Rabu, 09 Mei 2018

MENGAPA ENGKAU BERDIRI MELIHAT KE LANGIT?

Kemesraan ini, janganlah cepat berlalu.
Kemesraan ini ingin ku kenang selalu.
Hatiku damai, jiwaku tentram di sampingmu.
Hatiku damai, jiwaku tentram bersamamu...
 

Itulah refrain syair lagu "Kemesraan" karya Franky dan Johny Sahilatua (1988) yang populer dinyanyikan oleh Iwan Fals. Nyanyian ini sangat digembari banyak orang karena diciptakan dan dilantuntan dengan baik serta aransimen musik yang apik. Selain itu, syair ini menarik oleh karena dapat mewakili perasaan manusia ketika menghadapi suasana sedih dalam perpisahan. Ada perasaan berat dan tentu saja menginginkan kemesraan itu tidak cepat berlalu. Pada saat berpisah dengan orang yang begitu berarti dalam hidupnya, seseorang akan merasakan ada yang hilang dalam dirinya. Hal ini memaksa reaksi tubuh mengungkapkan kegundahannya. Bisa dengan menangis, tatapan kosong dan bengong.

Bengong dan melihat ke langit, begitulah kira-kira yang terjadi ketika para murid melihat Guru dan Tuhan mereka tiba-tiba terangkat... dan awan menutup-Nya dari pandangan mereka. Saya dapat membanyangkan seandainya berada di tengah-tengah mereka saat itu. Saya merasakan kekecewaan yang begitu mendalam. Bayangkan, setelah kurang lebih tujuh minggu sebelumnya, saya menyaksikan bagaimana cacian, luapan kebencian, siksaan dan akhirnya kematian yang begitu mengerikan. Pada saat itu, saya kehilangan pengharapan sama sekali terhadap Yesus sebagai Mesias yang akan datang itu. Sama seperti Yohanes Pembaptis dahulu dalam penjara yang meragukan kemesiasan Yesus. Namun, harapan itu muncul lagi ketika ternyata Yesus mengalahkan kuasa maut, Ia bangkit. Tidak mati.

Kembali ketika saya berada bersama Petrus, Yohanes, Yakubus, dan dua orang murid yang menuju Emaus dapat bergairah lagi. Antusias! Dia benar-benar Mesias yang akan datang itu. Maut saja dapat dikalahkan-Nya, apalagi kaisar Romawi dan antek-anteknya. Pasti suatu saat akan dilibas-Nya! Oleh karena itu, bukanlah hal yang muluk-muluk jika saya dan murid-murid bertanya kepada-Nya, "Tuhan, maukah Engkau pada masa ini memulihkan kerajaan bagi Israel?" (Kis.1:6). Toh dengan pulihnya kerajaan Israel seperti pada waktu Daud dan Salomo, bukankah akan lebih mudah untuk melaksanakan semua ajaran-ajaran-Nya? Bukankah dengan penaklukan Roma, dunia akan tahu kehebatan Sang Mesias itu?

Namun, ternyata saya dan para murid yang lain harus kembali mengubur dalam-dalam keinginan itu. Dia tidak menjawab keinginan kami! Kini, kami berdiri lesu menatap langit. Ternyata kini, Dia kembali meninggalkan kami, bahkan untuk selamanya. Hancur sudah harapan kami!

Beruntunglah dalam situasi bengong itu, tiba-tiba berdiri dua orang berpakaian putih - tidak salah lagi mereka adalah utusan Tuhan. Mereka adalah malikat! "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." (Kis.1:11). Teguran itu bagaikan hardikan yang menyentak sehingga murid-murid disadarkan akan apa yang telah berulang kali dikatakan oleh Sang Guru tentang tugas kemesiasan-Nya. Maka kembalilah mereka ke Yerusalem dengan sukacita.

Kisah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga dicatat dengan dalam dua bagian kitab, Lukas dan Kisah Para Rasul. Kedua buku ini ditulis oleh penulis yang sama, yang menamakan diri Lukas. Dalam Injil Lukas, kisah kenaikan Tuhan Yesus ke sorga disajikan sebagai semacam "meterai" seluruh hidup Yesus dan Injil:Kristus diangkat ke dalam kemuliaan surgawi. Ia memasuki kemuliaan itu dengan tubuh yang mulia. Para murid yang merupakan saksi dari peristiwa itu menyembah Yesus yang sudah mulia itu. Hari itu adalah hari kemenangan total bagi Yesus.

Dalam Kisah Para Rasul I, pengangkatan Yesus ke dalam kemuliaan-Nya menginagurasi sebuah zaman baru bagi para murid dan selanjutnya Gereja serta misinya. Sebelumnya, Yesus sudah berkali-kali menampakkan diri kepada para murid-Nya untuk menguatkan mereka, menjelaskan kepada mereka tentang tugas kemesiasan-Nya. Selama kurun waktu empat puluh hari, Dia menjelaskan bahwa diri-Nya adalah Mesias yang bukan seperti apa yang diharapkan oleh orang-orang Yahudi yakni, yang dapat menaklukkan kekuasaan Romawi. Melainkan Mesias yang berpihak kepada orang-orang kecil dan lemah. Mesias yang menerjemahkan firman dan kehendak Allah dalam hidup nyata. Mesias yang menghidupkan kasih, kepedulian, belarasa dan pengampunan. Sehingga orang melihat firman itu menjadi nyata dan hidup. Dialah Sang Firman yang menjadi Manusia!

Dengan kenaikan-Nya ke sorga terjadi dua hal dalam komunitas yang dibangun Yesus yakni, discontinuitas. Secara fisik kehadiran Yesus bersama-sama para murid telah berakhir di sini. Ia tidak lagi terlihat berjalan dan mengajar; berdoa dan menyembuhkan. Dia sudah kembali ke tempat asal-Nya. Namun yang kedua, continuitas. Ketika Yesus kembali kepada Bapa-Nya, Ia menugasi para murid untuk melakukan dan meneruskan segala apa yang telah dilakukan dan diajarkan-Nya. Teguran dua malaikat kepada para murid adalah dalam rangka meneruskan mandat perutusan Yesus. Tidak hanya diam, bengong atau pun mungkin terpesona dengan kejadian itu, melainkan harus ada yang segera dilakukan.

Yerusalem adalah tempat mereka untuk kembali memulai tugas misi melanjutkan karya Yesus. Yesus mengingatkan kepada mereka untuk menantikan karya pencurahan Roh Kudus. Mereka harus bertekun di dalam doa dan kesehatian. Pada saatnya, Roh Kudus akan melengkapi mereka dengan kuasa dari tempat Tinggi. Pada saat itulah mereka akan menjalankan tugas kesaksian itu.

Gereja dan semua orang percaya mestinya menyadari bahwa peristiwa Kenaikan Yesus ke Sorga bukan hanya sekedar keyakinan bahwa Yesus mengalahkan maut dan kini Ia mendapat tempat yang mulia yakni, di sebelah kanan Allah Bapa. Melainkan, harus siap sedia meneruskan tugas, pekerjaan, ajaran, dan teladan Yesus. Kisah Rasul ditulis Lukas untuk menyatakan bahwa kini dari Yerusalem, Samaria, Yudea dan sampai ujung-ujung bumi Injil Tuhan tersebar. Tentu menyebarkan Injil Tuhan bukan sesederhana membagikan traktat, melainkan dengan komrehensif seperti apa yang Yesus sudah lakukan. Injil itu harus membumi, menjadi hidup oleh karena setiap orang percaya melakukannya dalam kehidupan sehari-hari. Menyebarkan Injil juga tidak dipahami sebagai upaya triumpalistik kristenisasi dengan membangun "kerajaan-kerajaan" Kristen dan menara-menara "Babel" yang menunjukkan kemegahan Kekristenan. Bukan itu! Sebab kalau demikian, apa bedanya dengan pertanyaan para murid kepada Yesus tentang pemulihan Kerajaan Israel yang tidak ditanggapi Yesus itu?

Meneruskan mandat Yesus berarti menjadi Firman Allah itu kembali hidup, kini dan di sini. Firman itu hidup di dalam kehidupan murid Tuhan dan seluruh aspek pelayanan Gereja. Benar, melakukan tugas ini tentu banyak tantangan dan hambatan. Namun, belajar dari para murid, mereka dapat melakukannya sampai Injil itu benar-benar sampai ke ujung-ujung bumi.

Adalah baik untuk mempunyai visi dan misi menyebarkan Injil seluas-luasnya bahkan ke daerah-daerah pedalaman yang belum tersentuh. Namun, jangan pernah lupa. Tuhan juga menghadirkan orang-orang di sekitar kita yang belum mengenal Injil-Nya. Nah, apakah melalui sikap, tutur kata dan perbuatan kita mereka dapat merasakan kehadiran Tuhan yang menyapa dan mengasihi mereka? Atau justeru sebaliknya, mereka menganggap kita sebagai ancaman dan sumber ketakutan? Selamat merayakan Kenaikan Yesus Ke Sorga dan selamat menunaikan tugas panggilan dari Tuhan!

Anyer, Hari Kenaikan Yesus Kristus ke Sorga, 2018.

Kamis, 03 Mei 2018

KAMU ADALAH SAHABAT-KU


Yesus mengatakan, ὑμεῖς φίλοι μού ἐστε, "Kamu adalah sahabat-sahabat-Ku..." (Yoh. 15:14a). Kata Yunani φίλοι (philos) diterjemahkan dalam bahasa Inggris 'dear' dan dialihbahasakan menjadi 'teman' atau 'sahabat', kata kerjanya philein (to love). Dalam kata philein memiliki berbagai arti termasuk ramah, sayang, suka, dan mencintai. Ketika Yesus menyatakan bahwa murid-murid-Nya adalah philos itu berarti bahwa mereka disayangi, dikasihi, Yesus sangat memperhatikan dan peduli terhadap mereka. Yesus menempatkan murid-murid dalam relasi baru dengan diri-Nya. Ia tidak lagi menyebut mereka hamba (doulos). Jelas, kedudukan sahabat pada waktu itu jauh lebih terhormat ketimbang hamba.

Yesus menyatakan bahwa kasih sayang-Nya terhadap para sahabat itu akan dibuktikan dengan memberikan nyawa-Nya. "Tidak ada kasih yang lebih besar daripada ini, yakni seseorang memberikan nyawanya demi sahabat-sahabatnya." (Yoh.15:13). Mati demi sahabat merupakan nilai tertinggi dalam dunia Yunani-Romawi. Yesus melakukannya bagi murid-murid, dengan begitu, ketika Ia menyebut mereka sahabat bukan sebuah basa-basi. Konteks pembicaraan Yesus adalah saat kepergian-Nya yang semakin dekat. Yesus mengartikan peristiwa kematian-Nya itu sebagai saat di mana Ia menyerahkan nyawa-Nya untuk para sahabat-Nya. Tentu saja maksudnya bukanlah Yesus menyerahkan nyawa ke tangan sahabat-sahabat-Nya. Ia hanya bisa menyerahkan nyawa kepada Bapa-Nya yang menjadi asal dan tujuan-Nya, tetapi nyawa itu diserahkan demi sahabat-sahabat-Nya. Nyawa-Nya adalah tebusan bagi para sahabat-Nya.

Persahabatan itu juga ditunjukkan Yesus dengan memberitahu segala sesuatu kepada mereka (ay.15). Hal ini mirip seperti tokoh-tokoh dalam Perjanjian Lama. "Tuhan berbicara kepada Musa dengan berhadapan muka seperti seorang berbicara kepada temannya" (Keluaran 33:11). Allah juga berbicara terang-terangan kepada Abraham (Kejadian 18:17), yang dikenal sebagai "sahabat Allah" (2 Tawarikh 20:7). Dan sekarang Yesus membuka diri terhadap murid-murid-Nya dalam apa yang Ia dengar sendiri dari Bapa-Nya. Sekali lagi para murid bukanlah hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang menjadi rencana strategis dari tuannya.

Meskipun menggunakan terminologi yang umum dipakai, yakni sahabat. Namun, relasi persahabatan dengan Yesus bukan seperti apa yang terjadi di dunia ini. Pada umunya, ketika menjalin pertemanan, apalagi meningkat menjadi persahabatan, kitalah yang menentukan pilihan mau berteman dengan siapa dan mau membuka diri bersahabat dengan siapa. Persahabatan dengan Yesus bukan berawal dari diri saya, bukan saya yang menentukan melainkan, dari Dia. Dialah yang memilih dan menentukan siapa-siapa yang menjadi sahabat-Nya. Para murid - selanjutnya kita - masuk dalam kesatuan dengan Bapa dan Anak bukan karena jasa mereka/kita sendiri. Atau karena kita sudah melakukan sejumlah persyaratan. Bukan! Kesatuan kita dengan Bapa dan Anak terjadi karena Yesus memasukkan kita ke dalamnya. Dengan demikian inisiatif datang dari Yesus Kristus. Inilah apa yang disebut anugerah, "Bukan kamu yang memilih AKu, tetapi Akulah yang memilih kamu..." (ay.16).Kalau tidak dipilih (dipanggil) oleh Yesus, para murid tidak mampu datang kepada Yesus dan dengan demikian tidak akan mampu datang kepada Bapa karena tidak seorang pun bisa sampai kepada Bapa kalau tidak melalui Yesus.

Lalu bagaimana kita merespon panggilan Yesus yang membuka diri menjadi sahabat kita? Kalimat yang diucapkan Yesus dalam ayat 14 belum selesai, sambungannya, "...jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu." Jadi, sebagaimana Yesus mencontohkannya bahwa pengakuan persahabatan itu ditandai dengan bukti nyata, maka Ia pun menginginkan setiap orang yang menyatakan diri sebagai sahabat-Nya bukan sekedar ucapan di bibir saja. Perintah apa yang dimaksud oleh Yesus? Tentu saja perintah untuk saling mengasihi seperti yang terkandung dari makna kata sahabat itu sendiri. Perintah itu eksplisit, "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita." (1 Yoh.3:16). Menuruti perintah dan model Yesus haruslah dipahami bahwa hal itu bukan syarat untuk menjadi sahabat Yesus melainkan dampak dari kondisi tinggal bersama Yesus yang digambarkan dengan hubungan pokok anggur dan ranting yang menghasilkan buah (dalam perikop sebelumnya). Jadi menyalurkan kasih, melakukan seperti apa yang Yesus lakukan itu sekali lagi bukan syarat, melainkan buah atau dampak dari hubungan yang indah dengan Yesus. Dari sinilah kita akan mengetahui mana sahabat Yesus sejati dan mana yang bukan.

Seorang anak remaja mau melakukan apa saja yang diminta oleh kelompoknya asalkan dirinya diterima menjadi bagian dari kelompok itu - ini adalah contoh syarat. Ia mau merokok, minum minuman keras, menggunakan narkoba, bertato, menodong, menganiaya, merampok, melawan orang tuanya, bahkan bertaruh nyawa, asalkan bisa diterima menjadi "sahabat" dalam kelompok itu. Apa yang dikatakan Yesus (yang tampak sebagai syarat) bukanlah seperti yang berlaku dalam komunitas atau tepatnya gang anak-anak muda itu. Jadi ketika kita diminta untuk "...wajib menyerahkan nyawa kita..." hal ini jelas bukan berarti kita mencari-cari cara agar kehilangan nyawa lalu kemudian merasa telah memenuhi tuntutan firman Tuhan. Bukan itu! Saling mengasihi satu terhadap yang lain bahkan kalau perlu sampai menderita dan kehilangan nyawa mestinya  merupakan keniscayaan. Inilah buah kemelekatan itu. Namun, sayang tidak banyak orang yang dapat melakukannya. Seolah ada benteng besar yang menghalangi. Ya, tak salah lagi, benteng itu adalah egois; sifat yang mementingkan diri sendiri.

Sebuah kisah yang diceritakan oleh Jalaluddin Rumi (penyair sufi - Turki) mengajak kita untuk meruntuhkan benteng ego itu:

Dulu kala ada seorang pemuda kehausan berdiri di atas benteng yang tinggi. Benteng itu terbuat dari batu bata yang disusun sedemian rupa. Di bawah benteng itu mengalir sungai yang airnya sangat jernih. Pemuda itu ingin sekali meneguk air itu. Tetapi bagaimana caranya? Benteng itu terlalu tinggi sehingga tangannya tidak bisa menjangkau sungai.

Kini, pemuda itu melakukan sesuatu untuk bisa menyentuh sungai. Caranya? Ia mencopot batu bata itu satu per satu dan membuangnya ke sungai. Entah kenapa suara batu bata yang jatuh ke air membuatnya terdengar begitu indah, lebih dari kabar indah yang pernah ia dengar selama ini. Lebih indah dari seorang napi yang mendengar hari kebebasannya. Semakin mendengarkan suara indah itu, semakin bersemangat pemuda itu menjatuhkan batu bata ke sungai itu.

Kini, ia sudah semakin dekat dengan sungai. Ia mendengar sungai itu bertanya, "Pemuda, mengapa engkau jatuhkan batu bata itu?" Lalu pemuda yang kehausan itu menjawab, "Karena dua sebab, wahai sungai. Yang pertama, karena aku menikmati suara ceburan batu bata ke airmu. Kedua, dengan membuang batu bata itu, aku semakin dekat denganmu."

Air sungai adalah simbol dari kesucian Tuhan, dan apa yang dilakukan oleh pemuda yang kehausan itu adalah upaya untuk membuang satu per satu ego yang menjadi benteng penghalang dengan Tuhan. Semakin dekat dengan-Nya, semakin jernih kita tahu apa yang harus dilakukan. Semakin besar kita merasakan cinta kasih Tuhan berbanding lurus dengan upaya kita untuk membuang sikap pementingan diri sendiri. Semakin lama kita melekat dengan-Nya maka semakin lebatlah kita berbuah.

Jakarta, Paskah VI 2018.