan "tidur", Yesus mengungkapkan kematian bukanlah sesuatu yang definitif, final mengubur semua pengharapan. Tetapi, ibarat "tidur" Ia berkuasa membangunkannya kembali.

Banyak hal bisa membuat kita kehilangan pengharapan. Sakit dan kematian sering menjadi faktor utama rontoknya pengharapan. Hal utama yang dibutuhkan untuk menopang pengharapan itu adalah sebuah keyakinan, itulah yang dinamakan iman. Iman seperti apa? Seperti perempuan yang menjamah jubah Yesus dan seperti Yairus. Mereka berusaha bahkan mendobrak dan menerobos rintangan sosial-agama. Iman mereka disambut Yesus bahwa sekalipun - menurut ukuran manusia, dalam hal ini kematian - tidak ada lagi pengharapan, Yesus mampu memenuhi harapan mereka.

Pengalaman yang sama terlukis dalam bacaan pertama minggu ini (Ratapan 3: 22-33). Namanya kitab Ratapan, jelas sebagian besar isinya adalah kesedihan luar biasa dengan kehancuran umat Allah. Kini, mereka berada dalam penguasaan bangsa lain, Babel. Bait Allah dihancurkan dan Yerusalem porak-poranda serta mereka kehilangan segala-galanya. Namun, di tangah-tengah ketiadaan pengharapan itu, sang nabi masih melihat kasih setia TUHAN, "Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya, selalu baru setiap pagi; besar kesetiaan-Mu!" (Rat.3:22,23).

Saat ini bisa saja kita sedang berada dalam fase yang tidak mudah. Tawar hati dan pengharapan yang memudar. Ingatlah bahwa TUHAN peduli dan Ia mau memulihkan. Hanya saja jangan berhenti berharap dan percaya. Tidak mustahil, apa yang sekarang kita alami sebagai kepedihan "kematian" kelak akan menjadi sebuah sukacita. Mereka yang telah dipulihkan akan bernyanyi seperti pemazmur, "Aku yang meratap telah Kaubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita, supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri. TUHAN, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu" (Mzm.30:12,13).  

Jakarta, 28 Juni 2018

Kamis, 21 Juni 2018

DALAM BADAI TUHAN BERTINDAK


Senin, 18 Juni 2018 pukul 17.30 Wib kapal kayu KM Sinar Bangun bertolak dari pelabuhan Simanindo, Kabupaten Samosir menuju Tigaras Parapat, Kabupaten Simalungun. Kapal kayu itu diperkirakan mengangkut lebih dari seratus orang. Ya, dapat diduga: hari itu banyak wisatawan yang menikmati liburan bergegas pulang karena hari sudah senja dan KM Sinar Bangun merupakan kapal terakhir yang mengangkut penumpang. Namun, siapa sangka perairan yang semula tenang berubah seiring cuaca yang tidak bersahabat. Angin kencang memicu riak air yang siang tadi bisa dinikmati keindahannya, berubah menjadi ombak besar. Muatan yang jauh melebihi kapasitas angkut memperburuk keadaan sehingga, tali kemudi putus dan Sinar Bangun tidak dapat terus "bangun". Ia oleng, perlahan-lahan rebah dan akhirnya tenggelam di perairan Simanindo itu.

Dalam beberapa tayangan video amatir yang diberitakan berulang-ulang, kita menyaksikan tragedi memilukan itu. Ada adegan orang-orang panik berlarian di atas kapal yang perlahan tapi pasti menuju tenggelam. Dalam kepanikan itu mereka tidak tahu lagi harus lari ke mana. Jalan satu-satunya adalah menyeburkan diri ke air danau itu. Sebab kalau tidak, mereka akan tenggelam bersama dengan Sinar Bangun ke dasar danau yang paling dalam di dunia.

Kita tarik ke belakang sebentar, beberapa menit sebelum KM SInar Bangun itu tidak berdaya menghadapi perairan Toba yang bergejolak. Bayangkanlah kita ada bersama mereka. Saya dapat menduga, kita akan mengalami kepanikan luar bisa. Sangat mungkin prosedur keamanan dan penyelamatan yang sering diperdengarkan tidak lagi bisa dilakukan. Apalagi, di kapal itu hanya tersedia 40 pelampung. Kematian di depan mata!

Sepertinya tidak jauh berbeda, kecemasan dan kepanikan yang dialami oleh murid-murid Yesus ketika perahu mereka dihantam badai. Sepanjang pagi sampai menjelang sore Yesus mengajar orang banyak di tepi danau itu (Markus 4:1). Kini, sesudah petang, Yesus mengajak mereka untuk bertolak ke seberang (4:35). Namun, apa yang terjadi? Danau itu bergejolak! Taufan yang sangat dasyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Paling tidak ada empat orang nelayan di antara para murid Yesus. Mereka tentu amat berpengalaman menghadapi danau yang juga menjadi sumber penghidupan mereka. Walau demikian, mereka tidak dapat mengatasi bahaya angin ribut itu. Hal ini menunjukkan bahwa ombak yang menyerang perahu mereka itu sungguh dasyat dan mereka sungguh dalam keadaan bahaya besar. Kematian di depan mata!

Sementara mereka berjuang antara hidup dan mati, Yesus tidur nyenyak di buritan. Para murid kemudian membangunkan Dia. Mereka heran bagaimana mungkin Yesus tidur pulas di tengah badai dasyat dan membiarkan para murid dicengkram ketakutan luar biasa. Saya kira kita sepakat dengan para murid yang berkata kepada Yesus, "Guru, tidak pedulikah Engkau kalau kita binasa?" (ay.38).

Yesus bangun, namun tidak menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada-Nya. Ia justeru menghardik badai dasyat itu dan menyuruh danau itu tenang. Angin pun reda dan danau itu kembali tenang teduh. Setelah itu, Yesus menanggapi perkataan para murid-Nya tadi. Alih-alih menjawab, Yesus justeru balik bertanya, "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" (ay.40).

Mengapa kamu begitu takut? Maengapa kamu tidak percaya? Apakah salah bila mereka takut. Ya, ketika berhadapan dengan badai dasyat yang mematikan itu! Bukankah orang tidak dapat dilarang untuk merasa takut? Bukankah ketakutan itu datangnya tidak diundang, ia tiba-tiba saja ada. Tidak dapat dicegah! Mengapa Yesus menuduh mereka tidak percaya? Selama ini memang mereka telah melihat kuasa Yesus untuk menyembuhkan orang sakit dan untuk mengusir setan-setan, tetapi situasi yang mereka hadapi di danau ini sama sekali berbeda. Mereka tidak sedang berhadapan dengan orang yang kerasukan setan atau orang yang sakit, tetapi dengan badai yang nyaris menenggelamkan perahu dan membunuh mereka. Para murid percaya bahwa Yesus dapat mengusir setan dan menyembuhkan orang sakit karena memang telah melihatnya. Tetapi, mereka sama sekali belum pernah melihat Yesus mengatasi badai dan ombak.

Belajar percaya dan memercayakan diri tidaklah mudah. Benar, mengusir setan dan menyembuhkan kelemahan manusia tidaklah sama dengan menaklukkan badai dan gelora danau itu. Namun, itu semua dilakukan oleh kuasa dan figur yang sama yakni, Yesus! Yang menjadi permasalahan  sesungguhnya adalah bahwa selama ini para murid hanya menjadi "penonton". Bukankah orang yang kerasukan setan sama berbahayanya dengan orang yang sedang berhadapan dengan badai? Demikian juga orang yang sakit kusta, lumpuh, buta dan seterusnya, mereka juga menghadapi badai kehidupannya masing-masing!

Para murid selama ini belum pernah berada dalam situasi genting; situasi di tengah badai. Di sinilah kepercayaan mereka diuji. Bisa saja kondisi demikian dialami oleh kita. Selama "badai" itu tidak menerpa kita, sangat mudah untuk mengatakan kepada orang lain, "Percaya saja, Gusti Allah boten sare!", "Serahkanlah segala kekuatiranmu, maka Dia akan bertindak!", "Yakin saja, dan jangan meragukan pertolongan Tuhan!" dan seterusnya. Namun, ketika badai itu menerpa kita, kita mengeluh, mempertanyakan pertolongan Tuhan - sama seperti para murid yang menegur Yesus.

Yesus menegur para murid bukan tanpa alasan. Menurut Yesus para murid sebenarnya tidak perlu takut karena Dia bersama dengan mereka. Apa yang selama ini mereka lihat mengenai Yesus seharusnya sudah cukup membuat mereka yakin bahwa Allah bekerja dan menyatakan kuasa-Nya dalam diri Yesus. Namun, ternyata mereka belum percaya juga.

Apa yang terjadi dengan para murid setelah mereka ditegur Yesus? Mereka sangat takut! Namun, takut di sini berbeda, bukan takut dalam arti tawar hati (deilos) terhadap badai, tetapi takut karena segan (phobos) terhadap Yesus. Hal ini tampak dalam pertanyaan mereka, "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?". Ya, kuasa yang mengherankan dan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah sendiri, "Siapa telah membendung laut dengan pintu ketika membual ke luar dari dalam rahim?...ketika Aku berfirman: Samapai di sini boleh engkau datang, jangan lewat, di sinilah gelombang-gelombangmu yang congkak akan dihentikan!" (Ayub 38:8-11). Di sinilah kita percaya bahwa di dalam Yesus, kepenuhan kuasa Allah bekerja!

Badai tidak hanya diartikan secara harafiah. Badai harafiah berpotensi menjadi badai kehidupan. Badai di danau Toba jelas menjadi badai kehidupan bagi setiap keluarga korban tragedi itu. Badai identik dengan kesulitan hidup, pergumulan dan penderitaan. Badai tidak pandang bulu, dia bisa melanda siapa pun, tanpa kecuali orang beriman sekali pun. Di sinilah kita memerlukan iman yang lebih dasyat untuk menyikapi badai itu. Iman yang bagaimana? Iman yang bersandar pada kuasa Tuhan. Dia pasti bertindak! Dialah Sang Penyelamat yang dapat dipercayai. Ia hadir dan peduli, berkuasa melebihi kekuatan-kekuatan yang mengancam. Ia menyertai Anda dan saya dalam badai sekalipun. Ia tidak membiarkan kekacauan yang mengancam itu menenggelamkan bahtera umat-Nya.

Tuhan menolong murid-murid dan kita bukan hanya dengan melindungi terhadap bahaya dari luar, tetapi juga dengan teguran atas kelemahan bathiniah, dan kekurangan iman kita. Teguran Tuhan ini pun menunjukkan kehadiran dan kepedulian-Nya. Bahkan dalam badai sekali pun Dia sanggup menopang hidup anak-anak-Nya menjadi kesaksian yang indah. Itulah juga yang dialam kemudian oleh para murid dan juga rasul Paulus (lihat bacaan ke-2, 2 Korintus 6:1-13).

Jakarta, 21 Juni 2018