Jumat, 01 Juni 2018

CINTA KUAT SEPERTI MAUT


"Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu,
karena cinta kuat seperti maut,
kegairahan gigih seperti dunia orang mati,
nyalanya adalah seperti nyala api,
seperti nyala api TUHAN!

All You Need is Love, demikian judul buku yang ditulis oleh Pongki Pamungkas. Benar semua kita membutuhkan cinta! Dalam bukunya yang berjudul In The Arena, mantan Presiden Amerika Serikat Richard Nixon menceritakan depresi yang dideritanya setelah ia mengundurkan diri. Sejarah mencatat, ia mundur lantaran sekandal Watergate yang merupakan pukulan telak bagi hidupnya. Ia pernah berkata dalam masa depresinya kepada Pat, sang isteri, bahwa ia ingin segera mati saja.

Suatu hari, pada saat ia berada pada titik nadir semangat hidupnya, seorang perawat masuk ke kamarnya. Lalu si perawat menyibakkan tirai dan menunjuk ke sebuah pesawat kecil yang terbang bolak-balik di langit. Pesawat itu menarik tulisan : "Tuhan mengasihimu, Demikian Juga Kami". Dan setelah peristiwa itu, kesehatan Nixon mengalami titik balik. Ia menjadi bersemangat dan kesehatannya berangsur-angsur membaik.

Benar, demikian adanya, "Cinta itu menyembuhkan manusia, baik bagi si pemberi cinta maupun si penerimanya, " kata Karl A. Menninger (psikiater). Dicintai seseorang membuat Anda kuat. Sementara mencintai seseorang membuat Anda berani," kata Lao Tzu. Dicintai Arta, Peter menjadi kuat. Tak kenal lelah bahkan ketika harus membagi waktu, jarak, kekuatan, tenaga, uang dan materi. Mencintai Arta, Peter menjadi berani. Berani berhadapan dengan segala macam risiko, aturan adat, dan seterusnya. Demikian juga dicintai Peter, Arta menjadi kuat. Energinya seolah tidak pernah habis. Selalu antusias! Mencintai Peter, Arta menjadi berani. Berani memertaruhkan masa depannya. Berani meninggalakan ayah dan ibunya untuk hidup bersama dengan Peter. Cinta itu kuat seperti maut! "Cinta itu adalah kehidupan. Dan bila Anda kehilangan cinta, Anda kehilangan kehidupan." (Leo Buscaglia). Cinta kuat seperti maut!

Peter dan Arta ada di sini, saya sangat yakin itu adalah karena cinta. Sepuluh tahun mereka berpacaran dan pastinya lebih lama dari itu mereka saling mengenal, menjajagi, jatuh cinta dan akhirnya menyatakan ikrar untuk sehidup-semati. Ada hal yang unik mengapa Peter jatuh cinta dengan Arta dan sebaliknya. Saudara bisa tanya sendiri kepada mereka, saya terikat dengan rahasia jabatan. Lebih baik saya cerita pasangan yang lain saja.

Lisa, seorang gadis cantik yang menjadi kembang kampus, akhirnya jatuh cinta dan secara terbuka mengutarakannya hubungannya dengan sang pemuda yang beruntung, Rudi. Banyak teman-teman Lisa heran dengan pilihan yang diambilnya. Dari segi wajah, Rudi masih kalah dengan Johnny, juga pemuda yang naksir Lisa. Dari segi materi, Rudi tak seujung kuku dibandingkan dengan Tommy, pengagum Lisa juga, yang seorang anak konglomerat.

Seorang temannya bertanya kepada Lisa, "Apa istimewanya, sih, si Rudi buatmu?" Lisa menjawab, "Dia baik dan sabar. Dia telaten mendengarkanku yang cerewet, suka ngomong." Peter memang baik, sabar, telaten suka mendengar. Namun, bukan berarti Arta cerewet. Ini sekali lagi kisah Rudi dan Lisa.

'Dia baik dan sabar. Dia telaten mendengarkanku..." Jawaban itu sesuai dengan kata-kata Paul Tillich, seorang Teolog Jerman-Amerika, ia pernah mengatakan, "Tugas pertama dari cinta adalah mendengarkan." Lisa bertekuk lutut terhadap Rudi, karena Rudi adalah seorang pendengar yang baik bagi Lisa. Anda dan saya mungkin saja banyak menyatakan cinta kepada pasangan kita. Namun, seberapa jauh Anda mendengar? Seberapa telaten dan sabar Anda menyimak?

Kisah lain. Ada seorang gadis yang jatuh cinta kepada seorang pria yang usianya terpaut begitu jauh. Bila "bapak" yang dicintai gadis ini kaya raya atau berparas tampan, mungkin tidak sulit untuk mendakwa si gadis ini. Ia mencintai karena harta atau ketampanannya! Kenyataannya, si bapak itu tidak dalam kondisi demikian. Ia biasa-biasa saja. Jauh dari gemerlap. Lalu mengapa gadis itu mencintainya?

Si gadis itu menjawab, "Nggak tahu, ya seneng ajah. Aku merasa klik dengan dia." Jawaban ini sesuai dengan kutipan, "Seseorang dicintai atau mencintai karena dicintai atau mencintai. Tidak butuh alasan untuk mencintai atau dicintai," Kata Paulo Coelho, seorang penulis Brazil. Dalam kalimat lain, jatuh cinta ya jatuh cinta saja. Tak usah mempersoalkan sebab-musababnya.

Cinta kuat seperti maut. Cinta tidak sekedar dan tidak pernah cukup hanya dengan ucapan bibir atau sebuah janji. Peter dan Arta akan berjanji di hadapan kita dan tentunya kita yakin di hadapan Tuhan. Janji itu bak materai (Kid.8:6a) yang mengesahkan dokumen resmi. Lebih dari sekedar akte pernikahan, "cinta kuat seperti maut" (6b). Sepasti kematian akan hadir cepat atau lambat dalam kehidupan semua makhluk, seperti kuat dan pastinya maut itu: biarlah kuat dan pastinya cinta yang merekatkan kedua mempelai hari ini.

Sebagai orang percaya, apalagi pendeta. Peter dan Arta pertama-tama harus menyakini bahwa yang mengobarkan cinta kalian berdua adalah Allah sendiri sebagai sumber dari cinta kasih. Cinta yang dikobarkan Allah pastinya akan langgeng karena Tuhan menyertai "dua" yang telah menjadi "satu" itu. Kedua, kegairahan yang menyertai cinta itu adalah "cemburu kudus", karena menyadari pasangannya adalah pilihan dan anugerah Tuhan baginya. Cinta yang sejati tidak akan memberi tempat pada pria atau wanita lain. Cinta yang sejati juga tidak mungkin dapat ditukar dengan harta benda (7b), karena cinta berurusan dengan pribadi.

Ketiga, cinta sejati akan terus membara, tidak mungkin dipadamkan oleh apa pun bahkan oleh aliran sungai permasalahan hidup (7a). Mengapa seringkali gairah asmara - seiring bertambah usia pernikahan - semakin memudar? Banyak orang kemudian memakluminya. Seorang kakek dan nenek ketika berjalan berdua, saya meminta mereka untuk bergandengan tangan, "Malu ah, kayak anak muda saja. Kami sudah tua!" sahut mereka. Cinta itu, asmara itu mestinya terus berkobar dan hanya maut yang dapat menghentikannya!

Cinta itu energi, energi membara yang harus dan terus menerus disalurkan. "Seperti nyala api Tuhan.." kata penulis Kidung Agung. Mestinya dalam taataran ini cinta asmara setiap anak Tuhan berpijak. "Seperti nyala api Tuhan...seperti Tuhan mencintai." Cinta itu memberi bukan menuntut, kecuali menuntut pada diri sendiri untuk memberi yang terbaik bagi orang yang dicintainya. "Orang yang tidak dewasa berpola pikir: Aku mencintaimu karena aku membutuhkanmu. Sedangkan orang yang berpola pikir dewasa: Aku membutuhkanmu karena aku mencintaimu." (Erich Fromm).

Jakarta, 2 Juni 2018  

Kamis, 31 Mei 2018

SABAT UNTUK SEMUA


Bayangkan dunia tanpa aturan. Kacau balau! Orang akan bertindak semaunya, yang penting apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku terpenuhi. Lalu lintas tanpa rambu dan aturan pasti menimbulkan banyak kecelakaan. Angkutan darat, laut, udara tanpa peraturan membuahkan petaka. Sebuah komunitas tanpa undang-undang pasti kacau balau. Sebaliknya, menjadikan undang-undang atau peraturan sebagai tujuan dan di atas segala-galanya merupakan sebuah penindasan terhadap kemanusiaan. Orang menjadi tertekan hanya untuk memenuhi hukum-hukum tertentu.

Agama, tidak lepas dari setumpuk peraturan. Bayangkan, jika sebuah agama tidak ada kaidah atau aturan tentang ritual, ibadah, ataupun pedoman-pedoman dalam aplikasi hidup sehari-hari. Apa jadinya jika semua orang bebas mengekspresikan sikap imannya. Kacau! Sebaliknya, jika aturan itu terlalu rijid, kaku dan mutlak maka kehidupan keagamaan terasa kaku dan beku.

Orang Farisi digambarkan sebagai kelompok orang yang berusaha menaati hukum dan tradisi secara ketat karena mereka yakin bahwa semua itu berasal dari Allah melalui Musa. Terdorong oleh keinginan untuk setia pada hukum Tuhan, mereka berusaha untuk menjalaninya seteliti mungkin. Untuk menjalankan Hukum Taurat, mereka pun menerima peraturan-peraturan yang dibuat sebagai tuntunan untuk menjalankannya.

Dalam Injil, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang selalu menentang Yesus. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman karena secara terang-terangan justeru mengajarkan "pelanggaran" pada Hukum Taurat. Misalnya, memetik gandum dan menyembuhkan orang pada Hari Sabat serta menyatakan bahwa tidak ada makanan yang membuat orang menjadi najis. Selain itu, Yesus mengutuk ajaran dan kemunafikan mereka karena mereka tidak melakukan apa yang mereka ajarkan. Semua itu membuat orang Farisi marah dan memandang-Nya sebagai orang yang melecehkan Hukum Taurat.

Peraturan Sabat dalam Injil Markus menjadi pemicu konfliks pertama antara Yesus dan kalangan Farisi. Kata Sabat berarti "berhenti" atau "beristirahat" (Kel.16:29-30; 23:12). Perintah untuk mengingat dan menguduskan Hari Sabat disampaikan dalam Keluaran 20 dan Ulangan 5, namun keduanya memberi motivasi berbeda. Kel. 20 mengacu pada karya penciptaan Allah. Umat Israel harus beristirahat pada hari ketujuh karena pada hari itu Allah juga beristirahat setelah enam hari menciptakan alam semesta. Sementara Ul. 5 mengacu kepada kenyataan bahwa mereka pernah mengalami hidup tanpa istirahat, yakni ketika diperbudak di Mesir. Hari Sabat adalah hari istirahat yang dianugerahkan Allah. Oleh karena itu mereka pun harus memberikan istirahat kepada budak dan ternak mereka. Berdasarkan perintah untuk mengingatkan dan menguduskan Sabat itu, para ahli hukum agama Yahudi memberikan rincian mengenai kegiatan yang dilarang dan dianjurkan.

Kegiatan yang dilarang pada Hari Sabat
Berdasarkan Misnah (catatan hukum lisan yang merupakan penjelasan Hukum Taurat) terdapat 39 kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada Hari Sabat. Ke-39 kegiatan itu dibagi menjadi empat kelompok.

Kelompok I
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk membuat roti: 1. Menabur, 2. Membajak, 3. Menuai, 4. Mengikat berkas, 5. Mengirik, 6. Menampi, 7. Memilih, 8. menggiling, 9. Mengayak tepung, 10. Membuat adonan, 11. Membakar/memanggang.

Kelompok II
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk membuat pakaian: 12. Menggunting wol, 13. Mencuci wol, 14. Memukuli wol, 15. Mewarnai wol, 16. Memintal, 17. Menenun, 18. Membuat dua simpul, 19. Menenun dua lembar benang, 20. memisahkan dua lembar benang, 21. Mengikat, 22. Melepaskan ikatan, 23. Menjahit, 24. Merobek.

Kelompok III
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk barang-barang dari kulit: 25. Memasang jerat, 26. Menyembelih, 27. Menguliti, 28. Menyamak kulit, 29. Menggosok kulit, 30. Menandai kulit, 31. Memotong kulit, 32. Menulis dua huruf atau lebih, 33. Menghapus dua huruf atau lebih.

Kelompok IV
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk membuat bangunan: 34. Membangun, 35. Membongkar, 36. Memadamkan api, 37. Menyalakan apii, 38. Memberikan sentuhan terakhir kepada sebuah benda, 39. Memindahkan benda dari tempat pribadi ke tempat umum, atau sejauh dua meter di tempat umum.

Kegiatan yang dianjurkan pada Hari Sabat
Kegiatan yang dianjurkan pada Hari Sabat, antara lain: 1. Merayakan Hari Sabat bersama dengan anggota keluarga terdekat, 2. Menghadiri kegiatan doa di sinagoge, 3. Mengunjungi keluarga atau sahabat (yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki), 4. Menerima tamu, 5. Menyanyikan lagu-lagu khusus untuk Hari Sabat, 6. Membaca, mempelajari, mendiskusikan Taurat (dan tafsirnya).

Dalam suatu perjalanan pada Hari Sabat, murid-murid Yesus memetik bulir gandum (Markus 2:23) untuk dimakan pada saat itu juga. Menurut Hukum Taurat (Ul.23:25), orang lapar ketika melewati ladang orang lain boleh memetik bulir gandum dengan tangan (tanpa memakai sabit) asalkan langsung dimakan. Akan tetapi menurut tafsir Taurat kaum Farisi, sebulir pun tidak boleh dipetik pada Hari Sabat, sebab hal itu dapat dipandang sebagai pekerjaan penuaian yang dilarang pada Hari Sabat. Bila hal itu dilakukan dengan sengaja, hukumannya harus dilempar dengan batu (Misnah, Sanhedrin 7:4).

Yesus menangggapi keberatan orang farisi itu dengan mengingatkan mereka pada kasus Daud dan para pengikutnya dalam 1 Samuel 21:1-6.  Daud bersama para pengikutnya melarikan diri dari kejaran Saul. Dalam pelarian itu Daud dan para pengikutnya sampai di Nob, tempat Abyatar bertugas sebagai imam. Mereka kelaparan dan memerlukan makanan supaya dapat bertahan hidup. Daud pun mendatangi sang imam di rumah Allah untuk meminta makanan bagi dirinya sendiri dan para pengikutnya. Ternyata tidak ada makanan di tempat itu, selain roti sajian yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Daud tahu bahwa drinya bukan imam, tetapi demi keselamatan diri dan pengikutnya, Daud memakan roti sajian itu dan memberikannya kepada para pengikutnya. Yesus mengingatkan jika Daud dan Abyatar lebih memerhatikan pertimbangan kemanusiaan ketimbang peraturan. Bagi mereka keselamatan manusia lebih penting daripada ketaatan terhadap peraturan. Karena alasan yang sama, Yesus tidak melarang para murid-Nya memetik gandum sekali pun itu dilakukan pada Hari Sabat.

Yesus mengakhiri jawaban-Nya dengan sebuah sabda "Kristologi". Anak Manusia adalah Tuhan atas Hari Sabat (Mrk.2:28). Gelar Anak Manusia di sini - seperti dalam 2:10 berkaitan dengan kuasa mengampuni dosa. Sekarang Tuhan atas Hari Sabat itu menyatakan kembali hakikat Sabat semula, yaitu: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Hari Sabat."(ay.27).

Konflik selanjutnya berkenaan dengan Sabat terjadi di dalam rumah ibadat. Ada orang sakit disembuhkan Yesus. Tindakan penyembuhan sama dengan profesi seorang tabib - menurut tradisi kaum Farisi dilarang keras pada Hari Sabat, kecuali dalam keadaan bahaya maut (Mishna, Yoma 8:6). Nah, di sini orang itu hanya sakit mati sebelah tangannya, bukan berhadapan dengan bahaya maut. Oleh karena itu untuk kasus ini Yesus bisa dihadapkan ke pengadilan dan dihukum mati (Kel.31:14). Lalu Yesus menjawab, "Manakah yang diperbolehkan pada Hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? (3:4). Petanyaan retoris Yesus ini menyingkapkan kedok para lawan-Nya yang jelas-jelas bertindak bertolak belakang dengan maksud penyelamatan Allah. Kekerasan hati mereka tidak mau mengakui pelanggaran mereka terhadap maksud penyelamatan Hari Sabat, membuat Yesus sedih, bahkan marah (3:5).

Tanpa membatalkan Hukum Taurat, Yesus membebaskan kita dari belenggu hurufiah. Ia menjaga agar keselamatan manusia, yang menjadi tujuan dari Hari Sabat dan hukum Allah pada umumnya, tidak menjadi korban penerapan hukum secara harafiah, bahkan kejam. Ukuran Yesus untuk menerapkan sebuah hukum menurut maksud Allah ialah "berbuat baik dan menyelamatkan orang".  Cara itu sudah ditunjukkan oleh Daud kepada para pengikutnya. Demikian juga dilakukan Yesus bagi murid-murid-Nya ketika lapar. Penerapan hukum hendaknya membawa damai sejahtera bukan saja untuk si pemegang otoritas hukum, melainkan untuk semua orang dan meringankan penderitaan orang yang berkesusahan. Sudah seharusnya, gereja tidak menjadi kaku dan beku dengan hukum, melainkan - sama seperti Yesus - menolong orang berjumpa dengan kasih Allah dan menjadikan damai sejahtera di atas huruf-huruf hukum itu.

Jakarta, Sabat untuk Semua 31 Mei 2018