Kamis, 31 Mei 2018

SABAT UNTUK SEMUA


Bayangkan dunia tanpa aturan. Kacau balau! Orang akan bertindak semaunya, yang penting apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku terpenuhi. Lalu lintas tanpa rambu dan aturan pasti menimbulkan banyak kecelakaan. Angkutan darat, laut, udara tanpa peraturan membuahkan petaka. Sebuah komunitas tanpa undang-undang pasti kacau balau. Sebaliknya, menjadikan undang-undang atau peraturan sebagai tujuan dan di atas segala-galanya merupakan sebuah penindasan terhadap kemanusiaan. Orang menjadi tertekan hanya untuk memenuhi hukum-hukum tertentu.

Agama, tidak lepas dari setumpuk peraturan. Bayangkan, jika sebuah agama tidak ada kaidah atau aturan tentang ritual, ibadah, ataupun pedoman-pedoman dalam aplikasi hidup sehari-hari. Apa jadinya jika semua orang bebas mengekspresikan sikap imannya. Kacau! Sebaliknya, jika aturan itu terlalu rijid, kaku dan mutlak maka kehidupan keagamaan terasa kaku dan beku.

Orang Farisi digambarkan sebagai kelompok orang yang berusaha menaati hukum dan tradisi secara ketat karena mereka yakin bahwa semua itu berasal dari Allah melalui Musa. Terdorong oleh keinginan untuk setia pada hukum Tuhan, mereka berusaha untuk menjalaninya seteliti mungkin. Untuk menjalankan Hukum Taurat, mereka pun menerima peraturan-peraturan yang dibuat sebagai tuntunan untuk menjalankannya.

Dalam Injil, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang selalu menentang Yesus. Mereka melihat Yesus sebagai ancaman karena secara terang-terangan justeru mengajarkan "pelanggaran" pada Hukum Taurat. Misalnya, memetik gandum dan menyembuhkan orang pada Hari Sabat serta menyatakan bahwa tidak ada makanan yang membuat orang menjadi najis. Selain itu, Yesus mengutuk ajaran dan kemunafikan mereka karena mereka tidak melakukan apa yang mereka ajarkan. Semua itu membuat orang Farisi marah dan memandang-Nya sebagai orang yang melecehkan Hukum Taurat.

Peraturan Sabat dalam Injil Markus menjadi pemicu konfliks pertama antara Yesus dan kalangan Farisi. Kata Sabat berarti "berhenti" atau "beristirahat" (Kel.16:29-30; 23:12). Perintah untuk mengingat dan menguduskan Hari Sabat disampaikan dalam Keluaran 20 dan Ulangan 5, namun keduanya memberi motivasi berbeda. Kel. 20 mengacu pada karya penciptaan Allah. Umat Israel harus beristirahat pada hari ketujuh karena pada hari itu Allah juga beristirahat setelah enam hari menciptakan alam semesta. Sementara Ul. 5 mengacu kepada kenyataan bahwa mereka pernah mengalami hidup tanpa istirahat, yakni ketika diperbudak di Mesir. Hari Sabat adalah hari istirahat yang dianugerahkan Allah. Oleh karena itu mereka pun harus memberikan istirahat kepada budak dan ternak mereka. Berdasarkan perintah untuk mengingatkan dan menguduskan Sabat itu, para ahli hukum agama Yahudi memberikan rincian mengenai kegiatan yang dilarang dan dianjurkan.

Kegiatan yang dilarang pada Hari Sabat
Berdasarkan Misnah (catatan hukum lisan yang merupakan penjelasan Hukum Taurat) terdapat 39 kegiatan yang tidak boleh dilakukan pada Hari Sabat. Ke-39 kegiatan itu dibagi menjadi empat kelompok.

Kelompok I
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk membuat roti: 1. Menabur, 2. Membajak, 3. Menuai, 4. Mengikat berkas, 5. Mengirik, 6. Menampi, 7. Memilih, 8. menggiling, 9. Mengayak tepung, 10. Membuat adonan, 11. Membakar/memanggang.

Kelompok II
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk membuat pakaian: 12. Menggunting wol, 13. Mencuci wol, 14. Memukuli wol, 15. Mewarnai wol, 16. Memintal, 17. Menenun, 18. Membuat dua simpul, 19. Menenun dua lembar benang, 20. memisahkan dua lembar benang, 21. Mengikat, 22. Melepaskan ikatan, 23. Menjahit, 24. Merobek.

Kelompok III
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk barang-barang dari kulit: 25. Memasang jerat, 26. Menyembelih, 27. Menguliti, 28. Menyamak kulit, 29. Menggosok kulit, 30. Menandai kulit, 31. Memotong kulit, 32. Menulis dua huruf atau lebih, 33. Menghapus dua huruf atau lebih.

Kelompok IV
menyangkut kegiatan yang diperlukan untuk membuat bangunan: 34. Membangun, 35. Membongkar, 36. Memadamkan api, 37. Menyalakan apii, 38. Memberikan sentuhan terakhir kepada sebuah benda, 39. Memindahkan benda dari tempat pribadi ke tempat umum, atau sejauh dua meter di tempat umum.

Kegiatan yang dianjurkan pada Hari Sabat
Kegiatan yang dianjurkan pada Hari Sabat, antara lain: 1. Merayakan Hari Sabat bersama dengan anggota keluarga terdekat, 2. Menghadiri kegiatan doa di sinagoge, 3. Mengunjungi keluarga atau sahabat (yang dapat dijangkau dengan berjalan kaki), 4. Menerima tamu, 5. Menyanyikan lagu-lagu khusus untuk Hari Sabat, 6. Membaca, mempelajari, mendiskusikan Taurat (dan tafsirnya).

Dalam suatu perjalanan pada Hari Sabat, murid-murid Yesus memetik bulir gandum (Markus 2:23) untuk dimakan pada saat itu juga. Menurut Hukum Taurat (Ul.23:25), orang lapar ketika melewati ladang orang lain boleh memetik bulir gandum dengan tangan (tanpa memakai sabit) asalkan langsung dimakan. Akan tetapi menurut tafsir Taurat kaum Farisi, sebulir pun tidak boleh dipetik pada Hari Sabat, sebab hal itu dapat dipandang sebagai pekerjaan penuaian yang dilarang pada Hari Sabat. Bila hal itu dilakukan dengan sengaja, hukumannya harus dilempar dengan batu (Misnah, Sanhedrin 7:4).

Yesus menangggapi keberatan orang farisi itu dengan mengingatkan mereka pada kasus Daud dan para pengikutnya dalam 1 Samuel 21:1-6.  Daud bersama para pengikutnya melarikan diri dari kejaran Saul. Dalam pelarian itu Daud dan para pengikutnya sampai di Nob, tempat Abyatar bertugas sebagai imam. Mereka kelaparan dan memerlukan makanan supaya dapat bertahan hidup. Daud pun mendatangi sang imam di rumah Allah untuk meminta makanan bagi dirinya sendiri dan para pengikutnya. Ternyata tidak ada makanan di tempat itu, selain roti sajian yang hanya boleh dimakan oleh para imam. Daud tahu bahwa drinya bukan imam, tetapi demi keselamatan diri dan pengikutnya, Daud memakan roti sajian itu dan memberikannya kepada para pengikutnya. Yesus mengingatkan jika Daud dan Abyatar lebih memerhatikan pertimbangan kemanusiaan ketimbang peraturan. Bagi mereka keselamatan manusia lebih penting daripada ketaatan terhadap peraturan. Karena alasan yang sama, Yesus tidak melarang para murid-Nya memetik gandum sekali pun itu dilakukan pada Hari Sabat.

Yesus mengakhiri jawaban-Nya dengan sebuah sabda "Kristologi". Anak Manusia adalah Tuhan atas Hari Sabat (Mrk.2:28). Gelar Anak Manusia di sini - seperti dalam 2:10 berkaitan dengan kuasa mengampuni dosa. Sekarang Tuhan atas Hari Sabat itu menyatakan kembali hakikat Sabat semula, yaitu: "Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk Hari Sabat."(ay.27).

Konflik selanjutnya berkenaan dengan Sabat terjadi di dalam rumah ibadat. Ada orang sakit disembuhkan Yesus. Tindakan penyembuhan sama dengan profesi seorang tabib - menurut tradisi kaum Farisi dilarang keras pada Hari Sabat, kecuali dalam keadaan bahaya maut (Mishna, Yoma 8:6). Nah, di sini orang itu hanya sakit mati sebelah tangannya, bukan berhadapan dengan bahaya maut. Oleh karena itu untuk kasus ini Yesus bisa dihadapkan ke pengadilan dan dihukum mati (Kel.31:14). Lalu Yesus menjawab, "Manakah yang diperbolehkan pada Hari Sabat, berbuat baik atau berbuat jahat, menyelamatkan nyawa orang atau membunuh orang? (3:4). Petanyaan retoris Yesus ini menyingkapkan kedok para lawan-Nya yang jelas-jelas bertindak bertolak belakang dengan maksud penyelamatan Allah. Kekerasan hati mereka tidak mau mengakui pelanggaran mereka terhadap maksud penyelamatan Hari Sabat, membuat Yesus sedih, bahkan marah (3:5).

Tanpa membatalkan Hukum Taurat, Yesus membebaskan kita dari belenggu hurufiah. Ia menjaga agar keselamatan manusia, yang menjadi tujuan dari Hari Sabat dan hukum Allah pada umumnya, tidak menjadi korban penerapan hukum secara harafiah, bahkan kejam. Ukuran Yesus untuk menerapkan sebuah hukum menurut maksud Allah ialah "berbuat baik dan menyelamatkan orang".  Cara itu sudah ditunjukkan oleh Daud kepada para pengikutnya. Demikian juga dilakukan Yesus bagi murid-murid-Nya ketika lapar. Penerapan hukum hendaknya membawa damai sejahtera bukan saja untuk si pemegang otoritas hukum, melainkan untuk semua orang dan meringankan penderitaan orang yang berkesusahan. Sudah seharusnya, gereja tidak menjadi kaku dan beku dengan hukum, melainkan - sama seperti Yesus - menolong orang berjumpa dengan kasih Allah dan menjadikan damai sejahtera di atas huruf-huruf hukum itu.

Jakarta, Sabat untuk Semua 31 Mei 2018

Kamis, 24 Mei 2018

MENGIMANI TRINITAS, MEMBANGUN KOMUNITAS


Hari Minggu sesudah Pentakosta biasanya disebut Minggu Trinitas. Gereja mengingat, merayakan dan mensyukuri kasih Allah yang mau menyatakan diri dalam cara yang unik, lugas, tegas sekaligus eksistensial. Trinitas: Bapa, Anak, Roh Kudus. Ketiga-Nya adalah satu namun pada saat yang sama berbeda dalam cara menyapa dan mengasihi kita.

Bapa, demikian kita memanggil-Nya, oleh karena Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada. Tidak hanya itu - seperti halnya sifat dasariah orang tua - Bapa adalah Allah yang memelihara kehidupan. Anak, yang dimaksudkan adalah Yesus Kristus. Melalui Dia-lah kita mengenal kasih sayang dan kehendak Sang Bapa. Yesuslah yang sempurna menerjemahkan kasih dan kehendak Bapa dalam hidup-Nya. Sehingga Firman itu telihat, teraba, terasa dan nyata. Suatu ketika Filipus bertanya, "Tuhan, tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami." Lalu Yesus menjawabnya, "Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat AKu, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami. Tidak percayakah engkau, bahwa AKu di dalam Bapa dan Bapa di dalam AKu? Apa yang Aku katakan kepadamu, tidak AKu katakan dari diri-Ku sendiri, tetapi Bapa yang diam di dalam Aku, Dialah yang melakukan pekerjaan-Nya. Percayalah kepada-Ku, bahwa AKu di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku;.." (Yohanes 14:8-11). Figur yang berikut adalah Roh Kudus. Melalui karya Roh Kudus kita mengenal kebenaran. Kita dituntun untuk melihat karya kasih Bapa di dalam diri Yesus Kristus sehingga kita dapat memercayai-Nya sebagai Firman yang hidup dan menghidupkan. Roh Kudus juga adalah Allah yang menolong memberi kekuatan dan penghiburan dalam masa-masa sulit kehidupan kita terutama ketika kita menjawab panggilan sebagai saksi-saksi-Nya. Sederhananya, Bapa kita mengenal Allah yang di atas. Anak adalah Allah yang menjadi manusia dan bersahabat dengan kita. Roh Kudus adalah Allah yang ada dan bekerja di dalam diri kita.

Tampaknya pemahaman ini tidak sederhana ketika kita mengatakan bahwa Allah itu Esa namun, nyatanya Yang Esa itu mengungkapkan eksistensi-Nya dengan tiga cara dan figur yang berbeda. Lalu bagaimana menjelaskannya?

Masih segar dalam ingatan saya ketika mengikuti kelas katekisasi. Pada saat itu pendeta yang mengajar kami menjelaskan konsep Trinitas menggunakan analogi matahari. Allah diibaratkan sebagai matahari sebagai sumber terang yang dapat dilihat. Anak diumpamakan sebagai sinar - bagaikan perantara dari Bapa kepada umat manusia di bumi, sedangkan Roh Kudus menjadi energi dan panas yang dapat membakar, menguatkan dan membantu manusia untuk mengerjakan kesaksian sesuai dengan firman Allah. Allah Tritugal itu meski secara fungsi berbeda, tetapi ketiga-Nya merupakan satu identitas yang tidak dapat dipisahkan satu terhadap yang lain.

Dalam aspek-aspek "fungsional" atau peran/cara Allah menyapa dan mengasihi kita, penggambaran itu tentu sangat menolong kita untuk mengerti. Namun, masalahnya penjelasan konsep Trinitas memakai analogi matahari akan menemui kesulitan manakala keberadaan Allah Tritunggal yang kita kenal dalam kesaksian Alkitab itu ternyata saling berelasi satu dengan yang lain. Contoh, salah satu frase doa Yesus dalam Yohanes 17:21, "..., sama seperti Engkau, ya Bapa, di dalam Aku dan AKu di dalam Engkau, agar mereka juga di dalam Kita,supaya dunia percaya bahwa Engkaulah yang mengutus Aku." Di sini terdapat dialog antara si pendoa (Yesus) dan yang dituju dalam doa itu (Bapa). Dalam doa ini tergambar hubungan Sang Bapa dengan Sang Anak saling berganting dan saling mengisi. Ketika "Bapa di dalam Aku", berarti peran Yesus yang terlihat dari luar. Namun, ketika "Aku (Yesus) di dalam Engkau (Bapa), itu berarti peran Bapa lah yang menonjol.

Hubungan Yesus dengan Bapa-Nya merupakan hubungan yang saling melengkapi, mengisi, tetapi juga memberi ruang antara yang satu dengan yang lainnya. Ada kalanya peran Allah Bapa terlihat begitu dominan, misalnya pada kisah-kisah penciptaan dan pemeliharaan atas umat-Nya dalam peristiwa keluaran atau pembuangan. Tetapi di waktu yang lain peran Yesus begitu kuat. Contoh di sepanjang hidup-Nya sehingga tepatlah Dia disebut Firman yang hidup. Demikian juga dengan peran Roh Kudus, Ia begitu tampak luar biasa dalam peristiwa Pentakosta dan sesudahnya. Roh Kudus jugalah yang menolong gereja di segala abad untuk dapat bersaksi. Namun, meski begitu, ketiga-Nya dapat hadir dalam waktu bersamaan sehingga kita sangat sulit untuk mengurainya.

Melihat karya Allah dalam Trinitas yang tidak statis namun dinamis ini, maka bapa-bapa Gereja di abad-abad pertama mencoba mencari  analogi untuk menjelaskan konsep Trinitas dengan bahasa yang mudah dimengerti. Adalah Gregory dari Nazianus sekitar tahun 390 memakai   istilah perichoresis untuk menjelaskan konsep tentang Trinitas.

Perichoresis berasal dari dua kata Yunani yang digabungkan, yakni peri dan chorein. Peri merupakan sebuah kata awalan (prefix) yang mengandung pengertian "berputar" atau "memutar" bisa juga bermakna "berada di sekeliling" atau "mengelilingi" dan yang serupa dengan itu. Sedangkan chorein yang merupakan akar kata choreo. Hari ini kita mengenal pengembangan dari kata ini choreography (Ind: koreografi).

Perichoresis merupakan sebuah tarian berkelompok yang setidaknya berjumlah tiga orang atau lebih dan secara umum dilakukan pada posisi melingkar. Tarian ini merupakan tarian yang diawali dengan gerakan lembut, akan tetapi perlahan tapi pasti semakin cepat. Seiring dengan naiknya tempo tarian, maka akan ada satu titik ketika sang penari tidak dapat diidentifikasi lagi dengan baik secara personal - melainkan sebagai sebuah keterpaduan gerak dari sekelompok orang. Namun, di sela-sela gerakan yang cepat ini, terdapat waktu yang singkat ketika seorang individu muncul secara menonjol, meski tidak dapat dilihat secara utuh (mungkin hanya warna pakaiannya ataupun sebagian anggota tubuhnya). Keberadaan individu yang dapat diamati ini akan silih berganti dengan cepat, begitu seterusnya.

Gregory dari Nazianus memakai istilah perichoresis sebagai gerakan memutar yang saling mengisi dan memberi ruang. Disertai dengan pergantian identitas yang silih berganti menjadi gambaran yang cocok untuk menjelaskan peran dan relasi antara Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

JIka Trinitas itu digambarkan dengan perichoresis, sebuah tarian melingkar, tarian sukacita yang dinamis, tarian yang mentranformasi manusia "lama" menjadi ciptaan baru, maka mestinya, "tarian" itu sedapat-dapatnya harus dirasakan oleh sebanyak mungkin orang. Bukankah hal ini juga yang menjadi kerinduan Yesus dalam doa-Nya. Ia menghendaki "tarian" (baca: persekutuan yang saling mengisi dan memberi ruang) ini dapat dirasakan juga oleh para murid-Nya, "...supaya mereka semua menjadi satu, sama seperti engkau ya Bapa, di dalam AKu dan AKu di dalam Engkau..." (Yoh.17:21) dan tentu saja ujungnya adalah "tarian" perichoresis ini akan menyentuh dunia. Dunia yang membenci mereka harus dihadapi bukan dengan cara dunia (kejahatan dibalas dengan kejahatan atau kekerasan dibalas dengan kekerasan), melainkan dengan cara perichoresis (sama seperti relasi Bapa, Anak, Roh Kudus). Pertama-tama, Yesus menghendaki para murid mewujudkannya dalam sebuah komunitas yang indah.  Selanjutnya, komunitas yang telah dibangun berdasarkan iman terhadap Trinitas inilah yang diutus menjadi saksi-saksi-Nya.



Iman percaya kepada Trinitas itu berarti kita diajak dan mau memasuki "tarian": perichoresis. Ketika kita masuk ke dalam relasi dengan Yesus dan mengikuti-Nya, kita menerima hidup yang ada dalam diri-Nya, yaitu hidup yang berelasi begitu erat dengan Bapa-Nya. Ketika kita bertumbuh dalam persahabatan dan kesatuan dengan Yesus, kita mulai mengenali hidup kekal. Dalam kisah percakapan dengan Nikodemus, Yesus menyatakan bahwa kalau kita percaya kepada-Nya, kita akan mempunyai hidup kekal. Hidup kekal yang dimaksud tidak hanya berkaitan dengan sesuatu sesudah kematian. Hidup kekal adalah ketika kita terhisab dalam perichoresis. Dalam "tarian" itu, kita akan melihat orang lain seperti Yesus melihat mereka. Kita mulai mencintai mereka seperti Yesus mencintai mereka. Hidup beriman kepada Trinitas membuat kita tinggal dalam Yesus dan Yesus dalam diri kita. Inilah perichoresis kita. Apa yang kita lakukan seperti yang Yesus lakukan, terkadang orang tidak lagi melihat diri kita, melainkan Yesus yang ada di dalam kita. Semakin dalam persekutuan perichoresis itu, semakin larut dan tenggelam maka kita akan mengalami pembaruan hidup. 

Dan sesudah dibarui, hidup kita - seperti yang dikatakan Paulus (Roma 8) - akan dipimpin oleh Roh sehingga dapat mengerjakan hal-hal yang menurut perhitungan manusiawi tidak mungkin dilakukan dengan kekuatan sendiri yakni, mencintai musuh, mengampuni dengan pengampunan tanpa batas, murah hati seperti Bapa yang murah hati.

Jakarta, Minggu Trinitas 2018